oleh

Subsidi Pertamax: Kebijakan untuk Siapa?

image_pdfimage_print

Oleh Achmad Nur Hidayat Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ dan CEO NARASI INSTITUTE

Kabar6-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, dalam upayanya mendorong masyarakat menuju BBM beroktan tinggi demi udara lebih bersih, kini mengeksplorasi opsi subsidi untuk Pertamax. Mungkinkah ini langkah maju menuju lingkungan yang lebih baik? Ataukah sekadar mengalihkan anggaran ke kelompok masyarakat yang sudah makmur?

Bensin beroktan tinggi seperti Pertamax memang memiliki keunggulan dalam pengurangan emisi, memberikan dampak positif bagi kualitas udara. Akan tetapi, pemberian subsidi ini melibatkan penimbangan aspek-aspek teknis, regulasi, dan ekonomi yang cermat.

Pertimbangan penting adalah menghindari gangguan terhadap pasokan dan mobilitas masyarakat. Pembatasan penyaluran BBM beroktan rendah, seperti Pertalite, dapat menghambat operasional sektor-sektor vital, seperti industri kecil, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum. Lebih ironisnya, rencana pemindahan subsidi ke Pertamax dapat menyebabkan ketidaksetaraan, di mana kelompok masyarakat yang memerlukan BBM beroktan rendah malah mendapatkan beban tambahan.

Mengacu pada anggaran kompensasi energi yang mencapai ratusan triliun rupiah, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah alokasi ini sudah efektif dan tepat sasaran? Mengalokasikan sejumlah besar anggaran bagi Pertamax—bensin yang sering diasosiasikan dengan kendaraan mewah—bisa jadi memberi kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu.

Penting bagi pemerintah untuk tidak melupakan masyarakat berpenghasilan rendah yang bergantung pada BBM beroktan rendah. Kebijakan harus inklusif dan memastikan tidak ada yang terpinggirkan dalam upaya memperbaiki kualitas udara.

Apabila pemerintah bersungguh-sungguh ingin menjadikan udara bersih sebagai prioritas, maka harus ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Fokus harus ditempatkan pada upaya peningkatan efisiensi dan pengawasan ketat agar tidak terjadi pemborosan.

Membahas wacana subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi bukanlah hal yang sederhana. Namun, langkah pertama yang paling kritis adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mendukung seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya beberapa kelompok tertentu.

**Baca Juga: Pemprov Banten Keluarkan 200 Izin Pertambangan Sejak 2015

Anggaran Kompensasi Energi

Pertalite adalah jenis Bahan Bakar Minyak Khusus (JBKP) yang menerima kompensasi dari pemerintah untuk mengimbangi perbedaan antara harga jualnya dan harga ekonomi. Berdasarkan laporan keuangan Pertamina 2022, kompensasi untuk selisih harga Pertalite mencapai Rp74,88 triliun pada semester I 2022, Rp50,69 triliun pada kuartal III 2022, dan Rp4,89 triliun pada Oktober 2022.

Kementerian Keuangan telah menganggarkan total subsidi dan kompensasi energi senilai Rp329,9 triliun dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Dari angka tersebut, subsidi energi dialokasikan sebesar Rp185,87 triliun, sementara kompensasi energi (termasuk BBM dan listrik) mencapai Rp144,03 triliun.

Alokasi subsidi energi ini meliputi subsidi khusus untuk BBM dan tabung elpiji 3 kg senilai Rp110,04 triliun, serta subsidi listrik senilai Rp75,83 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa konsumsi energi seperti elpiji 3 kg, listrik, dan bahan bakar mengalami peningkatan yang signifikan.

Kenaikan nilai subsidi energi juga dipengaruhi oleh perkiraan asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000 per dolar AS dalam RAPBN tahun mendatang.

Pembahasan mengenai subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi yang terkait menghadirkan permasalahan penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam konteks dampaknya bagi masyarakat.

Transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas—ketiga prinsip ini harus menjadi landasan dalam pengambilan keputusan seputar energi di Indonesia.(*/Red)

Print Friendly, PDF & Email