oleh

Jurus Presiden Kita: Tandaskan Netralitas, Tipu Daya Bansos

image_pdfimage_print

Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

Kabar6-Inkonsistensi terlampau lekat diindetikan dengan Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia. pernyataan ini tidak berlebihan, jika ditelisik lebih dalam telah beberapa kali ia melontarkan pernyataan-pertanyaan yang kontradikstif. Terbaru, menyangkut netralitas. Pada 23 Oktober 2023 menyatakan untuk mendukung semua pihak atas dasar kebaikan negara.

Pernyataanya diperbaharui pada 30 Oktober 2023, saat pelatikan Pj Gubernur, supaya menjaga netralitas, bahkan ia akan memecat Pj Gubernur dan ASN yang tidak netral. Menyoal netralitas dipertegas kembali pada tanggal 30 Desember 2023, kali ini seruan netralitas itu ditujukan pada ASN, TNI dan POLRI. Namun, pada 24 Januari 2024, Jokowi mengeluarkan pernyataan yang menegasikan nilai-nilai netralitas, bahwa Presiden boleh memihak.

Gelaran Pemilu 2024 sudah terlampau terjerembab, bopeng demokrasi di sana-sini. Dari mulai mengdongkel konstitusi untuk meloloskan anak presiden jadi wakil presiden, pelanggaran di sana sini, netralitas aparatur negara yang dipertanyakan. Terbaru, Presiden malah ambil bagian dalam sengkarut tersebut.

Pernyataan Jokowi sebagai presiden teramat sulit untuk dipahami nalar. Selain itu dapat menciptakan persoalan: rentan disalahgunakan dan melegitimasi ketidaknetralan yang telah terjadi di akar rumput oleh aparatur negara. “presiden saja boleh memihak, masak bawahannya tidak boleh?”. Tentu, narasi ini akan sangat mudah dipolitisir, tanpa memperhatikan nilai-nilai demokrasi. Seolah tujuan utama dari hajatan lima tahunan ini hanyalah siapa yang jadi pemenang, dengan memunggungi norma dan etika bernegara. Tanpa mengharapkan tujuan yang lebih luhur: Pendidikan dan pendewasaan politik bagi warga negara.

Keberpihakan politik presiden melalui kampanye, diperbolehkan oleh undang-undang Pemilu. Dalam pasal 299 disebutkan kampanye merupakan hak presiden, wakil presiden, Menteri dan kepala daerah. Namun harus juga diperhatikan, telah diatur dalam Pasal 281 ayat (1) huruf b UU Pemilu, untuk kewajiban cuti di luar tanggunan negara bagi presiden yang ikut kampanye. Selain itu, terdapat aturan dalam Pasal 299 ayat (3) tentang larangan menggunakan fasilitas negara.

Presiden memiliki pengaruh yang besar. Presiden memang harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Tetapi pengaruhnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Kekuasaan dan sumber daya yang dimiliki presiden begitu besar. Berpotensi besar terjadi penyalahgunaan, apabila netralitas tidak ditegakan. Sah kemudian jika rakyat menduga adanya persubahatan untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden dengan menggunakan pengaruh yang dimiliki presiden.

Mobilitasasi Kuasa Anggaran dan Kebijakan dari Presiden.

Bansos mengerek kepuasaan rakyat pada Presiden. Survei Indikator Politik Indonesia yang dilaksanakan pada 23 November-1 Desember 2023, menunjukan Bansos telah mendongkrak kepuasaan rakyat pada Presiden. Kepuasaan rakyat ini menjadi modalitas penting untuk memberikan efek ekor jas pada salah pasangan yang didukung oleh Presiden. Di berbagai daerah, Presiden sangat aktif melakukan penyaluran bansos, termasuk juga mempolitisir pemberikan Bansos dengan berbagai seremonial.

**Baca Juga: Pj Gubernur Minta Sekolah Swasta di Banten Tingkatkan Mutu

Presiden memiliki kekuasaan yang tertuang dalam tugas dan wewenang di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar (UUD). Kekuasaan itu meliputi kekuatan militer, regulasi, pengawasan, birokrasi dan anggaran (pasal 23 ayat 2 UUD 1945). Hal ini tentu menjadi kekuatan yang luar bisa besar jika presiden tidak netral dalam perhelatan lima tahunan ini (pilpres 2024). Fakta bahwa anak presiden (Gibran Rakabuming Raka) mengikuti kontestasi pemilu, mendorong presiden Indonesia ke 7 ini berpotensi memihak, hal ini terungkap dalam wawancara media sebagai berikut:

“……Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara” Jokowi, Rabu (24/1/2024).

Jika kita mencermati kalimat presiden tersebut, seolah presiden bisa bersikap adil dan netral dengan catatan tidak menggunakan fasilitas negara, hanya saja presiden lupa bahwa ada kekuasaan yang melekat dalam diri presiden yang sulit dibendung dan diawasi. Salah satu yang menjadi perhatian FITRA adalah potensi anggaran publik dimanfaatkan dalam melanggengkan kekausaan dinasti.

Dalam kontek anggaran publik, presiden memiliki sumber daya dalam bentuk alokasi anggaran untuk perlindungan sosial sepanjang tahun 2019-2024 sebesar Rp 2.668 Triliun, atau anggaran bansos sepanjang tahun 2019-2024 sebesar Rp 953,9 Triliun. Bahkan presiden sendiri memiliki alokasi anggaran yang bersumber dari BUN (Bendahara Umum Negara) untuk program Bansos Presiden.

Rekomendasi

Berdasarkan temuan di atas, Seknas Fitra menilai bahwa setiap warga negara, termasuk Presiden, berhak untuk menentukan hak politiknya. Namun, dengan kekuasaan yang luar biasa maka keberpihakan presiden akan berdampak secara substansial pada gelaran pemilu 2024. Menjadi bijaksana apabila Presiden Jokowi bisa menahan libido berkuasanya dengan menjunjung netralitas dalam pemilu 2024. Selain itu, Presiden harus memastikan menggunakan anggaran publik sebesar-beasrnya untuk kepentingan negara dan rakyat, jangan sampai anggaran publik sebagai gula-gula politik dinasti.(*/Red)

CP:
Gulfino Guevarrato (0813-9844-4968)
Gurnadi Ridwan (0856-7174-713)

Print Friendly, PDF & Email