oleh

Raperda Milik Publik, Maka Harus Terbuka

image_pdfimage_print

Kabar6-Kabar minimnya keterlibatan publik dalam perumusan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) di Kota Tangerang, menjadi potret lemahnya praktek demokrasi. Sekaligus celah gagalnya produk hukum dapat dilaksanakan.

“Ada tiga kesalahan. Pertama melawan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, ” jelas peneliti kebijakan publik IDP-LP, Riko Noviantoro dalam keterangan, Kamis (9/6/2022).

Ia menjelaskan dalam Pasal 5 UU No.12/2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan perundang-undangan menyebutkan 7 asas yang harus diperhatikan, antara lain ; kejelasan tujuan, kejelasan rumusan sampai keterbukaan.

Asas keterbukaan itu, jelas Riko memberi makna keterlibatan secara luas bagi masyarakat. Khususnya kelompok yang menjadi ruang lingkup Raperda harus dilibatkan.

“Kalau ini tidak dilakukan maka pantas jika Raperda itu tidak sesuai nafas UU No.12/2011,” ucap Riko.

Kedua, kata Riko sikap tertutup dalam penyusunan Raperda tidak senafas dengan praktek politik hukum negara. Karena politik hukum negara memuat norma keterlibatan publik sebagai wujud produk hukum yang memenuhi harapan masyarakat.

Ketiga, menurut Riko sikap tertutup DPRD Kota Tangerang dalam penyusunan Raparda bisa cacat administrasi. Karena produk hukum yang dibuat tidak menjawab persoalan publik, sehubungan tidak mewakili aspirasi.

“Dengan kata lain cacat implementasi nya. Mana ada publik yang diatur kehidupannya tetapi tidak ajak bicara soal hal-hal terkait dirinya,” pungkasnya.

**Baca juga: Pabrik di Curug Tangerang Terbakar Drum Thinner Beterbangan

Berdasarkan pandangan tersebut, Riko meminta DPRD Kota Tangerang lebih bersikap bijak. Dengan membuka ruang partisipasi secara lebih tepat pada pihak terkait.

Salah contoh Perda yang sudah disahkan yakni Perda Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelanggaraan Wajib Belajar Diniyah Takmiliyah disebut masih mandul. (Oke)

Print Friendly, PDF & Email