1

Pembangunan dan Investasi Rempang Eco City Dalam Sudut Pandang Kebijakan Publik

Seri Analisis Kebijakan Publik Dalam Kasus Pulau Rempang Bagian 1

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Proyek Rempang Eco City memiliki nilai investasi yang sangat besar, namun dianggap mengabaikan kepentingan dan keberadaan masyarakat lokal.

Bagaimana tarik menarik antara kepentingan pemodal dan kepentingan masyarakat di perkampungan tua di Pulau rempang tersebut?

Mengenal Proyek Rempang Eco City

Proyek Rempang Eco City merupakan sebuah inisiatif mega-investasi yang sedang dikembangkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bekerja sama dengan perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG).

Proyek ini direncanakan untuk mendirikan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi di lahan seluas 7.572 hektar di Pulau Rempang, yang mencakup hampir setengah (45,89 persen) dari total luas pulau tersebut.

Proyek Eco City ini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Namun, di balik potensi ekonomi yang besar, proyek ini membawa sejumlah kontroversi dan dampak sosial yang signifikan.

Salah satu dampak paling mencolok adalah rencana relokasi warga yang mendiami Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Diperkirakan antara 7.000 hingga 18.000 jiwa warga akan terkena dampak relokasi akibat proyek ini.

Penolakan terhadap proyek ini bukan hanya berasal dari kekhawatiran akan relokasi, tetapi juga karena proyek ini dianggap menggusur warga dari 16 kampung tua di Rempang-Galang.

Sejarah proyek ini juga menunjukkan adanya potensi hambatan. Sebelumnya, pada tahun 2009, BP Batam, PT Makmur Elok Graha (MEG), dan Pemerintah Kota Batam telah menandatangani perjanjian untuk pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000Ha, Pulau Setokok seluas 300 Ha, dan Pulau Galang seluas 300 Ha.

Proyek tersebut dikenal dengan nama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Namun, proyek ini sempat terhambat karena dugaan korupsi.

Selain itu, ada kritik tajam terhadap pemerintah yang dianggap hanya mementingkan aspek ekonomi dan investasi, sementara mengabaikan hak-hak masyarakat yang terdampak.

Isu-isu seperti penolakan masyarakat lokal, kriminalisasi warga, dan ancaman penggusuran menjadi sorotan utama dalam konteks proyek ini.

Proyek Rempang Eco City, meskipun memiliki potensi ekonomi yang besar, membawa sejumlah tantangan dan isu sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, pengembang, dan masyarakat luas.

**Baca Juga: Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Dilema Antara Kepentingan ekonomi-investasi dan Dampak Sosial-hak-hak masyarakat

Dilema antara kepentingan ekonomi dan investasi dengan dampak sosial dan hak-hak masyarakat, khususnya di kampung adat Pulau Rempang, menjadi sorotan utama dalam pembangunan Rempang Eco City.

Di satu sisi, proyek ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah dengan mendatangkan investasi besar dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi diharapkan mampu menarik minat investor dan turis, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah.

Namun, di sisi lain, proyek ini membawa dampak sosial yang signifikan.

Rencana relokasi warga, terutama mereka yang tinggal di 16 kampung tua di Rempang-Galang, menjadi titik kontroversi. Banyak dari warga ini memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhur mereka dan memiliki tradisi serta budaya yang telah berlangsung turun-temurun.

Penggusuran dan relokasi bukan hanya berarti perpindahan fisik, tetapi juga pemutusan akar budaya dan sejarah.

Dalam konteks ini, dilema muncul ketika kepentingan ekonomi dan investasi dianggap lebih utama daripada hak-hak masyarakat adat dan dampak sosial yang ditimbulkan.

Pertimbangan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian hak dan budaya masyarakat menjadi esensial dalam setiap kebijakan pembangunan.

Perlu Pendekatan Inklusif dan Holistik

Menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian hak serta budaya masyarakat memerlukan pendekatan yang inklusif dan holistik.

Faktanya, penetapan Proyek Rempang Eco City melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dilakukan tergesa dan tidak melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan. Dampaknya aspirasi dan kekhawatiran warga tidak terwakili dengan baik.

Selain itu penetapan Rempang Eco City menjadi PSN tersebut dilakukan tanpa studi mendalam tentang dampak sosial dan budaya dari proyek yang direncanakan.

Ketiadaan kajian yang mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko menyebabkan terjadi penolakan luar biasa dari masyarakat 16 kampung tua yang akan direlokasi.

Kompensasi yang adil dan memadai juga tidak diberikan dengan terencana.

Berdasarkan temuan awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM 7 September 2023 di Pulau Rempang oleh 9 lembaga termasuk YLBHI, WALHI, Kontras dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang diketahui BP Batam hanya melakukan sosialisasi kepada warga yang terdampak sebanyak 2 kali.

Dalam sosialisasi tersebut, warga diminta untuk membawa kelengkapan dokumen yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan besaran ganti rugi yang akan diterima.

Sosialisasi ini dianggap searah dan tidak partisipatif karena hanya memaparkan program relokasi tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.

Warga diminta untuk mendaftarkan diri untuk direlokasi dengan membawa bukti-bukti kepemilikan tanahnya dari tanggal 11-20 September di dua tempat yang telah ditentukan, yaitu Kantor Kecamatan Galang di Sembulang dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) yang kini berganti menjadi Kantor Koramil.

Komunikasi satu arah menyebabkan muncul ketidakpuasan terutama bagaimana mata pencaharian mereka selanjutnya dan adat budaya yang hilang karenanya.

Proses sosialisasi dan penawaran kompensasi dilakukan tanpa dialog yang cukup dan memadai dan terkesan pihak pengembang dan pemerintah abai mendengar aspirasi warga.

Transparansi dalam menyediakan informasi tentang proyek dan kerjasama erat dengan organisasi masyarakat sipil dan kelompok adat juga tidak dilakukan secara layak dan baik.

Faktanya protes keras warga yang disertai kekerasan HAM terjadi pada saat BP Batam melakukan pematokan wilayah mereka pada 7 September 2023 dan 11 September 2023

Proses penetapan proyek Rempang Eco City jelas tidak dilakukan dalam kontek proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang baik.

Dampaknya, proyek tersebut pasti abai terhadap pelestarian nilai-nilai masyarakat, ketiadaan keberlanjutan dan penolakan yang lebih luas dari penetapan Rempang Eco City menjadi proyek strategis nasional.

Bersambung Bagian 2




Tokoh-Tokoh Nasional Bersatu Lawan Relokasi Paksa!

Kabar6-Gerakan nasional untuk melindungi hak-hak warga Pulau Rempang kini mendapatkan momentum yang kuat.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, petisi “Hentikan Relokasi dan Lindungi Hak Tinggal Masyarakat Pulau Rempang” telah mendapatkan dukungan dari 2.293 orang.

Petisi ini digagas oleh para tokoh bangsa, guru besar, dan akademisi terkemuka di Indonesia.

Demikian rilis Narasi Institute terkait soal Rempang yang diterima Kabar6.com, Minggu (17/9/2023).

Achmad Nur Hidayat, CEO Narasi Institute dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, sebagai inisiator petisi, menyatakan bahwa petisi ini merupakan bentuk kepedulian ilmuwan terhadap hak tinggal masyarakat Pulau Rempang.

Menurutnya, warga setempat telah dipecah belah dengan janji kompensasi hunian, meski sebagian besar menolak.

Namun, pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa hak atas tanah di Pulau Rempang telah diberikan kepada perusahaan sejak 2001-2002 menimbulkan kontroversi.

Prof. Didin S Damanhuri, salah satu penggagas petisi, menilai pernyataan tersebut ahistoris dan menekankan bahwa warga Rempang telah menempati pulau tersebut sejak 1834.

“Mahfud MD cenderung berpihak kepada investor dan hanya berdasarkan pada data formal yang bisa direkayasa oleh pemodal besar, Ujar Prof Didin S Damanhuri yang juga Guru Besar Ekonomi Politik.

Polemik ini semakin memanas dengan kritik dari Dr. Anthony Budiawan, salah satu penggagas petisi lainnya yang menilai pernyataan Mahfud MD sebagai tidak jelas dan cenderung berpihak pada investor.

Dia menyoroti perjanjian 2004 yang menyatakan Kampung Tua di Pulau Rempang harus dipertahankan, namun kini tampak adanya upaya “perampasan” hak tanah warga.

Dr. Anthony Budiawan, salah seorang pengagas petisi mengatakan : “Mahfud MD memberikan pernyataan yang tidak jelas dan tidak berguna. Hak tanah warga setempat yang telah tinggal sejak lama tidak boleh dirampas demi investasi”.

Anthony Budiawan mempertanyakan siapa yang diberi hak atas tanah sejak 2001-2002 dan apakah itu merujuk pada PT MEG. Dia mengutip perjanjian antara Otorita Batam, Pemko Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2004 yang menyatakan bahwa Kampung Tua di Pulau Rempang harus dipertahankan. Namun, kini tampaknya ada upaya ‘perampasan’ hak tanah warga oleh investor dengan dukungan pemerintah. “Ini sebagai bentuk ‘kolonialisme’ modern dan menyerukan agar dihentikan.” Ujar Dr Anthony Budiawan yang juga merupakan managing director PEPS.

**Baca Juga: Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Dukungan besar datang dari tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah; Prof. Didin S Damanhuri, Guru Besar IPB dan Universitas Paramadina; Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Teknologi Kelautan ITS, Surabaya; Prof. Masroro Lilik Ekowanti, Guru Besar Universitas Hang Tuah Surabaya; Prof. Prijono Tjiptoherijanto, Guru Besar Universitas Indonesia; Prof. Yudhie Haryono Ph.D, Ketua PKPK UMP; Prof. Zainal Muttaqin, Guru Besar Universitas Diponegoro; Prof. Dr. Drg. H. Ardo Sabir, M.Kes, Guru Besar Universitas Hasanuddin; Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta; dan Prof. Ir. Joni Hermana, Msces, Phd, Rektor Senior ITS Surabaya, Dr Anthony Budiawan, Managing Director PEPS, Dr Fadhil Hasan, Dr Muhamad Said Didu dan banyak ekonom lainnya.

Mereka, bersama dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, telah bersatu untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat Pulau Rempang tetap dilindungi dan dihormati.

Dengan dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka ini, gerakan ini diharapkan dapat membawa perubahan nyata bagi warga Pulau Rempang.

Indonesia, dengan posisinya yang strategis, harus waspada terhadap potensi ambisi teritorial dari negara-negara besar.

Dalam konteks ini, Prof. Didin menekankan pentingnya Indonesia menjaga sikap non-aliansi dan berfokus pada kesejahteraan rakyat.

Menurut Prof Didin S Damanhuri, Guru Besar, warga Rempang telah menempati pulau tersebut sejak 1834, sehingga mereka memiliki Hak Ulayat yang harus dihormati oleh pemerintah.

Dia menekankan bahwa pulau-pulau di sekitar Batam sangat strategis untuk investasi karena kedekatannya dengan Singapura dan Malaysia. Selain itu, pulau-pulau tersebut juga menjadi target investor dari RRC, terkait klaim historis mereka di Laut China Selatan.” Ujar Didin S Damanhuri

Dengan semakin banyaknya dukungan dari berbagai pihak, gerakan ini diharapkan dapat menjadi titik balik dalam perlindungan hak-hak warga Pulau Rempang dan menjadi sorotan nasional. Gerakan ini tidak hanya menjadi sorotan di Indonesia, tetapi juga diharapkan dapat mendapatkan perhatian internasional. Dengan dukungan yang terus meningkat, masyarakat optimis bahwa suara mereka akan didengar dan hak-hak mereka akan dilindungi.

Dalam era digital saat ini, gerakan seperti ini memiliki potensi untuk menjadi viral dan mendapatkan dukungan dari seluruh penjuru dunia. Dengan kekuatan media sosial dan dukungan dari tokoh-tokoh nasional, gerakan ini diharapkan dapat mencapai tujuannya dan memberikan keadilan bagi warga Pulau Rempang.

#LindungiRempang menjadi tagar yang diharapkan dapat menjadi gerakan nasional dan mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan semangat persatuan dan keadilan, Indonesia diharapkan dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini tetap berkomitmen untuk melindungi hak-hak warganya. Warga dapat mengikuti petisi tersebut di change.org pada link berikut: ttps://chng.it/Mq4L7FJ9HY .(*/Red)




Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Kabar6-Situasi di Pulau Rempang, Provinsi Kepri, semakin mencekam. Pasca-rencana relokasi yang menimpa masyarakat setempat, kini 400 tambahan aparat kepolisian didatangkan ke pulau tersebut. Dalam suasana yang semakin tegang, para tokoh nasional bangkit dan menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu dan beraksi.

Pulau Rempang, yang telah menjadi rumah bagi penduduknya selama berabad-abad, kini berada di ambang perubahan besar. Rencana pengosongan lahan yang melibatkan investor asing bukan hanya mengancam warisan budaya dan sejarah, tetapi juga hak dasar warganya untuk tinggal di tanah leluhur mereka.

Demikian siaran pers tertulis terkait petisi soal Rempang dari Narasi Institute yang diterima Kabar6.com, Sabtu (16/9/2023).

Disebutkan bahwa, sebagai tindak lanjut dari Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan oleh Narasi Institute dengan tema “Konflik Tanah Rempang antara Hak Rakyat dan Kepentingan Investor” pada Jumat, 15 September lalu, petisi ini digagas. Dalam Zoominari tersebut, narasumber yang hadir antara lain Prof. Didin S Damanhuri, Dr. Anthony Budiawan, Dr. Muhamad Said Didu, dan Dr. Fadhil Hasan. Diskusi yang mendalam dan penuh empati tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah konkret dalam bentuk petisi.

Lima Poin Tuntutan Petisi:

Pertama, Dialog Terbuka: Mendesak pihak berwenang, investor, dan semua pihak terkait untuk membuka dialog konstruktif dengan masyarakat Pulau Rempang.

Kedua, Hentikan Relokasi Paksa: Menghentikan segala bentuk relokasi tanpa persetujuan masyarakat setempat.

Ketiga, Pertimbangan Lingkungan: Memastikan bahwa setiap keputusan investasi mempertimbangkan dampak lingkungan dan keberlanjutan ekologi Pulau Rempang.

Keempat, Perlindungan Hak Asasi: Menjamin hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat Pulau Rempang dalam setiap kebijakan yang diambil.

Kelima, Transparansi Proyek: Memastikan transparansi dalam setiap proyek investasi, termasuk pemangku kepentingan dan manfaat yang diperoleh masyarakat setempat.

Dengan kehadiran tambahan aparat kepolisian, urgensi petisi ini menjadi semakin mendesak. “Kita harus memastikan bahwa suara masyarakat Pulau Rempang didengar oleh Presiden Jokowi. Ini bukan hanya tentang Pulau Rempang, tetapi tentang integritas dan komitmen kita sebagai bangsa terhadap hak asasi setiap warga,” ujar Prof. Didin S Damanhuri.

Untuk itu, kami mengajak Anda untuk berpartisipasi aktif mendukung petisi ini. Setiap tanda tangan berarti satu langkah lebih dekat untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat Pulau Rempang.

Bergabunglah dengan kami dan tunjukkan dukungan Anda. Tandatangani petisi di

https://www.change.org/p/hentikan-relokasi-dan-lindungi-hak-tinggal-masyarakat-pulau-rempang-kepulauan-riau/sfs/copy/1245398289?recruiter=1245398289&recruited_by_id=2e10577c-1790-40e8-8bb6-d06943b7c3cb&utm_source=share_petition&utm_campaign=share_for_starters_page&utm_medium=copylink

Petisi ini harus segera beredar luas agar mendapat perhatian dari Presiden Jokowi. Setiap tanda tangan Anda berarti. Mari bersama-sama beraksi untuk keadilan bagi masyarakat Pulau Rempang!

Petisi tersebut dirilis pada Sabtu 16 September 2023 siang hari dan diprediksi terus bertambah.

Petisi ini mencerminkan suara hati masyarakat Pulau Rempang yang berharap keadilan. Tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Prof. Daniel M Rosyid, dan Prof. Prijono Tjiptoherijanto telah menunjukkan dukungannya. Namun, suara mereka akan lebih kuat dengan dukungan Anda.

https://chng.it/Bt7TT4Cg8F

https://chng.it/Bt7TT4Cg8F

https://chng.it/Bt7TT4Cg8F

**Baca Juga: Dugaan Monopoli Padi di Banten, Al Muktabar: Petani Diuntungkan

Tokoh Penggagas PETISI

FORUM PEDULI ANAK BANGSA HENTIKAN RELOKASI DAN LINDUNGI HAK DASAR RAKYAT PULAU REMPANG

Tokoh Penggagas PETISI

FORUM PEDULI ANAK BANGSA HENTIKAN RELOKASI DAN LINDUNGI HAK DASAR RAKYAT PULAU REMPANG

1. Prof. Dr. M. Din Syamsuddin; Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

2. Prof. Prijono Tjiptoherijanto; Guru Besar Universitas Indonesia

3. Prof. Didin S Damanhuri; Guru Besar IPB Dan Paramadina

4. Prof.Dr. H. Utang Ranuwijaya, MA., Guru Besar Institut Agama Islam Ma’arif NU Metro Lampung

5. Prof. Daniel Mohammad Rosyid; Guru Besar Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

6. Prof. Lilies Setiartiti; Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogjakarta

7. Prof. Masroro Lilik Ekowanti; Guru Besar Universitas Hang Tuah Surabaya

8. Prof. Yudhie Haryono Ph.D; Ketua PKPK UMP

9. Prof. Zainal Muttaqin; Guru Besar Universitas Diponegoro

10. Prof. Dr. Drg. H. Ardo Sabir, M.Kes; Guru Besar Universitas Hasanuddin

11. Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag.; Guru Besar Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

12. Prof. Ir. Joni Hermana, Msces, Phd; Rektor Senior Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

13. Prof. Widi Agus Pratikto PhD; Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

14. Prof. Husein Albar; Guru Besar Universitas Hasanuddin

15. Prof. Nurhayati Djamas; Guru Besar Universitas Al Azhar Indonesia

16. Prof. Agus Widarjono, Ekonom Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

17. DR. Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

18. DR. Muhammad Said Didu; Ekonom Senior

19. DR. Fadhil Hasan; Ekonom Senior

20. DR. Taufan Maulamin Se Ak Mm; Auditor

21. DR. Abdul Malik; Ekonom Senior

22. DR. Ibnu Sodiq M. Hum; Sejarawan Unnes

23. Drs. Afrinaldi Msi; Praktisi Sosial

24. Furqan Jurdi; Ketua Umum PP Pemuda Madani

25. Ir. Haryo Dwito Armono, St., M.Eng., Ph.D, Ipm Asean Eng; Coastal Engineer -Institut Teknologi Sepuluh Nopember

26. Ir. Jilal Mardhani; Planolog

27. Ir. Nur Aini Bunyamin; Aktivis Sosial

28. Ir. Sritomo Wignjosoebroto Msc. Ipu, Asean Eng; Alumni Lemhannas Kra 28

29. Muhammad Herwan; Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau / Presidium Kami Riau

30. Reza Indragiri Amriel; Akademisi Dan Pekerja Perlindungan Anak

31. Achmad Nur Hidayat MPP; Ekonom Dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

32. Rusdianto Samawa, Sip, M.I.K.; Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia Dan Front Nelayan Indonesia

33. M Hatta Taliwang; Admin WA Grup Konstitusi dan Masalah Negara

34. Ana Mustamin, S.Sos, MSi.; Wakil Ketua ASPRINDO

35. Irwanuddin H.I.Kulla; Dosen Universitas Azzahra

36. Ir. Hasanuddin Sessu; Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil

37. M.Yusuf ; Aktivis Pembela Masyarakat Marginal

38. Andi Susnadi; Mahasiswa Jawa Barat

39. Taufik Bahaudin; UI Watch

40. Muhamad Karim; Dosen Universitas Trilogi Jakarta

41. Endang Komara; Aktivis Seni Budaya dan Publik pengisi Petisi di https://chng.it/Bt7TT4Cg8F.(*/Red)




Kekeliruan pemerintah dan sensitifitas para Capres terhadap Konflik Pulau Rempang

Kabar6

Oleh : Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute)

Kabar6-PT Makmur Elok Graha, entitas anak dari Grup Artha Graha milik Tomy Winata, telah dengan semena-mena mengklaim hak eksklusif atas Rempang Eco City. Mereka dengan bangga mengumumkan sertifikat hak guna bangunan seluas 16.583 hektare selama 80 tahun, tanpa menghiraukan riwayat tanah tersebut. Pulau Rempang bukanlah sekadar lahan kosong yang siap dikomersilkan; ia adalah rumah bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, yang kini melihat warisan dan sejarah mereka diancam oleh ambisi korporat.

Sejak Agustus 2004, rencana untuk mengembangkan Pulau Rempang memang telah ada. Tapi, proyek ini terhenti pada satu titik karena dugaan korupsi, sebuah narasi yang terlalu sering kita dengar dalam proyek-proyek besar di tanah air. Namun, rupanya niat eksploitasi ini tidak padam. PT MEG, dengan dukungan Kepala BP Batam, dengan nekat memforsir agenda mereka, berupaya menjadikan Pulau Rempang sebagai mesin ekonomi baru Indonesia dengan investasi masif.

Di balik retorika kemajuan dan lapangan kerja, ada kenyataan pahit: penggusuran paksa dan penghilangan sejarah serta kultur. Proses penggusuran yang dilakukan bukanlah hal yang simpatik; itu brutal, represif, dan melukai hati masyarakat yang warisan budaya dan sejarahnya dilecehkan.

Adapun rencana kerjasama dengan produsen kaca raksasa dari China, Xinyi Glass Holdings Ltd., bukanlah pembenaran. Ya, mereka mungkin berinvestasi besar di Kawasan Industri Rempang dan berambisi besar, tapi apa artinya semua itu jika harga yang harus dibayar adalah kehilangan sejarah dan identitas masyarakat asli Rempang?

Pulau Rempang bukan sekadar lahan. Ini adalah saksi sejarah, tempat dimana masyarakat telah bermukim sejak sebelum kemerdekaan. Mereka bukanlah penghuni sementara yang bisa dengan mudah digeser. Tidak ada investasi yang cukup berharga untuk menghapus jejak sejarah dan kultur masyarakat Rempang.

Namun, ketika suara-suara protes muncul, ketika masyarakat Rempang berdiri teguh melawan penggusuran, mereka ditemui dengan kebrutalan. Demonstrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi berubah menjadi medan pertempuran, dengan enam orang terluka dan 45 lainnya ditahan. Ini bukanlah wajah Indonesia yang kita kenal. Ini adalah cerminan dari bagaimana korporasi dan kepentingan tertentu mendahului hak dan kemanusiaan.

Masyarakat Rempang bukanlah pion dalam papan catur investasi. Generasi demi generasi telah tumbuh dan berkembang di Pulau Rempang, menjadikannya bukan hanya sebagai lahan, tetapi sebagai tanah air, pusat kebudayaan, dan jejak sejarah yang mendalam. Setiap inci tanah Rempang memiliki kisah, dan setiap angin yang bertiup membisikkan cerita leluhur yang telah berjuang di tanah tersebut. Mereka bukanlah entitas yang bisa dengan mudah digeser atau dipindahkan hanya karena janji investasi semu.

Penggunaan kekuatan secara represif terhadap masyarakat, dalam upaya penggusuran, adalah tindakan yang tak hanya tidak bermoral, tetapi juga melanggar hak-hak dasar kemanusiaan. Mereka yang berdiri di garis depan, mempertahankan tanah leluhur mereka, bukanlah penghalang bagi kemajuan, melainkan pelindung warisan budaya yang tak ternilai harganya. Mereka berhak atas kepastian hukum, penghormatan, dan keadilan.

Investasi seharusnya membawa manfaat bagi seluruh elemen masyarakat, bukan hanya menguntungkan segelintir investor. Tidak ada alasan yang cukup adil untuk mengorbankan hak dan keberlanjutan hidup masyarakat demi keuntungan finansial jangka pendek. Sebuah negara yang adil dan maju sejati adalah negara yang menjunjung tinggi hak-hak masyarakatnya, terutama mereka yang rentan dan marjinal. Di dalam konteks Rempang, kesejahteraan dan hak masyarakat asli harus selalu menjadi prioritas.

Tomy Winata dibalik proyek Rempang Eco City

Konflik lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak semata-mata menjadi perbincangan masyarakat setempat. Nama besar Tomy Winata mencuat sebagai salah satu aktor di balik permasalahan tersebut, mengungkap bahwa konflik tersebut memiliki latar belakang yang lebih kompleks dari sekadar masalah sertifikat tanah.

Tomy Winata bukanlah sosok asing di dunia usaha Indonesia. Sebagai pengusaha berpengaruh, ia memiliki berbagai lini bisnis yang berkembang di bawah bendera Grup Artha Graha. Nama besar dan jaringannya membuat ia mudah menggarap berbagai proyek di berbagai bidang, merentang dari properti hingga sektor lain yang menjanjikan.

Salah satu proyek megah yang pernah ia genggam adalah pembangunan kawasan perkantoran Sudirman Central Business District (SCBD) di Jakarta. Kawasan tersebut kini menjadi salah satu sentra bisnis paling elit di Ibu Kota, dengan berbagai gedung pencakar langit dan fasilitas mewah.

Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, memastikan peran serta Tomy Winata dalam proyek Rempang Eco City. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun proyek tersebut dikemas dengan latar belakang investasi dari China, tetapi ada kepentingan lokal yang kuat di dalamnya.

Pada tahun 2023, beredar kabar bahwa PT Makmur Elok Graha, salah satu perusahaan di bawah Grup Artha Graha, memindahkan operasionalnya ke kawasan Orchard Park Batam. Hal ini semakin mempertegas bahwa ada niat kuat dari pihak Tomy Winata untuk menggarap lahan di Pulau Rempang secara maksimal.

Namun, tidak semua proyek yang dipegang oleh Tomy Winata berjalan mulus. Sepanjang karirnya, berbagai proyek yang ia genggam mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Sebagai contoh, proyek reklamasi Teluk Benoa yang sempat menggemparkan masyarakat Bali. Penolakan masyarakat setempat terhadap proyek tersebut menjadi bukti bahwa tidak semua kepentingan bisnis dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat, terutama jika menyangkut isu-isu lingkungan dan keberlanjutan.

Keberadaan Masyarakat Rempang jauh sebelum Kemerdekaan RI harus jadi bahan pertimbangan kepemilikan lahan

Warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, selama ini hidup dan tumbuh tanpa memiliki sertifikat resmi atas lahan yang mereka tempati dan rawat. Tanah yang menjadi saksi bisu pertumbuhan generasi demi generasi sehingga tumbuh masyarakat adat menjadi ironisnya jika tidak memiliki status hukum yang jelas.

Hadi Tjahjanto, selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, menyatakan bahwa lahan tersebut tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Meskipun demikian, apakah hanya berdasarkan status hukum yang tertera di atas kertas, hak-hak masyarakat asli dapat dengan mudah diabaikan?

Terkadang, kebijakan pemerintah terjebak dalam kerangka birokrasi, mengabaikan lapisan sejarah yang mendalam. Pemerintah tampaknya telah luput dalam menilai sejarah keberadaan masyarakat Rempang yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Mengesampingkan sejarah panjang sebuah komunitas adalah kesalahan yang fatal.

Harus ada langkah konkrit dari pemerintah untuk memberikan kejelasan hak atas tanah tersebut. Bukan sekedar mengklaimnya sebagai tanah negara dan mengabaikan hak-hak komunitas yang telah lama hidup di sana. Kejelasan status dan pengakuan atas hak masyarakat setempat adalah hal yang mutlak, agar mereka tidak hidup dalam ketidakpastian dan ketidakadilan.

Bagaimana sensitifitas para Capres menanggapi konflik di Pulau Rempang? 

Sejauh ini baru Anies Baswedan yang berani berkomentar mengenai kasus ini.
Anies Baswedan mengatakan bahwa ““Begitu kita bicara tentang investasi, maka sesungguhnya investasi itu tujuan akhirnya bukan sekedar memperkaya investor, tapi meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Nah kalau kegiatan investasi justru memicu penderitaan, justru memicu kondisi yang tidak sehat di dalam kesejahteraan rakyat, maka ini perlu ada langkah-langkah koreksi. Kami merasakan pengalaman di Jakarta, ketika ada tindakan-tindakan kekerasan yang menyangkut penggeseran, penggusuran itu luka sosialnya lama.”.

Anies Baswedan pun mencontohkan yang terjadi pada kampung rambutan, “Kampung Aquarium datang ke sana kita akan ketemu dengan mereka yang memiliki luka yang amat dalam. Nah kami melihat pendekatan yang penting adalah pendekatan dialog, bicarakan baik-baik, apalagi ketika kita berbicara tentang Project yang jangkanya amat panjang. Lebih baik dilakukan pembicaraan panjang, rumit, ribet tapi melibatkan semua, dan sampai pada kesimpulan yang diterima, baru kemudian eksekusi. Dengan cara seperti itu maka kita akan bisa merasakan pembangunan yang prosesnya dirasakan sebagai proses yang baik, yang benar. Dan bila kita yakin bahwa pendekatan mengandalkan keadilan itu dijalankan dengan benar, dan kami yakin itu, maka ketenangan keteduhan akan hadir,” imbuhnya.

**Baca Juga: Seorang Guru SD di Lebak Dilarikan ke RS Usai Diduga Dianiaya Sesama Guru

Anies Baswedan tidak bisa dipungkiri mempunyai pengalaman dalam hal ini. Pendekatan humanis yang pernah dia lakukan untuk persoalan yang hampir mirip. Dan harus digaris bawahi bahwa memang adanya investor seharusnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.

Adapun Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tampaknya agak sulit jika harus berbicara dengan tone yang sama dengan Anies Baswedan. Hal ini dapat difahami jika Prabowo dan Ganjar tidak berkomentar mengingat mereka berdua adalah pro keberlanjutan.

POLRI terlalu represif meninggalkan luka batin di masyarakat

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mendapat perintah langsung dari Presiden Joko Widodo terkait kericuhan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Sebagai respons, Jenderal Listyo telah memutuskan untuk kembali menggelar langkah komunikasi dengan warga setempat. Dia menyerukan agar semua pihak, baik warga maupun pemerintah, tetap tenang dan bersama-sama membahas masalah-masalah yang muncul demi menemukan solusi terbaik.

Tak hanya itu, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, juga dijadwalkan akan turun langsung ke Pulau Rempang untuk turut serta dalam proses komunikasi dengan warga, agar bisa mendengar langsung aspirasi dan keluhan masyarakat. Hal ini terkait erat dengan proyek Rempang Eco City yang akan menjadi lokasi pembangunan pabrik oleh Xinyi Glass Holdings Ltd, salah satu produsen kaca terbesar asal China. Produsen ini berencana membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa dengan nilai investasi mencapai US$11,5 miliar, menjadikannya pabrik kaca kedua terbesar di dunia setelah di China.

Ekspektasi yang tinggi dari pembangunan pabrik tersebut, di antaranya adalah pembukaan lapangan kerja baru yang tentunya bisa meningkatkan ekonomi lokal Batam. Listyo Sigit Prabowo yakin bahwa warga setempat akan dapat memahami tujuan dari pembangunan tersebut jika disampaikan dengan baik dan benar. Untuk itu, pendekatan komunikasi yang akan dilakukan Kapolri bersifat edukatif dan persuasif, melibatkan musyawarah bersama warga, tanpa adanya tindakan represif.

Meski begitu, pihak kepolisian tetap melakukan antisipasi dengan menempatkan beberapa personel di lokasi. Langkah ini diambil untuk mencegah adanya provokasi atau potensi pelanggaran hukum lainnya yang bisa merusak suasana. Namun, kritik muncul terhadap kapolri dengan beberapa pihak menilai bahwa respons ini terlambat. Pasalnya, tindakan represif sudah terjadi dan yang diperlukan saat ini adalah langkah konkret dari kepolisian untuk melepaskan semua demonstran yang ditangkap demi mendinginkan suasana yang memanas.

Kekhwatiran Publik terhadap Investasi di Pulau Rempang

Ada kekhawatiran publik terhadap proyek investasi di Pulau Rempang. Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul adalah: “Siapakah yang akan menikmati manfaat terbesar dari pabrik pengolahan pasir kuarsa?” Karena jika berkaca pada kerjasama dengan China di pertambangan Nikel di Indonesia dimana Pihak asing yang akan mendapatkan keuntungan lebih besar.? Atau apakah Indonesia, sebagai negara pemilik Sumber Daya Alam, yang akan berperan sebagai penerima manfaat utama, sementara publik menilai dalam soal kerjasama dengan China, Indonesia tampak lemah dari sisi negosiasi?

Selain itu, salah satu janji yang seringkali diungkapkan oleh para investor adalah penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun, mengacu pada kerjasama di sektor lain seperti tambang nikel dan Kerjasama China-Jawa Barat (KCJB), tampaknya masih ada ketimpangan. Dalam banyak kasus, tenaga kerja asing (TKA) mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang tentu menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat. Hal ini pun akan menjadi benih-benih konflik jika tidak ada kesetaraan dan keadilan.

Transparansi dalam setiap langkah kerjasama investasi menjadi hal yang sangat krusial. Pemerintah harus memastikan bahwa kerjasama dengan pihak asing tidak merugikan rakyat Indonesia. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal martabat sebuah bangsa. Tidak ada seorang pun yang ingin melihat rakyatnya menjadi buruh di tanah airnya sendiri, hanya karena ada ketimpangan hak dan keuntungan.

Sebagai representasi rakyat, pemerintah memiliki kewajiban untuk mendengar dan memahami aspirasi masyarakat. Sebelum mengeluarkan izin proyek, harus ada jaminan bahwa kepentingan individu atau kelompok tertentu tidak dikedepankan di atas hak-hak masyarakat banyak.

Kekhawatiran publik bukan tanpa dasar. Mengingat banyaknya kerjasama dengan negara-negara seperti China, yang seringkali memberi kesan bahwa manfaat terbesar lebih dinikmati oleh pihak asing, khususnya China. Dalam konteks ini, pemahaman dan kebijakan yang adil serta inklusif dari pemerintah sangat diharapkan.

Rekomendasi

Dalam menghadapi konflik di Pulau Rempang, sangat penting bagi pemerintah untuk mengadakan dialog terbuka dengan masyarakat lokal. Ini bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai upaya nyata untuk memahami aspirasi, kekhawatiran, dan kebutuhan masyarakat. Seluruh izin yang telah diberikan kepada investor perlu ditinjau ulang untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hukum dan ketentuan yang berlaku, serta untuk memastikan kepentingan masyarakat setempat diperhatikan.

Pelibatan aktif masyarakat dalam setiap tahapan pengambilan keputusan adalah kunci. Hal ini memastikan bahwa suara mereka didengar dan dipertimbangkan dalam setiap keputusan, mulai dari pembuatan perjanjian hingga implementasi proyek. Selanjutnya, sebagai bagian dari komitmen investor, harus ada jaminan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal. Hal ini bertujuan agar mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan di proyek tersebut dan memastikan lapangan pekerjaan yang diciptakan dapat dinikmati oleh masyarakat setempat.

Dalam menjalankan proyek, pemerintah harus melakukan pemantauan berkala untuk memastikan proyek memberikan manfaat yang diharapkan dan tidak memberikan dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan. Menghormati hak tanah dan budaya masyarakat lokal adalah hal yang sangat fundamental. Banyak masyarakat Pulau Rempang yang telah tinggal di sana sejak lama, dan hak-hak mereka, termasuk warisan budaya dan sejarah, harus dihormati.

Jika terjadi kebutuhan untuk penggusuran atau relokasi, pemerintah harus memastikan masyarakat menerima kompensasi yang adil dan memadai. Opsi relokasi yang ditawarkan harus memenuhi standar kelayakan hunian dan memberikan akses yang memadai ke fasilitas dasar. Di atas semua itu, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan dan keputusan adalah kunci. Masyarakat berhak mengetahui detail perjanjian, potensi manfaat, dan risiko yang mungkin timbul. Dengan mengedepankan kesejahteraan masyarakat, pemerintah dapat memastikan bahwa proyek di Pulau Rempang memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.(*/Red)




Konflik Tanah Pulau Rempang: Hak Rakyat, Kepentingan Swasta, dan Konflik Kepentingan Pemerintah

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Kabar6-Konflik tanah di Pulau Rempang telah memperlihatkan betapa rumitnya pertarungan antara hak asasi rakyat, ambisi bisnis swasta, dan dilema kepentingan pemerintah. Sebagai bangsa yang berdiri di atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita harus merenung: apakah kita telah memenuhi janji tersebut?

Sejarah mencatat bagaimana masyarakat adat Pulau Rempang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau tersebut sejak 1834. Mereka bukanlah pendatang, melainkan bagian dari warisan budaya dan sejarah bangsa ini. Namun, ironisnya, mereka yang telah berakar kuat di tanah ini, kini terancam oleh kepentingan bisnis dan pemanfaatan tanah melalui HGU.

Sebagai seorang ekonom dan pengamat kebijakan publik, saya memahami pentingnya investasi dan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan hak-hak dasar rakyatnya adalah pertumbuhan yang cacat. Kita tidak bisa membangun negeri di atas penderitaan dan pengorbanan rakyat kecil.

Kasus Pulau Rempang adalah cerminan dari banyak kasus serupa di seluruh negeri ini, di mana rakyat kecil sering kali menjadi korban dari kepentingan bisnis dan politik. Pemberian HGU kepada pihak swasta tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera diatasi.

**Baca Juga: 1 Pelaku Pemerkosa Bergilir Warga Serang Ditangkap, 9 Orang Masih Diburu

Saya menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung memihak kepada investor dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Seharusnya, pemerintah hadir sebagai mediator yang adil, bukan sebagai pihak yang menambah beban rakyatnya. Apalagi, ada indikasi kuat bahwa pemegang HGU telah melanggar ketentuan dengan tidak memanfaatkan tanah tersebut selama bertahun-tahun. Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya kepada rakyat dengan mencabut HGU tersebut dan memberikannya kembali kepada masyarakat adat.

Selain itu, tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai bangsa yang beradab, kita harus menyelesaikan konflik dengan dialog dan musyawarah, bukan dengan kekerasan.

Saya mengajak seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk bersama-sama mencari solusi terbaik bagi konflik tanah di Pulau Rempang. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan adil.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata Bung Karno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah)”. Mari kita tidak melupakan sejarah dan perjuangan rakyat Pulau Rempang. Bangsa Indonesia seharusnya berjuang bersama mereka untuk keadilan dan kebenaran.(*/Red)