oleh

Dunia di Ambang Krisis Geopolitik: Sebuah Refleksi dari KTT BRICS di Afrika Selatan*

image_pdfimage_print

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Dalam era globalisasi saat ini, dunia menyaksikan pergeseran kekuatan geopolitik yang signifikan. BRICS, yang awalnya merupakan aliansi lima negara yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, kini telah berkembang menjadi kekuatan geopolitik yang menantang dominasi Barat. Dengan kehadiran 40 negara lain yang menunjukkan ketertarikannya, BRICS semakin menegaskan posisinya di panggung dunia.

Pada KTT ke-15 BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, dinamika baru ini menjadi semakin jelas. Dari 40 negara yang menunjukkan ketertarikannya, 22 di antaranya secara formal mengajukan diri untuk bergabung. Indonesia, meskipun hadir sebagai tamu undangan dalam kapasitasnya sebagai ketua ASEAN, menunjukkan potensi untuk bergabung di masa depan, sesuatu yang ditegaskan oleh pertimbangan Presiden Jokowi.

Namun, apa yang mendorong negara-negara ini untuk bergabung dengan BRICS? Jawabannya terletak pada tuntutan keseimbangan yang lebih adil dalam sistem keuangan dan perdagangan internasional. Sejarah modern sistem keuangan internasional, yang bermula dari Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944, telah menciptakan dominasi Barat, khususnya dolar AS. Namun, dominasi ini mulai tergoyang, terutama setelah keputusan Presiden Nixon pada tahun 1971 yang mengungkap kelemahannya.

Ketidakpuasan terhadap dominasi Barat ini bukan hanya sekedar retorika. Rusia, sebagai salah satu anggota BRICS, telah menunjukkan ketidakpuasannya melalui aksi-aksi seperti aneksasi Krimea dan intervensi di Ukraina. Ini adalah bukti nyata dari ketegangan geopolitik yang meningkat dan tatanan dunia pasca-perang yang kini menghadapi ujian.

**Baca Juga: Uji Emisi Kendaraan Bermotor di Pamulang Sepi Peminat

Membangun Tatanan Multipolar Tanpa Dominasi Kekuatan Dunia

Dalam menghadapi realitas baru ini, dunia harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif. Mengakui dan memahami sejarah adalah langkah awal. Hanya dengan memahami keputusan dan kebijakan masa lalu, kita dapat merumuskan solusi yang lebih adil dan berkeadilan untuk masa depan.

Diplomasi, dalam konteks ini, harus menjadi prioritas. Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, dialog terbuka, negosiasi, dan kerjasama multilateral menjadi kunci untuk menyelesaikan ketegangan. Dengan mempromosikan diplomasi, kita dapat mendorong pendekatan yang lebih kolaboratif dan inklusif dalam hubungan internasional.

Diversifikasi hubungan ekonomi juga menjadi penting. Dalam upaya mengurangi ketergantungan dan mencegah dominasi ekonomi, negara-negara harus mencari kemitraan baru sambil memperkuat yang sudah ada. Selain itu, pendidikan dan kesadaran publik harus ditingkatkan. Masyarakat global harus mendapatkan informasi yang tepat tentang isu-isu geopolitik agar dapat memahami dan mendukung solusi yang berorientasi pada perdamaian.

Di era multipolar ini, mempromosikan multilateralisme dan investasi dalam teknologi serta inovasi menjadi penting. Dengan pemahaman, diplomasi, dan kerjasama, kita dapat bersatu untuk menciptakan dunia yang lebih damai, stabil, dan makmur, tanpa dominasi dari kekuatan dunia tertentu.(*/Red)

Print Friendly, PDF & Email