oleh

Prostitusi Online Jual Anak-anak

image_pdfimage_print

Kabar6- Prostitusi online anak-anak pada dasarnya merupakan salah satu bentuk utama perdagangan orang. Ini bisa direspon dengan Undang-undang (UU) tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU tentang Perlindungan Anak. 

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Seto Mulyadi mengatakan, karena memakai media online, maka bisa juga tersangkut ke UU tentang ITE dan UU tentang Pornografi. Hitam putihnya persoalan sudah terang benderang, tepat mengganjar pasal berlapis terhadap pelaku.

“Yang pelik adalah ketika orangtua melakukan pembiaran bahkan aktif mengomersialisasi darah daging mereka sendiri?. Jika ya, orangtua tersebut bisa dikenai sanksi pemberatan,” katanya lewat siaran pers yang diterima kabar6.com, Kamis (16/3/2017).

Seto terangkan, semakin pelik jika terjadi keabsurdan berpikir yang boleh jadi dialami korban kanak-kanak dan orangtua mereka. Ia mengajak publik ingat kasus Emon, pedofil Sukabumi. Sejumlah anak dan orangtua menyebut diri mereka sebagai korban. 

Tapi bukan korban eksploitasi seksual ataupun korban kejahatan seksual. Melainkan korban utang-piutang. Mereka merasa dirugikan Emon karena sang pedofil tidak membayar mereka sesuai kesepakatan. 

“Jadi, bagi korban dan orangtua mereka, integritas tubuh anak bukan persoalan sama sekali asalkan ada keuntungan finansial yang bisa diperoleh dari pelaku,” terangnya. 

Padahal, Kak Seto bilang, kasus prostitusi ini bisa beranak pihak menjadi masalah seksualisasi perilaku, kehamilan di luar pernikahan, penyakit menular seksual, putus sekolah, para ibu usia remaja yang tidak siap mengasuh anak, dan lain-lain. 

Sangat merisaukan bahwa keabsurdan itu juga telah dialami oleh banyak anak-anak kita dengan alasan “demi pulsa, demi kosmetik, demi karcis bioskop” dan sejenisnya.

Apabila orangtua berperilaku sebagaimana di atas, maka di samping dikenakan pidana, kuasa asuh orangtua tersebut juga bisa dicabut. Itu dibenarkan oleh UU Perlindungan Anak. UU TPPO juga menyebut adanya restitusi bagi korban.

Secara umum memang seksualitas telah mengalami desakralisasi. Tengok bagaimana toko-toko kelontong berlisensi mendisplay kondom di counter depan meja kasir. 

“Saya pernah bertanya, kapan dan siapa pembeli kondom tersebut. Kasir menjawab, paling laris adalah pada malam akhir pekan dan pembeli paling banyak adalah anak-anak remaja. Saya berulang kali menegur toko-toko tersebut, tapi tak digubris,” sesal pria yang bermukim di Perumahan Cirendeu Permai, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, ini.

Bagaimana dengan kasus prostitusi anak-anak lainnya?. Seto menambahkan, Bagaimana kasus tahun lalu, di mana anak-anak yang dilacurkan untuk orang-orang gay di kawasan sekitar Ciawi. 

Bagaimana proses hukum terhadap pelaku dan rehabilitasi bagi korban?. Kak Seto berujar, Indonesia perlu punya basis data. Basis data tentang pelaku harus terbuka untuk publik demi menangkal aksi residivisme. 

Basis data tentang korban harus tertutup, semata-mata untuk kepentingan rehabilitasi. Lantas, apakah dalam kasus prostitusi online anak-anak ini para pelaku akan dikenai sanksi pemberatan seperti kebiri, pemasangan chip, publikasi identitas, hukuman mati.

“Sebagaimana revisi kedua UU Perlindungan Anak?

Sayangnya, aturan teknisnya belum ada,” ujarnya.(yud)

Print Friendly, PDF & Email