oleh

Swedia ‘Biarkan’ Warganya Tertular COVID-19

image_pdfimage_print

Kabar6-Swedia memiliki kepadatan penduduk rendah dengan 21 penduduk per kilometer persegi, sebagian besar penduduk tinggal di setengah belahan selatan negara. Wilayah negara ini berbatasan dengan Norwegia di barat dan Finlandia di timur laut.

Nah, dalam menghadapi COVID-19, Swedia tampaknya memilih jalan berbeda dari negara lain, yaitu menerapkan kebijakan herd immunity. Diketahui, herd immunity mengacu pada situasi di mana cukup banyak orang dalam suatu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi, sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit tersebut.

Kekebalan tersebut bisa berasal dari vaksinasi atau dari orang yang menderita penyakit tersebut. Seberapa banyak orang yang dibutuhkan untuk menciptakan kondisi tersebut tergantung pada seberapa menularnya patogen tersebut.

Jadi dengan kata lain, melansir keepo.me, semakin banyak rakyat Swedia yang terpapar COVID-19, hal itu akan semakin baik karena kekebalan kelompok akan terbentuk secara alami. Hal tersebut karena memang hingga saat ini belum ada vaksin untuk infeksi COVID-19.

Dalam sebuah video yang diunggah CNN Indonesia, terlihat aktivitas masyarakat Swedia masih seperti biasa. Tidak ada lockdown, pemerintah menganjurkan saling menjaga jarak dan membatasi perkumpulan tidak boleh lebih dari 50 orang. Sekolah Dasar masih buka, sedangkan pelajar SMA dan mahasiswa belajar dari rumah.

Beberapa penduduk tampak mengunjungi kafe, bar, restoran dan pusat perbelanjaan. Salon-salon juga masih buka di tengah pandemi yang hebat ini. Pemandangan tersebut berbanding terbalik dengan negara-negara lain. Bahkan ada negara menetapkan denda atau hukuman untuk warganya yang berani keluar rumah atau keluyuran.

“Cepat atau lambat saya akan terinfeksi corona,” kata salah seorang warga di Sewdia yang tengah menemui penata rambut. Namun iaa mengaku pasrah jika harus terpapar COVID-19.

Seorang epidemologis bernama Anders Tagnell adalah penanggung jawab atas kebijakan ini. Ia mengklaim, dengan kebijakan tersebut sanggup menurunkan kurva sehingga jumlah pasien COVID-19 tidak berlebihan atau sesuai dengan kapasitas rumah sakit. Dengan begitu, para tenaga medis juga bisa bekerja sewajarnya.

Diakui Tagnell, sekira 26 persen penduduk Stockholm telah terinfeksi, dan ia menganggap itu adalah hal bagus, sebab secara teori semakin banyak orang yang memiliki imunitas terhadap COVID-19. Itulah bagaimana kekebalan kelompok secara alami akan terbentuk, namun mereka juga harus membayar mahal dengan angka kematian yang tidak sedikit.

Kendati demikian, Tagnell menyatakan bahwa herd immunity bukanlah tujuan akhir, namun untuk memperlambat penyebaran sebanyak mungkin, sehingga rumah sakit dapat beroperasi sewajarnya.

Disebutkan, lebih dari 2.400 penduduk Swedia meninggal dunia, jauh lebih banyak dibandingkan para tetangganya, misalnya Denmark 443 jiwa, Finlandia 206 jiwa dan Norwegia 207 jiwa.

Swedia dianggap gagal dalam melindungi para manula, sebab setengah dari penduduknya yang tertular dan meninggal dunia merupakan orang-orang dari panti jompo.

Beberapa orang memang menghargai kebijakan pemerintah tersebut, namun tak sedikit yang marah, apalagi bagi mereka yang harus kehilangan orang-orang tersayang akibat pandemi COVID-19.

Salah satunya adalah Mira Guria, ia mengaku sangat sedih ketika mengingat ayahnya yang kini telah meninggal akibat virus. “Saya minta maaf, sakit rasanya saya menyebut nama ayah saya,” kata Guria. ** Baca juga: Demi Bertahan Hidup, Salon di Kenya Tawarkan Gaya Rambut Virus Corona

Guria berpendapat, ayahnya yang bernama Gosef beserta korban Covid-19 yang meninggal dunia lainnya mungkin masih hidup jika saja pemerintah memberikan penanganan yang tepat dalam menghadapi kasus pandemi tersebut.(ilj/bbs)

Print Friendly, PDF & Email