oleh

Motif Subjektif dalam Pemeriksaan Pajak: Klarifikasi Kemenkeu vs Fakta Kasus

image_pdfimage_print

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom Dan Pakar Kebijakan Publik UPN VJ dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Dalam polemik terbaru berjudul “Kemenkeu Jawab Anies soal Perusahaan yang Membantu Lalu Pajaknya Diperiksa”, terungkap kekhawatiran Anies Baswedan, Bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan, terhadap beberapa pengusaha yang mengalami pemeriksaan pajak ketat setelah berinteraksi dengannya.

Anies memberikan kesan bahwa pemeriksaan tersebut mungkin memiliki motif politis. Sebagai tanggapan, Staf Khusus Kemenkeu, Yustinus Prastowo, menegaskan bahwa pemeriksaan pajak dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilaksanakan secara profesional, tanpa motif subjektif apapun.

Namun, apakah benar demikian? Mari dicermati lebih dalam.

Klarifikasi Pemeriksaan Pajak dan Realitas di Lapangan

Ketika Staf Khusus Kemenkeu, Yustinus Prastowo, mengeluarkan pernyataan bahwa pemeriksaan pajak dilakukan tanpa motif subjektif, banyak mungkin merasa lega.

Harapan adalah agar setiap proses di tingkat pemerintahan dilakukan dengan integritas dan transparansi. Namun, kenyataannya seringkali tidak seindah harapan.

Kasus Rafael Alun Trisambodo dan Angin Prayitno menjadi bukti nyata bahwa ada celah dalam sistem pemeriksaan pajak.

Dua pegawai Kemenkeu ini terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun. Kasus semacam ini menimbulkan pertanyaan: Apakah benar tidak ada motif subjektif dalam pemeriksaan pajak?

Selain itu, banyak laporan masyarakat mengenai petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang bertindak kurang profesional.

Jika motif subjektif karena kekayaan saja bisa terjadi, bukankah ada kemungkinan motif lain, seperti politik, yang mungkin belum terungkap?

Klarifikasi Pemeriksaan Pajak dan Tindakan Proaktif yang Diharapkan

Sebagai warga negara, harapan adalah keadilan dan transparansi dalam setiap proses pemerintahan, termasuk dalam pemeriksaan pajak.

Namun, alih-alih sibuk membantah, seharusnya Yustinus dan Kemenkeu lebih fokus untuk membongkar siapa saja oknum pegawai pajak yang berpotensi beroperasi dengan motif subjektif, termasuk motif politik.

Membantah adalah satu hal, namun tindakan konkret dalam membongkar dan memperbaiki sistem adalah yang paling penting.

Kemenkeu seharusnya melakukan koreksi internal yang ketat, memastikan bahwa setiap pegawai mematuhi kode etik dan integritas tertinggi.

**Baca Juga: Fahri Hamzah: Prabowo Figur Paling Siap Lanjutkan Rekonsiliasi dan Legacy Jokowi

Selain itu, Kemenkeu perlu melakukan introspeksi dan koreksi diri terhadap institusinya sendiri.

Masyarakat seharusnya tidak perlu selalu mengadu untuk mendapatkan keadilan; Kemenkeu yang proaktif dalam memastikan bahwa setiap proses berjalan dengan benar.

Sistem pengawasan yang lemah adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam institusi. Kemenkeu dan Yustinus harus menyadari hal ini dan bergerak cepat untuk memperbaikinya.

Dalam era transparansi dan akuntabilitas saat ini, diperlukan pemeriksaan pajak yang adil, transparan, dan bebas dari motif subjektif apapun.

Sebagai warga negara, berhak mendapatkan itu semua, dan Kemenkeu memiliki tanggung jawab untuk memastikannya.

Dalam kesimpulannya, sementara klarifikasi dari Kemenkeu mungkin telah memberikan beberapa kejelasan, masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Harapan adalah agar Kemenkeu dapat terus bekerja keras untuk memastikan bahwa setiap proses pemeriksaan pajak dilakukan dengan integritas dan profesionalisme tertinggi.

Pemeriksaan Pajak dan Urgensi Profesionalisme serta Integritas

Indonesia, sebagai negara hukum, memang membutuhkan pemeriksaan pajak yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilaksanakan secara profesional, tanpa motif subjektif apapun.

Hal ini bukan hanya menjadi harapan masyarakat, tetapi juga menjadi fondasi bagi kepercayaan publik terhadap integritas lembaga pemerintah.

Namun, retorika semata tidak cukup. Bukti-bukti yang menunjukkan adanya unsur subjektif dalam pemeriksaan pajak, seperti kasus-kasus yang telah disebutkan, tidak dapat diabaikan.

Fakta ini menunjukkan bahwa ada oknum di dalam sistem yang mungkin memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi atau politik.

Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah, khususnya Kemenkeu, untuk segera mengambil tindakan tegas.

Oknum pajak yang bermain-main dan menyimpang dari tugas serta undang-undang harus dihukum dengan tegas. Pemecatan seharusnya menjadi langkah awal, namun tidak cukup.

Oknum tersebut juga harus diberikan hukum pidana yang berat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggarannya dan sebagai efek jera bagi oknum lain yang mungkin memiliki niat serupa.

Dengan tindakan tegas ini, diharapkan integritas dan profesionalisme dalam pemeriksaan pajak dapat terjaga.

Masyarakat pun akan memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga pemerintah dan proses pemeriksaan pajak yang adil dan transparan.

Harapan Publik

Dalam menghadapi isu sekompleks pemeriksaan pajak, transparansi dan akuntabilitas menjadi dua pilar yang harus senantiasa dijaga.

Polemik mengenai motif subjektif dalam pemeriksaan pajak, yang diperkuat dengan fakta kasus di lapangan, menunjukkan bahwa masih ada ruang besar untuk perbaikan.

Kemenkeu, sebagai lembaga yang berada di garis depan dalam hal ini, harus memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil benar-benar mewakili kepentingan masyarakat dan keadilan fiskal.

Masyarakat berhak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam setiap proses pemeriksaan pajak.

Oleh karena itu, sangat penting bagi Kemenkeu untuk terus mendengarkan masukan dan kritik dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, dan berkomitmen untuk melakukan reformasi internal yang diperlukan.

Semoga dengan kesadaran dan upaya bersama, kita dapat membangun sistem pemeriksaan pajak yang lebih adil, transparan, dan bebas dari segala bentuk motif subjektif.

Sebuah sistem yang tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga memberikan rasa keadilan bagi setiap warga negaranya.(*/Red)

Print Friendly, PDF & Email