oleh

Ritual Sokushinbutsu Membuat Biksu Berubah Jadi Mumi

image_pdfimage_print

Kabar6-Seorang biksu asal Jepang bernama Kukai, mengajarkan praktik mumifikasi secara alami. Praktik ini selain menunjukkan kedisplinan, juga sebagai dedikasi terakhir dengan melakukan mumifikasi diri.

Ritual yang dikenal dengan nama Sokushinbutsu ini, melansir ancientorigins, melalui proses panjang yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melihat apakah proses mumifikasi berhasil. Jika berhasil, maka biksu yang telah berubah menjadi mumi tersebut akan ditempatkan di sebuah kuil untuk dihormati dan disembah. Perjalanan tersebut dimulai pada 804 M. Kukai, seorang biksu Buddha yang terkenal, pergi ke Tang, Tiongkok, untuk mempelajari agama Buddhisme Esoterik. Pada 806 M, setelah diinisiasi sebagai penguasa garis keturunan esoterik, Kukai kembali ke tempat asalnya dengan membawa banyak teks Buddhisme Esoterik, yang sebagian besar baru di Jepang.

Dengan tekun, Kukai merumuskan ajaran Buddhisme Esoterik berdasarkan dengan pengetahuan yang diperolehnya di Tiongkok. Sejak saat itu, Kukaia menjadi penyebar ajaran Buddhisme Esoterik di Jepang dan mendirikan sekolahnya sendiri bernama Shingon.

Dikatakan para praktisi, bagi biksu yang berhasil memumikan tubuh mereka, dianggap telah mencapai Kebuddhaan dalam kedagingan. Kukai dan pengikutnya pun mempraktikan Sokuhhinbutsu. Menjelang akhir hayatnya, Kukai melakukan mediasi dan menolak semua makanan dan air.

Ketika meninggal, ia dimakamkan di Gunung Koya, Prefektur Wakayama. Setelah beberapa lama, makam tersebut dibuka dan Kukai terlihat seperti sedang tertidur. Kulitnya tidak berubah dan rambutnya terlihat sehat dan kuat.

Salah satu tujuan dari pertapaan di pegunungan adalah mengubah seorang pria yang tidak suci menjadi seorang pria yang suci. Dengan kata lain, pertapaan ini membuat seseorang menjadi seorang Buddha dalam daging atau Sokushinbutsu.

Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk menjadi Sokushinbutsu. Ratusan bahkan ribuan biksu berusaha untuk menjadi Sokushinbutsu. Namun, pada abad 11 hingga 19, hanya 24 yang diketahui berhasil, sebagian besar di pegunungan Jepang utara.

Ketika ingin memulai praktik ini, para biksu harus menanggung penyiksaan diri selama 2000 hingga 3000 hari. Selama seribu hari pertama, mereka harus melakukan pertapaan dan diet ketat yang disebut mokujikigyo atau makan pohon dengan mengonsumsi kacang-kacangan, biji-bijian, dan buah beri.

Diet ini sangat penting untuk menghilangkan semua lemak pada tubuh. Asupan air juga akan dikurangi untuk mengeringkan tubuh dan membuat organ menyusut. Setelah seribu hari ‘makan pohon’, para biksu akan mulai minum teh beracun yang terbuat dari getah pohon Urushi. Biasanya, getah Urushi digunakan untuk pernis peralatan makan. Dengan mengonsumsi teh tersebut maka tubuh akan mengandung racun, sehingga dagingnya tidak akan dimakan oleh belatung dan parasit lainnya.

Racun tersebut juga akan membuat biksu muntah dan kehilangan cairan tubuh lebih cepat. Ketika biksu merasa akan tiba waktunya untuk meninggal, ia akan mencari sebuah tempat untuk mengurung dirinya. Tempat tersebut seperti kuburan dan biasanya di ruang bawah tanah dengan ukuran yang tidak cukup besar sehingga biksu harus berada dalam posisi duduk seperti sedang mediasi.

Dalam kuburannya akan dipasang sebuah tabung menggunakan bambu panjang yang berfungsi sebagai ventilasi udara agar biksu tetap dapat bernapas. Selain itu, di dalamnya akan diletakan sebuah lonceng yang akan dibunyikan setiap hari yang menandakan bahwa dirinya masih hidup. Bila lonceng tersebut sudah tidak berdering, berarti biksu tersebut telah meninggal dunia.

Makam tersebut akan disegel selama tiga tahun. Bila proses mumifikasi tersebut berhasil, maka jasadnya akan diabadikan sebagai ‘Buddha Hidup’ di sebuah kuil. Mereka akan diperlakukan seolah-olah masih hidup dan dihormati oleh umat Buddha sebagai Buddha yang hidup dan bernapas.

Keberhasilan mumifikasi diri dianggap sebagai tanda pahala spiritual yang tinggi. Bagi para biksu yang gagal, akan dimakamkan kembali setelah proses eksorsisme dilakukan.

Praktik sokushinjobutsu tidak dilihat sebagai tindakan bunuh diri, melainkan sebagai bentuk pencerahan untuk memberikan kesaksian, dedikasi, dan kemandirian. Mumifikasi adalah tindakan dengan mengorbanan diri demi kepentingan semua makhluk hidup. Mumifikasi diri juga dianggap sebagai jalan menuju keabadian.

Namun pada 1879, praktek ini dilarang oleh pemerintah Meiji. Saat itu negara tengah melakukan upaya modernisasi, sehingga tidak ada lagi kasus mumifikasi yang terjadi. ** Baca juga: Maksud Hati Bunuh Diri dengan Lompat ke Septic Tank, Remaja Ini Malah Terpeleset

Saat ini Sokushinbutsu masih diabadikan di berbagai kuil, di mana mereka disembah sebagai peninggalan dan sebagai Buddha hidup. Orang-orang yang menganut keyakinan eskatologis mempercayai bila di masa depan ketika akhir zaman tiba, para sokushinbutsu akan bangun dan membantu umat manusia.(ilj/bbs)