1

Jokowi Ingatkan Kejagung Gunakan Kewenangannya Secara Benar 

Kabar6-Presiden RI, Joko Widodo, memimpin dan memberikan sambutan pada Upacara Hari Bhakti Adhyaksa ke-63 dengan tema “Penegakan Hukum yang Tegas dan Humanis Mengawal Pembangunan Nasional.” Acara berlangsung di Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, pada Sabtu (22/7/2023).

Upacara dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani.

Dalam sambutannya, Presiden RI  Jokowi mengucapkan selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-63 kepada seluruh keluarga besar Kejaksaan RI. Ia menyoroti betapa pentingnya peran para insan Adhyaksa dalam menegakkan hukum, menjunjung keadilan, dan berbakti untuk kemajuan Indonesia.

Jokowi menegaskan bahwa kewenangan Kejaksaan sangat besar, mencakup penyidikan, penuntutan, perampasan dan pengembalian aset, serta kewenangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden menekankan pentingnya menggunakan kewenangan tersebut secara benar, profesional, dan bertanggung jawab.

Selanjutnya, Jokowi menyampaikan kegembiraannya atas tingkat kepercayaan publik yang terus meningkat terhadap Kejaksaan. Menurut hasil survei, tingkat kepercayaan publik pada Kejaksaan mencapai 81,2% pada Juli 2023, angka tertinggi dalam kurun 9 tahun terakhir. Namun, Presiden mengingatkan untuk tetap berhati-hati dan tidak berpuas diri, karena mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan publik adalah tugas yang tidak mudah.

**Baca Juga: Mafia Tanah! Kasus Pembayaran Ganti Rugi Bendungan Paselloreng

Jokowi mendorong Kejaksaan untuk terus melakukan transformasi, menggerakkan reformasi di semua aspek, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui rekrutmen selektif dan pelatihan intensif. Presiden juga mengapresiasi kerja keras Kejaksaan dalam pengembalian kerugian negara yang signifikan.

Presiden RI Jokowi memberikan pesan penting untuk meningkatkan efektivitas kerja, mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi, dan mempermudah akses masyarakat pada pelayanan hukum. Transparansi dan akuntabilitas aparat Kejaksaan menjadi hal yang wajib, dan Presiden menekankan agar tidak ada oknum aparat yang mempermainkan hukum atau melakukan tindakan tidak terpuji.

Peran Jaksa sebagai pengacara negara juga mendapat sorotan, karena Jaksa memiliki peran penting dalam melindungi kepentingan negara dan mencegah penyalahgunaan keuangan negara.

Presiden RI menutup sambutannya dengan mengingatkan bahwa pesan yang disampaikannya tidak hanya berlaku untuk aparat Kejaksaan, tetapi juga untuk seluruh aparat penegak hukum lainnya. Dia berharap semua pihak terus menegakkan hukum, menjunjung tinggi keadilan, dan berjuang untuk kepentingan rakyat dan negara.

Hari Bhakti Adhyaksa ke-63 tahun 2023 ini merupakan momentum penting bagi Kejaksaan RI untuk terus berinovasi dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional.(Red)




Dekan FH UNSOED : MK Bakal Tolak Gugatan UU Kewenangan Kejaksaan

Kabar6-Implikasi jika permohonan pengujian secara materiil atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia itu dikabulkan, maka kewenangan Kejaksaan di bidang pidana untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang akan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, artinya kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti korupsi bukan lagi menjadi kewenangan Kejaksaan.

Demikian disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/5/2023).

Menurut Muhammad Fauzan, banyak kalangan yang mencurigai bahwa permohonan pengujian UU No. 16 Tahun 2004 untuk menghilangkan kewenangan kejaksaan di bidang peyidikan tindak pidana tertentu, dan menghilangkan Frasa Kejaksaan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi  serta 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan upaya perlawanan yang dilakukan oleh pihak  yang terlibat atau sedang berurusan dengan aparat kejaksaan dalam mengungkap berbagai tindak pidana korupsi di Indonesia. Penilaian /kesimpulan tersebut cukup beralasan karena beberapa alasan antara lain Pertama, bahwa ketentuan untuk menghilangkan kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan sebagaimana diamanatkan dalam  Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 dan upaya menghilangkan frasa “kejaksaan” dalam beberapa pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 serta UU No. 30 Tahun 2002 sudah berkali-kali dilakukan dan semuanya sudah ditolak/tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusan Mahkamah Konstitusi antara lain sebagaimana terdapat dalam  Putusan MK Nomor: 28/PUU-V/2007 tanggal 28 Maret 2008, Putusan MK Nomor: 49/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor: 16/PUU-X/2012 tanggal 8 Oktober 2012 dan Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015. Kedua, beberapa tahun terakhir ini Kejaksaan telah berhasil menangani beberapa kasus korupsi besar yang merugikan keuangan negara dengan jumlah triliunan rupiah yang dilakukan oleh beberapa korporasi besar .

Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110. Pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global. Korupsi di Indonesia sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa itu sudah merambah di segala lini, baik darat. laut dan udara atau dengan kata lain Indonesia itu sudah layaknya seperti hutan belantaranya korupsi, oleh karena itu diperlukan cara-cara yang luar biasa  (extra ordinary way) untuk menghentikannya dari bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

**Baca Juga: SesJAM-Pembinaan: Hasil Musrenbang 2023 Jadi Bahan Jaksa Agung

“Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan, termasuk kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh para pembentuk UU sebenarnya merupakan ikhtiar normatif yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia untuk menjadikan Negara Indonesia yang bebas dari korupsi,” papar Muhammad Fauzan.

Lanjutnya, sebagai negara yang tingkat kejahatan korupsinya sangat tinggi, sehingga dikatakan sebagai “hutan belantaranya korupsi” pemberantasannya tidak akan dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional, misalnya kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada satu lembaga Kepolisian saja, oleh karena itu pemberian kewenangan penyidikan kepada 3 (tiga) lembaga penegak hukum memiliki dasar argumentasi yang rasional dan sangat empirical , yakni Kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002.  Kejaksaan  sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 huruf e UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Saya percaya kali ini Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka juga akan memutus  permohonan tersebut dengan putusan yang sama dengan putusan-putusan sebelumnya, yakni menolak semua gugatan terkait konstitusionalitasnya ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 dan beberapa pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 serta UU No. 30 Tahun 2002,” tutupnya. (Red)




Waspadai Corruptor Fight Back dengan Lemahkan Kewenangan Penegak Hukum

Kabar6-Menjawab pertanyaan berbagai media terkait adanya gugatan kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan RI di Mahkamah Konstitusi, melalui siaran persnya, Minggu (14/52023), Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Dr Ketut Sumedana, memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.

Pada berbagai kesempatan, Jaksa Agung ST Burhanuddin selalu mengimbau seluruh jajaran Kejaksaan bahwa dalam penanganan perkara korupsi baik di daerah maupun di pusat, agar dilakukan secara objektif, transparan, berkesinambungan, serta yang paling terpenting tidak tebang pilih dan konsisten. Meski demikian, tentunya apapun yang dilakukan oleh Kejaksaan pasti berdampak pada psikologi ataupun ketidaksukaan terhadap institusi, sehingga dengan berbagai cara, para koruptor akan memainkan perannya seperti memberikan godaan materiil dan immateriil, bahkan dengan ancaman fisik. Tak hanya itu, cara lain yang sedang gencar dilakukan oleh para koruptor adalah menggugat kewenangan Aparat Penegak Hukum seperti uji materiil undang-undang Kejaksaan terkait kewenangan penyidikan termasuk kewenangan lain yang sangat substansial dari segi penegakan hukum.

Gugatan atas kewenangan penyidikan Kejaksaan sudah berulang kali dilakukan, salah satunya pasca disahkannya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penggugat melupakan kapasitas Jaksa dimana kewenangan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diatur dalam undang-undang Kejaksaan saja, namun juga terdapat pada undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Tak hanya itu, dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kejaksaan memiliki kewenangan sebagai penyidik. Kejaksaan telah memiliki sejarah panjang dalam penyidikan perkara mega korupsi, salah satunya pernah menjadi Koordinator Penyidik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada 1998 silam. Maka jika dikaitkan dengan diferensiasi fungsional, sangat tidak sesuai dan bahkan KPK sebagai lembaga yang memiliki penyelidik, penyidik, penuntut umum, dan eksekusi, berada dalam satu atap sebagai wujud reformasi penegakan hukum.

**Baca Juga: Daftarkan Bacaleg ke KPU, Sarah Azzahra : Bersama Rakyat Gelora Menuju Lima Besar Dunia

Selanjutnya, ketika gugatan tersebut berbicara mengenai diferensiasi fungsional, maka sebagaimana diatur dalam KUHAP yaitu pemisahan kewenangan di masing-masing lembaga seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, hal ini menjadi persoalan obscuur libel alias mengaburkan fungsi sebenarnya sebagai penegak hukum modern yang memiliki fungsi koordinasi, sinergitas, dan kolaboratif. Gugatan-gugatan tersebut sudah keluar dari konteks penegakan hukum modern dan mencederai konstitusi, yakni yang tidak ada satu lembaga pun memiliki kewenangan absolut dari sisi penegakan hukum termasuk Jaksa sebagai dominus litis yakni pengendali perkara, serta masih mempunyai fungsi koordinasi dengan penyidik dan pengawasan dengan pengadilan maupun lembaga pemasyarakatan.

Adapun tugas dan kewenangan Kejaksaan yakni penanganan perkara mulai dari hulu sampai ke hilir, serta memastikan penyidikan dari berbagai institusi berjalan baik, sehingga menghasilkan penuntutan dan proses pembuktian yang baik pula. Bahkan dalam proses upaya hukum biasa sampai luar biasa, akan menjadi tanggung jawab Kejaksaan selaku Penuntut Umum dan Jaksa, hingga eksekusi terhadap putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inchract).

Oleh karenanya, terjadi kekeliruan dengan menempatkan proses penyidikan berdasarkan diferensiasi fungsional yang justru hanya mengkotak-kotakan fungsi masing-masing lembaga, dan menjauhkan sinergitas serta kolaborasi dalam penanganan perkara. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya bolak-balik perkara, menimbulkan ketidakpastian penegakan hukum, dan bahkan manfaat penegakan hukum tidak dirasakan oleh masyarakat.

Apabila gugatan untuk melemahkan Aparat Penegak Hukum tersebut dikabulkan, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat Kejaksaan dalam penanganan perkara mega korupsi yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, PT Garuda Indonesia, minyak goreng, Duta Palma, PT Waskita Karya, impor garam, impor tekstil, dan lain sebagainya. Maka inilah yang harus disuarakan bahwa kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan saja menjadi ancaman penegak hukum, tetapi melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri. (Red)




Saat Iti Jayabaya Ingin Sulap Jalan Sunan Kalijaga Jadi Pusat Kuliner Tapi Terbentur Kewenangan

Kabar6.com

Kabar6-Bupati Iti Octavia Jayabaya mengaku banyak rencana pembangunan yang ingin dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak namun sulit direalisasikan karena terbentur kewenangan.

Salah satunya kata Iti keinginannya membangun pusat kuliner di sepanjang Jalan Sunan Kalijaga yang belum bisa diwujudkan lantaran ruas jalan tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.

“(Jalan) Sunan Kalijaga itu kewenangannya provinsi, kami sudah berkali-kali mengajukan agar dialihkan ke kami karena ingin memindahkan pusat kuliner ke situ,” kata Iti saat menemui mahasiswa yang berunjuk rasa di depan Gedung Pemkab Lebak, Jumat (2/12/2022).

“Jadi malam-malam kuliner di situ, kita bikin mural dan lain sebagainya di situ, jadi semua UMKM kumpul di situ. Tapi karena kewenangannya provinsi kami belum disetujui,” sambung Iti.

Iti lalu mencontohkan lahan milik Perum Damri di samping Kantor Satpol PP dan Damkar. Ia menyebut pemerintah daerah sudah berulang kali meminta ruislag guna kepentingan penataan program Kota tanpa Kumuh (Kotaku).

**Baca juga: Punya Kader Berkualitas, PDI Perjuangan Targetkan Kursi Bupati Lebak di Pilkada 2024

“Waktu itu kita masuk ke dalam Kotaku, udah jadi, uangnya udah ada untuk penataan, lalu DED (Detail Engineering Design) nya juga sudah jadi. Tapi karena asetnya bukan punya pemerintah daerah enggak bisa dilanjutkan, lebih baik mundur karena kami enggak mau kena hukum,” jelas Iti.

“Jadi persoalan-persoalan begitu enggak bisa dilihat hanya dari satu sisi pemda, ada kaitan vertikal yang enggak bisa kami tembus. Termasuk lahan perkebunan sawit yang ingin kami ambil alih karena HGU-nya sudah habis dari tahun 2000, tapi enggak bisa di situ, seperti terminal enggak bisa bangun di situ, pasar dan sebagainya,” papar Iti.(Nda)




Tampik Tudingan Kuasa Hukum Birma Siregar, Dapot: Perkara Tipu Gelap itu Sesuai Kewenangan

Kabar6.com

Kabar6-Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang menampik tudingan Kuasa Hukum Birma Siregar terkait perkara dugaan penipuan dan penggelapan yang kini disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.

Perkara yang ditangani Jaksa Penuntut Umum atau JPU Dina Natalia itu dianggap sudah sesuai dengan locus delicti dan tempus delicti, karena transaksi uang senilai Rp1,2 miliar tersebut terjadi di kawasan Tangcity yang masuk dalam wilayah hukum Kota Tangerang.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Kota Tangerang Dapot Dariarma mengatakan, pihaknya mengaku tidak mungkin sembarangan menerima pelimpahan perkara yang ditangani Penyidik Polres Metro Tangerang ketika tidak masuk dalam wilayah hukum Kejari Kota Tangerang atau dengan istilah hukum locus delicti dan tempus delicti.

“Kalau memang enggak sesuai tempus dan locus tentu tidak mungkin perkara itu bisa lolos dari kejaksaan dan pengadilan,” ungkap Dapot kepada Kabar6.com, Kamis (12/08/2021).

Menurut Dapot, perkara dugaan penipuan dan penggelapan yang terjadi di kantor PT RCMLand, milik Hamsir Siregar, pada 2019 itu memang dinyatakan sudah sesuai dengan kewenangannya.

Pasalnya, transaksi uang sebesar Rp1,2 miliar antara Terdakwa Birma Siregar dengan Hamsir Siregar dilakukan melalui rekening di tiga Bank berbeda milik Terdakwa Birma Siregar, diantaranya Bank Mandiri, BCA dan BRI.

Transaksi itu juga dilakukan di kawasan Tangcity Kota Tangerang secara bertahap mulai sebanyak 112 kali transaksi dari Februari 2019- Desember 2019, sehingga total transaksi berdasarkan bukti yang diperoleh JPU mencapai Rp1,2 miliar.

“Justeru Hakim menolak eksepsi terdakwa, sehingga persidangan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan saksi. Jika memang tidak benar dakwaan kami maka bisa dipastikan ditolak oleh Majelis Hakim,” ujar Dapot.

Dapot menjelaskan, pernyataan Kuasa Hukum terdakwa mengenai saksi Hamsir Siregar yang dihadirkan dalam persidangan pada Selasa 10 Agustus 2021 lalu, yang mengatakan bahwa Saksi Hamsir tidak mengetahui dakwaan itu dinilai ngawur serta tidak mendasar.

Saksi Hamsir, kata dia, justeru sangat mengetahui persis duduk perkara yang dilaporkannya di Polres Metro Tangerang tersebut.

“Ini Kuasa Hukum Terdakwa menurut kami ngawur dan tidak mendasar. Jika saksi Hamsir tidak mengetahui dakwaan ngapain dia hadir diruang sidang,” katanya.

Diketahui, Terdakwa Birma Siregar dengan Hamsir Siregar telah membuat perjanjian pengurusan perkara perdata terkait sengketa tanah seluas 2,4 hektar di Pasaman Barat, Sumatera Barat yang melibatkan seorang dokter berinisial KH.

Perjanjian itu dibuat dan ditandatangani dikantor PT RCMLand yang berada di kawasan Tangcity Kota Tangerang pada 3 Januari 2016 silam.

Dimana, dalam Pasal 2 poin (2) perjanjian itu menerangkan bahwa apabila ternyata dalam pengurusan penyelesaian kasus atas tanah dengan luas 2,4 hektar atas nama Hati Darmawan di Polda Sumbar, Mabes Polri dan pengurusan Kasasi di Mahkamah Agung tidak berhasil diselesaikan maka seluruh biaya atau uang yang dikeluarkan Hamsir Siregar sebesar Rp1,2 miliar, maka uang tersebut akan diganti oleh saudara Birma Siregar.

Namun, dalam perjalanannya pengurusan sengketa tanah itu tak berhasil dilakukan oleh terdakwa Birma Siregar, sehingga saksi Hamsir Siregar meminta kembali uangnya.

**Baca juga: Bos RCM Group Jadi Saksi Perkara Tipu Gelap di PN Tangerang

Dan uang tersebut hingga kini tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa Birma Siregar yang pada akhirnya ia dilaporkan Himsar Siregar CS ke Polres Metro Tangerang tentang dugaan penipuan dan penggelapan.

“Transaksinya jelas ada bukti- buktinya, Bendahara Keuangan PT RCMLand Muhammad Harahap yang ditugaskan untuk mentransfer uang itu. Dari seluruh transaksi itu ada kasbon pribadi Birma Siregar dari 5 Oktober- 25 Oktober 2019 sebesar Rp363.446.000. Terdakwa Birma Siregar dianggap tak punya niat baik untuk mengembalikan uang itu. Duit ini semula disepakati kedua pihak untuk mengurus perkara perdata terkait sengketa tanah di Pasaman Barat Sumbar yang sedang dijalani oleh Birma Siregar dengan dokter KH,” tandasnya.(Tim K6)




Pemda Tak Lagi Diberi Kewenangan Bangun Jalan Poros Desa

Kabar6.com

Kabar6-Berdasarkan Permendagri Nomor 90 Tahun 2019 yang ditindaklanjuti dengan Kepmendagri Nomor 050/3708 Tahun 2020 tentang Hasil Verifikasi dan validasi Pemutakhiran Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, Pemda tidak diberikan kewenangan melaksanakan pembangunan jalan poros desa.

Hal itu dikatakan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya saat Musrenbang RKPD Tahun 2022 tingkat kecamatan secara virtual di Lebak Data Center, Senin (1/2/2021).

“Untuk itu mulai tahun ini dan ke depan pelaksanaannya lebih ditekankan dilaksanakan oleh pemerintah desa,” kata Iti.

Meski begitu, tak menutup kemungkinan akan tetap dilakukan intervensi pendanaan oleh Pemkab Lebak jika terdapat jalan poros desa yang strategis mendukung target kinerja pemkab.

“Pendanaan melalui belanja transfer sifatnya bantuan keuangan kepada pemerintah desa, tetapi dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan daerah,” jelasnya.

**Baca juga: Pelanggan PDAM Lebak Mengeluh, Berhari-hari Air Tak Mengalir

Iti juga berharap, pemerintah kecamatan terus meningkatkan kinerja layanan publik, serta mengembangkan strategi tata kelola pemerintahan kolaboratif dengan berbagai pihak.

“Ini untuk mengurangi tingkat kesenjangan pemahaman terhadap proses-proses pembangunan dan dalam rangka upaya mempercepat tercapainya tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” jelas Iti.(Nda)




Kabupaten Tangerang: Jembatan Cihuni Kewenangan Pengembang Paramount dan Summarecon Serpong

Kabar6.com

Kabar6- Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang, Slamet Budi mengatakan, jembatan Cihuni yang kini rusak dan harus ditutup merupakan kewenangan pengembang Paramount dan Summarecon Serpong.

“Jembatan Cihuni di bangun oleh pengembang, pondasi nya tergerus pas waktu debit air tinggi,” ujarnya saat dikonfirmasi. Rabu (5/2/2020).

Slamet menerangkan, sekarang masih dalam tahap perbaikan oleh pihak Paramount dan Summarecon.

“Sekarang masih dalam tahap perbaikan oleh pihak Sumarecon dan Paramount. Terutama pondasi rencana bisa dipakai lagi paling lambat bulan april,” tutupnya.

**Baca juga: Status Jembatan Cihuni yang Ditutup Milik Kabupaten Tangerang.

Diketahui saat ini Jembatan Cihuni yang menghubungkan Pagedangan, Kabupaten Tangerang dan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan tak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Bahkan pernah menyebabkan kemacetan 10 kilometer di Jalan Raya Serpong imbas dari jembatan ini rusak sehingga membuat penumpukan di Jembatan Gading Serpong.(eka)




Dugaan Salah Peruntukan Pembangunan Kantin, Kepala SMP 8: Itu Kewenangan Sekolah

Kabar6.com

Kabar6-Diduga menyalahi aturan, anggaran program bantuan renovasi gedung SMP 8 Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dibuat untuk membangun kantin sekolah.

Kepala Sekolah SMP 8 Tangsel, Endang Koeswarini membenarkan penggunaan anggaran itu untuk kantin sekolah dan kewenangan anggaran ada di sekolah.

“Itu bukan program APBD pak, itu program bantuan dari kementerian. Saya sendiri yang jadi kuasa pengguna anggarannya (KPA). Terkait pembangunan kantin saya rasa itu bukan menyalahi aturan, toh itu bagian dari sekolah juga,” jelasnya, Jumat (22/3/2019).

Senada, Kepala Bidang SMP pada Dinas Pendidikan Tangsel, Muslim memaparkan, program itu bukan dari dinas pendidikan. Karena itu program Kementerian dan pelaksananya langsung dari pihak sekolah.

**Baca juga: Saban Jumat, Pramuka SMAN 28 Jaga Keamanan & Ketertiban Masjid Al Husna Suradita.

“Itu program Kementerian dan yang melaksanakan langsung adalah pihak sekolah, dinas pendidikan tidak ada campur tangan, terkait anggaran untuk di buat kantin itu merupakan kewenangan sekolah langsung,” paparnya. (jic)