Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik UPNVJ dan CEO Narasi Institute
Kabar6-Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan memiliki data lengkap mengenai arah partai politik Indonesia yang didapatkan dari informasi intelijen, dunia politik Indonesia mendadak heboh. Sebagai kepala negara, akses terhadap informasi intelijen memang wajar, tetapi pengungkapan informasi semacam itu ke publik menimbulkan berbagai spekulasi. Bagi banyak pihak, data intelijen semestinya bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan negara, bukan untuk diketahui publik atau bahkan potensial digunakan dalam kancah politik praktis.
Pernyataan ini disampaikan saat rakernas Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Bogor, sebuah ajang strategis dan vital bagi pemerintahan. Dengan menyatakan hal tersebut dalam forum tersebut, Jokowi seolah ingin mengirim pesan tertentu. Apakah ini merupakan taktik untuk menunjukkan dominasi informasi, ataukah ada maksud lain di baliknya, menjadi bahan diskusi dan debat.
Sumber informasi tersebut dikatakan berasal dari lembaga intelijen ternama seperti BIN, intelijen Polri, dan intelijen TNI (BAIS). Lembaga-lembaga ini memang dikenal memiliki kapabilitas canggih dalam mengumpulkan data dan informasi. Namun, pertanyaannya, mengapa data mengenai partai politik perlu dikumpulkan? Apakah partai politik kini dianggap sebagai ‘entitas’ yang perlu dipantau oleh intelijen?
Tak heran jika informasi ini menimbulkan reaksi pro kontra di masyarakat. Di satu sisi, ada pihak yang melihat ini sebagai bentuk keterbukaan pemerintah. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa ini adalah bentuk intervensi terhadap privasi dan otonomi partai politik.
Beberapa pendapat menilai pernyataan tersebut sebagai gimik atau strategi politik semata. Seolah ada niat untuk menunjukkan bahwa pemerintahan memiliki kontrol penuh atas dinamika politik di Indonesia. Namun, ada juga yang melihatnya dari sisi negatif, bahwa ini merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap lembaga-lembaga publik, terutama partai politik.
Siapa yang bisa menjamin bahwa data intelejen tentang internal parpol tidak disalahgunakan?
Pertanyaan besar lainnya yang muncul adalah potensi penyalahgunaan data intelijen untuk kepentingan politik. Data yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, jika disalahgunakan, bisa menjadi alat yang kuat untuk mengendalikan dinamika politik dan masyarakat.
Namun, Mahfud MD, salah satu tokoh pemerintahan, menilai bahwa kepemilikan data intelijen oleh presiden adalah hal yang wajar. Meski begitu, tudingan penyalahgunaan data menjadi isu yang sulit untuk diredam. Baginya, yang lebih penting adalah bagaimana data tersebut digunakan dan untuk kepentingan apa.
Dari perspektif pengamat, beberapa menilai ada potensi penyalahgunaan data tersebut untuk kepentingan politik pribadi. Seharusnya, badan intelijen fokus pada potensi ancaman bagi negara, bukan terlibat dalam dinamika politik praktis. Jika presiden menggunakan data intelijen untuk mengawasi internal partai, ini bisa mengarah pada dinamika politik yang tidak fair.
Pernyataan Jokowi juga menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut mengenai peran intelijen dalam politik. Sebuah koalisi masyarakat sipil bahkan menegaskan bahwa intelijen seharusnya hanya digunakan untuk kebijakan, bukan kepentingan politik pribadi.
Publik selama ini sudah menilai bahwa Jokowi secara telanjang mendukung salah satu calon presiden sehingga data intelijen yang dia ketahui tidak mungkin tidak dipergunakan sebagai informasi yang berguna untuk memberikan masukan atau menentukan strategi pemenangan bagi capres yang diusungnya.
Wajar jika publik punya kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dan intelijen. Pemantauan terhadap partai politik oleh badan intelijen dalam konteks demokrasi menjadi isu yang kontroversial.
**Baca Juga: Ibu di Pondok Aren Terpaksa Nguntil Telur Demi Anaknya yang Kelaparan
Tidak ada yang bisa menjamin bahwa data intelijen tentang privasi parpol tidak akan disalahgunakan oleh penguasa yang diusung oleh partai politik.
Mengawasi internal partai politik oleh badan intelijen negara di negara demokrasi bisa menjadi masalah
Mengawasi internal partai politik oleh badan intelijen negara di negara demokrasi bisa menjadi masalah karena bisa menimbulkan sejumlah kekhawatiran, di antaranya:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pengawasan oleh badan intelijen bisa melibatkan penyadapan, pengintaian, atau tindakan lain yang menginvasi privasi individu. Hal ini dapat dianggap melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi.
Pengaruh Politik
Ada potensi bahwa badan intelijen digunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam pemerintahan sebagai alat untuk mengawasi, menekan, atau bahkan memanipulasi partai politik oposisi atau kompetitor. Ini bisa mengancam keseimbangan kekuatan dan proses demokrasi yang sehat.
Membahayakan Kebebasan Pers dan Ekspresi
Jika badan intelijen mengawasi partai politik, maka media, jurnalis, atau siapa pun yang berkomunikasi dengan partai tersebut mungkin juga akan merasa terancam atau diawasi, menghambat kebebasan pers dan ekspresi.
Kekhawatiran Mengenai Keabsahan Pemilu
Jika ditemukan bahwa badan intelijen telah mengawasi atau campur tangan dalam urusan internal partai politik, hal ini dapat memicu kekhawatiran mengenai legitimasi dan keabsahan hasil pemilihan umum.
Beberapa contoh dari negara-negara di mana ada kekhawatiran atau dugaan mengenai pengawasan oleh badan intelijen terhadap partai politik:
Amerika Serikat, Skandal Watergate pada awal 1970-an adalah salah satu contoh paling terkenal. Komite untuk Pemilihan Ulang Presiden Nixon diduga terlibat dalam pemasangan penyadap di kantor Partai Demokrat di kompleks Watergate. Kasus ini mengarah pada pengunduran diri Presiden Nixon.
Jerman, Pada tahun 2000-an, ada kekhawatiran bahwa “Bundesamt für Verfassungsschutz” (Badan Perlindungan Konstitusi Federal) mungkin mengawasi anggota Partai Kiri. Meski tujuannya adalah untuk mengidentifikasi ekstremis potensial, banyak yang melihatnya sebagai upaya untuk mengintimidasi partai oposisi.
Di Indonesia pun dalam sejarahnya, terutama pada era Orde Baru, badan intelijen negara (seperti BIN) dituduh terlibat dalam pengawasan dan intervensi terhadap kegiatan partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan aktivis.
Ini menghambat perkembangan demokrasi selama periode tersebut. Jika saat ini dilakukan maka demokrasi Indonesia telah mundur jauh kebelakang.
Dalam konteks demokrasi, penting bagi negara untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan keamanan nasional dan perlindungan hak-hak sipil dan politik warganya.
Pemantauan oleh badan intelijen harus dilakukan dengan ketat dan transparan agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Contoh-contoh dari berbagai negara menunjukkan bahwa keterlibatan intelijen dalam politik bisa membahayakan demokrasi. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara dapat terkikis jika intelijen dilihat sebagai alat politik, bukan alat untuk kepentingan publik.
Sebagai penutup, perlu ada garis yang jelas antara kepentingan negara dan kepentingan politik. Pemerintah harus menjaga kredibilitas dan integritas badan intelijen, agar tidak terjebak dalam dinamika politik yang kompleks. Kepercayaan masyarakat adalah aset yang tak ternilai harganya, dan harus selalu dijaga agar demokrasi Indonesia tetap sehat.(*/Red)