Tidak Sembarangan, Begini Cara Pakai Sarung Tangan yang Benar Agar Terhindar dari Virus Corona

Kabar6-Salah satu cara yang dilakukan sebagian orang agar terhindar dari penularan COVID-19 adalah dengan memakai sarung tangan, terutama saat berbelanja ke pasar atau supermarket.

Seorang ahli spesialis penyakit menular di Virginia Commonwealth University bernama Dr Mary E Schmidt, melansir DetikHealth, mengatakan bahwa menggunakan sarung tangan lateks sembarangan malah berpotensi terinfeksi COVID-19. Alasannya, karena kadang rasa aman membuat sebagian orang jadi sering menyentuh wajah dan masker.

“Orang-orang berpikir mereka terlindungi, lalu menggunakan sarung tangan untuk menyentuh diri sendiri atau wajah,” jelas dr Schmidt. “Begitu sarung tangan itu terkontaminasi, risikonya sama saja seperti menyentuh dengan tangan telanjang,” lanjutnya

Lantas, bagaimana cara menggunakan sarung tangan yang benar agar terhindar dari infeksi COVID-19? Schmidt mengatakan, setelah menggunakan sarung tangan jangan menyentuh barang-barang seperti ponsel, dompet, tas, masker, dan permukaan wajah. Tindakan itu bisa mencemari diri sendiri dengan virus yang mungkin menempel pada sarung tangan.

Sering juga terjadi kontaminasi silang saat memakai dan melepas sarung tangan. Untuk itu, sebelum menggunakan sarung tangan pastikan sudah mencuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer.

Pastikan juga sarung tangan dalam kondisi baik, tidak robek, kotor, dan berubah warna terutama pada sarung tangan lateks. Tarik sarung tangan sampai ke pergelangan. ** Baca juga: Jangan Cepat Percaya dengan 5 Mitos COVID-19 Ini

Saat membukanya, lepas sarung tangan dari dalam ke luar untuk menghindari kontaminasi virus di permukaan luarnya dengan hati-hati. Setelah itu, sarung tangan harus langsung dibuang jangan disimpan lagi.

“Gunakan sarung tangan untuk sekali pakai. Banyak orang yang membawanya pulang dan mencucinya, itu agak berbahaya dan bisa saja menyebarkan virus pada permukaan lain,” urai Schmidt.(ilj/bbs)




Pandemi COVID-19, 8 Negara Ini Bebaskan Narapidana

Kabar6-Di tengah pro dan kontra dari masyarakat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tercatat telah membebaskan 36.554 narapidana lewat asimilasi dan integrasi, selama pandemi COVID-19.

Tak hanya Indonesia, melansir Grid, sejumlah pemimpin negara lain ternyata turut menganut kebijakan yang serupa. Negara mana saja yang membebaskan narapidana di tengah pandemi COVID-19?

1. Brasil
Brasil membebaskan 24 ribu tahanan setelah dua orang dipastikan meninggal dunia karena terjangkit COVID-19 pada 28 Maret lalu. Komisi Pastor Penjara di Brasil menyebut, tahanan merupakan kelompok yang rentan terinfeksi COVID-19. Dikatakan, konsekuensi kebencanaan pandemi mengancam para napi, sehingga keputusan ini diambil oleh Brasil.

2. Polandia
Negara ini membebaskan hingga 10 ribu orang narapidana. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan, para napi akan menjalani sisa masa hukuman di rumah. Napi yang tergolong orang tua dengan masa hukuman hingga tiga tahun penjara, dapat meminta penangguhan masa hukuman mereka sampai pandemi COVID-19 di negara tersebut berakhir.

3. Afganistan
Afganistan membebaskan sebanyak 10 ribu napi. Tahanan yang mendapat pembebasan umumnya adalah wanita, remaja, dan napi yang sakit. Tak hanya itu, napi yang berusia lebih dari 55 tahun juga ikut dibebaskan.

Kendati demikian, program pembebasan napi selama COVID-19 di Afganistan, tidak berlaku bagi mereka yang didakwa karena melakukan kejahatan terhadap negara maupun dunia internasional.

4. Tunisia
Presiden Tunisia, Kais Saied, memberikan pengampunan khusus kepada 1.420 narapidana, untuk mengurangi populasi penjara negara itu di tengah penyebaran COVID-19.

Keputusan itu diambil, sebab pada awal Maret lalu, beberapa kelompok hak asasi manusia setempat mendesak pemerintah Mesir untuk membebaskan tahanan sementara.

Menurut kelompok HAM itu, pembebasan tahanan merupakan langkah mendesak untuk mencegah pandemi COVID-19 di penjara-penjara negara yang penuh sesak.

5. Turki
Parlemen Turki menyetujui aturan hukum yang mengizinkan pembebasan sekira 45 ribu napi demi menghindari penyebaran COVID-19. Aturan ini disetujui setelah 17 napi di sejumlah penjara Turki positif COVID-19, dengan tiga napi di antaranya meninggal dunia.

Meski telah diambil keputusan ini, kasus pembunuhan, kejahatan seks dan tindak pidana narkoba tidak akan ikut dibebaskan di bawah aturan hukum ini.

6. Myanmar
Ada sekira 25 ribu tahanan di Myanmar akan dibebaskan dari penjara pada masa pandemi COVID-19. Pembebasan ini dilakukan seiring meningkatnya desakan untuk mengurangi jumlah penghuni di penjara-penjara yang penuh sesak. Diketahui, saat ini Myanmar juga tengah menerapkan lockdown untuk mengendalikan penyebaran COVID-19.

7. Kolombia
Pemerintah Kolombia memerintahkan pembebasan sementara lebih dari 4.000 tahanan dengan menjalani tahanan rumah. Keputusan ini diambil setelah dua tahanan di negara tersebut telah meninggal duni akibat terinfeksi COVID-19.

Namun setelah enam bulan, para tahanan yang dibebaskan itu akan kembali ke penjara untuk menjalani hukuman mereka. Bahkan, para tahanan yang melanggar ketentuan penahanan rumah ini akan langsung dikirimkan kembali ke penjara.

8. Chile
Pemerintah Chile akan membebaskan sekira 1.300 tahanan yang berisiko tinggi terinfeksi COVID-19. Para tahanan itu akan dibebaskan setelah Mahkamah Konstitusi menyetujui UU khusus yang diajukan oleh pemerintahan konservatif di bawah pimpinan Sebastian Pinera.

Para tahanan yang akan dibebaskan adalah mereka yang telah berumur 75 tahun ke atas, tahanan wanita yang memiliki anak berumur di bawah dua tahun, dan tahanan yang sedang hamil. ** Baca juga: Ilmuwan Australia Klaim Hilangkan COVID-19 dalam Waktu 24 Jam Gunakan Obat Kutu

Bagaimana pendapat Anda? (ilj/bbs)




Jangan Cepat Percaya dengan 5 Mitos COVID-19 Ini

Kabar6-Harus diakui, pandemi COVID-19 memang menimbulkan kepanikan dan kecemasan di masyarakat. Tidak heran, hal itu seringkali memunculkan mitos atau anggapan-anggapan yang belum pasti kebenarannya.

Tentu saja mitos seputar COVID-19 ini membuat banyak orang menjadi bingung. World Health Organization (WHO), melansir Wolipop, memberikan penjelasan seputar mitos yang banyak beredar di masyarakat mengenai COVID-19. Apa sajakah itu?

1. Mitos, berjemur dengan suhu di atas 25 derajat Celcius dapat mencegah penyebaran COVID-19
Faktanya, berjemur di cahaya matahari atau dengan suhu di atas 25 derajat Celcius tidak dapat mencegah penyebaran COVID-19. Cara melindungi diri dari penyebaran COVID-19 adalah dengan rutin mencuci tangan dan hindari menyentuh mata, mulut, serta hidung.

2. Mitos, jaringan 5G dapat membantu penyebaran COVID-19
Faktanya, jaringan 5G tidak dapat menyebarkan COVID-19. Virus tidak bisa disebarkan melalui jaringan radio ataupun telepon. COVID-19 juga menyebar di negara-negara yang tidak memiliki jaringan 5G.

COVID-19 disebarkan melalui cairan pernapasan yang dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi saat mereka batuk atau bersin. Orang lain bisa terinfeksi jika mereka menyentuh permukaan yang terkontaminasi lalu masuk ke dalam tubuh melalui mata, hidung, atau mulut mereka.

3. Mitos, terinfeksi COVID-19 berarti itu adalah akhir dari hidup Anda
Faktanya, Anda bisa sembuh dari COVID-19. Terinfeksi COVID-19 tidak berarti bahwa Anda akan membawa virus tersebut sepanjang hidup. Banyak orang yang sudah terinfeksi COVID-19 bisa pulih dan menghilangkan virus tersebut dari tubuhnya.

Jika Anda memiliki gejala terjangkit COVID-19, pastikan segera mengobatinya dan mencari perawatan ke rumah sakit jika diperlukan. Tapi pastikan Anda menghubungi pihak rumah sakit terlebih dahulu sebelum pergi ke sana.

4. Mitos, jika Anda bisa menahan napas selama 10 detik atau lebih tanpa batuk atau perasaan tidak nyaman maka tandanya terbebas dari COVID-19 atau penyakit pernapasan sejenis.

Faktanya, bisa menahan napas selama 10 detik tidak berarti Anda terbebas dari COVID-19 atau penyakit pernapasan semacamnya. Gejala COVID-19 adalah batuk kering, kelelahan, dan demam. ** Baca juga: Alasan Ilmiah Orang Lebih Mudah Marah Saat Cuaca Panas

Beberapa orang bahkan bisa merasakan gejala-gejala tambahan lainnya, salah satunya adalah pneumonia. Cara terbaik untuk mengetahui apakah seseorang terjangkit COVID-19 atau tidak adalah dengan melakukan tes laboratorium.

5. Mitos, mengonsumsi minuman beralkohol dapat melindungi Anda dari infeksi COVID-19
Faktanya, konsumsi minuman beralkohol tidak dapat melindungi Anda dari bahaya infeksi COVID-19. Justru hal tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan, terutama jika Anda mengonsumsinya secara berlebihan.

Jangan mudah percaya pada mitos yang berlum terbukti kebenarannya.(ilj/bbs)




Ilmuwan Australia Klaim Hilangkan COVID-19 dalam Waktu 24 Jam Gunakan Obat Kutu

Kabar6-Sekelompok ilmuwan di Australia kabarnya telah menemukan obat yang efektif untuk COVID-19. Bahkan, obat yang ditemukannya itu diklaim mampu menghilangkan COVID-19 hanya dalam waktu 24 jam.

Obat yang diklaim para ilmuwan Australia itu, melansir Dailymail, adalah ivermectin yaitu obat anthelmintik yang berfungsi untuk mengobati infeksi akibat cacing. Ivermectin juga dikenal sebagai obat untuk mengobati kutu kepala. Meski para ilmuwan mengaku kemampuan ivermectin dalam mengobati COVID-19 masih dalam tahap awal. Tapi melihat penelitian sebelumnya terkait potensi obat ini, mereka yakin hasilnya akan menjanjikan.

Mereka juga mengaku telah mempelajari ivermectin in vitro sehubungan dengan virus corona pada awal April 2020 lalu. “Kami menemukan, bahkan dosis tunggal dapat menghilangkan semua muatan virus selama 48 jam dan bahkan 24 jam. Ada pengurangan yang sangat signifikan,” ungkap Dr. Kylie Wagstaff, pemimpin tim dari Biomedicine Discovery Institute Melbourne Monash.

Meskipun virus ini bukan parasit, para ilmuwan berkeyakinan bahwa ivermectin ini dapat menghalangi RNA virus, asam ribonukleat, yang menyerang sel-sel sehat.

Ivermectin juga diyakini dapat memberi sistem kekebalan lebih lama untuk melawan penyakit. ** Baca juga: Transplantasi Tangan Lintas Gender Alami Keajaiban, Kulit Sesuaikan Warna Asli Penerima Cangkok

“Langkah selanjutnya adalah menentukan dosis yang tepat untuk manusia, memastikan dosis yang efektif untuk mengobati virus secara in vitro dan aman bagi manusia,” jelas peneliti.

Sementara itu, dalam studi yang dilakukan para peneliti di University of Utah, pasien kritis pada paru-paru yang memerlukan ventilator mendapat manfaat dari pemberian ivermectin.

“Kami mencatat angka kematian yang lebih rendah dan penurunan penggunaan sumber daya perawatan kesehatan pada mereka yang diobati dengan ivermectin,” tulis Dr. Amit Patel, penulis utama studi.

Efek samping ivermectin pada pasien dengan gangguan hati dan riwayat kesehatan lainnya, diungkapkan Dr. Patel, tidak seburuk penggunaan hydroxychloroquine dan azithromycin. Melihat hasil kedua studi tersebut, para ahli pun optimis terhadap ivermectin, meskipun belum dapat mengumumkannya di depan publik.

“Jika ivermectin terbukti efektif dengan evaluasi yang ketat, maka terapi yang aman dan terjangkau telah ditemukan, dan berpotensi untuk menyelamatkan banyak nyawa,” kata Dr. Nirav Shah, seorang ahli penyakit menular di NorthShore University HealthSystem.

Namun, Shah juga mengingat temuan para ilmuwan itu masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pasalnya, ada banyak contoh obat dengan aktivitas in vitro yang tidak terbukti efektif pada manusia.

“Oleh karena itu, mengingat tidak ada terapi yang terbukti efektif mengobati COVID-19, obat-obat in vitro seperti ivermectin harus dievaluasi secara ketat untuk memahami keamanan dan efektivitasnya,” urai Dr. Shah.

Semoga.(ilj/bbs)




Agar Tak Terinfeksi COVID-19, Hindari Meminjamkan 5 Benda Ini

Kabar6-Beberapa tips pencegahan terinfeksi COVID-19 yang sudah kita ketahui antara lain adalah sering mencuci tangan, mengisolasi diri sendiri, serta menghindari kontak sosial.

Selama karantina diri di rumah, penting untuk dipahami bahwa virus corona dapat menyebar di antara orang-orang yang hidup bersama Anda. Virus ini bisa menyebar ketika orang sehat bersentuhan dengan tetesan dari bersin, batuk, atau ludah orang yang terinfeksi.

Virus ini juga dapat ditularkan ketika seseorang dengan infeksi COVID-19 menyentuh permukaan, yang kemudian disentuh oleh orang yang sehat dan menyebabkan kontraksi virus.

Bagaimana solusinya? Melansir Sindonews, berikut lima benda yang jangan dipinjamkan sesama anggota keluarga agar terhindar dari infeksi COVID-19:

1. Handuk dan tisu
Setiap orang menggunakan handuk muka, tangan, dan tubuh beberapa kali sepanjang hari. Ketika seseorang menggunakan handuk atau tisu untuk membersihkan wajah, tubuh, maupun tangan, kuman dapat ditularkan melalui benda tersebut bila digunakan oleh orang lain.

Berbagi handuk dan tisu tidak dianjurkan. Mengingat penyebaran infeksi COVID-19 yang cepat, menjadi lebih penting untuk kita berhati-hati.

2. Berbagi gadget
Ketika menggunakan ponsel, tablet, atau laptop, seseorang biasanya terlalu sibuk untuk memperhatikan keadaan sekitar. Dalam kasus seperti ini, kita cenderung lupa untuk mencuci tangan atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol ketika bersin atau batuk.

Akibatnya, saat menyentuh ponsel, laptop, dan lain-lain, kuman dapat berpindah pada orang lain dan pada gilirannya dapat diambil oleh orang tersebut ketika ia menyentuh gadget yang sudah terpapar virus.

Berhubung kebanyakan orang saat ini bekerja dari rumah, risiko penularan bisa berkurang. Tapi, pastikan Anda tidak menyentuh dan berbagi gadget dengan orang lain, dan jika melakukannya, cucilah tangan dengan benar sesegera mungkin.

3. Produk wajah
Penting juga untuk memastikan tidak berbagi produk wajah dengan siapa pun. Handuk wajah, krim, kuas make-up, dan beauty blender adalah beberapa item wajah yang tidak boleh dipinjamkan. Dan, pastikan semuanya tetap bersih.

4. Sanitizer
Meskipun boleh meminjamkan sanitizer pada orang lain yang membutuhkan, frekuensi yang digunakan seseorang untuk menggosok tangan, terutama ketika sedang berada di tempat umum, terbilang cukup tinggi.

Karenanya, virus bisa menyebar dengan cepat sehingga kita masing-masing sebaiknya memang membawa sanitizer sendiri untuk menjaga diri ataupun orang lain tetap aman.

5. Pakaian
Berbagi pakaian dengan teman atau saudara bukan ide yang baik di tengah wabah COVID-19. Menurut sebuah penelitian, coronavirus dapat bertahan hidup di permukaan tertentu selama berhari-hari.

Bahkan ketika anggota keluarga atau teman Anda tidak terinfeksi, mereka masih bisa berhubungan dengan seseorang yang terinfeksi. Mereka ini dapat membawa virus pada pakaian yang dikenakan, dan bila Anda kemudian ikut memakainya, tentu berisiko tinggi mengalami infeksi. ** Baca juga: Susah BAB Selama Karantina COVID-19 di Rumah, Ini Penyebabnya

Jaga kesehatan selalu agar terhindar dari infeksi COVID-19.(ilj/bbs)




Usai Kena PHK, Pria Ini Menang Lotre Puluhan Miliar

Kabar6-Selalu ada pelangi setelah hujan. Tampaknya ungkapan ini pas untuk menggambarkan kisah hidup seorang pria asal Adelaide, Australia, berusia 20-an tahun yang tidak disebutkan namanya.

Bagaimana kisahnya? Akibat pandemi COVID 19, ayah satu anak harus kehilangan pekerjaan atau terkena PHK seperti ratusan ribu warga Australia lainnya. Namun siapa sangka, melansir Dailymail, saat itu juga ia dikabarkan menang lotre sekira Rp75,3 miliar yang merupakan hadiah divisi pertama dalam lotre ‘Set for Life’.

“Aku memeriksa akun online-ku tadi malam dan melihat aku menang. Aku membangunkan istriku untuk memberitahu dia dan dia berteriak,” ungkapnya. “Ini tidak bisa dipercaya! Aku telah memeriksa akun online-ku berkali-kali untuk melihat apakah ini nyata…Ini adalah perasaan yang luar biasa. Kami adalah keluarga muda dan kami punya bayi, jadi ini akan membantu kami selama sisa hidup kami.”

Ditambahkan, “Aku baru-baru ini kehilangan pekerjaan karena COVID-19, jadi ini membuatku sangat lega. Aku sangat stres akhir-akhir ini, tetapi sekarang aku sangat bahagia. Ini memberi kami kebebasan finansial sepenuhnya. Kemungkinannya tidak terbatas dengan hadiah ini. Ini adalah perasaan yang hebat. Aku sangat bahagia!” ** Baca juga: Neft Daslari, Kota Apung Sekaligus Kilang Minyak Tertua di Dunia

Rezeki memang tidak tertukar.(ilj/bbs)




Susah BAB Selama Karantina COVID-19 di Rumah, Ini Penyebabnya

Kabar6-Selama karantina di rumah, sebagian orang mungkin mengalami konstipasi atau susah buang air besar (BAB), atau tidak rutin BAB seperti biasanya. Mengapa kondisi ini bisa terjadi?

Berada di rumah saja tentu mengubah gaya hidup Anda, dan ini ternyata berpengaruh pada pencernaan serta kesehatan, termasuk frekuensi BAB. Melansir beberapa sumber, berikut beberapa penyebab konstipasi yang Anda alami:

1. Jarang gerak
Sedentary atau kebiasaan duduk lama selama kerja di rumah, dan jarak perjalanan yang hanya di dalam rumah, tentu mengurangi jumlah gerak. Kondisi ini bisa berimbas pada metabolisme tubuh.

Solusinya, cobalah untuk lebih banyak bergerak, misalnya keliling rumah, atau saat menerima telepon Anda bisa sambil berdiri dan jalan-jalan keliling rumah. Lakukan juga olahraga setiap hari dengan bantuan video tutorial di YouTube atau Instagram.

2. Pola makan yang berubah
Mungkin secara tidak sadar, Anda mengonsumsi lebih banyak makanan tinggi gula, lemak, sodium. Atau Anda semakin sering mengonsumsi makanan instan yang kurang serat dan nilai gizinya kurang baik.

Solusinya, perbanyak konsumsi sayuran dan buah, yang bisa Anda pesan lewat online, atau buat jadwal belanja mingguan. Kurangi beli jajanan dan camilan junk food, atau batasi jumlah asupan dan frekuensinya. ** Baca juga: Pandemi COVID-19 Bisa Jadi Alasan Tepat untuk Berhenti Merokok

3. Kurang minum
Saat di rumah, bisa jadi frekuensi Anda minum jadi lebih jarang. Solusinya, letakkan tumbler atau botol minum yang ada takaran atau ukurannya di sebelah Anda setiap waktu. Jadi, Anda akan ingat untuk minum dan lebih mudah dihitung jumlahnya.

4. Stres
Metabolisme dan sistem pencernaan sangat sensitif dan mudah dipengaruhi oleh stres, cemas, dan perubahan rutinitas. Khawatir soal konstipasi yang terjadi juga bisa meningkatkan gangguan pencernaan, sehingga banyak penelitian memang mengaitkan dampak stres dengan sulit BAB.

Jadi, cobalah untuk mengelola stres Anda, lakukan meditasi dan olahraga untuk membantu agar BAB jadi lancar.(ilj/bbs)




Pandemi COVID-19 Bisa Jadi Alasan Tepat untuk Berhenti Merokok

Kabar6-Para perokok, disebut WHO, merupakan salah satu kelompok yang dinilai lebih berisiko terinfeksi virus corona penyebab COVID-19. Ada sejumlah alasan yang dikemukakan.

Alasan yang paling mudah dilihat, melansir Femina, perokok cenderung lebih sering menyentuh mulut yang apabila tangan kebetulan terpapar virus, membuat virus mudah berpindah dari tangan ke mulut. Merokok shisha dalam satu pipa air bersama-sama, memperbesar penularan virus. WHO juga menyebutkan, perokok kemungkinan juga sudah mengalami gangguan pada paru-paru atau berkurang kapasitas paru-parunya karena rokok.

Kondisi ini membuat tubuh tidak bisa mendapatkan oksigen yang cukup atau mengurangi kemampuan tubuh menggunakannya secara tepat, sehingga membuat perokok lebih berisiko tinggi mengalami pneumonia.

Berbagai penelitian telah membuktikan, jika dibanding bukan perokok, pasien yang memiliki riwayat merokok, baik itu rokok filter, kretek, rokok elektrik, cerutu, pipa, maupun shisha, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami perburukan (perparahan komplikasi) COVID-19.

Pada sebuah penelitian yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine, dari 1.000 pasien di Tiongkok yang diteliti, perokok lebih cenderung memerlukan pengobatan dan perawatan medis intensif, ketimbang yang bukan perokok.

Dalam riset itu, sebanyak 12,3 persen perokok lebih banyak harus masuk ICU, dibantu ventilator atau meninggal dunia (12,3 persen), dibanding yang bukan perokok (4,7 persen).

Merokok selama ini sudah sering diasosiasikan dengan berbagai risiko kesehatan, termasuk gangguan saluran pernapasan dan menurunkan daya tahan tubuh, dua hal yang sangat erat erat hubungannya dengan COVID-19.

Hal lain, perokok memiliki 40-50 persen reseptor ACE2 yang lebih banyak ketimbang bukan perokok. Menurut penelitian, reseptor virus ini memiliki peran penting dalam infeksi SARS-CoV-2.

Untuk masuk ke sel, berkembang biak, dan menyebar, virus corona perlu reseptor ini. Jadi tak heran kalau risiko perokok terinfeksi dan mengalami perburukan akibat COVID-19 lebih besar.

Pandemi COVID-19 bisa jadi alasan tepat untuk berhenti merokok. Perubahan rutinitas harian yang kerap membuat seseorang ingin merokok, seperti kumpul dengan teman-teman atau setelah makan siang, kini tidak bisa dilakukan.

Terlebih kini Anda hampir selalu berada di dekat anak. Ini bisa membantu Anda untuk menahan keinginan, bahkan berhenti merokok. ** Baca juga: Peneliti Harvard Sarankan Social Distancing Hingga 2022 Mendatang

Sayangi keluarga Anda.(ilj/bbs)




Peneliti Harvard Sarankan Social Distancing Hingga 2022 Mendatang

Kabar6-Social distancing, menurut para peneliti penyakit menular di Harvard, mungkin diperlukan hingga 2022 mendatang. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah gelombang baru yang bisa mengancam.

Dalam sebuah analisis yang diterbitkan dalam Jurnal Science, melansir Okezone, para peneliti mengatakan bahwa setelah gelombang awal, mereka memprediksi COVID-19 akan kembali pada musim dingin, dan bisa terjadi berulang. “Untuk menghindari hal ini, social distancing yang panjang mungkin diperlukan hingga 2022,” demikian tulis para peneliti.

Bahkan, jika virus tampaknya hilang, para peneliti menyarankan pengujian yang luas harus dilanjutkan. Karena kebangkitan penularan dapat dimungkinkan hingga akhir 2024.

Ditambahkan peneliti, “Pengujian itu akan membantu pejabat kesehatan mengatur jarak waktu dengan benar agar jumlah pasien di perawatan kritis tidak melampaui kapastias.”

Karena itulah, para peneliti merekomendasikan agar negara-negara fokus untuk menemukan perawatan COVID-19 dan memperbanyak kapasitas sistem perawatan kritis. Langkah-langkah itu akan membantu negara-negara mempersiapkan gelombang virus di masa depan.

“Untuk mempersingkat epidemi SARS CoV-2, pastikan perawatan yang memadai untuk pasien kritis, meningkatkan kapasitas perawatan kritis dan mengembangkan intervensi tambahan adalah prioritas yang mendesak,” jelas para peneliti. “Terapi baru, vaksin atau intervensi lain seperti pelacakan kontak yang agresif dan karantina dapat mengurangi kebutuhan untuk social distancing yang ketat.”

Meningkatkan kapasitas perawatan kritis untuk menangani lebih banyak pasien juga dapat membantu populasi mendapatkan perlindungan kekebalan kawanan atau herd immunity lebih cepat.

Suatu populasi memiliki kekebalan kawanan ketika cukup banyak orang menjadi kebal, sehingga virus hanya memiliki sedikit kesempatan pindah ke orang lain. Tetapi, bagaimana virus menyebar selama lima tahun ke depan sebagian besar tergantung pada berapa lama kekebalan seseorang yang pulih berlangsung.

Apabila seseorang menjadi rentan terhadap infeksi ulang hanya satu tahun setelah sembuh dari penyakit, maka akan butuh waktu lebih lama untuk membangun kekebalan kawanan dan mengakhiri penyebaran virus.

Itulah sebabnya, para peneliti Harvard mengatakan negara-negara dapat menerapkan lebih panjang periode sosial distancing atau lockdown. ** Baca juga: Saat Naik Mobil Pribadi, Haruskah Pakai Masker?

Para peneliti Harvard menyimpulkan, “Langkah social distancing mungkin perlu berbulan-bulan agar efektif mengendalikan penularan dan mengurangi kemungkinan kebangkitan.” (ilj/bbs)




Ilmuwan Tiongkok Lakukan Eksperimen dengan Suntikkan Virus Corona ke Anak Babi

Kabar6-Peneliti dan ilmuan di Tiongkok sedang melakukan eksperimen untuk penelitian dengan memasukkan virus corona ke anak babi. Setelah disuntik, anak babi tersebut akan dijadikan santapan babi dewasa lainnya.

Lantas, apa tujuan penelitian itu? Menurut laporan, melansir Dailystar, penelitian yang diterbitkan oleh Institute Virolory Wuhan tersebut dilakukan ilmuwan untuk menyelidiki penularan lintas spesies virus corona. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati wabah virus corona yang mungkin menyerang peternakan di Tiongkok.

Para ilmuwan dalam penelitian itu menuliskan, “Studi ini menyoroti pentingnya mengidentifikasi keanekaragaman dan distribusi virus corona kelelawar untuk mengurangi wabah di masa depan.”

Meskipun diyakini bahwa lonjakan terjadi setelah virus itu menyebar dari hewan ke manusia. Namun beberapa meyakini bahwa virus itu sebenarnya buatan dan lepas dari sebuah laboratorium di Wuhan.

Disebutkan, pemerintah Inggris tak bisa mengabaikan prihal tuduhan virus yang lolos dari laboratorium. Meskipun pada kenyataanya, Tiongkok berulang kali menyangkal tuduhan itu.

Pemerintah Tiongkok selalu mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada kebocoran virus yang terjadi di laboratorium negaranya. Diketahui, laboratorium yang meneliti virus corona itu dibuat pada 2002 dan 2003 setelah wabah SARS muncul.

Sementara pakar keamanan hayati AS bernama Profesor Richard Ebright dari Institute Mikrobiologi Warksman Universitas Rutgers, New Jersey, AS mengatakan, jika virus itu tidak diciptakan di laboratorium, virus itu bisa lolos dari sana ketika dianalisis. “Pengumpulan virus, kultur, isolasi atau infeksi hewan akan menimbulkan risiko besar pekerja laboratorium dan masyarakat.”

Tetapi banyak ilmuwan mengatakan, mereka tidak percaya virus itu berasal dari laboratorium, sebab hingga sekarang tidak ada bukti. Namun anehnya, sebuah penelitian yang menyoroti virus corona mengatakan, 13 dari 41 orang pertama yang terifeksi virus corona tidak memiliki kontak dengan pasar yang dituduh sebagai sumber virus.

“Tampaknya jelas bahwa pasa hewan di Wuhan bukan satu-satunya asal virus tersebut,” kata Dr. Cao Bin. ** Baca juga: Saat Naik Mobil Pribadi, Haruskah Pakai Masker?

Hingga kini, Tiongkok belum menemukan dan belum mengungkapkan dari mana asal mula virus itu, mereka hanya melaporkan bahwa sumber utamanya adalah kelelawar. Bahkan ada juga yang mengatakan dari ular, hingga trenggiling.

Mereka juga sudah melakukan penelitian virus corona di kelelawar sejak 2011, dan diterbitkan pada 2017 silam, sebelum menjadi wabah menular ke seluruh dunia.(ilj/bbs)