1

Rasa Takut yang Berlebihan Punya Efek Buruk Bagi Kesehatan

Kabar6-Harus diakui, pandemi COVID-19 ini membuat banyak orang merasa sangat khawatir, bahkan ketakutan yang begitu kuat. Tidak heran apabila hal sederhana seperti belanja bahan makanan di toko, terasa seperti sesuatu yang berisiko mengancam jiwa.

Tidak sedikit orang yang mengira mereka mengalami gejala COVID-19, padahal sebenarnya tidak. Aya Anan yang saat ini bekerja di American International School, Jeddah, melansir Kompas, menjelaskan bagaimana efek pikiran pada tubuh dalam kondisi ketakutan.

“Menurut saya, cara terbaik untuk melihat hubungan antara kesehatan mental dan fisik adalah sebagai ekosistem. Daripada fokus pada satu elemen saja, kita harus merawatnya secara keseluruhan karena semua elemen yang berbeda saling mengikat satu sama lain. Perubahan kecil dapat menyebabkan efek yang dapat berdampak pada lingkungan secara keseluruhan,” urai Aya.

Dalam psikologi, dikatakan Aya, stres dapat didefinisikan sebagai perasaan ketegangan dan tekanan emosional. Ini memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, bertindak, dan berhubungan dengan orang lain, dan itu menghasilkan segudang efek negatif pada kesehatan.

“Kebanyakan orang merasakan peningkatan detak jantung, sementara beberapa lainnya merasakan sesak di perut. Penelitian telah menunjukkan, pencernaan terhambat pada saat-saat stres, yang dapat mempengaruhi kesehatan sistem pencernaan,” jelasnya.

Adrenalin yang dilepaskan selama respons stres dapat menyebabkan rasa sakit, kelelahan, dan nyeri otot. Stres juga dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan meningkatkan tekanan darah.

Ditambahkan Aya, menerima emosi kita dan menyadari bahwa ketakutan dan kecemasan adalah respons normal adalah langkah sehat dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan. Biarkan diri duduk sejenak dengan apa yang Anda rasakan, dan menilai reaksi mana yang menguntungkan dan mana yang dapat menghalangi langkah Anda.

Ketakutan dan kecemasan, menurut Aya, adalah mekanisme bertahan hidup yang tidak selalu negatif. Kedua rasa itu hanya menimbulkan masalah jika mereka mengendalikan hidup atau menghalangi kita untuk mencapai tujuan. ** Baca juga: Minum Susu Mudahkan Anda Masuk ke Siklus Tidur

Cara terbaik untuk melepaskan diri dari respons rasa takut adalah dengan memerangi rasa takut itu dengan fakta. Lalu, kita pun bisa berusaha membedakan antara hal-hal yang dapat kita kontrol atau ubah, dan yang tidak bisa kita kontrol.(ilj/bbs)




Wanita Lebih Rentan Cemas Ketimbang Pria

Kabar6-Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih banyak wanita yang mengalami masalah kesehatan mental ketimbang pria. Wanita umumnya memikul lebih banyak tanggung jawab mulai dari mencari nafkah untuk keluarga hingga pekerjaan domestik.

Kondisi ini, melansir Femina, membuat kesehatan mentalnya terganggu. Nah, dengan adanya pandemi COVID-19, tak hanya masalah kesehatan fisik yang timbul, namun juga pandemi kesehatan mental akan turut meluas. Diketahui, wanita kerap berbangga karena merasa mampu menjalani banyak pekerjaan sekaligus atau multitasking. Mulai berkarier hingga mengurus rumah tangga. Padahal, kondisi itu bukan hal yang patut dibanggakan.

Melakukan ragam pekerjaan dalam satu waktu tidaklah efektif. Anda tidak bisa mengerjakan sesuatu kemudian dalam beberapa waktu pindah fokus ke pekerjaan lain. Menurut sebuah riset, dibutuhkan waktu sekira 23 menit untuk kembali fokus ke pekerjaan awal jika pikiran kita sudah teralih.

Oleh sebab itu, sebisa mungkin tuntaskanlah satu pekerjaan, baru kemudian beralih ke pekerjaan lain. Manusia bisa memiliki 41 pikiran dalam satu menit. Jadi, kita harus berlatih memperlambat semuanya agar bisa mendapat ketenangan dan fokus satu per satu. Hasilnya, kita bisa selesaikan pekerjaan lebih baik dan cepat daripada kita berpikir melompat-lompat.

Untuk bisa fokus, Anda dapat menerapkan mindfulness atau kesadaran diri. Mindfulness bermakna hadir di saat ini dan fokus akan satu hal. Kesadaran diri berarti kita berusaha sadari pikiran dan emosi yang ada di otak kita. Perlahan kita menyadari apa saja yang sedang dipikirkan dan dirasakan secara emosi melalui pernapasan. Kita berlatih fokus.

Mindfulness tersebut dilatih melalui proses meditasi dan harus dilakukan secara teratur sesering mungkin untuk membiasakan tubuh dan pikiran kita. Meditasi paling baik dilakukan pagi hari sebelum beraktivitas. ** Baca juga: Ini 5 Mitos Sistem Imun Tubuh

Tidak kalah penting, Anda harus mengasihi diri sendiri demi pikiran yang bahagia. Sayangilah diri sendiri, apalagi sebagai wanita kita sering merasa harus berkorban untuk kebahagiaan orang lain, akibatnya sumur cinta dalam hati kita kering. Jadi isilah sumur cinta dalam hati.

Cintai diri sendiri, baru kita bisa cintai orang lain dengan lebih mendalam.(ilj/bbs)




Kelamaan di Rumah Dapat Terserang Cabin Fever, Apa Itu?

Kabar6-Sudah sekira satu bulan lebih masyarakat diimbau agar tetap di rumah saja untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Banyak perusahaan yang menjalankan work from home atau bekerja dari rumah, termasuk anak-anak sekolah.

Kondisi seperti ini, melansir Dreamers, ternyata dapat memicu cabin fever bagi masyarakat yang secara terus menerus berada dalam rumah. Meskipun bukan termasuk kondisi gangguan psikologis, cabin fever merujuk pada perasaan yang berkaitan dengan kondisi terisolasi dari dunia luar.

Dalam kondisi ini, seseorang yang mengalami cabin fever akan mudah merasa marah, bosan, putus asa, gelisah, hingga sulit untuk berkonsentrasi pada apa yang dilakukan.

“Cabin fever melibatkan serangkaian emosi negatif dan tekanan yang terkait dengan pembatasan,” ungkap psikolog Vaile Wright. ** Baca juga: Tidak Disarankan Sering Konsumsi Gorengan untuk Buka Puasa

Kepribadian dan temperamen, menurut Wrigh, dapat menjadi fakto utama seseorang dengan cepat merasakan perubahan emosi. Pada umumnya, hal ini terjadi di kalangan seseorang yang memiliki kepribadian ekstrovert.

Namun kabar baiknya, dijelaskan Paul Rosenblatt, seorang psikolog yang pernah mempelajari hal tersebut, adalah cabin fever tidak berlaku bagi orang-orang yang memandang segala sesuatu dengan pikiran yang positif.

Paul mengungkapkan, mereka yang melihat masa karantina sebagai kesempatan untuk membersihkan rumah, mengevaluasi keuangan, menata lemari, atau mencari hobi baru, akan terlindungi dari cabin fever.

Bagaimana dengan Anda?(ilj/bbs)




Bagaimana Agar Berat Badan Tetap Stabil Selama di Rumah Saja?

Kabar6-Satu hal yang menjadi godaan utama bagi banyak orang saat menghabiskan waktu di rumah saja adalah keinginan untuk mengemil. Hal ini karena Anda selalu berada di ruangan yang terbatas, sehingga ruang gerak tubuh pun ikut dibatasi.

Akibatnya, rasa bosan, tidak nyaman dan stres yang mempengaruhi diri menciptakan emotional eater atau makan emosional. Kondisi ini adalah reaksi alami pikiran untuk mencari comfort food saat merasa tidak nyaman.

Menurut seorang psikolog bernama Susan Albers Psy.D., melansir Femina, ada banyak faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan seseorang selama karantina seperti kondisi saat ini. Beberapa di antaranya adalah karena perasaan khawatir, kegelisahan, kebosanan, berada di luar rutinitas normal, stres, hingga akses yang mudah untuk mendapatkan makanan sepanjang hari.

Dengan kondisi seperti ini, kekhawatiran berat badan bertambah selama berdiam diri di rumah saja di tengah pandemi COVID-19 pun ikut meningkat. Lantas, bagaimana solusinya? Untuk bisa menghindari makan emosional, berikut tipsnya:

1. Kenali tingkat kelaparan
Seberapa lapar diri Anda dari skala 1 sampai 10. (Skala 10 = benar-benar kenyang, 1 = sangat lapar). Perhatikan tubuh apakah Anda lapar karena benar-benar lapar fisik atau hanya karena merasa bosan, jenuh, atau stres (lapar emosional).

2. Tanyakan pada diri sendiri
Tanya pada diri sendiri, apakah lapar yang Anda rasakan benar lapar fisik atau hanya karena emosi. Coba pikirkan hal yang bisa Anda lakukan untuk membantu mengatasi emosi tersebut (bosan, jenuh, lelah, dan lainnya), dan bukan sekadar keinginan untuk makan camilan.

3. Cermat pilih camilan
Pilihlah camilan yang ingin Anda makan dengan sadar. Jangan hanya makan apa yang gampang Anda dapatkan. Coba pelan-pelan pilih camilan yang memang enak dan bisa mengurangi rasa lapar.

4. Pilih dengan serius
Sebelum melahap camilan yang sudah dipilih, coba tanyakan kembali pada diri, apakah camilan tersebut akan menghilangkan rasa lapar atau sekadar keinginan saja? ** Baca juga: Di Rumah Saja Selama Pandemi COVID-19, Begini Cara Usir Rasa Malas Saat Puasa Ramadan

5. Tahu kapan harus berhenti
Makanlah dengan sadar dan perlahan. Saat melahapnya, tanyakan pada apakah rasa lapar fisik tersebut masih ada atau sudah hilang? Jika tak lagi merasakan lapar, maka berhentilah.

Selamat mencoba.(ilj/bbs)




Alasan Ilmiah Orang Lebih Mudah Marah Saat Cuaca Panas

Kabar6-Saat cuaca panas, seringkali Anda merasa lebih gampang tersulut emosi atau mudah marah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Adakah teori ilmiah yang dapat menjelaskan kondisi ini?

Sebuah tim di Polandia, melansir Womantalk, melakukan penelitian untuk menemukan hubungan antara kenaikan suhu dan tingkat stres. Ini telah menjadi sesuatu yang membingungkan para ahli selama bertahun-tahun. Hasilnya, kortisol yang merupakan hormon stres lebih rendah di musim dingin, dan saat musim panas membuatnya meningkat.

Ini dapat mempengaruhi kesehatan, karena kortisol penting untuk mengatur garam, gula, dan cairan di seluruh tubuh.

Seorang ahli patofisiologi Universitas Poznan, Polandis, bernama Dr. Dominika Kanikowska terkejut melihat lebih banyak kortisol beredar di tubuh selama cuaca hangat.

“Temuan-temuan non-intuitif ini bertentangan dengan konsep tradisional mengenai beban fisik musim dingin dan kemudahan musim panas yang santai,” jelas Dr. Kanikowska.

Penelitian itu juga mengungkapkan bagaimana aspek kriminalitas terlihat lebih meningkat saat cuaca lebih panas. Mungkin karena mudah emosi, banyak orang yang gampang marah dan berkelahi dengan orang lain.

Selain itu, banyak teori yang menghubungkan suhu hangat dengan lonjakan detak jantung, testosteron bersamaan dengan reaksi metabolisme, yang memicu sistem saraf. ** Baca juga: Sesuai Ritme Sirkadian, Ini Waktu Paling Tepat untuk Video Meeting

Bagaimana dengan Anda, apakah termasuk orang yang mudah marah saat cuaca panas? Solusinya, ketika emosi mulai naik, ada baiknya berhenti sejenak dan mengambil napas dalam-dalam.(ilj/bbs)




Macet Bisa Sebabkan Stres, Ini Penjelasannya

Kabar6-Umumnya di kota-kota besar, orang sering mengalami terjebak kemacetan pada jam-jam sibuk. Ya, kemacetan sepertinya sudah menjadi ‘langganan’ masayarakat daerah perkotaan.

Saat terjebak macet dalam waktu yang lama, tidak sedikit orang yang mengalami stres. Terlebih apabila udara dan cuaca sedang tidak bersahabat, ditambah dengan polusi yang buruk.

Menurut Environmental Protection Agency, melansir WebMd, rata-rata orang dewasa menghirup 3.400 galon udara setiap harinya. Saat Anda berada di jalan sekira dua jam sehari, maka setidaknya telah menghirup polusi ratusan galon yang dapat meningkatkan risiko asma, emfisema, dan gangguan paru-paru lainnya.

Sebuah penelitian Annual Review of Public Health mengungkapkan, faktor stres dari jalanan macet juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal dari masing-masing individu itu sendiri. Misalnya saja faktor stres, kelelahan, dan kewaspadaan.

Karena hal ini, peneliti menyarankan untuk meningkatkan aktivitas fisik dengan berolahraga, cukup tidur, sebagai upaya untuk mengurangi kelelahan serta dapat mengontrol emosi lebih baik. ** Baca juga: Apa Alasan Sebaiknya Tidak Cuci Telur Mentah Sebelum Diolah?

Cara ini dinilai mampu mendukung aspek fisik dan psikologis di kalangan masyarakat terutama bagi yang sering melakukan perjalanan dengan penuh kemacetan.(ilj/bbs)




Hindari Terlalu Sering Kerja Lembur

Kabar6-Seringkali karena pekerjaan yang menumpuk, dan tidak bisa diselesaikan secara tuntas dalam satu hari kerja, Anda terpaksa harus memperpanjang jam kerja alias lembur di kantor.

Apabila hal itu dilakukan sesekali, mungkin tidak menjadi masalah. Namun saat lembur menjadi semacam kebiasaan yang dilakukan nyaris tiap hari, melansir Pesona, sepertinya Anda harus mengetahui risiko apa saja yang akan dialami saat terlalu sering lembur:

1. Memicu penyakit
Lembur yang berujung bekerja lebih dari 55 jam dalam seminggu meningkatkan risiko penyakit jantung koroner hingga stroke. Selain itu, duduk terlalu lama membuat tubuh kurang bergerak, dan pada akhirnya bikin perut hingga paha menjadi ‘melar’.

2. Merusak kehidupan sosial
Terlalu lama berkutat di kantor bikin Anda tak tahu kondisi di luar sana. Memang hal ini bisa dicari tahu lewat internet atau media sosial, namun Anda bakal melewatkan pengalaman dan sensasinya jika tidak mencoba secara langsung. ** Baca juga: 5 Kebiasaan di Pagi Hari Agar Tubuh Tetap Sehat

3. Emosi meningkat
Meski rajin olahraga dan mengonsumsi makanan sehat, terlalu sering lembur tetap saja ‘mengundang’ penyakit fisik dan mental. Waspada kalau tanda-tanda stres mulai datang antara lain Anda semakin sering mengomel, hobi mengeluh, atau mudah menangis. Semua itu menunjukkan kondisi yang tidak sehat sama sekali.

Inilah saatnya Anda makin cerdas mengatur waktu dan mendelegasikan tugas kepada rekan kerja.(ilj/bbs)




Konsumsi Makanan Manis Bisa Bikin Bahagia?

Kabar6-Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik untuk kesehatan. Sama halnya, mengonsumsi gula berlebihan, terutama produk makanan olahan yang biasa dikonsumsi sehari-hari, berdampak negatif pada kesehatan.

Asupan gula berlebih secara langsung dikaitkan dengan penambahan berat badan, peningkatan keinginan, fluktuasi tingkat energi, sulit tidur, hingga penuaan dini.

Sebuah studi, melansir She, menunjukkan bahwa kebanyakan orang Amerika yaitu hampir 75 persen, mengonsumsi gula berlebihan dalam makanan sehari-hari mereka seperti soda, permen, es krim, maupun jenis makanan lainnya. Berbagai makanan tersebut bukan terbuat dari gula alami yang bersumber dari biji-bijian dan buah-buahan.

Mengonsumsi gula dapat membuat tubuh bekerja lebih berat. Tubuh akan melepaskan lebih banyak insulin untuk menyerap glukosa dan menyeimbangkan gula darah. Dari kadar gula rendah kemudian tiba-tiba tinggi dapat membuat tubuh cepat lelah dan mudah tersinggung. Naik turunnya emosi membuat seseorang rentan terhadap stres dan memperburuk kondisinya.

Seseorang yang mudah depresi baik ringan atau berat akan lebih sulit menjaga emosinya terkendali. Mengonsumsi gula berlebihan akan memperparah kondisi emosional mereka.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan beberapa waktu lalu, para ahli mengatakan bahwa gula memiliki kemampuan untuk menciptakan ketidakseimbangan bahan kimia tertentu di otak yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental.

Studi ini menemukan, pria yang asupan gulanya mencapai 67 gram atau lebih sehari, memiliki risiko 23 persen lebih tinggi didiagnosis depresi dalam waktu lima tahun. Hal serupa juga ditemukan pada wanita.

Seperti halnya gula dapat membuat anak anak mengalami sugar rush (peningkatan energi yang tinggi). Gula juga dapat membuat orang dewasa cenderung mengalami kecemasan dan gelisah yang luar biasa dan sama kuatnya dan meningkatkan gejala kecemasan mereka.

Meskipun tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya hubungan ini, para ahli berpikir bahwa gula dapat menghambat kemampuan bawaan tubuh untuk mengatasi stres secara efektif. Pada gilirannya, hal ini dapat meningkatkan kecemasan.

Studi yang dilakukan oleh para peneliti di UCLA menunjukkan, konsumsi makanan dan minuman manis secara konstan pada akhirnya dapat memperlambat fungsi kognitif dengan mempengaruhi fungsi memori dan pembelajaran. Hal itu juga bisa meningkatkan risiko Alzheimer.

Beberapa penelitian menunjukkan, ketika orang yang menderita gangguan kecemasan dan panik berhenti mengonsumsi gula, mereka mengalami gejala serupa dengan apa yang dialami orang saat berhenti merokok, minum alkohol, atau memakai narkoba.

Gejala umum yang terkait dengan berhenti mengonsumsi gula adalah kelelahan, kebingungan, dan kecemasan. Orang dengan gangguan emosi dan mental harus mengurangi asupan gula mereka secara bertahap untuk mengurangi risikonya.

Mereka yang hobi mengudap makanan manis mungkin akan sangat sulit melepaskan konsumsi gula. Namun kondisi tersebut bisa diatasi dengan makanan yang lebih sehat dan mengandung gula alami. ** Baca juga: Saat Jalani Detoks Gula, Ada 4 Jenis Makanan yang Wajib Dikonsumsi

Dengan demikian, tak perlu merasa merasa bersalah dan stres saat mengonsumsi gula.(ilj/bbs)




Apa Alasan Terapi Musik Bisa Bantu Atasi Berbagai Masalah Kesehatan?

Kabar6-Banyak orang yang memilih musik sebagai ‘wadah’ untuk menuangkan stres dan penat. Hal ini karena musik dapat menstimulasi otak untuk lebih rileks. Apakah musik juga bisa menjadi terapi untuk membantu mengurangi masalah kesehatan?

Ada enam fakta, melansir Allwomenstalk, yang menjadi alasan mengapa terapi musik bisa membantu mengatasi berbagai masalah kesehatan. Apa sajakah itu?

1. Musik berhubungan dengan mood
Musik dapat membantu mengubah mood atau bahkan membuat mood Anda menjadi lebih baik. Musik yang didengarkan pun sebenarnya tergantung pada mood Anda.

2. Membuat lebih rileks
Berbagai penelitian menemukan, musik yang berasal dari kebudayaan tempat asal seseorang merupakan terapi paling efektif untuk menyembuhkan dan menenangkan. Mendengarkan musik dapat membuat Anda merasa lebih tenang dan rileks.

3. Menstimulasi saraf
Setiap jenis musik berbicara pada seseorang dengan cara yang berbeda-beda. Banyak penelitian menemukan, musik klasik dapat membuat seseorang merasa lebih nyaman dan rileks.

Sementara itu, musik rock and roll atau heavy metal mungkin dapat membuat pikiran Anda terasa kacau. Hal inilah yang membuat musik dapat mengubah mood seseorang dari marah menjadi bahagia.

4. Bantu atasi berbagai gangguan kesehatan
Terapi musik ternyata juga dapat membantu penderita autisme, demensia, dan bahkan membantu perkembangan bayi. Selain itu, musik juga dapat membantu Anda mengatasi insomnia atau depresi.

5. Pengaruhi gelombang otak
Para peneliti telah menemukan bahwa setiap nada di dalam suatu lagu juga dapat menstimulasi gelombang otak manusia. Semakin cepat irama lagu yang didengar, maka Anda pun akan semakin bersemangat dan siaga. Semakin lambat irama lagu yang didengar, maka Anda pun akan merasa lebih rileks dan tenang.

6. Bantu temukan emosi tersembunyi
Para ahli terapis sekarang ini banyak menggunakan musik untuk menemukan berbagai emosi atau perasaan yang tersembunyi, yang bahkan tidak disadari oleh pasien.

Hal ini terutama sangat berguna untuk menemukan penyebab terjadinya depresi, gangguan cemas, atau penyebab trauma. ** Baca juga: Demi Kesehatan Jangan Lakukan Hal Ini Saat Berada dalam Pesawat

Jenis musik apa yang menjadi favorit Anda?(ilj/bbs)




Siapa Sangka, Berkaraoke Punya Sejumlah Manfaat Kesehatan

Kabar6-Saat ini banyak orang memilih berkaraoke bareng teman-teman untuk melepas penat, tak peduli dengan suara mereka yang pas-pasan. Bahkan, sejumlah orang rela merogoh kocek lebih untuk bisa bernyanyi di tempat karaoke yang eksklusif demi ‘membeli’ suasana.

Ternyata tak sekadar bersenang-senang, melansir Kompas, berkaraoke memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan, lho. Apa sajakah itu?

1. Melepas stres
Katie Ziskind, terapis psikologi dari Connecticut, mengatakan bahwa bernyanyi bisa membuat tubuh melepaskan banyak hormon oksitosin yang mendorong rasa bahagia dan dapat memunculkan efek rileksasi.

“Hormon yang didapat dari manfaat bernyanyi ini dapat mengurangi gejala kecemasan berlebih,” jelas Ziskind.

2. Mengeluarkan emosi
Ketika emosi tidak dikeluarkan, energi negatif hasil dari emosi tidak pergi dari tubuh dan akan tertahan dalam tubuh. Energi negatif yang seharusnya dikeluarkan menjadi tersimpan dalam tubuh dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh, termasuk otak.

Bernyanyi di karaoke akan membantu kita mengekspresikan emosi dan perasaan. Biasanya, orang yang bernyanyi di tempat karaoke memilih lagu yang sesuai dengan perasaan mereka. Dengan menyanyikan lagu tersebut, mereka cenderung akan merasa lebih lega.

3. Anti depresan alami
Bernyanyi dapat melepaskan endorfin, yakni zat kimia otak yang membuat kita merasa terangkat dan bahagia. Selain itu, organ kecil di telinga yang disebut sacculus dapat memberi repsons positif saat kita bernyanyi.

Responsnya menciptakan rasa senang secara langsung, terlepas seperti apa musik yang kita nyanyikan. Bukan hanya itu, menyanyi juga bisa membuat kita melupakan masalah yang terjadi dan meningkatkan suasana hati.

4. Jaga sistem pernapasan
Riset dari Sahlgrenska Academy di Universitas Gothenburg, Swedia membuktikan bahwa menyanyi memiliki manfaat yang setara dengan meditasi yoga. Peneliti meyakini bahwa bernyanyi dan yoga berfungsi untuk menjaga sistem pernapasan.

Pasalnya, tubuh manusia akan mengaktifkan saraf vagus dari batang otak ke jantung saat kita bernyanyi dan mengembuskan napas. Saraf vagus yang aktif akan membuat jantung berdetak lebih lambat dan diyakini baik untuk menigkatkan kesehatan emosional. ** Baca juga: Kenali Apa Itu Brain Freeze

Menarik, bukan?(ilj/bbs)