oleh

Kuasa Hukum Ahli Waris Geram Dengan Sikap Managemen UIN Jakarta

image_pdfimage_print

Kabar6-Hak atas lahan seluas 1116 Meter yang di berikan secara tertulis oleh pihak Yayasan Pembangunan Madrasah Islam dan Ikhsan (YPMII), menuai polemik yang terlanjur masuk dalam babak persidangan ke tujuh di Pengadilan Negeri Tangerang (PN) pada 29 Agustus 2018 mendatang.

Warga yang khawatir lahannya di eksekusi oleh negara, langsung melakukan jumpa pers yang berlokasi di rumah makan sederhana wilayah Kampung Utan, Jalan H. Juanda, Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangsel, Minggu sore (19/8/2018) kemarin.

Sederet cerita kuasa hukum ahli waris, Mahyuni Harahap SH, kepada media membeberkan data yang menguatkan pihak ahli waris yang mengklaim lahan di Jalan H Juanda, kelurahan Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangsel adalah milik kliennya.

Dirinyapun menolak dengan cara eksekusi ini, karena di ibaratkan sama dengan mengusir ayam, pihaknya akan membuka diri untuk berdiskusi tentang bagaimana baiknya.

“Jelas kami khawatir, pasalnya lahan kami akan di eksekusi oleh pihak kejaksaan, ini sama saja dengan mengusir ayam, hal ini sebenarnya sudah terjadi sejak maret 2017, karena surat yang kami terima sebelumnya pada tanggal 7 maret 2017, tentang pelaksanaan eksekusi yang di putuskan oleh Mahkamah Agung. Lalu akhirnya kami penuhi panggilan kejaksaan pada tanggal 13-14 maret 2018, dengan maksud ingin mengetahui informasi isi suratnya, kami tak pernah di ajak mediasi, lalu tiba-tiba eksekusi,” tegas Mahyuni.

Mahyuni menambahkan, bahwa lahan tersebut di akui oleh negara dan kemudian pihak UIN Jakarta, padahal di klaim milik 6 pemilik, berdasarkan asal surat atas nama Yayasan Pembangunan Madrasah Islam dan Ikhsan (YPMII).

“Dasar hibah dari YPMII ini di kuatkan oleh keterangan notaris semenjak tahun 1981, walaupun mereka menetap sudah dari sebelum itu, pemilik inipun bukan orang lain, mereka adalah pegawai yang melakukan tugas belajar di IAIN di bawah departemen agama. Oleh sebab belum mendapatkan rumah dinas, lalu mereka di berikan tempat ini seluas 1116 meter, jelas ini milik warga, ada enam surat atas nama para klien kami bukan milik UIN, dari 7 persidangan, 4 kali pihak kementrian agama tidak hadir, lalu bagaimana kami bisa berkomunikasi,” tambah Mahyuni.

Senada dengan Mahyuni, Hj Hafsah Bafubara mengatakan tentang awal mula dirinya dan kawan-kawannya menempati tempat tersebut. Hingga dirinya di tawarkan untuk membayar sumbangan wajib 10 rb/meter dengan cara mencicil lengkap dengan tanda terimanya.

“Sebelumnya dari pihak YPMII mempersilahkan kami untuk membangun tempat yang semula rawa, dan juga dari pihak komplek UIN kita di tawarkan juga untuk menetap disini, dasar anjuran tersebut maka kami bangun gubuk-gubuk pada tahun 1971, pada masa pembangunanpun tidak pernah ada masalah, karena kami tau lahan itu milik YPMII, lalu pada tahun 1981 kembali kami di tawarkan untuk hibah, lalu bersamaan dengan pembangunan sekolah triguna maka rapatlah mereka, dan hasilnya kami di arahkan untuk membayar sumbangan wajib sebesar 10 rb/meter. Tanah saya hanya 200 meter, dan harga10 rb/meter memang harga pasaran pada waktu itu,” ucap Hafsah.**Baca juga: Gempa Susulan di Lombok, Aktivitas Penerbangan Lancar.

Sementara itu, pihak UIN belum bisa memberikan keterangan, saat kabar6.com coba mengkonfirmasi melalui nomer telepon seluler tapi tidak di angkat oleh pihak managemen. Hanya Mulyono, petugas security tersebut yang meminta agar kabar6.com bisa langsung konfirmasi terkait masalah tersebut. “Soal itu bisa telfon aja mas, saya ini kurang paham,” tegasnya.(jikris)

Print Friendly, PDF & Email