Kabar6-Mengenang tsunami Selat Sunda dua tahun lalu, 22 Desember 2018, maka sehari sebelumnya atau 21 Desember 2018, sekitar pukul 13.51 WIB, Gunung Anak Krakatau meletus seolah sebagai peringatan. Ketinggian kolom abu berwarna hitam mencapai 400 meter di atas puncak, statusnya kala itu level II.
Masih di hari yang sama, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menerbitkan peringatan dini akan gelombang tinggi mencapai 2,5 meter yang berlaku sejak tanggal 22-25 Desember 2020. Tepat 22 Desember 2018, sekitar pukul 20.56 WIB, Gunung Anak Krakatau erupsi dan menyebabkan longsor.
Sebagian besar kawasan gunung menjadi berapi seluas 64 hektare. Sekitar pukul 21.30 WIB, petugas BMKG mendapat laporan kepanikkan masyarakat di wilayah Banten dan Lampung, karena air laut pasang yang tidak normal.
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Klas I Tangerang Suwandi mengatakan, saat itu juga petugas melakukan pengecekkan perangkat monitoring pasang surut air laut (tide gauge) yang dioperasionalkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
Kemudian pukul 21.03 WIB di tanggal yang sama, sensor seismograph BMKG di Cigeulis, Kabupaten Pandeglang (CGJI) dan beberapa sensor di wilayah Banten serta Lampung mencatat adanya getaran.
Namun sinyal yang tercatat tersebut bukan merupakan getaran gempabumi tektonik, sehingga sistem pendeteksi gempa BMKG tidak memproses secara otomatis. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) dibangun untuk mendeteksi gempa-gempa tektonik.
Kala itu data yang terkumpul, ketinggian air di Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, mencapai 90 cm pukul 21.27 wib. Ketinggian air di Pelabuhan Ciwandan, Kota Cilegon mencapai 35 cm pukul 21.33 wib. Di Kecamata Kota Agung, Lampung, ketinggiannya 36 cm pukul 21.35 wib dan di Kecamatan Panjang, Lampung, ketinggiannya 28cm.
Berdasarkan data yang terkumpul, pada 23 Desember 2020, BMKG akhirnya menyatakan tsunami telah menerjang Banten dan Lampung, yang disebabkan bukan karena gempa tektonik.
Kemudian survei paska tsunami dilakukan, tepatnya empat hari setelah kejadian memilkun itu. Hasilnya, tsunami di sepanjang pantai Sumatera dan Jawa, ketinggian gelombang datang atau run-up mencapai 13,5 meter dan menerjang daratan sejauh 330 m.
BMKG melakukan press conference dan menyatakan bahwa benar telah terjadi tsunami bukan disebabkan oleh gempabumi tektonik. Menurut laporan dan data citra satelit, tsunami hampir pasti disebabkan runtuhnya sisi gunung berapi Anak Krakatau di Selat Sunda.
“Citra satelit dari otoritas informasi geospasial Jepang membandingkan Anak Krakatau sebelum sunami, menunjukkan bahwa lereng Barat Daya jelas runtuh,” terangnya.
Peringatan dini dan mitigasi bencana menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menekan angka kerusakan, jumlah korban luka dan korban jiwa. Pemerintah daerah, pelaku usaha wisata dan masyarakat yang berada di pesisir, harus bersama-sama melakukan mitigasi bencana.
Seperti menyediakan lokasi evakuasi sementara, evakuasi tetap hingga rambu-rambu evakuasi harus disiapkan. Berdasarkan survei lapangan pada tsunami Selat Sunda tahun 2018 lalu, pada beberapa lokasi, terjangan airnya mencapai sejauh 330 meter masuk ke daratan.
Karenanya, seluruh lapisan masyarakat diminta mendirikan bangunan sejarak 500 meter dari bibir pantai, demi keamanan dan keselamatan bersama. Kemudian hutan pantai di bagian selatan Banten, berkontribusi terhadap penurunan ketinggian tsunami hingga 88 persen saat terjadi tsunami Selat Sunda 2018.
**Baca juga: Pemkab Serang Imbau Warganya Tidak Berkerumun saat Libur Nataru
Pemerintah daerah juga dapat bekerjasama dengan berbagai instansi hingga perguruan tinggi yang memahami kondisi cuaca dsn kebencanaan, untuk melakukan mitigasi bencana di wilayahnya. Sehingga mampu menekan korban jiwa maupaun kerusakan.
Komitmen bersama semua kalangan, mulai dari pemerintah, dunia usaha di Banten, serta pemerintah pusat juga masyarakat, sangatlah penting untuk mewujudkan kesiapsiagaan menghadapi bencana akibat gempabumi dan tsunami. “Bencana terjadi tidak menunggu saat kita siap, maka persiapkan diri kita sekarang,” jelasnya. (dhi)