oleh

Kisi-kisi Cara Mengantisipasi Radikalisme Digital

image_pdfimage_print

Kabar6-Perkembangan dunia digital yang kini semakin merajalela semakin memberi kemudahan bagi manusia untuk saling menukar data dan informasi, bahkan hanya dengan sekali ketukan jari.

Namun tanpa disadari, kemudahan itu di sisi lain justru rentan untuk mendatangkan suatu hal yang negatif, seperti halnya radikalisme.

Dalam webinar bertajuk “Ngobrol Bareng Legislator : Antisipasi Radikalisme Digital”, Anggota Komisi 1 DPR RI, H Syaifullah Tamliha memiliki pandangan yaitu masifnya penggunaan digital memungkinkan media sosial menjadi salah satu pembentuk peradaban dan cara berkebudayaan.

Menurutnya, media sosial secara fundamental merubah cara kita berpikir, pola interaksi dan relasi sosial melalui cara-cara berkebudayaan baru, seperti mediasi komunikasi, texting culture, emoticon, teleconference, digital learning, Islamic lectures, sampai dengan relasi sosial virtual yang berdampak negative seperti cyber-sex, cyber-crime dan lain sebagainya.

Dalam konteks kebangsaan, menurutnya perkembangan teknologi digital tidak hanya digunakan dalam aspek-aspek kehidupan yang memunculkan dampak positif. Tetapi juga berdampak negatif sehingga berekses terhadap ikatan kebangsaan di antara warga (civil society).

“Salah satu isu kebangsaan yang aktual dan mendapat sorotan dari berbagai pihak adalah berkenaan dengan aksi dan narasi terorisme dan radikalisme,” ungkapnya, Sabtu (2/4/2022).

Dirinya yang merupakan legislator dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan tersebut menjelaskan, dewasa ini seiring dengan berkembangnya dunia digital, makna radikalisme mengalami perluasan.

Kini, radikalisme dapat diartikan sebagai pandangan yang menginginkan perubahan yang mendasar sesuai dengan interprestasinya terhadap realitas sosial atau dalam ideologi yang dianutnya.

Radikalisme ini, kata Syaifullah, juga diartikan sebagai suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

“Dalam trend kontemporer, fenomena radikalisme kerap berbentuk sebagai radikalisme agama. Radikalisme sendiri di Indonesia dalam beberapa perkembangan aktual,” terangnya.

“Dimana anak muda turut berpartisipasi dalam melakukan pembaiatan kepada ISIS, seperti dari dari Malang bahkan Jakarta. Dan dalam kasus lainnya, terdapat di sekolah dasar-menengah, yang ditemukan dalam beberapa buku yang mengajarkan paham radikalisme,” tambahnya.

Menurutnya, penyebaran radikalisme di dunia digital tersebut, tentu menjadi suatu ancaman yang harus diantisipasi. Cara utama untuk mengantisipasinya, adalah adanya kesadaran masyarakat dan penanaman literasi khususnya dalam hal penggunaan digital.

Menurutnya, media literasi menjadi solusi untuk meningkatkan pertahanan diri masyarakat terhadap terpaan propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet.

“Selain itu, dalam hal penanggulangan radikalisme dan terorisme adalah kesadaran masyarakat bahwa pencegahan radikalisme dan terorisme bersifat semesta. Artinya bahwa seluruh elemen masyarakat bertanggung jawab dalam menanggulangi kejahatan terorisme,” terangnya.

Oleh karena itu, Dirjen Aptika Kemenkominfo, Samuel A Pangerapan menyatakan bahwa dalam hal ini pemerintah hadir untuk memberikan pemahaman dan edukasi bagi masyarakat agar bijak menggunakan media sosial.

Lanjutnya, Kementrian Kominfo mengemban mandat dari presiden Joko Widodo sebagai garda terdepan dalam memimpin upaya percepatan transformasi digital Indonesia.

Dalam mencapai visi dan misi tersebut, Kementrian Kominfo memiliki peran sebagai legulator, fasilitator, dan ekselerator dibidang digital Indonesia.

“Dalam rangka menjalankan salah satu mandat tersebut terkait pengembangan SDM digital kementrian kominfo bersama gerakan nasional, literasi digital, cyber kreasi, serta mitra dan jejaringnya hadir untuk memberikan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan digital pada seluruh lapisan masyarakat Indoensia,” tegasnya.

**Baca juga: Ngobrol Bareng Legislator ‘Sosial Media Indah dan Penuh Toleransi’

Berbagai pelatihan literasi digital pun diberikan, dengan berbasis empat pilar utama, yaitu kecakapan digital, budaya digital, etika digital dan pemahaman digital. Hingga tahun 2021, program literasi digital ini telah berhasil menjangkau lebih dari 12 juta masyarakat Indonesia.

“Peningkatan literasi digital adalah pekerjaan terbesar oleh karena itu kami juga tidak bekerja sendiri, diperlukan kolaborasi yang baik agar tidak ada masyarakat yang tertinggal dalam proses percepatan transportasi digital. Untuk itu apresiasi saya ucapakan untuk semua pihak yang telah bekerja sama dalam menyelenggarakan kegiatan ini,” tutupnya.(eka)

Print Friendly, PDF & Email