1

Sering Mengeluh Tidak Baik untuk Kesehatan Mental

Kabar6-Tidak ada orang di dunia ini yang bebas dari masalah. Bedanya, ada yang sanggup menyelesaikan dengan kepala dingin, namun tak sedikit juga yang merasa terbebani sehingga seringkali mengeluh.

Meskipun mengeluh adalah sesuatu yang manusiawi, namun bila dilakukan secara terus menerus tentu saja tidak baik untuk kesehatan mental.

Mengeluh, melansir idntimes, memang jadi tanda seseorang merasa tak berdaya. Tapi ketidakberdayaan tersebut tak boleh jadi alasan Anda harus selalu mengeluh. Bukannya lega, Anda malah tambah pusing dan stres. Bagaimana tidak, secara tak langsung perkataan tersebut malah membuat masalah bertambah dan hati gelisah.

Kondisi hati yang letih akan membuat Anda makin depresi dan tak bisa berpikir jernih. Setiap manusia memang tidak pernah lepas dari persoalan. Tapi jangan biarkan persoalan tersebut malah membuat Anda berhenti produktif karena pikiran dipenuhi dengan energi negatif.

Secara tak sadar, terus mengeluh bisa melemahkan diri Anda sendiri. Anda seolah meyakinkan diri kalau memang tidak mampu seperti yang dipikirkan. Pada akhirnya, Anda benar-benar berhenti pada satu titik lemah dan merasa tak sanggup lagi.

Pikiran tersebut sangat berbahaya dan dapat menghancurkan Anda dari dalam. Orang lain mungkin akan merasa maklum jika mendengar Anda sesekali mengeluh.

Tapi kalau terus menerus dilakukan, ada saatnya mereka jadi merasa kesal saat mendengarnya. Ya, tiap orang punya beban yang tak kalah berat dengan Anda. Alhasil bukannya simpati, Anda justru mendapat cibiran. Hal lain, Anda akan disebut sebagai orang yang tidak pernah bersyukur. ** Baca juga: Kerap Disebut Antisosial, Menyendiri Ternyata Punya Sejumlah Manfaat

Jadi, kurangi kebiasaan mengeluh tentang hal yang tak penting. Bangun pikiran positif dalam diri Anda.(ilj/bbs)




Cukup Seorang Teman untuk Bantu Anda Atasi Stres & Depresi

Kabar6-Sebagai makhluk sosial, manusia memang membutuhkan teman atau sahabat. Tidak sekadar bersosialisasi, kehadiran teman ternyata penting untuk menjaga kesehatan mental seseorang.

Studi yang diterbitkan dalam Journal of Psychiatry Research, melansir Grid, mengungkapkan bahwa dua dari lima orang dewasa yang mengalami depresi berat dapat mencapai kesehatan mental dengan bantuan satu sosok suportif yang selalu mendukung di dekat mereka. Para peneliti memeriksa lebih dari 2.500 warga Kanada yang mengalami gangguan depresi berat di beberapa titik dalam hidup mereka.

Hasilnya, lama depresi tidak mempengaruhi kemampuan individu untuk mencapai kesehatan mental yang lengkap. Mereka yang mengalami depresi lebih dari dua tahun ternyata bisa sembuh total secepat pasien yang mengalami gangguan mental selama beberapa bulan.

Para peneliti menganggap, kesehatan mental menyeluruh dapat terwujud ketika seseorang mendapatkan kebahagiaan, kepuasan hidup, hubungan sosial yang positif, dan kondisi psikologis yang baik setiap hari.

Bebas dari depresi, kecemasan, pikiran untuk bunuh diri, dan narkoba setidaknya satu tahun penuh juga menjadi persyaratan wajib untuk mencapai kesehatan maksimal secara optimal.

“Orang-orang dewasa penderita depresi yang memiliki hubungan emosional suportif memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk mencapai kesehatan mental menyeluruh dibandingkan mereka yang tidak memiliki hubungan semacam itu,” kata Mercedes Bern-Klug dari University of Iowa.

Dijelaskan, “Penelitian ini memberikan pesan harapan untuk pasien-pasien yang berjuang dengan depresi, keluarga mereka dan para profesional di bidang kesehatan. ** Baca juga: Depresi & Cemas Bisa Menular?

Sejumlah besar individu yang sebelumnya tertekan bisa pulih dan mencapai kesejahteraan optimal,” kata Esme Fuller-Thomson dari University of Toronto, salah satu peneliti.(ilj/bbs)




Depresi & Cemas Bisa Menular?

Kabar6-Mungkin Anda sering terbawa perasaan saat seorang teman curhat tentang masalah kehidupannya yang menyedihkan. Bahkan, seringkali tanda disadari Anda ikut mencucurkan air mata.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Seorang psikolog klinis dari California bernama Judy Ho, melansir Dreamers, menjelaskan bahwa penularan emosi adalah perasaan atau ekspresi emosi yang sama dengan orang-orang sekitar kita. Hal ini merupakan cara manusia sebagai mahluk sosial, merespon lingkungan sekitar kita. “Kita melihat orang lain bagaimana merespon dan penularan emosi adalah bentuk ekstrem dari itu,” jelas Ho.

Namun emosi yang keluar dalam rangka merespon lingkungan kita tidak bisa disamakan dikatakan masalah mental itu menular sehingga kita juga mengalami mental yang sama.

Menurut Gail Saltz, professor psikiatri dari New York-Presbyterian/Weill Cornell School of medicine, disfungsi kejiwaan dan psikologis bukan disebabkan oleh agen infeksi. Beberapa penelitian juga pernah mengungkapkan bahwa masalah mental bisa dipengaruhi oleh faktor biologis, termasuk genetik, lingkungan traumatis, pelecehan hingga paparan hal negatif.

“Gagasan bahwa interaksi sosial bisa meningkatkan risiko terdiagnosis dengan penyakit mental mungkin berasal dari kenyataan bahwa emosi dapat dengan mudah menyebar dari orang ke orang, namun emosi bersifat sementara dan tidak mewakili penyakit mental yang signifikan serta memerlukan perawatan,” urai Ho. ** Baca juga: Mengapa Anda Lebih Sering Digigit Nyamuk Dibanding Orang Lain?

Ditambahkan Saltz, jika ada orang lain di sekitar kita sedang mengalami masalah mental, jangan pernah untuk memutuskan hubungan dengan mereka. Keberadaan kita di samping orang yang sedang depresi akan membantu meringankan beban orang tersebut.(ilj/bbs)




Usia 102 Tahun, Pria Asal Jerman Ini Masih Jadi Pelatih Renang

Kabar6-Usia bukanlah halangan bagi Leopold Kuchwalek untuk tidak berkegiatan. Buktinya, di usia  102 tahun pria yang akrab disapa Leo ini masih menjadi pelatih renang.

Menjadi pelatih renang, melansir DW, menyelamatkan Leo dari depresi karena ditinggal cinta sejatinya, Hildegard, setelah 73 tahun menikah. Semasa mudanya, Leopold Kuchwalek justru berprofesi sebagai tukang kunci terlatih dan memiliki perusahaan instalasi di Berlin.

Pada 1984, ia mengambil ujian untuk menjadi instruktur renang. Ya, Leo ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat. Karena suka berada di air, dia menghubungi Palang Merah untuk menjadi instruktur renang.

Dikisahkan Leo, sejak menginjak usia 100 tahun, teleponnya sering berdering. Wartawan dari seluruh dunia ingin tahu bagaimana seseorang bisa hidup begitu lama dan awet muda. Leo senang dengan adanya kunjungan ini.

“Bahkan di Rusia dan Jepang orang sudah memberitakan saya,” jelasnya. Dan Leo menyimpan semua artikel surat kabar tentang dia.

Terkadang, Leo juga menerima surat karena dia tidak punya sambungan internet. Orang-orang mengungkapkan kepadanya betapa mereka terinspirasi dan termotivasi untuk tetap aktif dalam kehidupan.

Ketika membaca itu, ia mengatakan sering menjadi berkaca-kaca. Dikatakan Leo, resepnya agar berumur panjang adalah tidak merokok, lakukan sesuatu untuk orang lain, dan tentu saja berenang. ** Baca juga: Di Spanyol Lahir Belasan Bayi ‘Manusia Serigala’

Hidup sehat memang harus dimulai sejak dini dengan disiplin tinggi.(ilj/bbs)




Stres & Depresi Bisa Dipicu dari Pikiran Negatif

Kabar6-Anda adalah apa yang Anda pikirkan. Ya, kondisi pikiran dapat mempengaruhi keadaan seseorang secara keseluruhan, baik kesehatan fisik atau pun mentalnya.

Banyak orang mengalami ‘sakit mental’ akibat pikirannya sendiri. Dan berbagai penyakit terjadi seringkali akibat berpikir negatif. Dengan kata lain, berpikir negatif membawa dampak buruk bagi Anda.

Ketika seseorang terlalu memikirkan sesuatu, misalnya pandangan orang tentang dirinya, terutama pikiran negatif, ia akan merasa tertekan dan sangat stres. Nah, hal-hal seperti ini akan memicu timbulnya banyak penyakit.

Berdasarkan sebuah laporan penelitian yang berjudul ‘Dimension of Negative Thinking and Relations with Symptoms of Depression dan Anxiety in Children and Adolescents’, melansir Go Dok, diketahui bahwa bahaya pikiran negatif yang berulang-ulang dapat menimbulkan gangguan kecemasan, stres, bahkan depresi. Kondisi depresi sendiri ditandai dengan perasaan sedih berlebihan, kehilangan nafsu makan, dan gejala lain misalnya seperti linglung.

Bermain-main dengan pikiran sediri, menebak-nebak isi pikiran orang lain dapat membuat seseorang memiliki pikiran negatif. Pikiran-pikiran ini secara tidak sadar dapat membuat Anda bersikap sinis terhadap orang yang dicurigai memiliki pikiran negatif terhadap Anda.

Studi pada 2014 yang diterbitkan dalam jurnal Neurology menghubungkan tingkat sinisme yang tinggi (ketidakpercayaan terhadap orang dan motif mereka) terhadap risiko demensia. Ternyata, orang yang sinis dan berpikiran buruk terhadap orang lain memiliki risiko demensia atau pikun yang lebih besar dibandingkan mereka yang tingkat sinismenya lebih rendah.

Pikiran negatif juga dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke. Sebuah studi pada 2009 dari jurnal Circulation meneliti 100 ribu wanita dan tingkat sinisme akibat pikiran negatifnya. Hasilnya, peserta yang paling sinis cenderung menderita serangan jantung.

Kemudian sebuah studi di Women’s Health Initiative yang diikuti hampir 100 ribu wanita Amerika menemukan bahwa wanita yang pesimis dan berpikiran buruk memiliki harapan hidup yang lebih rendah.

Jadi, mulailah ubah pola pikir Anda menjadi lebih positif. Jangan terlalu tertekan atas pikiran-pikiran yang belum tentu benar adanya.

Cobalah katakan kalimat-kalimat positif pada diri sendiri ketika prasangka buruk mulai memenuhi kepala Anda. ** Baca juga: Hal Penting yang Pengaruhi Frekuensi Anda Mandi Tiap Hari

Berpikir positif sama artinya menjaga kesehatan fisik dan mental Anda.(ilj/bbs)




Perilaku Makan Menyimpang Banyak Terjadi pada Wanita

Kabar6-Gangguan makan lebih rentan terjadi pada wanita dibanding pria. Ini karena kaum hawa lebih peduli terhadap citra dan bentuk tubuhnya ketimbang kaum adam. Sayangnya, rasa peduli ini membuat wanita justru tidak puas dengan bentuk tubuh mereka.

Ditambah lagi, banyak anggapan mengenai standar bentuk tubuh ideal bagi wanita. Standar tersebut membuat banyak wanita tak percaya diri. Akhirnya sebagian besar wanita berusaha memenuhi standar tersebut dengan melakukan berbagai cara, salah satunya mengubah pola makan. Namun cara yang dilakukan seringkali menyimpang.

Penelitian yang dimuat di dalam jurnal Cerebral Cortex, melansir Hellosehat, mengungkapkan bahwa wanita yang tidak puas dengan bentuk tubuhnya cenderung mengalami gangguan makan. Apa sajakah itu?

1. Anoreksia nervosa
Anoreksia nervosa adalah kondisi ketika seseorang sangat ketakutan akan kebaikan berat badan. Hal ini membuat pengidapnya menghindari makan, padahal berat badan aktualnya saat itu sudah sangat rendah alias tidak normal.

Biasanya, ditandai dengan kebiasaan seseorang mengabaikan rasa laparnya sehingga bisa tahan untuk tidak makan dalam jangka waktu lama. Selain itu, orang yang menderita gangguan makan ini akan mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis.

Orang yang paling banyak ditemukan mengalami gangguan makan ini adalah wanita pada usia remaja hingga dewasa. Hal ini disebabkan pada usia tersebut, para wanita cenderung sangat peduli dengan citra tubuhnya dan body image yang ideal di kalangan gadis pada usia tersebut adalah yang langsing dan semampai.

2. Bulimia nervosa
Bulimia adalah gangguan makan dengan siklus makan banyak terlebih dahulu, kemudian dikeluarkan kembali setelahnya. Hal ini biasanya terjadi pada wanita yang melepaskan stres, rasa cemas, hingga depresi dengan cara makan banyak.

Tetapi, keinginan makan banyak tersebut hanya bertahan sementara hingga stres tersebut hilang. Lalu, muncul rasa bersalah karena dirinya telah makan terlalu banyak.

Pada wanita, pola makan seperti ini juga terjadi karena meski ia ingin menyalurkan rasa stres yang dimilikinya melalui makan banyak, ia tetap ingin menjaga citra tubuhnya sesuai dengan standar masyarakat.

3. Binge-eating disorder
Binge-eating disorder (BED) adalah gangguan makan yang jika terjadi pada wanita juga bisa disertai dengan stres atau depresi. Kondisi ini ditandai dengan kebiasaan makan terlalu banyak, bahkan saat wanita tersebut tidak merasa lapar.

Pada wanita, hal ini dapat dipicu oleh stres sehingga tanpa sadar wanita mengonsumsi makanan lebih dari batas wajarnya. Di dalam kondisi ini, wanita akan merasa kesulitan membedakan mana yang lapar sesungguhnya dan mana yang hanya lapar mata. ** Baca juga: Peneliti Ungkap Mayoritas Wanita Makin Semangat Bercinta di Usia Lanjut

Ubah mindset Anda bahwa cantik bukan melulu perkara tubuh yang langsing atau kurus, tapi juga kepada kesehatan fisik dan mental yang terjaga.(ilj/bbs)




Ilmuwan Ungkap Alasan Wanita Lebih Mudah Stres Ketimbang Pria

Kabar6-Temuan terbaru Amen Clinics di California, AS, mengungkapkan bahwa otak wanita lebih aktif ketimbang pria. Dan temuan ini membantu menjelaskan mengapa wanita lebih rentan mengalami kecemasan, depresi, insomnia, dan gangguan makan.

Penelitian Amen Clinics California ini, melansir theasianparent, merupakan analisis otak dengan sampel terbanyak sejauh ini. Penelitian tersebut mengumpulkan 46 ribu pindaian (scan) otak dari sembilan klinik yang kemudian dianalisis perbedaannya antara otak pria dan wanita.

Menurut para peneliti, sangat penting memahami perbedaan otak pria dan wanita. Karena dengan demikian, akan diketahui bagaimana kelainan yang sama bisa berefek berbeda di otak pria dan otak wanita.

Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Alzheimer’s Disease ini juga mendapati, otak wanita lebih aktif di banyak area otak ketimbang pria. Keaktifan itu terutama terjadi di area Cortex Prefrontalis dan sistem limbik.

Cortex Prefrontalis terletak di bagian terdepan kepala, merupakan bagian yang mengatur fokus dan kontrol rangsangan (impuls). Bagian inilah yang bertanggung jawab pada sifat empati, intuitif, bekerjasama, kontrol diri, dan fokus kita.

Sedangkan sistem limbik merupakan bagian yang mempengaruhi mood dan rasa cemas manusia. Bagian ini menjadi aktif ketika kita mengalami kecemasan, depresi, insomnia, dan gangguan makan.

Kesimpulannya, fungsi visual dan koordinasi di otak wanita lebih aktif daripada pria. “Riset ini sangat penting untuk memahami perbedaan otak berdasarkan gender.” kata Daniel G. Amen, salah satu peneliti dalam riset sekaligus psikiater yang juga pendiri Amen Clinics.

Ditambahkan, “Perbedaan kuantitatif yang bisa kami identifikasi antara otak pria dan otak wanita ini penting untuk memahami risiko gangguan otak pada masing-masing gender, terutama gangguan otak seperti penyakit Alzheimer.”

Para peneliti menggunakan pindaian otak dari 119 sukarelawan sehat dan dari 26.683 pasien dengan masalah kejiwaan beragam, mulai dari trauma otak, bipolar, gangguan mood, skizofrenia dan penyakit jiwa lain, serta ADHD.

Prosedur yang dilakukan saat penelitian adalah dengan meminta subjek yang diteliti beristirahat atau melakukan tugas koginitif. Di saat bersamaan, peneliti memantau aliran darah di otaknya menggunakan teknologi single photon emission computed tomography (SPECT).

Hasilnya, aliran darah di otak wanita terlihat lebih deras. Bagaimanapun, otak manusia terlepas dari jenis kelaminnya, bisa berubah dan sangat sulit dipahami, sebagaimana ditulis oleh Gina Rippon, profesor Cognitive Imaging dari Ashton University.

Teori bahwa otak kita bersifat plastis dan lunak menjadi salah satu dobrakan dalam studi otak 40 tahun terakhir. Berbagai pengalaman jangka pendek maupun panjang bisa mengubah struktur otak. Juga didapati, perilaku dan pemahaman sosial seperti stereotip, bisa mengubah cara otak memproses informasi. ** Baca juga: Dianggap Picu Stres, Peneliti Sebut Penghapusan Fitur ‘Like’ di Instagram Bagus untuk Kesehatan Mental

Ada perilaku manusia yang dikontrol oleh kerja otak, dan pada seseorang, perilaku itu berubah-ubah seiring waktu, perpindahan tempat, dan budaya karena faktor eksternal seperti pendidikan, kelas ekonomi, dan makanan.(ilj/bbs)




Benarkah Pasangan Materialistis Miliki ‘Pernikahan Buruk’?

Kabar6-Percayakah Anda, ternyata uang dan kehidupan percintaan saling berpengaruh? Sebuah penelitian menemukan, pasangan yang materialistis memiliki pernikahan tidak bahagia ketimbang pasangan yang tak terlalu peduli akan uang.

Seorang profesor dalam bidang kehidupan keluarga di Brigham Young University bernama Jason Caroll, melansir Wolipop, mengatakan bahwa ‘efeknya berlaku di semua tingkat pendapatan’. Ketika seseorang yang memprioritaskan uang menikah dengan orang tak memikirkan harta benda, pernikahannya bisa berjalan dengan cukup baik.

Sebaliknya, ketika seorang materialistis menikah dengan orang yang juga hanya berorientasi pada uang, maka pernikahannya bisa tidak bahagia.

“Kami pikir itu akan menjadi pola yang aneh dan bisa menjadi masalah besar di kemudian hari, ketika seseorang yang boros bertemu dengan orang yang irit. Tapi penelitian kami justru menemukan hal lain, kedua pasangan yang memiliki tingkat materialistis yang tinggi cenderung lebih sering berkelahi,” urai Caroll.

Penelitian tahun sebelumnya memaparkan banyak bukti kuat yang menjelaskan bahwa materialisme tidak baik bagi siapa pun. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa orang-orang yang materialistis sering merasa depresi, cemas dan tidak aman ketimbang mereka yang tidak materialistis.

Pada penelitian terbaru, Caroll melibatkan empat kelompok pasangan. Pertama, 14 persen pasangan yang tidak materialistis, 11 persen istri yang materialis sedangkan suaminya tidak, 14 persen sebaliknya dan 20 persen pasangan yang sama-sama materialistis. Sisanya pasangan yang berada di tengah, tidak terlalu materialistis namun juga tidak cuek mengenai uang.

Hasilnya, kehidupan pernikahan yang melibatkan paling tidak satu orang materialistis lebih buruk daripada pasangan yang tidak materialistis. Pasangan yang tidak terlalu memikirkan kekayaan lebih bahagia sebesar 10-15 persen dalam kategori kepuasan perkawinan, stabilitas perkawinan dan jarang terlibat konflik.

“Apa yang kami temukan adalah pola umum bahwa materialisme tampaknya berbahaya bagi pernikahan. Ini mungkin bisa digambarkan sebagai efek erosi, apa yang kita lihat dalam semua area ini, merupakan penurunan besar yang sangat signifikan untuk pasangan yang salah satu atau keduanya merupakan orang yang materialistis,” tambah Caroll. ** Baca juga: Ini Alasan Wanita Lebih Memilih Pria yang Lebih Tua

Hidup memang membutuhkan materi, namun jangan sampai Anda terlalu mendewakan uang.(ilj/bbs)




Wanita Butuh Waktu Tidur Lebih Lama Dibanding Pria

Kabar6-Tidur menjadi salah satu kebutuhan manusia untuk memberi waktu bagi tubuh dan pikiran beristirahat, sebelum kembali beraktivitas keesokan harinya. Nah, apakah durasi tidur pria dan wanita sama?

Sebuah penelitian mengungkapkan, wanita cenderung membutuhkan lebih banyak tidur ketimbang pria karena otak mereka yang ‘kompleks’. Para ilmuwan, melansir MSN, menemukan bahwa waktu tidur yang dibutuhkan oleh wanita sekira 20 menit lebih banyak dibandingkan dengan pria. Diduga, kondisi ini disebabkan karena otak wanita bekerja lebih keras pada siang hari.

Penelitian dilakukan pada set sampel 210 pria dan wanita paruh baya. “Salah satu fungsi utama tidur adalah untuk memungkinkan otak pulih dan memperbaiki dirinya sendiri,” kata Jim Horne, penulis studi sekaligus seorang pakar tidur dan mantan direktur Sleep Research Center di Loughborough University.

“Selama tidur nyenyak, korteks, bagian otak yang bertanggung jawab atas ingatan pikiran, bahasa, dan sebagainya, terlepas dari indera dan beralih ke mode pemulihan.”

Jumlah tidur, dikatakan Jim Horne, diperlukan oleh kompleksitas dan intensitas aktivitas otak pada siang hari, sehingga semakin banyak aktivitas otak yang digunakan pada siang hari, maka semakin banyak pemulihan yang diperlukan dan tidur yang dibutuhkan.

“Wanita cenderung melakukan banyak tugas. Mereka melakukan banyak hal sekaligus dan fleksibel, sehingga mereka menggunakan lebih banyak otak mereka yang sebenarnya daripada pria. Karena itu, kebutuhan tidur mereka lebih besar,” urainya.

Meskipun demikian, Jim mengatakan bahwa pria yang memiliki pekerjaan kompleks dengan melibatkan banyak ‘pengambilan keputusan dan berpikir lateral’ juga cenderung membutuhkan lebih banyak tidur dibanding pria rata-rata.

Studi ini juga menemukan bahwa kurang tidur di kalangan wanita terkait dengan sejumlah efek samping. Peningkatan tingkat tekanan psikologis dan perasaan marah serta depresi yang lebih besar ditemukan pada wanita yang tidurnya buruk, tetapi tidak pada pria. ** Baca juga: Amankah Makanan Sisa Minggu Lalu Dikonsumsi?

Bagaimana dengan durasi tidur Anda? (ilj/bbs)




Adakah Hubungan Marah dengan Perut Kembung?

Kabar6-Mengalami perut kembung seringkali membuat seseorang cenderung mudah marah. Sejumlah peneliti menemukan alasan di balik rasa marah yang muncul akibat perut kembung. Disebutkan, kondisi itu disebabkan oleh masalah pada usus dan otak.

Seorang ahli gizi bernama Tom Jenan, melansir Male, menjelaskan bahwa sistem pencernaan dan emosi seseorang saling terhubung. Hal itu disebabkan oleh adanya hubungan antara fungsi usus dan pusat emosi pada otak yang kerap disebut sumber otak khusus. Di samping itu, perut kembung juga disebabkan oleh intoleransi makanan seperti kol, brokoli, atau minuman bersoda.

Menurut para ahli, saluran pencernaan sangat sensitif terhadap perubahan emosi. Kemarahan, kesedihan, kegembiraan, dan perasaan lainnya dapat memicu gejala pada pencernaan.

Hal ini karena otak memiliki efek langsung pada perut. Hubungannya terkait erat dan berjalan dua arah. Perut yang bermasalah akan mengirim sinyal ke otak, dan otak akan mengembalikannya ke perut.

Karena itulah, masalah pencernaan yang terjadi di perut bisa menjadi penyebab timbulnya kecemasan, stres, atau depresi, dan berlaku juga sebaliknya.

Disebutkan, beberapa gejala pencernaan yang dirasakan oleh seseorang saat sedang stres atau mengalami kondisi kejiwaan lain seperti tegang, kesal, depresi dapat mudah dikenali dengan ciri tidak nafsu makan, kram perut, nyeri di bagian lambung, maag, dan sebagainya.

Kembung yang berkelanjutan bisa menyebabkan sakit seperti sindrom iritasi usus besar dan penyakit crohn atau gangguan pencernaan.

Jika berlangsung dalam jangka waktu cukup lama, akan memicu penyakit serius, sehingga penting bagi Anda untuk segera pergi ke dokter dan memeriksakan kondisi perut.

Ada beberapa langkah yang perlu diambil untuk mengurangi kembung. Pertama, duduk saat makan dan tidak makan dengan mulut penuh. Anda harus membatasi jumlah udara yang ditelan. ** Baca juga: Pria Ternyata Lebih Rapuh Saat Hubungan Cinta Kandas

Cara lain, Anda bisa makan dengan tempo lebih lambat dari biasanya dan mengurangi porsi makan. Pilihlah makanan yang mengandung serat, minum banyak cairan, dan mencoba melakukan olahraga secara teratur.(ilj/bbs)