oleh

Mafia Tanah! Kasus Pembayaran Ganti Rugi Bendungan Paselloreng

image_pdfimage_print

Kabar6-Dugaan kasus Mafia Tanah pada kegiatan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, tahun 2021, menjadi sorotan penyelidikan Tim Penyelidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor Print-92/P.4/Fd.1/01/2023 tanggal 31 Januari 2023, penyelidikan dimulai dan pada Kamis, 20 Juli 2023, perkara ini telah dinaikkan ke tahap penyidikan.

Kasus ini terkait dugaan manipulasi dalam pembayaran biaya ganti rugi lahan masyarakat untuk pembangunan Bendungan Paselloreng. Berdasarkan informasi dari Surat Perintah Penyidikan Nomor Print-664/P.4/Fd.1/07/2023 tanggal 20 Juli 2023, Tim Penyelidik menemukan indikasi peristiwa pidana, dan selanjutnya, proses penyidikan akan berfokus pada pengumpulan bukti yang memperjelas tindak pidana yang terjadi serta mengidentifikasi pelaku yang bertanggung jawab secara pidana.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mengimbau semua pihak yang terlibat dalam perkara ini untuk bersikap kooperatif dan tidak melakukan tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti, guna memastikan kelancaran jalannya pemeriksaan.

“Saya imbau kepada pihak-pihak yang terlibat tidak melakukan Tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti,” tegas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Jumat (21/7/2023).

Kronologi kasus ini mengungkapkan bahwa pada tahun 2015, Balai Besar wilayah sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) memulai pembangunan Fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo. Untuk kepentingan pembangunan, Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng Kabupaten Wajo.

Namun, kasus ini menemukan lokasi pengadaan tanah untuk Bendungan Paselloreng melibatkan lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo, yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT.

**Baca Juga: Truk Mogok di Jalan Raya Serang-Pandeglang

Proses perubahan Kawasan Hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Mei 2019, melibatkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019. Surat ini mengubah status kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas lebih dari 91.000 hektar di Provinsi Sulawesi Selatan, termasuk area pembangunan Bendungan Paselloreng.

Sayangnya, setelah perubahan status kawasan hutan, terdapat indikasi bahwa beberapa oknum memerintahkan pembuatan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) kolektif pada tanggal 15 April 2021 untuk 246 bidang tanah. SPORADIK tersebut diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselorang serta Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, meskipun diketahui bahwa tanah tersebut masih merupakan Kawasan Hutan.

Setelah dianggap memenuhi syarat, 246 bidang tanah tersebut dinyatakan layak untuk pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk untuk kepentingan pengadaan tanah bagi pembangunan umum. Namun, sebuah temuan penting muncul dari foto citra satelit Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2015 yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut masih berstatus Kawasan Hutan, bukan tanah garapan sebagaimana yang diklaim oleh masyarakat. Fakta ini menunjukkan bahwa lahan tersebut tidak termasuk dalam kategori lahan garapan sesuai ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Penilaian harga tanah dan tanaman dilakukan oleh Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) atas permintaan BBWS Pompengan. Sayangnya, KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi terhadap jenis dan jumlah tanaman secara menyeluruh, melainkan hanya berdasarkan sampel. Berdasarkan hasil penilaian ini, Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) Kementerian Keuangan melakukan pembayaran terhadap 241 bidang tanah seluas lebih dari 70.000 hektar, dengan total pembayaran mencapai Rp. 75.638.790.623.

Namun, kasus ini menunjukkan bahwa 241 bidang tanah tersebut sebenarnya merupakan eks-Kawasan Hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan garapan. Sehingga, pembayaran ini berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah besar karena pengadaan tanah dengan status kawasan hutan, yang sebenarnya dapat diatasi dengan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.(Red)

Print Friendly, PDF & Email