1

3 Tersangka Penganiaya dan Pencuri Dibebaskan Jampidum lewat RJ

Kabar6-Sebanyak 3 tersangka kasus penganiayaan, pencurian, dan perlindungan anak dibebaskan oleh jaksa lewat keadialan restoratif atau Restorative Justice (RJ). Jampidum Dr. Fadil Zumhana telah menyetujui 3 permohonan penghentian penuntutan, Senin (25/2/2024).

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
“Tersangka belum pernah dihukum, dan tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 lima tahun,”jelas Dr. Ketut Sumedana, Kapuspeskum Kejagung dalam rilis yang diterima kabar6, Selasa (25/3/2024).

**Baca Juga:Belajar dari Kasus Pungli di KPK, Akademisi UNUSIA Rekomendasikan Pencegahan Korupsi Berbasis Etika Pesantren

Selanjutnya, kata Ketut, Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Ini Daftarnya:
1. Tersangka Jefri Ngewi Leo alias Epi dari Kejaksaan Negeri Flores Timur, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Tersangka I Sofia Hede, S.Pd. dan Tersangka II Herlin Merince Sonlay, A.Ma.Pd dari Kejaksaan Negeri Timor Tengah Selatan, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Tersangka Febrianus alias Febri bin Agustinus dari Cabang Kejaksaan Negeri Maros di Camba, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.(red)




Lagi 18 Tersangka Penganiaya, Pencuri Penadah, Hingga Penggelapan Dibebaskan Jaksa lewat RJ

Kabar6-Sebanyak 18 tersangka kasus penganiayaan, pencurian,penadah hingga penggelapan dibebaskan oleh jaksa lewat keadialan restoratif atau Restorative Justice (RJ). Jampidum Dr. Fadil Zumhana telah menyetujui 18 permohonan penghentian penuntutan, Kamis (23/3/2024).

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

“Tersangka belum pernah dihukum, dan tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 lima tahun,”jelas Dr. Ketut Sumedana, Kapuspeskum Kejagung dalam rilis yang diterima kabar6, Selasa (19/3/2024).

**Baca Juga:Jaksa Agung ST Burhanuddin Lantik 2 Staf Ahli

Selanjutnya, kata Ketut, Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Ini Daftarnya:
1. Tersangka Hendra Saputra bin Mahmud dari Kejaksaan Negeri Banyuasin, yang disangka melanggar Pasal 367  Ayat (2) KUHP tentang Pencurian dalam Keluarga.
2. Tersangka Jamilah binti Zakaria dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Pitria binti M. Nazir dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Lilis Suryani binti Fauzi dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Tersangka Herlya binti Fairozi dari Kejaksaan Negeri Penukal Abab Pematang Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Herwita binti Amaldi dari Kejaksaan Negeri Penukal Abab Pematang Ilir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka Desi Anggraini binti Rahman dari Kejaksaan Negeri Prabumulih, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
8. Tersangka Soleha binti Suharto dari Kejaksaan Negeri Prabumulih, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
9. Tersangka Erwin Rahadi dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan.
10. Tersangka Safira Pratama Putri alias Lala dari Kejaksaan Negeri Batam, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
11. Tersangka Yoseph Francois Niko Saputra alias Niko dari Kejaksaan Negeri Batam, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
12. Tersangka Rahman bin H. Nonci dari Kejaksaan Negeri Kolaka Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
13. Tersangka Yadi Bin Sukku dari Kejaksaan Negeri Kolaka Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
14. Tersangka Banhur Nasir bin Nasir Tahir dari Kejaksaan Negeri Konawe, yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
15. Tersangka Taufik, A. Ma., alias Ufik bin Abdul Haris dari Kejaksaan Negeri Konawe, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
16. Tersangka Raman Alias Man dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
17. Tersangka Niz Aulia alias Niz dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
18. Tersangka Adi Setiawan alias Adi bin Nuriman dari Kejaksaan Negeri Sleman, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.(red)

 




31 Tersangka Penadah, Pencuri dan Penganiaya Dibebaskan Jaksa lewat RJ

Kabar6-Sebanyak 31 tersangka kasus penadah dan penganiayaan dibebaskan oleh jaksa lewat  keadialan restoratif atau Restorative Justice (RJ). Jampidum Dr. Fadil Zumhana telah menyetujui 31 permohonan penghentian penuntutan, Kamis (23/11/20231).

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

“Tersangka belum pernah dihukum, dan tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 lima tahun,”jelas Dr. Ketut Sumedana, Kapuspeskum Kejagung dalam rilis yang diterima kabar6, Kamis (32/11/2023).

**Baca Juga: Kejari Kabupaten Tangerang Ungkap Berkas 3 Tersangka Pasar Kutabumi Dinyatakan Lengkap

Selanjutnya, kata Ketut, Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

In Daftarnya:

  1. Tersangka Arif Budiman Lubis alias Gondrong bin Nirwan Lubis dari Kejaksaan Negeri Dumai, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
  2. Tersangka Indra als Indra bin Agusni dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  3. Tersangka Candra als Ican bin Cik Nang dari Cabang Kejaksaan Negeri Bangka di Belinyu, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
  4. Tersangka Metu alias Panther dari Kejaksaan Negeri Mamasa, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  5. Tersangka Mulyadi dari Kejaksaan Negeri Badung, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
  6. Tersangka I Gilang Sandy Praditya, Tersangka II Necki Firmansyah dan Tersangka III Muhammad Rizki Anzal’na Hufi dari Kejaksaan Negeri Gresik, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  7. Tersangka Samsul Arifin bin Sutrisno dari Kejaksaan Negeri Kota Probolinggo, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
  8. Tersangka Sulaiman bin Busar dari Kejaksaan Negeri Kota Probolinggo, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
  9. Tersangka Mochammad Rifqi Ardiansyah alias Kicot bin Sunari dari Kejaksaan Negeri Ngawi, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  10. Tersangka Alim Maulana Putra bin M Sulaiman dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP.
  11. Tersangka Andri Nurviawan bin Sugitno dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
  12. Tersangka Candra Dermawan bin Wukir Hartoni dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  13. Tersangka Nanang Anugrah bin Sulikan dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  14. Tersangka Firmansyah Beny Adam bin Wasiswoyo dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  15. Tersangka Aulus Manggar Sari bin Misdi dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  16. Tersangka Jibno alias Nono bin Sunabi dari Kejaksaan Negeri Situbondo, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (1), (3) dan Pasal 312 Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  17. Tersangka Ahmat Noto bin Temu dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
  18. Tersangka Herwansyah bin Nazman dari Kejaksaan Negeri Serang, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  19. Tersangka Tri Mutiara Rohmah alias Tia binti (Alm.) Sudirman dari Kejaksaan Negeri Tangerang Selatan, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  20. Tersangka Linton Giasi alias Inton dari Kejaksaan Negeri Pohuwato, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  21. Tersangka Taman Ginanjar Wisnu bin Kasimin dari Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
  22. Tersangka Dicky Rahman Hakim bin Madjono dari Kejaksaan Negeri Palangkaraya, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) dan (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  23. Tersangka Arjoyo alias Oyo bin (Alm.) Dana Ijab dari Kejaksaan Negeri Pulang Pisau, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  24. Tersangka Agus Hermawan bin (Alm.) Suharno dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, yang disangka melanggar 362 KUHP tentang Pencurian.
  25. Tersangka Herman Aritonang bin Anggiat Aritonang dari Kejaksaan Negeri Pringsewu, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
  26. Tersangka I Alimudin Raharusun alias Ambon dan Tersangka II Tetlam Nuhuyanan alias Lampe dari Kejaksaan Negeri Tual, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
  27. Tersangka I Ramandariyah dan Tersangka II Apriyanto dari Kejaksaan Negeri Mataram, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
  28. Tersangka Riski bin La Gedi dari Kejaksaan Negeri Buton, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  29. Tersangka Kalfin Bin Suwardin dari Kejaksaan Negeri Konawe Selatan, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman dan Pasal 406 Ayat (1) KUHP tentang Perusakan.
  30. Tersangka Novianti binti Hasan Razali Lubis dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  31. Tersangka Moehammad Sri Harjuno Soseobahu bin Moehammad Hero Setiawan dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.(red)



Membangun Keadilan Restoratif Melalui Hukum Pidana 4.0 (Digital Transformation)

Oleh: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana

Kabar6-Hukum Pidana 4.0 merupakan wujud nyata dari Teori Hukum Konvergensi sebagai penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional.

Hukum Pidana 4.0 sebagai Hukum Pidana yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Pidana ke dalam kenyataan kehidupan Masyarakat 5.0 dan Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global memiliki relevansi substansial dan fundamental dengan konseptual Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. Di dalam sistem Hukum Indonesia, norma dasar negara atau state fundamental norm adalah Pancasila, oleh karenanya penerapan keadilan restoratif diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.

Keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka Hati Nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan. Hati Nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus.

Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan Hati Nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. Terdapat 3 (tiga) pendekatan bagaimana masing-masing tujuan hukum berada dalam bingkai Hati Nurani, yaitu:

Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini sebagaimana pandangan dari seorang Hakim Agung di Inggris, Lord Denning yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Hati Nurani yang melandasi tujuan keadilan hukum ini adalah sebuah postulat bahwa tidak akan tercapainya keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani karena pada hakikatnya keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral dan sumber dari hukum itu sendiri adalah moral.

Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut utility teori dan meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number). Hati Nurani yang melandasi tujuan kemanfaatan hukum ini adalah manakala rasa keadilan mayoritas masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, seperti pencurian dengan nominal rendah atau penganiayaan ringan yang nilai kerugiannya minim, untuk tidak dilakukan proses hukum hingga di pengadilan.

**Baca Juga: Kejari Tangsel Berikan ‘Restoratif Justice’ Ketiga Tersangka Gadaian Motor

Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini beranjak dari pandangan Hans Kelsen, seorang filsuf positivisme yang mengatakan jika “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Hati Nurani yang melandasi tujuan kepastian hukum ini adalah ketika individu telah secara pasti melanggar peraturan dan negara memiliki kewenangan untuk menghukumnya, namun negara melalui Jaksa menggunakan kewenangannya untuk tidak menghukumnya melalui diskresi penuntutan (prosecutorial discretion). Kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan ini bukan tanpa dasar hukum, melainkan berdasarkan pada kepastian hukum, yang secara legitimasi undang-undang telah memberikan kewenangan untuk itu.

Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global, namun hal yang kiranya perlu kita cermati bersama adalah menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum. Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum. Dalam proses penegakan hukum terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asas Dominus Litis. Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara. Oleh karena itu, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat. Aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena disanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.

Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara, kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan, ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.

Penerapan keadilan restoratif telah dilakukan institusi Kejaksaan Republik Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Semenjak dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan tentang keadilan restoratif sampai tanggal 3 Mei 2023, Kejaksaan RI telah menghentikan sedikitnya 2654 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Konsep keadilan restoratif mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana peruntukannya hanya untuk pelaku Anak; dan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif, yang mana peruntukannya untuk pelaku dewasa. Kedua peraturan tersebut menjadi rujukan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam penyelesaian perkara tindak pidana. Melalui Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini, akhirnya penerapan keadilan restoratif dapat menjangkau seluruh lapisan usia dan secara nyata telah menjadikan hukum untuk manusia. Kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum. Kejaksaan akan menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi Hati Nurani.

Pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu terobosan hukum yang bertujuan memberikan penerapan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan dengan memberikan ruang serta kesempatan terhadap pelaku untuk memulihkan hubungan dan memperbaiki kesalahan terhadap korban di luar pengadilan (non-judicial settlement) sehingga permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana dapat terselesaikan dengan baik demi tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak sekaligus memulihkan kondisi sosial di masyarakat.

Sebagai informasi, hingga 11 Juli 2023, sebanyak 3.121 perkara telah dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan sejak diterbitkannya Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.(*/Red)




Bos Koperasi Indosurya Digiring ke Rutan Bareskrim Mabes POLRI

Kabar6-Jaksa Penuntut Umum JAMPIDUM Kejaksaan Agung RI dan Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat tanggal 29 Maret 2023, melaksanakan proses penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Atas Nama Tersangka Henry Surya, bertempat di Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM), Kejaksaan Agung RI.

Hal ini disampaikan Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Pusat Bani Immanuel Ginting,S.H.,M.H dalam keterangannya, Jumat (12/5/2022).

Tersangka Henry Surya disangka telah melanggar Primair Pasal 263 Ayat (1) KUHP Subsidiair Pasal 263 Ayat (2) KUHP ATAU Primair Pasal 266 Ayat (1) KUHP Subsidiair Pasal 266 Ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat 1 ke- 1 KUHP  dengan kronologi singkat sebagai berikut:

Berawal pada sekitar Juli 2012 sampai dengan September 2012, terdakwa Henry Surya bersama-sama dengan saksi Agata Gusti Anggoro Kasih, saksi Titiek Irawati Sugioanto, S.H., M.Kn, saksi Wachyu Susilohadi, saksi Margaretha, saksi David di Kantor Indosurya Center, beralamat di Jalan M.H. Thamrin Nomor 3 Jakarta Pusat, sebelumnya pada awal tahun 2012 pemerintah berencana melakukan kebijakan mengenai Surat Utang Jangka Menengah tidak lagi dibenarkan dijual secara retail, dan hanya diijinkan yang nilai nominalnya atau nilai limitnya sebesar Rp.25.000.000.000,- baru dapat diperjualbelikan secara bebas dikalangan masyarakat.

**Baca Juga: Logika Hukumnya Sedang Sakit

Keadaan tersebut membuat terdakwa mengkhawatirkan para nasabah PT Indosurya Inti Finance keluar dan menarik dana secara bersamaan. Sehingga terdakwa selaku Direktur Utama PT. Indosurya Inti Finance menyuruh saksi Margaretha sebagai Staf Legal pada PT. Indosurya Inti Finance, saksi David, dan saksi Agata menyampaikan agar para nasabah Medium Term Note (MTN) yang selama ini telah menjadi anggota di PT. Indosurya Inti Finance tidak menarik diri sebagai nasabah dari PT. Indosurya Inti Finance.

Kemudian terdakwa mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti dengan tujuan menghimpun dana dalam bentuk kegiatan perbankan secara gelap, lalu terdakwa Henry Surya menyuruh saksi Margaretha, saksi David, dan saksi Agata Gusti Anggoro Kasih untuk merekayasa, memanipulasi dokumen pendirian koperasi tersebut agar tujuannya tercapai yaitu terbentuknya Koperasi tersebut. Dokumen yang direkayasa dan dimanipulasi adalah Berita acara rapat pendirian, Daftar Hadir Rapat, KTP karyawan terdakwa, Surat Penyataan Pendirian Anggaran Dasar Koperasi, Surat pernyataan dari pengurus koperasi tidak memiliki hubungan saudara, Surat Kuasa dari pengurus Koperasi kepada Notaris.

Terhadap Tersangka Henry Surya dilakukan penahanan selama 20 (dua puluh) hari dimulai tanggal 12 Mei 2023 sampai dengan 31 Mei 2023 di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes POLRI. Jaksa Penuntut Umum selanjutnya akan segera melimpahkan berkas perkara dan menunggu jadwal persidangan.(Red)




Jampidum Terima SPDP Perkara Indra Kenz

Kabar6.com

Kabar6-Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas kasus yang menjerat A dan Indra Kenz (IK).

SPDP dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri), pada 11 Juli 2022 dan diterima oleh Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum pada 15 Juli 2022, soal perkara Tindak Pidana Penggelapan dan atau Penggelapan Dalam Jabatan dan atau Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Tindak Pidana Yayasan dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang .

“Adapun Terlapor A dan Terlapor IK disangka melanggar Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 374 KUHP dan atau Pasal 45A Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Ketut Sumedana, dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/7/2022).

“Dan atau Pasal 70 Ayat (1) dan Ayat (2) jo. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan atau Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 KUHP jo. Pasal 56 KUHP,” sambungnya.

**Baca juga: Kejaksaan Masih Menjadi Lembaga Dipercaya oleh Publik

Lantaran diterimanya SPDP tersebut atas nama Terlapor A dan Terlapor IK, akan ditunjuk 6 orang Tim Jaksa P-16 dalam penanganan perkara.

“Dan akan mempelajari berkas perkara yang diterima serta memberikan petunjuk lengkap atau tidaknya berkas perkara,” tandasnya. (red)




Konsulat Jenderal Korea Selatan Apresiasi Kejagung RI

Kabar6.com

Kabar6-Kejaksaan Agung RI mendapatkan apresiasi dari Konsul Jenderal Korea Selatan Mr. Lee In-Gyu, atas penanganan perkara oleh Jampidum yang melibatkan perusahaan asal Korea Selatan yaitu Simwon Inc.

Diketahui, dalam perkara tersebut mengalami kerugian senilai Rp29 Miliar akibat kejahatan informasi dan transaksi elektronik yang dilakukan oleh terdakwa Citra Retlani, terdakwa Yana Hariyana, terdakwa Niken Tri Suciati dan terdakwa Sarah Arista.

Konsul Jenderal Korea Selatan, Mr. Lee In-Gyu, menyampaikan terima kasih atas penanganan kasus yang telah ditangani oleh Kejaksaan Agung dan berharap proses pengembalian kerugian yang sudah disepakati dapat berjalan baik.

“Atas keberhasilan Jampidum telah menyelesaikan perkara tersebut, maka akan diberikan penghargaan simbolis dan ucapan terima kasih untuk Kejaksaan yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Juli 2022 di Kejari Jakarta Selatan,” ujarnya, Selasa (12/7/2022).

**Baca juga: Kejagung Gandeng UMKM di Acara Gebyar Bazar Virtual

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana mengungkapkan, bahwa perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan pelaksanaan eksekusi penyelamatan terhadap kerugian tersebut.

“Jaksa dapat melakukan penyitaan sesuai KUHAP dan hasil sitaan disesuaikan dengan mata uang rupiah. Nilai uang yang disita sesuai dengan barang bukti yang ditemukan,” tandasnya. (red)




Pencuri-Penganiya Dibebaskan Jampidum Kejaksaan Agung

Kabar6.com

Kabar6-Tersangka pencurian dan penganiayaan kembali dibebaskan Kejaksaan Agung lewat restorative justice.

“Jaksa Agung RI melalui Jaksa Jampidun Dr. Fadil Zumhana menyetujui 3 Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” jelas Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspemkum) Kejaksaan Agung dalam keterangan tertulis, Minggu (26/06/2022).

Ketut menyebutkan, ada tiga berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif. Tersangka Jimmy Tamaka dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Tersangka Darbin Silalahi alias Erwind dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Lu Qinggao alias Lu dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

“Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf,” jelas Ketut.

Kemudian, kata Ketut, para tersangka belum pernah dihukum dan proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.

**Baca juga:Buron Korupsi Dana Hibah Bawaslu Musi Rawas Diamankan Tim Tabur Kejagung

“Jampidum menyampaikan bahwa prosesnya kalau melihat orang mencuri, ada karena faktor keadaan yang mendesak dan tidak bisa dihindari karena suatu kebutuhan atau mencuri karena profesi. Jampidum melihat kondisi keluarga Tersangka Jimmy Tanaka kurang baik pasca di PHK tempat dirinya bekerja dan harus membayar tunggakan kontrakan, bukan karena profesinya sebagai penjahat,”imbuh Ketut.

Selanjutnya, kata Ketut, Jampidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentabf Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Red)




Kejagung Serahkan Restitusi ke Korban Perkara TPPO

Kabar6-Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM), telah penyerahan restitusi kepada korban terkait dalam perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atas nama terdakwa Hj Muhibah alias Habibah binti Marjaya serta pemberian penghargaan dan apresiasi dalam mewujudkan hak atas restitusi kepada korban dan saksi.

Adapun penyerahan restitusi diberikan kepada korban Ani Nurani sebesar Rp34.669.000 dan kepada korban Nengyati Binti Saliri Kamad, sebesar Rp28.941.150

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Cikarang menuntut Terdakwa Hj Muhibah alias Habibah binti Marjaya terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Jo Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dan menuntut pidana penjara selama 7 tahun.

**Baca Juga: Truth Ungkap Pembangunan di Kota Tangerang Belum Bebas Praktik Korupsi, APH Didorong Aktif

“Dikurangkan sepenuhnya dengan lamanya perempuan berhadapan dengan hukum ditahan dan denda sebesar Rp120.000.000, serta meminta Majelis Hakim mengabulkan restitusi korban Ani Nurani sebesar Rp34.669.000 dan mengabulkan permohonan restitusi korban Nengyati Binti Saliri Kamad sebesar Rp28.941.150,” Kepala Pusat Penerangan Hukum, Ketut Sumedana, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/5/2022).

Meski demikian, melalui Putusan Pengadilan Negeri Cikarang Nomor 592/Pid.Sus/2021/PN Ckr tanggal 19 Januari 2022, Majelis Hakim memutuskan dengan putusan yang pada pokoknya sebagai berikut:
menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan TPPO sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Jo Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.

Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun;
Mengabulkan permohonan restitusi korban ANI NURANI sebesar Rp34.669.000 dan mengabulkan permohonan restitusi korban Nengyati Binti Saliri Kamad sebesar Rp28.941.150 dan denda sebesar Rp120.000.000.

“Atas penyerahan restitusi kepada korban Ani Nurani dan korban Nengyati Binti Saliri Kamad,” katanya.

Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan penghargaan dan apresiasi kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Cikarang yang telah mewujudkan hak atas restitusi kepada korban dan saksi.

Acara penyerahan restitusi dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana, Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Yunan Harjaka, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N. Mulyana, dan Wakil Ketua LPSK Dr. Iur Antonius PS Wibowo.

Acara dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pola penegakan hukum yang adil dan seimbang antara penghukuman terhadap pelaku dan pemulihan hak korban kejahatan.
Penyerahan restitusi kepada korban Ani Nurani dan korban Nengyati Binti Saliri Kamad dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan. (red)