1

Kenali Apa Itu Istilah Covidiot

Kabar6-Pernahkan Anda mendengar istilah covidiot? Ya, istilah yang satu ini menjadi istilah baru di media sosial sejak pandemi COVID-19. Dalam kamus Macmillian, covidiot didefinisikan sebagai ‘istilah yang menghina bagi seseorang yang mengabaikan nasihat kesehatan tentang COVID-19.’

Sementara Urban Dictionary mendefinisikan covidiot sebagai ‘seseorang yang mengabaikan peringatan tentang kesehatan atau keselamatan masyarakat. Seseorang yang menimbun barang, dari tetangga mereka.’

Covidiot, melansir Health, adalah mereka yang tidak menganggap serius COVID-19 dan risikonya, terlepas dari apa yang dikatakan pejabat pemerintah dan komunitas kesehatan global.

Dan pada saat bersamaan, mereka mungkin melakukan perilaku egois yang tidak mendukung upaya memperlambat dan menghentikan penyebaran virus Corona. Ada beberapa tanda yang menjelaskan apakah seseorang masuk dalam kelompok covidiot atau tidak, antara lain adalah:

1. Menyangkal
Beberapa orang tidak memahami pentingnya situasi ini. Mereka biasanya akan menyangkal bahwa virus itu ada atau tidak seburuk yang diberitakan oleh media massa.

2. Merasa kebal
Covidiot cenderung berpikir bahwa mereka kebal terhadap virus dan tidak akan sakit parah. Padahal, meskipun mereka merasa baik-baik saja, mereka bisa saja membawa virus dan menularkannya.

“Dalam banyak hal, ini adalah tanggung jawab sosial bagi orang untuk berkomitmen mengurangi transmisi virus,” ungkap Timothy Murphy, MD, dekan senior untuk penelitian klinis dan translasi di Universitas di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Biomedis Buffalo Jacobs.

3. Memberontak
“Segmen tertentu dari populasi hanya ingin menjadi non-konformis dan memberontak terhadap norma-norma sosial,” jelas Richard Watkins, seorang dokter penyakit menular di Akron, Ohio, dan seorang profesor penyakit dalam di Northeast Ohio Medical University.

“Ini telah dianggap dapat diterima di masa lalu, tetapi tidak sekarang selama pandemi yang mematikan.”

4. Impulsif
Ini sangat mungkin terjadi setelah berbulan-bulan hidup di bawah pembatasan sosial. Beberapa orang menjadi lebih impulsif dan melakukan hal berbahaya seperti membuat keramaian dengan mengadakan pesta, acara barbeque, atau acara kumpul-kumpul yang tidak perlu.

5. Berpikir COVID-19 adalah alat politik
Keamanan publik terkait COVID-19 dihubungkan sebagai hal politis bagi orang-orang tertentu. Populasi ini pun jadi melihat jarak sosial dan pemakaian masker sebagai sekadar alat politik.

6. Egois
Mereka lebih mengutamakan kepentingan dan kepuasan diri sendiri daripada kebaikan masyarakat yang lebih besar dalam memerangi COVID-19. ** Baca juga: Apa Sebab Berat Badan Justru Naik Usai Olahraga?

Adakah di sekitar Anda yang memiliki ciri-ciri seperti covidiot?(ilj/bbs)




Suka Cari Perhatian Termasuk Gangguan Kepribadian?

Kabar6-Apakah Anda mempunyai teman atau saudara yang sering mencari perhatian, bahkan terkesan berlebihan? Apakah hal itu termasuk sikap yang normal, atau justru tidak wajar?

Kelainan perilaku yang mungkin diderita si pencari perhatian dikenal dalam dunia kesehatan mental dengan istilah histrionik. Gangguan kepribadian histrionik, melansir himedik, ditandai dengan mencari perhatian terus menerus, reaksi emosional berlebihan atau tingkah yang menggoda.

Orang dengan kondisi ini cenderung overdramatize situasi, yang dapat merusak hubungan dan menyebabkan depresi. Namun mereka sangat sugestif, mudah rentan terhadap pengaruh orang lain.

Individu dengan gangguan kepribadian histrionik menunjukkan emosi yang berlebihan. Mereka kecenderungan untuk menganggap segala sesuatu secara emosional dan suka mencari pencari perhatian.

Orang dengan gangguan ini merasa tidak nyaman atau merasa tidak dihargai ketika mereka bukan pusat perhatian. Perilaku yang khas mungkin termasuk mencari persetujuan atau perhatian yang konstan, dramatisasi diri, dan sandiwara.

Orang dengan gangguan kepribadian histrionik dapat bertindak egois atau menggoda secara seksual dalam situasi yang tidak pantas, termasuk hubungan sosial, pekerjaan, dan profesional, di luar konteks sosial.

Minat dan percakapan mereka akan fokus pada diri sendiri. Mereka menggunakan penampilan fisik mereka untuk menarik perhatian pada diri mereka sendiri. Ekspresi emosional mereka mungkin dangkal dan cepat berubah. Gaya bicara mereka terlalu impresionistis dan kurang detail.

Mereka mungkin melakukan pekerjaan dengan baik yang bernilai dan membutuhkan imajinasi dan kreativitas, tetapi mungkin akan mengalami kesulitan dengan tugas-tugas yang menuntut pemikiran logis atau analitis. Apa saja beberapa gejala gangguan kepribadian histrionik?

1. Berpusat pada diri sendiri, merasa tidak nyaman saat tidak menjadi pusat perhatian
2. Terus mencari kepastian atau persetujuan
3. Penampilan atau perilaku menggoda yang tidak tepat
4. Kondisi emosi yang berubah dengan cepat yang tampak dangkal bagi orang lain
5. Terlalu mementingkan penampilan fisik dan menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian pada diri sendiri
6. Pendapat mudah dipengaruhi oleh orang lain, tetapi sulit untuk membuat penjelasan dengan detail
7. Drama yang berlebihan dengan tampilan emosi yang berlebihan
8. Sangat mudah dibujuk, mudah dipengaruhi oleh orang lain.

Penyebab gangguan kepribadian histrionik tidak diketahui, tetapi peristiwa masa kecil dan genetika keduanya mungkin terlibat. ** Baca juga: Sebaiknya Seberapa Sering Pria Cukur Jenggot dan Kumis?

Sedangkan bentuk pengobatan yang direkomendasikan untuk gangguan kepribadian histrionik adalah psikoterapi.(ilj/bbs)




Riset: Orang yang Egois Mudah Cemas dan Depresi

Kabar6-Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah egois.

Setiap orang tentu memiliki sifat egois sampai batas tertentu. Sebuah penelitian mengungkapkan, orang egois atau yang mementingkan diri sendiri ternyata mudah terkena depresi dan cemas berlebih.

Fakta tersebut, melansir popularworld, dikemukakan oleh periset dari University of Kassel, Jerman, setelah melakukan penelitian pada 103 wanita dan 15 pria. Kebanyakan partisipan mengalami depresi dan kecemasan. Peneliti menanyakan mengenai masa lalu, hubungan, dan cara mereka melihat diri sendiri. Dr Johannes Zimmerman yang langsung memimpin riset ini mengungkapkan, orang yang terlalu banyak menggunakan kata ‘aku’ atau ‘saya’ lebih muda merasa depresi.

Tak hanya itu, bahkan mereka juga lebih sulit melakukan interaksi dengan berhubungan dengan orang lain dalam kelompok. Orang-orang yang terlalu berfokus pada diri mereka seringkali ingin diperhatikan dan tak bisa sendirian.

Sebaliknya, orang yang sering menggunakan kata ‘kita’ diketahui lebih mudah bergaul dengan orang lain. Mereka juga cenderung memiliki hubungan yang sehat dan jaringan pertemanan yang baik. ** Baca juga: Hargai Diri Sendiri Sebelum Lakukan Diet

Hasil lain dari penelitian ini juga mengungkapkan, orang yang terlalu fokus pada diri sendiri dan egois menjadi terlalu banyak menuntut. Bagi orang yang mudah merasa depresi karena terlalu fokus pada dirinya, Zimmerman menyarankan untuk melakukan olahraga.(ilj/bbs)




Bystander Effect, Fenomena ‘Menonton’ Sebuah Kecelakaan & Bukan Membantu Si Korban

Kabar6-Mungkin Anda pernah melihat di tayangan televisi, saat terjadi musibah kecelakaan atau perkelahian, orang-orang di sekitar hanya ‘menonton’ saja, bahkan mengambil gambar atau merekam kejadian tersebut, tanpa ada tindakan memberi pertolongan atau menolong.

Dengan kata lain, tidak semua orang akan memberikan pertolongan. Kondisi tersebut disebut sebagai bystander effect, yaitu sebuah fenomena dalam psikologi sosial ketika seseorang membutuhkan pertolongan tapi orang di sekitarnya tidak ada yang membantu. Hal ini karena orang-orang tersebut beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menolong korban.

Orang-orang tersebut hanya menonton korban meminta tolong sambil berharap orang lain akan membantunya. Menurut Bibb Latane dan John Darley yang merupakan pencetus istilah bystander effect, melansir Hellosehat, terdapat dua alasan mengapa fenomena ini dapat terjadi. Apa sajakah itu?

1. Difusi tanggung jawab
Merupakan kondisi ketika orang tidak merasa harus menolong dan bertanggung jawab terhadap keadaan korban karena ada banyak orang di sekitarnya. Mereka merasa bahwa membantu orang lain di ruang publik adalah tanggung jawab bersama, sehingga harus ada yang memulai agar korban dapat tertolong.

Semakin banyak orang dalam ruang publik, keinginan mereka untuk menolong akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut merasa tidak bertanggung jawab atas individu itu.

2. Terlalu melihat situasi
Pada saat menolong seseorang, terutama korban kecelakaan, diperlukan cara dan langkah-langkah yang benar serta diterima secara sosial. Biasanya, ketika ada seseorang yang meminta bantuan, mungkin Anda akan melihat reaksi orang lain terlebih dahulu.

Selain itu, Anda atau orang lain mungkin merasa takut untuk menolong karena tidak mengetahui cara yang tepat untuk memberikan bantuan. Kemudian, Anda akan memperhatikan keadaan sekitar, apakah orang lain akan ikut membantu atau tidak. Jika yang menolong hanya sedikit, Anda atau orang lain cenderung tidak akan menolong karena merasa sudah selesai.

Ada berbagai latar belakang mengapa seseorang takut menolong orang lain. Mulai dari takut salah hingga merasa dirugikan setelah membantu orang tersebut. Oleh karena itu, orang-orang menjadi pemilih ketika membantu orang lain.

Hal lain, manusia lebih cenderung menolong ketika orang tersebut mereka kenal karena terdapat sebuah ikatan. Bila kejadian ini terjadi pada orang asing, Anda mungkin lebih takut dianggap mencampuri urusan orang lain dibandingkan dampaknya terhadap korban.

Meskipun mungkin tidak ada dampak buruk yang terlihat secara langsung, bystander effect akan mempengaruhi nilai moral Anda kepada sesama manusia. Sebenarnya, menghadapi fenomena bystander effect dapat dilakukan dengan mudah bila ada niatan yang kuat untuk membantu.

Jadi, bystander effect adalah fenomena yang tergantung pada setiap individu. Apakah mereka ingin mengelompokkan diri sebagai kelompok apatis atau tidak menimbulkan kejadian ini. ** Baca juga: Pria Ganteng & Wanita Cantik Sulit Punya Hubungan Cinta yang Awet?

Bagaimana dengan Anda? (ilj/bbs)




Ketimbang Tampan, Wanita Lebih Memilih Pria Baik Hati

Kabar6-Harus diakui, wajah tampan memang menjadi daya tarik utama saat pertama kali wanita jatuh hati pada seorang pria. Nyatanya, kelebihan fisik bukanlah sebuah keharusan bagi sebagian besar wanita.

Ya, ada hal lain yang disukai wanita selain wajah tampan. Psikolog Daniel Farrelly dari University of Worcester, melansir Fimela, mencoba menganalisis kecenderungan 200 wanita dalam memilih pria. Peneliti menunjukkan kepada para wanita sepasang foto pria. Setiap pasang terdiri dari foto pria ganteng (si A) dan tidak ganteng (si B).

Dan, setiap foto diberikan skenario untuk menunjukkan seperti apa pria A dan B tersebut. Dijelaskan, ada sikap altruistik dan sikap egois yang ditunjukkan si A dan si B dalam suatu masalah.

Setelah membaca skenario dari karakter para pria di foto tersebut, wanita diminta memilih pria yang menurut mereka bisa dijadikan pasangan hubungan cinta jangka panjang.

Hasilnya, pria yang memiliki sikap altruistik (punya rasa empati, mau membantu sesama, dan baik hati) ternyata lebih dipilih para wanita. Dengan kata lain, dibandingkan wajahnya yang ganteng, wanita lebih mengutamakan karakter pria yang baik hati. ** Baca juga: Penelitian Ungkap, Rasa Cinta Hanya Dapat Bertahan Selama 12 Bulan Saja

Daya tarik fisik tidak menjadi poin penting bagi wanita jika mereka diminta memilih pria untuk dijadikan pasangan. Pria ganteng tapi ‘tak punya hati’ tidak akan dipilih oleh wanita.(ilj/bbs)