oleh

TAPERA PP No. 21/2024 Harus Ditolak, Ini Alasannya

image_pdfimage_print

Kabar6-Pada 20 Mei 2024, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Peraturan ini mewajibkan pemotongan gaji sebesar 3 persen bagi para pekerja. Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), buruh, dan pekerja swasta dengan tegas menolak pemberlakuan UU tersebut. Kini, dengan adanya PP No. 21/2024, penolakan tersebut semakin kuat. Berikut adalah alasan-alasan penolakannya:

Alasan Pertama, Beban Ganda Publik dan Redundansi Program Perumahan MLT JHT BPJS Ketenagakerjaan

Dengan adanya TAPERA, pekerja dan pemberi kerja akan menghadapi beban ganda. Saat ini, pemberi kerja sudah menanggung beban pungutan sebesar 18,24% – 19,74% dari penghasilan pekerja untuk berbagai program jaminan sosial. Tambahan 3 persen dari gaji melalui TAPERA akan semakin membebani kondisi keuangan perusahaan dan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya akibat pandemi dan tekanan ekonomi global.

**Baca Juga:Per 1 Juni 2024 Pertamina Wajibkan Pembelian LPG 3 Kg Pakai KTP

Program perumahan rakyat melalui TAPERA menjadi redundan dengan program perumahan yang sudah ada, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Melalui MLT, pekerja yang menjadi peserta JHT dapat memanfaatkan fasilitas perumahan seperti pinjaman Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO), Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP), dan Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK). Mengapa tidak dioptimalkan saja dana MLT BPJS Ketenagakerjaan yang sudah tersedia?

Alasan Kedua,Keuntungan Bagi BP Tapera dan Pemerintah

TAPERA dinilai lebih menguntungkan BP Tapera dan pemerintah daripada publik. Kurangnya pengalaman BP Tapera dalam mengelola dana besar dan potensi rendahnya imbal hasil menimbulkan kekhawatiran bahwa manfaat yang diharapkan tidak akan tercapai. Dengan demikian, alih-alih meningkatkan kesejahteraan pekerja, TAPERA justru berisiko menguntungkan pejabat BP Tapera dan akhirnya menjadi beban tambahan bagi pekerja.

Alasan Ketiga, Pemindahan Tanggung Jawab Pemerintah

TAPERA memindahkan tanggung jawab pemenuhan hak atas perumahan dari pemerintah kepada para pekerja. Program ini mewajibkan pekerja menyisihkan dana dari gaji mereka, yang secara efektif mengurangi daya beli mereka, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Konstitusi Indonesia mengamanatkan bahwa hak atas perumahan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, TAPERA justru mengalihkan beban tersebut kepada pekerja, sementara pemerintah hanya berperan sebagai pengumpul dana tanpa memberikan kontrol atau otoritas penuh kepada publik dalam pengelolaan dana tersebut.

Alasan Keempat, Memberatkan Kelas Pekerja

Penolakan terhadap TAPERA semakin kuat karena program ini dianggap memberatkan kelas pekerja dan pengusaha. Pengurangan gaji sebesar 3% untuk iuran TAPERA menambah beban tambahan yang signifikan bagi pekerja dan pengusaha. Pekerja sudah dibebani dengan berbagai iuran seperti PPh 21, PPN yang akan naik menjadi 12%, iuran BPJS Kesehatan, dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, pengusaha juga sudah menanggung beban pungutan sebesar 18,24% – 19,74% dari penghasilan pekerja. Tambahan 0,5% dari iuran TAPERA semakin memberatkan beban keuangan mereka.

Alasan Kelima, Perbedaan Konsep dengan BPJS Kesehatan

Presiden Jokowi mencontohkan saat diberlakukan BPJS Kesehatan di luar skema gratis yang sempat menjadi sorotan. “Tapi setelah berjalan saya kira bisa merasakan manfaatnya rumah sakit tidak dipungut biaya, hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra. Padahal terdapat perbedaan fundamental dalam cara kerja dan manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan BPJS Kesehatan.

TAPERA berbeda konsep dengan BPJS Kesehatan. Iuran TAPERA dihitung sebagai persentase dari gaji peserta dan kemudian diinvestasikan untuk pengembangan dana perumahan. Hal ini berbeda dengan BPJS Kesehatan, di mana iuran dihitung berdasarkan kelas pelayanan peserta dan digunakan langsung untuk membiayai layanan kesehatan. Pada BPJS Kesehatan, iuran yang dibayar oleh peserta langsung digunakan untuk membiayai layanan kesehatan yang dapat diakses oleh peserta sesuai dengan kelas pelayanan yang dipilih. Sedangkan pada TAPERA, iuran yang dipotong dari gaji peserta diinvestasikan terlebih dahulu dengan tujuan pengembangan dana perumahan. Proses ini berarti bahwa manfaat yang dirasakan oleh peserta tidak langsung dan sangat tergantung pada efektivitas pengelolaan investasi tersebut. Akibatnya, rumah yang diperoleh para pekerja tidak mungkin seragam karena besarnya iuran berbeda-beda dan tergantung pada keberhasilan investasi.

Selain itu, TAPERA dapat dikatakan hanya menguntungkan Badan Pengelola dengan remunerasi yang tinggi. Dana yang dikelola juga meningkatkan cadangan dana pemerintah. Namun, pengelolaan keuangan negara sering kali terkesan kurang efektif dan tidak efisien, menimbulkan kekhawatiran bahwa dana TAPERA tidak akan dikelola dengan baik dan optimal untuk kesejahteraan peserta. Pengalaman dengan berbagai program sebelumnya menunjukkan bahwa dana besar yang dikelola oleh pemerintah sering kali tidak memberikan hasil yang maksimal bagi publik.

Kesimpulan:
TAPERA PP No. 21/2024 harus ditolak karena berbagai alasan yang kuat. Pertama, adanya beban ganda bagi pekerja dan pemberi kerja serta redundansi dengan program perumahan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua, TAPERA lebih menguntungkan BP Tapera dan pemerintah, bukan publik. Ketiga, TAPERA memindahkan tanggung jawab pemenuhan hak perumahan dari pemerintah kepada pekerja, mengurangi daya beli mereka. Keempat, TAPERA memberatkan kelas pekerja dan pengusaha dengan tambahan beban finansial. Kelima, TAPERA berbeda konsep dengan BPJS Kesehatan, di mana manfaat perumahan tidak seragam dan pengelolaan dana yang tidak efisien berpotensi merugikan peserta. (Achmad Nur Hidayat MPP Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Print Friendly, PDF & Email