1

Jejak Kasus Gagal Ginjal Akut Merenggut 114 Jiwa Balita

Kabar6-Agustus 2022 lalu menjadi titik awal kasus kematian anak di bawah usia lima tahun diduga akibat gagal ginjal akut di Indonesia. Saat itu awal temuan sebanyak 36 kasus.

“Kemudian 5 Oktober WHO (badan kesehatan dunia) mengeluarkan warning,” kata Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (24/10/2022).

Dijelaskan, telah terjadi kasus serupa di Gambia. Penyebabnya adalah kandungan senyawa kimia dalam pelarut obat-obatan.

Kementerian kesehatan lantas melakukan analisa toksikologi karena lebih mengarah ke zat kimia. “Dikonfirm tes ke-10 anak, tujuh di antaranya urinenya mengandung zat kimia,” jelas Budi.

**Berita Terkait : Banten Masuk Radar Banyak Temuan Kasus Gagal Ginjal Akut

Ia pastikan 70 persen anak-anak yang terkena gagal ginjal akut akibat obat sirup yang diminum mengandung kadar Etilen Glikol dan Dietilen Glikol melebihi ambang batas.

Penelusuran kedua, lanjut Budi, tes biopsi kepada anak yang meninggal dunia. Apakah ada ciri-ciri kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh senyawa kimia tersebut.

“Kita cek 100 persen. Karena terjadi kerusakan ginjal sesuai dengan ciri-ciri yang disebabkan oleh obat kimia ini,” terang Budi.

Ia menyebutkan temuan gagal ginjal akut sebanyak 245 kasus yang tersebar di 26 provinsi. Adapun total kematian sebanyak 114 kasus.(yud)

 




Oops…Sejumlah Dokter Wuhan Blakblakan Diperintahkan Tiongkok Berbohong Soal COVID-19

Kabar6-Melalui rekaman yang dilakukan secara diam-diam, para dokter di Wuhan, Tiongkok, mengakui tahu seberapa serius Virus corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 pada awal wabah, tetapi mereka diperintahkan pihak berwenang Tiongkok untuk berbohong.

Kesaksian yang memberatkan itu, melansir Sindonews, dimuat dalam sebuah dokumenter baru oleh broadcaster Inggris, ITV, berjudul ‘Outbreak: The Virus That Shook The World (Wabah: Virus yang Mengguncang Dunia)’. Diketahui, Tiongkok memberitahu WHO tentang 27 kasus pertama COVID-19 pada 31 Desember 2019, tetapi tidak melaporkan kematian apa pun hingga pertengahan Januari, dan bahkan kemudian bersikeras tidak ada bukti dari penularan manusia ke manusia.

Tetapi para profesional medis senior di Wuhan, yang difilmkan oleh seorang jurnalis warga, mengatakan mereka tahu tentang kematian sejak Desember dan jelas bahwa virus itu menyebar di antara orang-orang.

“Kami semua merasa seharusnya tidak ada keraguan tentang penularan dari manusia ke manusia,” kata seorang dokter dalam rekaman tersebut, yang disiarkan ITV pada Selasa (19/1/2021) malam waktu Inggris.

“Sebenarnya akhir Desember atau awal Januari, kerabat seseorang yang saya kenal meninggal karena virus ini. Banyak dari mereka yang tinggal bersamanya juga terinfeksi termasuk orang yang saya kenal,” lanjut dokter yang identitasnya dilindungi dan wajahnya disamarkan.

Kemudian dokter lain mengatakan, “Kami tahu virus itu menular dari manusia ke manusia, tetapi ketika kami menghadiri pertemuan di rumah sakit, kami diberitahu untuk tidak angkat bicara. Pemimpin pemerintah provinsi mengatakan kepada rumah sakit untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.”

Para dokter mengklaim, pihak berwenang tahu perayaan Tahun Baru Imlek Januari akan mempercepat penyebaran virus tetapi membiarkan mereka tetap melanjutkannya untuk ‘menghadirkan masyarakat yang harmonis dan sejahtera.

“Mereka seharusnya tidak mengizinkan pertemuan apa pun,” ujar salah satu dokter. “Pemerintah provinsi dan lokal tahu ancaman itu tetapi mereka terus mengizinkan orang banyak.”

WHO men-tweet pada 14 Januari tentang virus tersebut, ‘Investigasi awal yang dilakukan oleh otoritas Tiongkok tidak menemukan bukti jelas penularan dari manusia ke manusia’.

Pada saat WHO mengeluarkan laporan situasi pertamanya pada 21 Januari, setidaknya 278 orang di Tiongkok terinfeksi, dan virus tersebut telah menyebar ke tiga negara lain. Pakar Taiwan yang diwawancarai oleh program televisi itu mendukung kesaksian para dokter Wuhan.

Teori yang diyakini selama ini adalah bahwa virus berasal dari kelelawar dan melompat ke manusia di ‘pasar basah’ kontroversial yang menjual dan menyembelih hewan eksotik dalam kondisi yang menjijikkan.

Sementara itu Tiongkok telah mulai mendorong teori bahwa virus itu berasal dari luar negeri, dan mungkin telah tiba di Wuhan melalui produk makanan beku impor dari Eropa, Amerika Selatan, atau bahkan Australia.(ilj/bbs)




Penyelidik WHO: Pasien Nol COVID-19 Mungkin Pekerja Lab Wuhan yang Berspesialisasi dalam Penelitian Seputar SARS-COV-2

Kabar6-Penyelidik utama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Peter Embarek, mengungkapkan bahwa pasien nol COVID-19 mungkin adalah pekerja laboratorium Wuhan, Tiongkok, yang berspesialisasi dalam penelitian seputar SARS-COV-2 sebelum menyebar ke seluruh dunia.

Embarek, melansir Independent, menceritakan panjang lebar misi yang dipimpinnya di Wuhan dan sangat kritis terhadap Tiongkok, dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘Misteri virus, seorang Denmark mencari kebenaran di Tiongkok’, yang disiarkan di saluran televisi setempat. “Seorang karyawan (laboratorium) yang terinfeksi di lapangan mengambil sampel termasuk dalam salah satu hipotesis yang mungkin. Di sinilah virus berpindah langsung dari kelelawar ke manusia,” terang Embarek.

Selama ini, dikatakan Embarek, timnya kesulitan mendiskusikan teori adanya kebocoran di lab Wuhan dengan para ilmuwan Tiongkok. “Hingga 48 jam sebelum misi berakhir, kami masih belum setuju untuk menyebutkan hipotesis laboratorium dalam laporan tersebut,” jelas Embarek.

Ditambahkan, “Setelah pertukaran ini, delegasi WHO memperoleh izin untuk mengunjungi dua laboratorium tempat penelitian dilakukan pada kelelawar.” ** Baca juga: Pria Kamboja Habisi Ibu Kandungnya Karena Dianggap Penyihir

Embarek menuturkan, selama kunjungan tersebut, timnya memiliki hak untuk presentasi, dapat berbicara dan mengajukan pertanyaan yang ingin mereka tanyakan. Tetapi timnya tidak memiliki kesempatan untuk berkonsultasi tentang dokumentasi apa pun.

Ilmuwan itu menunjukkan bahwa tidak ada kelelawar yang hidup di alam liar di wilayah Wuhan, dan bahwa satu-satunya orang yang mungkin mendekati kelelawar yang dicurigai sebagai tempat menyimpan virus yang menyebabkan Sars-Cov-2 adalah karyawan laboratorium kota.(ilj/bbs)




Eating Mask, Masker Hidung yang Diklaim Peneliti Meksiko Mampu Berikan Perlindungan dari Virus COVID-19

Kabar6-Seorang peneliti di Meksiko menemukan masker yang hanya menutupi area hidung, dan diklaim dapat melindungi diri dari COVID-19. Masker ini juga memungkinkan orang yang menggunakannya tetap dapat makan atau minum selama memakai masker.

Dalam sebuah video demonstrasi yang diunggah, melansir Dailymail, terlihat seorang pria dan wanita yang sedang duduk untuk makan siang. Pasangan tersebut tampak melepas masker, dan menggunakan masker khusus dilapisan bawahnya. Dalam label tertera, masker itu diberi nama ‘Eating Mask’ atau masker makan.

Sayangnya, penemuan ini justru menjadi olok-olokan banyak warga, dan dinilai sebagai candaan belaka, karena memang tak sesuai apa yang sudah ditetapkan WHO.

Diketahui, COVID-19 menyebar melalui udara, tetesan (droplet) dan partikel kecil yang dihembuskan dari hidung atau mulut orang yang terinfeksi saat bernapas, berbicara, atau batuk.

Karena itulah, WHO merekomendasikan penggunaan masker yang menutupi hidung, mulut, dan dagu sebagai perlingungan terbaik terhadap virus. ** Baca juga: Polisi di Filipina Masukkan Warga yang Langgar Aturan Lockdown ke Kandang Anjing

Tertarik membeli eating mask?(ilj/bbs)




Sekira 10 Persen Penduduk Dunia Disebutkan WHO Miliki Kekebalan Terhadap COVID-19

Kabar6-Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kurang dari 10 persen populasi global memiliki antibodi terhadap virus Corona. WHO menyebut, ini masih jauh untuk bisa mendapatkan kekebalan kawanan.

Kepala ilmuwan WHO bernama Soumya Swaminathan, melansir Sindonews, menuturkan bahwa di beberapa negara sudah lebih dari separuh penduduknya memiliki antibodi terhadap COVID-19. Tapi secara global, jumlah yang memiliki kekebalan masih terbilang sedikit.

“Kurang dari 10 persen populasi dunia sebenarnya memiliki antibodi terhadap virus ini. Tentu saja di beberapa tempat, seperti khususnya di pemukiman perkotaan dengan kepadatan sangat tinggi, ada kantong di mana 50-60 persen populasinya telah terpapar virus dan memiliki antibodi,” terang Swaminathan.

Ditambahkan, “Satu-satunya cara untuk mencapai kekebalan kawanan massal adalah melalui vaksinasi.” ** Baca juga: Gara-gara Pindah ke Partai Pesaing, Suami Ancam Ceraikan Sang Istri

Menurut Swaminathan, vaksin yang saat ini disetujui menawarkan perlindungan yang baik terhadap penyakit parah, rawat inap dan kematian akibat COVID-19. Efektivitas vaksin, dikatakan Swaminathan, terkait penyakit ringan dan infeksi virus Corona asimtomatik masih dipelajari.

Lebih dari 114 juta kasus virus Corona telah dikonfirmasi secara global sejak dimulainya pandemi musim semi lalu. Menurut data Universitas Johns Hopkins, jumlah kematian COVID-19 global mencapai lebih dari 2,5 juta jiwa.(ilj/bbs)




WHO Sebut, pada 2050 Mendatang Sebanyak 2,5 Miliar Warga Dunia Alami Gangguan Pendengaran

Kabar6-Pada 2050 mendatang, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa hampir 2,5 miliar orang di seluruh dunia atau satu dari empat orang, akan hidup dengan gangguan pendengaran pada tingkat tertentu.

Setidaknya, melansir Okezone, ada 700 juta dari kelompok tersebut akan membutuhan akses ke perawatan telinga, pendengaran, dan layanan rehabilitasi lainnya kecuali ada tindakan yang diambil.

“Kemampuan kita untuk mendengar sangat berharga. Gangguan pendengaran yang tidak diobati dapat berdampak buruk pada kemampuan orang untuk berkomunikasi, belajar, dan mencari nafkah,” terang Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Dirjen WHO.

Ditambahkan, gangguan pendengaran juga akan berdampak pada kesehatan mental orang dan kemampuan mereka untuk mempertahankan koneksi dengan manusia lain. ** Baca juga: Adakah Manfaat Berkeringat?

“Laporan baru ini menguraikan skala masalah, tetapi juga menawarkan solusi dalam bentuk intervensi berbasis bukti yang kami dorong untuk semua negara untuk mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan mereka sebagai bagian dari perjalanan mereka menuju cakupan kesehatan universal,” urai Dr Ghebreyesus.

Dalam laporan WHO itu, terdapat catatan penting yang mesti diperhatikan yaitu upaya untuk mencegah dan mengatasi gangguan pendengaran dengan berinvestasi dan memperluas akses ke layanan perawatan telinga dan pendengaran.

Investasi dalam hal perawatan dan pendengaran itu terbukti menghemat biaya penanganan. WHO menghitung bahwa pemerintah dapat mengharapkan pengembalian hampir sekira Rp229 ribu untuk setiap Rp14 ribuan yang diinvestasikan.(ilj/bbs)




Penyelidik WHO Klaim Tiongkok Tolak Serahkan Informasi Penting Perihal COVID-19

Kabar6-Seorang ahli penyakit menular dari Australia bernama Dominic Dwyer, menyebutkan bahwa otoritas kesehatan Tiongkok tidak menyerahkan hasil penelitian yang lengkap saat WHO meminta data mentah perihal pelacakan pasien COVID-19. Mereka hanya memberikan ringkasannya saja.

Dwyer mengatakan, berbagi data mentah itu sudah menjadi praktik standar dalam penyelidikan wabah. Data mentah yang dianonimkan tersebut, melansir theguardian, sangat penting karena sejauh ini baru setengah dari total 174 kasus awal yang ditemukan di pasar tradisional Wuhan, tempat COVID-19 pertama kali terdeteksi.

“Itu sebabnya kami bersikeras meminta itu. Mengapa itu tidak diserahkan, entahlah, saya tidak bisa berkomentar. Apakah itu terkait politik, atau waktu, itu rumit,” terang Dwyer.

Pemimpin tim ahli, Peter Ben Embarek, dalam konferensi pers beberapa waktu lalu mengungkapkan, virus Corona kemungkinan besar memang berasal dari hewan. Namun butuh prosedur sangat panjang dan berbelit-belit untuk memastikan hal itu.

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Jake Sullivan, sebelumnya juga meminta Tiongkok membuka data penting di hari-hari pertama merebaknya virus Corona. Sullivan juga meminta agar kerja tim ahli WHO tidak dipengaruhi tekanan otoritas setempat.

“Kami prihatin dengan temuan awal penyelidikan COVID-19. Laporan ini harus independen, temuan ahli harus bebas dari intervensi dari Pemerintah China,” ujar Sullivan. ** Baca juga: Diminta Mundur Sebagai Direksi Gara-Gara Terlalu Cantik

Dalam penyelidikan selama hampir sebulan di Wuhan, kinerja tim WHO sangat dibatasi. Selain tidak diberikan akses data kontak pasian, mereka juga dilarang berkomunikasi pada masyarakat setempat, dengan alasan pembatasan COVID-19.

Namun, tidak semua tim setuju Tiongkok merahasiakan segala sesuatu. Peter Daszak, anggota tim ahli lainnya yang juga Presiden EcoHealth Alliance, mengaku tak mengalami kendala.

“Sebagai koordinator penelitian hewan/lingkungan, saya rasa rekan-rekan di Tiongkok dapat dipercaya dan terbuka. Kami mendapat akses ke seluruh data yang baru dan penting,” katanya.

Benarkah demikian?(ilj/bbs)




Fokus pada Kelompok Rentan, WHO Sebut Anak Muda Sehat Divaksin COVID-19 pada 2022

Kabar6-Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, anak muda yang sehat kemungkinan belum bisa mendapat vaksin COVID-19 dalam waktu dekat. Mereka disebutkan baru menerima vaksin COVID-19 pada 2022.

Menurut WHO, hal ini terjadi karena pejabat kesehatan masyarakat akan fokus pada imunisasi orang-orang tua dan kelompok rentan. Kepala Ilmuwan WHO bernama Dr Soumya Swaminathan, melansir Okezone, menyatakan bahwa petugas kesehatan, pekerja garis depan, dan orangtua kemungkinan akan ditawari vaksin terlebih dulu. Meski, pembahasan soal rincian prioritas ini masih dibahas WHO dan kelompok penasihatnya.

Di samping itu, vaksin COVID-19 sendiri belum dianggap aman dan efektif oleh WHO, Uni Eropa, atau Amerika Serikat. ** Baca juga: 4 Camilan Sehat di Malam Hari yang Bantu Atasi Gangguan Tidur

“Orang cenderung berpikir bahwa pada 1 Januari atau 1 April 2021, mereka akan mendapatkan vaksin COVID-19 dan setelah itu semuanya akan kembali normal. Faktanya tidak sesederhana itu,” jelas Swaminathan.

Ditambahkan, dunia baru akan memiliki vaksin COVID-19 yang aman dan efektif pada 2021 mendatang dengan jumlah terbatas. Diketahui, lebih dari 10 vaksin COVID-19 tengah dikembangkan di seluruh dunia dan rata-rata sudah diuji klinis tahap akhir.

Swaminathan melanjutkan, karena berbagai vaksin berpotensi didistribusikan, SAGE atau kelompok penasihat strategis yang terdiri dari para ahli imunisasi pun merilis panduan tentang golongan populasi yang paling cocok untuk setiap vaksin dan cara mendistribusikannya secara logistik.

“Umumnya, kami setuju vaksinasi COVID-19 pertama kali diberikan untuk petugas kesehatan dan petugas garis depan, tetapi tidak semua petugas juga diberikan di awal, lalu orang tua, dan seterusnya,” terang Swaminathan.

Dituturkan Swaminathan, akan ada banyak panduan yang keluar. “Tapi, saya pikir rata-rata anak muda yang sehat mungkin harus menunggu jadwal vaksinasi COVID-19 hingga 2022.” (ilj/bbs)




WHO Sebut, Vaksinasi COVID-19 Tidak akan Selesai Hingga 2022 Mendatang

Kabar6-Kepala Ilmuwan Badan Kesehatan Dunia (WHO), Soumya Swaminathan, mengatakan bahwa kita jangan berharap ada cukup vaksin COVID-19 untuk kehidupan yang benar-benar normal hingga 2022 mendatang.

Menurut Swaminathan, melansir Okezone, menyatakan, inisiatif Covax (rencana alokasi vaksin COVID-19 global yang dipimpin bersama oleh WHO) hanya dapat mengumpulkan sekira ratusan juta dosis pada pertengan tahun depan, yang berarti masing-masing dari sekira 170 negara atau pelaku ekonomi yang telah bergabung mendapatkan vaksinnya.

Angka dosis tersebut sangat kecil sekali dibandingkan target WHO yang mana untuk memenuhi kebutuhan seluruh dunia, yaitu dua miliar dosis yang diperkirakan sebelumnya terlaksana pada akhir 2021 nanti.

“Banyak orang beranggapan bahwa di bulan Januari Anda memiliki vaksin untuk seluruh dunia dan semuanya akan mulai kembali normal,” kata Swaminathan. “Sementara, prediksi kami peluncuran vaksin itu akan dimulai pada pertengahan 2021 karena di awal 2021 adalah saat Anda akan mulai melihat hasil dari beberapa uji cobanya.” .

Sementara itu, pemerintah Tiongkok lebih agresif dalam menentukan waktu pendistribusian vaksin COVID-19 ini. Menurut Wu Guizhen dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok, orang-orang di Tiongkok akan mendapatkan akses vaksin pada awal November atau Desember 2020 ini.

Seakan tak mau kalah, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pun menyatakan akan sesegera mungkin mengeluarkan vaksin COVID-19. Hal ini rupanya meningkatkan kekhawatiran bahwa regulator AS mungkin tunduk pada tekanan politik dan mengeluarkan izin penggunaan darurat sebelum waktunya.

Di sisi lain, Swaminathan mengatakan bahwa WHO berencana untuk mengeluarkan pedoman tentang penggunaan darurat vaksin minggu ini. “Semua uji coba yang sedang berlangsung memiliki tindak lanjut setidaknya 12 bulan jika tidak lebih lama,” jelas Swaminathan.

Itu adalah waktu yang biasa Anda lihat untuk memastikan Anda tidak mengalami efek samping jangka panjang setelah beberapa minggu pertama usai diberikan vaksin.

“Karena ini pandemi, ada kemungkinan banyak regulator yang ingin melakukan listing darurat, yang bisa dimaklumi. Tapi, tetap perlu ada beberapa kriteria,” tegasnya.

Para peneliti, dijelaskan Swaminathan, ingin melihat seberapa manjur vaksin yang siap didistribusikan itu. “Tapi, saya pikir yang lebih penting adalah soal keamanan dari vaksin itu sendiri. Ditambahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS akan mengeluarkan pedoman penggunaan darurat.

Sementara itu, Tiongkok sudah menggunakan tiga vaksin pada warga sipil di bawah otoritas penggunaan darurat sejak Juli dan satu vaksin untuk militer sejak Juni. Lebih lanjut, seorang pejabat senior dari raksasa farmasi milik negara mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa ratusan ribu orang Tiongkok telah divaksinasi.

Swaminathan mengatakan, regulator nasional memiliki kewenangan untuk melakukannya di wilayah negara sendiri. ** Baca juga: Hal yang Baik Dilakukan untuk Bantu Kurangi Kebiasaan Mengemil

Namun ia menambahkan, mereka itu harus memberlakukan tenggat waktu bagi perusahaan untuk memberikan data, dan izin penggunaan darurat dapat dicabut jika uji coba tahap terakhir tidak memenuhi persyaratan.(ilj/bbs)




Kejar Target WHO, Wali Kota Serang Sebut Masih Kurang Alat Rapid Test

Kabar6.com

Kabar6- Wali Kota Serang, Safrudin mengatakan dari 22 ribu alat rapid test (RT) yang dimilikinya, sudah terpakai 20 ribu.

Para guru di bawah naungan Pemkot Serang juga sudah di rapid test sebanyak 80 persen.

“Termasuk guru 80 persen sudah. Menurut kami kurang, karena peningkatan covid saat ini perlu antisipasi. Kalau Swab di Dinkes,” kata Wali Kota Serang, Safrudin, dilokasi yang sama, Senin (14/9/2020).

Pemkot Serang mengaku sedang mengejar target WHO yang mengatur minimal test swab 1 persen dari populasi. Nahasnya, pemerintah Ibu Kota Banten itu hanya mengirimkan sample swabnnya ke Labkesda Banten dan Litbang Kemenkes yang harus masuk ke daftar tunggu.

“Standar WHO 1 persen dari jumlah penduduk, Kota Serang dibawah 1 persen. Kita keterbatasan alat dan sample yang dikirim ke Labkesda dan Litbang Kemenkes masih waiting list. Kalau perusahaan rata-rata swab mandiri, tetap koordinasi ke Dinkes. Kita kejar ke 1 persen,” kata juru bicara (Jubir) Satgas Covid-19, Hari Pamungkas, ditempat yang sama, Senin (14/09/2020).

Kapolres Serang Kota, AKBP Yunus Hadir Prabowo bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) mengecek pos check point pemeriksaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Serang. Pemeriksaan dilakukan secara sampling, ada di Gerbang Tol (GT) Serang Timur (Sertim), Kalodran, dan Palima.

Saat dipantau, semua berjalan lancar, petugas berada dilokasi pemeriksaan kesehatan check point. Semua pengendara yang melintas, diperiksa suhu tubuhnya. Bagi yang lebih dari 37,5 derajat celcius, maka harus putar balik ke daerah asal dan pulang ke rumahnya.

**Baca juga: Check Point PSBB Kosong, Wakil Wali Kota Serang Semprot Kepala Dishub

“Semua sudah berjalan lancar, kami harapkan kekompakan ini terus dijaga hingga akhir PSBB selesai. Untuk kepentingan kita semua, masyarakat Kota Serang,” kata Kapolres Serang Kota, AKBP Yunus Hadir Prabowo, dilokasi check point Palima, Senin (14/9/2020).(Dhi)