oleh

“Invest in Women” Diserukan, Anggaran Negara untuk Perempuan Memprihatinkan!

image_pdfimage_print

Oleh: Betta Anugrah dan Arrum Bakti,  Peneliti FITRA; Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)

Kabar6-Berinvestasi pada perempuan merupakan sebuah keharusan dalam hak asasi manusia serta sebagai landasan untuk membangun masyarakat inklusif. Kemajuan bagi perempuan bermanfaat bagi bangsa, dan menjamin hak-hak perempuan dan anak perempuan di seluruh aspek kehidupan adalah satu-satunya cara untuk menjamin perekonomian yang sejahtera dan adil, serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang.

UN Women mempublikasikan tema kampanye Hari Perempuan Internasional bertajuk “Invest in Women: Accelerate Progress” di tahun 2024 ini. Sebuah tema yang agung sekaligus mengajak kita berefleksi bahwa upaya mempercepat kemajuan juga berarti perlu komitmen penyelesaian pada isu-isu yang melanda perempuan.

Sekelumit persoalan di level lokal misalnya dampak kenaikan harga yang mencekik, keleluasan fiskal perempuan, kesehatan reproduksi perempuan yang terabaiakan oleh sistem dan budaya patriaki khususnya di daerah-daerah slum. Belum lagi masalah keamanan perempuan dalam berekspresi, hadirnya ancaman kekerasan baik fisik, verbal, mental dan seksual. Kondisi dibungkamnya hak berekspresi disebabkan oleh kultur maksulinitas toxic yang kental, dan masih banyak lagi. 

Anggaran Responsif Gender masih sekadar aksesoris belaka tanpa komitmen konkret dalam alokasi anggaran.  Langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan hak-hak perempuan sebenarnya dengan mendorong pemberdayaan perempuan, termasuk dengan mendorong Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) sebagai serangkaian cara dan pendekatan untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam proses perencanaan dan penganggaran di berbagai sektor. Ditambah lagi, pemerintah yang menunjukkan komitmennya melalui target pembangunan di tingkat global, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Akan tetapi, lagi-lagi, kenyataan berkata lain. Seperti yang dapat kita lacak di lapanga, bahwa Caleg perempuan banyak yang “tumbang sebelum berperang” di Pileg 2024. Hal ini terjadi karena keterbatasan akses terhadap Sumber Daya. Di sisi lain, tantangan hidup makin nyata, seperti kenaikan harga pangan yang semakin memperberat beban perempuan, akses sanitasi yang layak bagi perempuan di Pesisir, program stunting yang lebih fokus pada penerima manfaat ketimbang dialokasikan untuk kegiatan rapat, banyaknya Ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS, juga angka Kematian Ibu Hamil dan melahirkan merupakan kejadian yang selalu menjadi sorotan di negara ini.

Rerata IPM Perempuan masih jauh di bawah rerata Nasional dan rerata IPM Laki–Laki.

Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan peran perempuan, untuk kemudian mendorong partisipasi perempuan dan mengikis anggapan bahwa perempuan adalah kelompok kelas kedua (subordinat). Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator untuk melihat akses penduduk dalam memperoleh pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Capaian IPM dapat digunakan sebagai tolak ukur  pembangunan pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pada Periode 2019 hingga 2022 rerata IPM laki-laki mencapai 76,23 sedangkan rerata IPM perempuan hanya 69,56. Angka rerata IPM Perempuan bahkan jauh di bawah angka rerata IPM Nasional yang mencapai 73,77 menurut BPS (2023). Sehingga, dapat dikatakan bahwa masih terdapat gap yang besar terhadap capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki, terkait dengan kebutuhan dasar, khususnya untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan pekerjaan yang layak.

Sebanyak 56 persen dari 34 Provinsi di Indonesia memiliki ratio IPG di bawah Nasional. Indeks Pembangunan Gender dibentuk dari rasio IPM perempuan terhadap IPM laki-laki. Meskipun sudah ada kemajuan dalam pembangunan gender, namun di tahun 2022 terdapat 19 provinsi yang memiliki ratio IPG di bawah IPG nasional yang artinya masih terdapat gap antara pembangunan perempuan dan laki-laki.

Pada aspek politik, Indonesia berada pada paritas 18,1%, dengan 21,6% anggota parlemen perempuan dan 20,7% perempuan menteri (Data: Global Gender Gap Report 2023,). Meskipun, tingkat partisipasi perempuan dalam politik jika dibuat rata-rata dari 18 partai politik peserta pemilu nasional, persentase keterwakilan perempuannya mencapai 37,13%. Angka kesetaraan, dalam pencapaian Pendidikan, Kesehatan dan kelangsungan hidup hampir tidak berubah dari tahun 2021. World Economic Forum 2023 memaparkan angka Indonesia pada Kesetaraan dalam Pencapaian Pendidikan (97,2%) dan Kesehatan dan Kelangsungan Hidup (97%). 

Alokasi Anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Menempati Urutan 2 Terbawah.

Anggaran Kementerian PPPA pada tahun 2024 sebesar Rp311.6 miliar. Anggaran tersebut turun 9,4 persen dari Tahun Anggaran 2023, yakni     Rp291.3 miliar. Jumlah yang sebenarnya sangat kecil bila dimaksudkan untuk seluruh program yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Anggaran yang cukup rendah, berada pada urutan kedua terbawah setelah Anggaran Kementerian BUMN.

Anggaran kecil, beban besar.  Kesadaran mengenai pentingnya pemberdayaan perempuan guna mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan semakin nyata, sayangnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak justru sebaliknya.  Pagu Anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak setiap tahunnya juga menunjukkan grafik yang fluktuatif. Namun, tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Padahal, Kemen PPPA harus melindungi 136.384.674 juta perempuan dan 85 juta anak di seluruh Indonesia, yang merupakan jumlah terbesar keempat di dunia.

**Baca Juga: Wujud Kolaborasi Pelayanan Publik, Pemkot Tangerang MoU dengan PT HINO

Persoalan pendataan harus menjadi fokus yang semestinya masuk ke dalam pertimbangan perencanaan penganggaran sejak awal disusun. Pada tahun ini, Kemen-PPPA meminta tambahan anggaran 2024 sebesar Rp48.8 miliar. Anggaran itu ditujukan untuk survei perempuan dan anak di Indonesia, demi mengetahui dampak dari perundang-undangan yang telah disahkan dan dilaksanakan. Hal ini dapat menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan dan program terkait perlindungan perempuan dan anak mendatang.

Anggaran yang akan difokuskan pada rencana kegiatan tahun 2024 terdiri atas beberapa isu strategis. Di antaranya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Di samping itu, pada tahun 2023, terdapat peningkatan kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dari 137 kasus menjadi 643 kasus. kasus kekerasan terhadap anak tercatat paling tinggi yakni 11.084 perkara. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak itu juga tercatat meningkat sebanyak 12,3 persen jika dibandingkan dengan tahun 2022. Sedangkan, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mencapai total 5.555 laporan. Jumlah laporan tersebut juga tercatat meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.241 kasus. Sepanjang tahun 2023, kasus femisida di Indonesia juga terbanyak adalah femisida intim, yaitu sebanyak 109 kasus; disusul oleh femisida non-intim sebanyak 15 kasus dan bunuh diri akibat kekerasan berbasis gender sebanyak 12 kasus. Jumlah korban terbesar adalah istri, yaitu 72 orang, diikuti oleh pacar 33 orang dan mantan pacar 9 orang. 

Masih banyak K/L yang menjalankan program kegiatannya sekedar ‘business as usual’ dan ‘netral gender’, tidak memperhitungkan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang setara antara perempuan dan laki-laki. FITRA menyadari bahwa anggaran untuk mendorong kesetaraan gender tidak hanya ada di Kemen-PPPA tetapi tersebar di seluruh K/L melalui program dan kegiatan yang seharusnya responsif gender. Tidak heran bila kemudian program dan kegiatan yang ada sekedar terlaksana, dan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan perempuan, peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, melindungi perempuan dan anak perempuan dari tindak kekerasan (seksual), apalagi memperkuat ekonomi perempuan.

Berdasarkan kajian ini, Seknas FITRA merekomendasikan:

  1. KemenPPPA memiliki kewenangan untuk terus mengawal adanya peningkatan persentase partisipasi perempuan di bidang pemerintahan, swasta, dan politik, serta ⁠meningkatkan persentase partisipasi dan keswadayaan masyarakat dilakukan.
  2. Kementerian Keuangan, KemenPPPA, DPR, harus meningkatkan komitmennya dalam kerja-kerja pemenuhan hak perempuan, yakni dengan peningkatan alokasi anggaran pada “Program Kesetaraan Gender dan Perlindungan Perempuan” yang diemban oleh Kemen-PPPA. Mengingat persoalan berlapis yang dihadapi oleh perempuan, membutuhkan komitmen panjang dari pemerintah. Seperti pemulihan terhadap korban yang harus menjadi prioritas utama dalam kasus kekerasan.
  3. Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi secara massif dengan KemenPPPA dalam percepatan dan pengawasan kualitas dari implementasi Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) di seluruh K/L hingga ke Pemerintah Daerah.
  4. Kemenkeu dan DPR RI berkomitmen lebih kuat dalam penetapan anggaran yang lebih proporsional dan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan data Kemen-PPPA, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Sebab, upaya menjamin hak-hak perempuan dan anak perempuan adalah suatu cara untuk menjamin perekonomian yang sejahtera dan adil, serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang. (*/Red)
Print Friendly, PDF & Email