1

Pembangunan dan Investasi Rempang Eco City Dalam Sudut Pandang Kebijakan Publik

Seri Analisis Kebijakan Publik Dalam Kasus Pulau Rempang Bagian 1

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Proyek Rempang Eco City memiliki nilai investasi yang sangat besar, namun dianggap mengabaikan kepentingan dan keberadaan masyarakat lokal.

Bagaimana tarik menarik antara kepentingan pemodal dan kepentingan masyarakat di perkampungan tua di Pulau rempang tersebut?

Mengenal Proyek Rempang Eco City

Proyek Rempang Eco City merupakan sebuah inisiatif mega-investasi yang sedang dikembangkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bekerja sama dengan perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG).

Proyek ini direncanakan untuk mendirikan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi di lahan seluas 7.572 hektar di Pulau Rempang, yang mencakup hampir setengah (45,89 persen) dari total luas pulau tersebut.

Proyek Eco City ini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Namun, di balik potensi ekonomi yang besar, proyek ini membawa sejumlah kontroversi dan dampak sosial yang signifikan.

Salah satu dampak paling mencolok adalah rencana relokasi warga yang mendiami Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Diperkirakan antara 7.000 hingga 18.000 jiwa warga akan terkena dampak relokasi akibat proyek ini.

Penolakan terhadap proyek ini bukan hanya berasal dari kekhawatiran akan relokasi, tetapi juga karena proyek ini dianggap menggusur warga dari 16 kampung tua di Rempang-Galang.

Sejarah proyek ini juga menunjukkan adanya potensi hambatan. Sebelumnya, pada tahun 2009, BP Batam, PT Makmur Elok Graha (MEG), dan Pemerintah Kota Batam telah menandatangani perjanjian untuk pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000Ha, Pulau Setokok seluas 300 Ha, dan Pulau Galang seluas 300 Ha.

Proyek tersebut dikenal dengan nama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Namun, proyek ini sempat terhambat karena dugaan korupsi.

Selain itu, ada kritik tajam terhadap pemerintah yang dianggap hanya mementingkan aspek ekonomi dan investasi, sementara mengabaikan hak-hak masyarakat yang terdampak.

Isu-isu seperti penolakan masyarakat lokal, kriminalisasi warga, dan ancaman penggusuran menjadi sorotan utama dalam konteks proyek ini.

Proyek Rempang Eco City, meskipun memiliki potensi ekonomi yang besar, membawa sejumlah tantangan dan isu sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, pengembang, dan masyarakat luas.

**Baca Juga: Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Dilema Antara Kepentingan ekonomi-investasi dan Dampak Sosial-hak-hak masyarakat

Dilema antara kepentingan ekonomi dan investasi dengan dampak sosial dan hak-hak masyarakat, khususnya di kampung adat Pulau Rempang, menjadi sorotan utama dalam pembangunan Rempang Eco City.

Di satu sisi, proyek ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah dengan mendatangkan investasi besar dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi diharapkan mampu menarik minat investor dan turis, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah.

Namun, di sisi lain, proyek ini membawa dampak sosial yang signifikan.

Rencana relokasi warga, terutama mereka yang tinggal di 16 kampung tua di Rempang-Galang, menjadi titik kontroversi. Banyak dari warga ini memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhur mereka dan memiliki tradisi serta budaya yang telah berlangsung turun-temurun.

Penggusuran dan relokasi bukan hanya berarti perpindahan fisik, tetapi juga pemutusan akar budaya dan sejarah.

Dalam konteks ini, dilema muncul ketika kepentingan ekonomi dan investasi dianggap lebih utama daripada hak-hak masyarakat adat dan dampak sosial yang ditimbulkan.

Pertimbangan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian hak dan budaya masyarakat menjadi esensial dalam setiap kebijakan pembangunan.

Perlu Pendekatan Inklusif dan Holistik

Menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian hak serta budaya masyarakat memerlukan pendekatan yang inklusif dan holistik.

Faktanya, penetapan Proyek Rempang Eco City melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dilakukan tergesa dan tidak melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan. Dampaknya aspirasi dan kekhawatiran warga tidak terwakili dengan baik.

Selain itu penetapan Rempang Eco City menjadi PSN tersebut dilakukan tanpa studi mendalam tentang dampak sosial dan budaya dari proyek yang direncanakan.

Ketiadaan kajian yang mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko menyebabkan terjadi penolakan luar biasa dari masyarakat 16 kampung tua yang akan direlokasi.

Kompensasi yang adil dan memadai juga tidak diberikan dengan terencana.

Berdasarkan temuan awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM 7 September 2023 di Pulau Rempang oleh 9 lembaga termasuk YLBHI, WALHI, Kontras dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang diketahui BP Batam hanya melakukan sosialisasi kepada warga yang terdampak sebanyak 2 kali.

Dalam sosialisasi tersebut, warga diminta untuk membawa kelengkapan dokumen yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan besaran ganti rugi yang akan diterima.

Sosialisasi ini dianggap searah dan tidak partisipatif karena hanya memaparkan program relokasi tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.

Warga diminta untuk mendaftarkan diri untuk direlokasi dengan membawa bukti-bukti kepemilikan tanahnya dari tanggal 11-20 September di dua tempat yang telah ditentukan, yaitu Kantor Kecamatan Galang di Sembulang dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) yang kini berganti menjadi Kantor Koramil.

Komunikasi satu arah menyebabkan muncul ketidakpuasan terutama bagaimana mata pencaharian mereka selanjutnya dan adat budaya yang hilang karenanya.

Proses sosialisasi dan penawaran kompensasi dilakukan tanpa dialog yang cukup dan memadai dan terkesan pihak pengembang dan pemerintah abai mendengar aspirasi warga.

Transparansi dalam menyediakan informasi tentang proyek dan kerjasama erat dengan organisasi masyarakat sipil dan kelompok adat juga tidak dilakukan secara layak dan baik.

Faktanya protes keras warga yang disertai kekerasan HAM terjadi pada saat BP Batam melakukan pematokan wilayah mereka pada 7 September 2023 dan 11 September 2023

Proses penetapan proyek Rempang Eco City jelas tidak dilakukan dalam kontek proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang baik.

Dampaknya, proyek tersebut pasti abai terhadap pelestarian nilai-nilai masyarakat, ketiadaan keberlanjutan dan penolakan yang lebih luas dari penetapan Rempang Eco City menjadi proyek strategis nasional.

Bersambung Bagian 2




Tokoh-Tokoh Nasional Bersatu Lawan Relokasi Paksa!

Kabar6-Gerakan nasional untuk melindungi hak-hak warga Pulau Rempang kini mendapatkan momentum yang kuat.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, petisi “Hentikan Relokasi dan Lindungi Hak Tinggal Masyarakat Pulau Rempang” telah mendapatkan dukungan dari 2.293 orang.

Petisi ini digagas oleh para tokoh bangsa, guru besar, dan akademisi terkemuka di Indonesia.

Demikian rilis Narasi Institute terkait soal Rempang yang diterima Kabar6.com, Minggu (17/9/2023).

Achmad Nur Hidayat, CEO Narasi Institute dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, sebagai inisiator petisi, menyatakan bahwa petisi ini merupakan bentuk kepedulian ilmuwan terhadap hak tinggal masyarakat Pulau Rempang.

Menurutnya, warga setempat telah dipecah belah dengan janji kompensasi hunian, meski sebagian besar menolak.

Namun, pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa hak atas tanah di Pulau Rempang telah diberikan kepada perusahaan sejak 2001-2002 menimbulkan kontroversi.

Prof. Didin S Damanhuri, salah satu penggagas petisi, menilai pernyataan tersebut ahistoris dan menekankan bahwa warga Rempang telah menempati pulau tersebut sejak 1834.

“Mahfud MD cenderung berpihak kepada investor dan hanya berdasarkan pada data formal yang bisa direkayasa oleh pemodal besar, Ujar Prof Didin S Damanhuri yang juga Guru Besar Ekonomi Politik.

Polemik ini semakin memanas dengan kritik dari Dr. Anthony Budiawan, salah satu penggagas petisi lainnya yang menilai pernyataan Mahfud MD sebagai tidak jelas dan cenderung berpihak pada investor.

Dia menyoroti perjanjian 2004 yang menyatakan Kampung Tua di Pulau Rempang harus dipertahankan, namun kini tampak adanya upaya “perampasan” hak tanah warga.

Dr. Anthony Budiawan, salah seorang pengagas petisi mengatakan : “Mahfud MD memberikan pernyataan yang tidak jelas dan tidak berguna. Hak tanah warga setempat yang telah tinggal sejak lama tidak boleh dirampas demi investasi”.

Anthony Budiawan mempertanyakan siapa yang diberi hak atas tanah sejak 2001-2002 dan apakah itu merujuk pada PT MEG. Dia mengutip perjanjian antara Otorita Batam, Pemko Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2004 yang menyatakan bahwa Kampung Tua di Pulau Rempang harus dipertahankan. Namun, kini tampaknya ada upaya ‘perampasan’ hak tanah warga oleh investor dengan dukungan pemerintah. “Ini sebagai bentuk ‘kolonialisme’ modern dan menyerukan agar dihentikan.” Ujar Dr Anthony Budiawan yang juga merupakan managing director PEPS.

**Baca Juga: Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Dukungan besar datang dari tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah; Prof. Didin S Damanhuri, Guru Besar IPB dan Universitas Paramadina; Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Teknologi Kelautan ITS, Surabaya; Prof. Masroro Lilik Ekowanti, Guru Besar Universitas Hang Tuah Surabaya; Prof. Prijono Tjiptoherijanto, Guru Besar Universitas Indonesia; Prof. Yudhie Haryono Ph.D, Ketua PKPK UMP; Prof. Zainal Muttaqin, Guru Besar Universitas Diponegoro; Prof. Dr. Drg. H. Ardo Sabir, M.Kes, Guru Besar Universitas Hasanuddin; Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta; dan Prof. Ir. Joni Hermana, Msces, Phd, Rektor Senior ITS Surabaya, Dr Anthony Budiawan, Managing Director PEPS, Dr Fadhil Hasan, Dr Muhamad Said Didu dan banyak ekonom lainnya.

Mereka, bersama dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, telah bersatu untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat Pulau Rempang tetap dilindungi dan dihormati.

Dengan dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka ini, gerakan ini diharapkan dapat membawa perubahan nyata bagi warga Pulau Rempang.

Indonesia, dengan posisinya yang strategis, harus waspada terhadap potensi ambisi teritorial dari negara-negara besar.

Dalam konteks ini, Prof. Didin menekankan pentingnya Indonesia menjaga sikap non-aliansi dan berfokus pada kesejahteraan rakyat.

Menurut Prof Didin S Damanhuri, Guru Besar, warga Rempang telah menempati pulau tersebut sejak 1834, sehingga mereka memiliki Hak Ulayat yang harus dihormati oleh pemerintah.

Dia menekankan bahwa pulau-pulau di sekitar Batam sangat strategis untuk investasi karena kedekatannya dengan Singapura dan Malaysia. Selain itu, pulau-pulau tersebut juga menjadi target investor dari RRC, terkait klaim historis mereka di Laut China Selatan.” Ujar Didin S Damanhuri

Dengan semakin banyaknya dukungan dari berbagai pihak, gerakan ini diharapkan dapat menjadi titik balik dalam perlindungan hak-hak warga Pulau Rempang dan menjadi sorotan nasional. Gerakan ini tidak hanya menjadi sorotan di Indonesia, tetapi juga diharapkan dapat mendapatkan perhatian internasional. Dengan dukungan yang terus meningkat, masyarakat optimis bahwa suara mereka akan didengar dan hak-hak mereka akan dilindungi.

Dalam era digital saat ini, gerakan seperti ini memiliki potensi untuk menjadi viral dan mendapatkan dukungan dari seluruh penjuru dunia. Dengan kekuatan media sosial dan dukungan dari tokoh-tokoh nasional, gerakan ini diharapkan dapat mencapai tujuannya dan memberikan keadilan bagi warga Pulau Rempang.

#LindungiRempang menjadi tagar yang diharapkan dapat menjadi gerakan nasional dan mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan semangat persatuan dan keadilan, Indonesia diharapkan dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini tetap berkomitmen untuk melindungi hak-hak warganya. Warga dapat mengikuti petisi tersebut di change.org pada link berikut: ttps://chng.it/Mq4L7FJ9HY .(*/Red)




Mengapa Usulan Pajak Judi Online Harus Ditolak Keras?

Oleh: Achmad Nur Hidayat Pakar Kebijakan Publik UPN & CEO Narasi Institute

Kabar6-Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi baru-baru ini mengemukakan sebuah usulan yang menuai kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Usulannya adalah pungutan pajak pada judi online, dengan tujuan mengurangi minat orang dalam melakukan aktivitas perjudian daring. Namun, usulan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam mengendalikan perjudian online, tetapi juga menyentuh isu hukum, sosial, dan etika yang kompleks.

Status Hukum Judi Online di Indonesia

Secara hukum, judi online telah dilarang di Indonesia. Diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016, perjudian online merupakan pelanggaran hukum yang dapat mengakibatkan hukuman penjara dan denda hingga 10 juta rupiah. Ini adalah upaya pemerintah untuk mengendalikan aktivitas perjudian online yang dianggap ilegal.

Dampak Kontroversial Pajak pada Judi Online

Dalam situasi ini, pertimbangan etika juga menjadi perhatian utama. Dengan mengenakan pajak pada judi online, pemerintah seolah-olah memberikan pengakuan resmi terhadap aktivitas tersebut, meskipun pada dasarnya masih dianggap ilegal berdasarkan hukum yang ada. Ini memunculkan dilema etika tentang sejauh mana pemerintah harus terlibat dalam memungut pajak dari aktivitas yang dapat merusak kesejahteraan individu dan keluarga.

Pertanyaannya adalah, apakah pendapatan tambahan ini sebanding dengan risiko sosial dan etika yang melingkupi judi online?

Kontroversi seputar penerapan pajak pada judi online juga dapat berdampak pada opini publik. Masyarakat bisa merasa bingung dan terbagi tentang kebijakan ini. Ini bisa mempengaruhi persepsi mereka terhadap pemerintah dan melemahkan kepercayaan pada lembaga-lembaga yang ada.

Selain itu, jika kontroversi ini tidak dikelola dengan baik, bisa memicu ketidakpatuhan terhadap hukum dan peraturan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial dari kebijakan ini selain dampak finansialnya. Potensi Dampak Negatif Penerapan Pajak:

Pertama, Peningkatan Risiko Masalah Perjudian Jika pemerintah hanya fokus pada pengenaan pajak dan tidak memprioritaskan upaya untuk melindungi individu dari dampak negatif perjudian, ini dapat meningkatkan risiko masalah perjudian seperti adiksi dan kerugian finansial.

Kedua, Beban Finansial Tambahan,Bagi individu yang sudah terkena dampak negatif dari perjudian online, seperti adiksi perjudian atau utang yang besar, pajak judi online tambahan dapat meningkatkan beban finansial mereka, memperburuk situasi finansial yang sudah sulit.

Ketiga, Dampak Sosial Terhadap Keluarga dan Teman-Teman
Bagi keluarga dan teman-teman individu yang terkena dampak perjudian online, pajak tambahan dapat memperburuk dampak sosial. Mereka juga merasakan tekanan tambahan dalam mendukung individu yang terkena dampak.

Keempat,Pengurangan Dana untuk Program Pencegahan
Pajak judi online yang tinggi dapat mengurangi dana yang tersedia untuk program-program edukasi dan pencegahan masalah perjudian. Ini dapat menghambat upaya memberikan informasi dan dukungan kepada individu yang rentan terhadap perjudian berlebihan.

**Baca Juga: Harga Beras Naik, Politisi Demokrat Minta Pemprov Banten Gelar Operasi Pasar

Dampak Terhadap Keuangan Negara

Penerapan pajak pada judi online dapat memberikan pendapatan tambahan kepada pemerintah, tetapi dampaknya pada masyarakat dan negara bisa sangat bervariasi.

Selain itu, jika pemerintah tidak mengatur judi online dengan cermat, ada risiko bahwa praktik-praktik ilegal seperti pencucian uang dan Pinjaman Online (Pinjol) serta kegiatan kriminal lainnya dapat berkembang tanpa kendali, menyebabkan kerugian finansial yang lebih besar daripada pendapatan pajak yang dihasilkan.

Mendukung Penolakan Pajak pada Judi Online

Harus dingat bahwa judi online dapat merusak dan meresahkan masyarakat. Ini seolah-olah melegalkan perjudian yang sejauh ini dianggap bertentangan dengan hukum, sehingga kebijakan ini tidak hanya tidak tepat, tetapi juga dianggap tidak etis.

Terutama dalam bentuk online yang mudah diakses, judi online dapat menjadi potensi risiko ketergantungan, yang dapat merusak kesejahteraan individu dan keluarga.

Pemerintah harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari perjudian online dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil untuk mengatur atau menghindari perjudian yang berlebihan juga diimbangi dengan kebijakan yang berfokus pada perlindungan masyarakat dan penegakan hukum yang efektif.

Kesimpulan
Secara keseluruhan, usulan pungutan pajak pada judi online yang diajukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika memunculkan beragam perdebatan dan pertimbangan yang kuat dan harus di ditolak.

Meskipun pendapatan tambahan bagi negara dapat menjadi aspek yang menggoda, tidak dapat diabaikan bahwa judi online saat ini dianggap ilegal berdasarkan hukum yang berlaku. Pemerintah harus memprioritaskan upaya untuk mengendalikan perjudian online yang merusak, bukan mengambil langkah yang dapat memberikan legitimasi lebih lanjut pada aktivitas ilegal ini.

Ketika merencanakan tindakan terkait perjudian online, pemerintah harus berfokus pada perlindungan masyarakat dan penegakan hukum yang efektif. Dampak negatif seperti adiksi, kerusakan hubungan keluarga, dan utang pribadi harus diperhitungkan dengan serius.

Upaya-upaya harus difokuskan pada edukasi, pencegahan, dan rehabilitasi bagi individu yang terkena dampak perjudian online, daripada hanya mengandalkan pajak sebagai solusi.

Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil harus mencerminkan nilai-nilai etika dan keadilan, serta menghormati hukum yang berlaku saat ini. Pemerintah harus mencari solusi yang lebih sesuai dan efektif untuk mengatasi masalah perjudian online tanpa membawa dampak negatif yang lebih besar pada masyarakat dan negara.(*/Red)




Subsidi Pertamax: Kebijakan untuk Siapa?

Oleh Achmad Nur Hidayat Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ dan CEO NARASI INSTITUTE

Kabar6-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, dalam upayanya mendorong masyarakat menuju BBM beroktan tinggi demi udara lebih bersih, kini mengeksplorasi opsi subsidi untuk Pertamax. Mungkinkah ini langkah maju menuju lingkungan yang lebih baik? Ataukah sekadar mengalihkan anggaran ke kelompok masyarakat yang sudah makmur?

Bensin beroktan tinggi seperti Pertamax memang memiliki keunggulan dalam pengurangan emisi, memberikan dampak positif bagi kualitas udara. Akan tetapi, pemberian subsidi ini melibatkan penimbangan aspek-aspek teknis, regulasi, dan ekonomi yang cermat.

Pertimbangan penting adalah menghindari gangguan terhadap pasokan dan mobilitas masyarakat. Pembatasan penyaluran BBM beroktan rendah, seperti Pertalite, dapat menghambat operasional sektor-sektor vital, seperti industri kecil, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum. Lebih ironisnya, rencana pemindahan subsidi ke Pertamax dapat menyebabkan ketidaksetaraan, di mana kelompok masyarakat yang memerlukan BBM beroktan rendah malah mendapatkan beban tambahan.

Mengacu pada anggaran kompensasi energi yang mencapai ratusan triliun rupiah, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah alokasi ini sudah efektif dan tepat sasaran? Mengalokasikan sejumlah besar anggaran bagi Pertamax—bensin yang sering diasosiasikan dengan kendaraan mewah—bisa jadi memberi kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu.

Penting bagi pemerintah untuk tidak melupakan masyarakat berpenghasilan rendah yang bergantung pada BBM beroktan rendah. Kebijakan harus inklusif dan memastikan tidak ada yang terpinggirkan dalam upaya memperbaiki kualitas udara.

Apabila pemerintah bersungguh-sungguh ingin menjadikan udara bersih sebagai prioritas, maka harus ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Fokus harus ditempatkan pada upaya peningkatan efisiensi dan pengawasan ketat agar tidak terjadi pemborosan.

Membahas wacana subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi bukanlah hal yang sederhana. Namun, langkah pertama yang paling kritis adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mendukung seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya beberapa kelompok tertentu.

**Baca Juga: Pemprov Banten Keluarkan 200 Izin Pertambangan Sejak 2015

Anggaran Kompensasi Energi

Pertalite adalah jenis Bahan Bakar Minyak Khusus (JBKP) yang menerima kompensasi dari pemerintah untuk mengimbangi perbedaan antara harga jualnya dan harga ekonomi. Berdasarkan laporan keuangan Pertamina 2022, kompensasi untuk selisih harga Pertalite mencapai Rp74,88 triliun pada semester I 2022, Rp50,69 triliun pada kuartal III 2022, dan Rp4,89 triliun pada Oktober 2022.

Kementerian Keuangan telah menganggarkan total subsidi dan kompensasi energi senilai Rp329,9 triliun dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Dari angka tersebut, subsidi energi dialokasikan sebesar Rp185,87 triliun, sementara kompensasi energi (termasuk BBM dan listrik) mencapai Rp144,03 triliun.

Alokasi subsidi energi ini meliputi subsidi khusus untuk BBM dan tabung elpiji 3 kg senilai Rp110,04 triliun, serta subsidi listrik senilai Rp75,83 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa konsumsi energi seperti elpiji 3 kg, listrik, dan bahan bakar mengalami peningkatan yang signifikan.

Kenaikan nilai subsidi energi juga dipengaruhi oleh perkiraan asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000 per dolar AS dalam RAPBN tahun mendatang.

Pembahasan mengenai subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi yang terkait menghadirkan permasalahan penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam konteks dampaknya bagi masyarakat.

Transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas—ketiga prinsip ini harus menjadi landasan dalam pengambilan keputusan seputar energi di Indonesia.(*/Red)




Dunia di Ambang Krisis Geopolitik: Sebuah Refleksi dari KTT BRICS di Afrika Selatan*

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Dalam era globalisasi saat ini, dunia menyaksikan pergeseran kekuatan geopolitik yang signifikan. BRICS, yang awalnya merupakan aliansi lima negara yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, kini telah berkembang menjadi kekuatan geopolitik yang menantang dominasi Barat. Dengan kehadiran 40 negara lain yang menunjukkan ketertarikannya, BRICS semakin menegaskan posisinya di panggung dunia.

Pada KTT ke-15 BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, dinamika baru ini menjadi semakin jelas. Dari 40 negara yang menunjukkan ketertarikannya, 22 di antaranya secara formal mengajukan diri untuk bergabung. Indonesia, meskipun hadir sebagai tamu undangan dalam kapasitasnya sebagai ketua ASEAN, menunjukkan potensi untuk bergabung di masa depan, sesuatu yang ditegaskan oleh pertimbangan Presiden Jokowi.

Namun, apa yang mendorong negara-negara ini untuk bergabung dengan BRICS? Jawabannya terletak pada tuntutan keseimbangan yang lebih adil dalam sistem keuangan dan perdagangan internasional. Sejarah modern sistem keuangan internasional, yang bermula dari Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944, telah menciptakan dominasi Barat, khususnya dolar AS. Namun, dominasi ini mulai tergoyang, terutama setelah keputusan Presiden Nixon pada tahun 1971 yang mengungkap kelemahannya.

Ketidakpuasan terhadap dominasi Barat ini bukan hanya sekedar retorika. Rusia, sebagai salah satu anggota BRICS, telah menunjukkan ketidakpuasannya melalui aksi-aksi seperti aneksasi Krimea dan intervensi di Ukraina. Ini adalah bukti nyata dari ketegangan geopolitik yang meningkat dan tatanan dunia pasca-perang yang kini menghadapi ujian.

**Baca Juga: Uji Emisi Kendaraan Bermotor di Pamulang Sepi Peminat

Membangun Tatanan Multipolar Tanpa Dominasi Kekuatan Dunia

Dalam menghadapi realitas baru ini, dunia harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif. Mengakui dan memahami sejarah adalah langkah awal. Hanya dengan memahami keputusan dan kebijakan masa lalu, kita dapat merumuskan solusi yang lebih adil dan berkeadilan untuk masa depan.

Diplomasi, dalam konteks ini, harus menjadi prioritas. Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, dialog terbuka, negosiasi, dan kerjasama multilateral menjadi kunci untuk menyelesaikan ketegangan. Dengan mempromosikan diplomasi, kita dapat mendorong pendekatan yang lebih kolaboratif dan inklusif dalam hubungan internasional.

Diversifikasi hubungan ekonomi juga menjadi penting. Dalam upaya mengurangi ketergantungan dan mencegah dominasi ekonomi, negara-negara harus mencari kemitraan baru sambil memperkuat yang sudah ada. Selain itu, pendidikan dan kesadaran publik harus ditingkatkan. Masyarakat global harus mendapatkan informasi yang tepat tentang isu-isu geopolitik agar dapat memahami dan mendukung solusi yang berorientasi pada perdamaian.

Di era multipolar ini, mempromosikan multilateralisme dan investasi dalam teknologi serta inovasi menjadi penting. Dengan pemahaman, diplomasi, dan kerjasama, kita dapat bersatu untuk menciptakan dunia yang lebih damai, stabil, dan makmur, tanpa dominasi dari kekuatan dunia tertentu.(*/Red)




Dibalik Kritik Megawati Terhadap KPK Ada Apa?

Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarnoputri, kembali mengejutkan dengan kritik tajamnya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apa niat kritikan Ibu Megawati kepada KPK?

Di sisi lain, ironisnya, kritik yang dilontarkan oleh Megawati ini seolah menutup mata terhadap laporan dan fakta yang mengaitkan partainya sendiri, PDIP, dengan berbagai kasus korupsi yang tak kunjung reda.

Pertanyaan pun muncul: apakah kritiknya terhadap KPK semata untuk menutupi ketidakmampuan PDIP dalam memerangi korupsi atau ada niat lain?

Korupsi dan Partai Politik

Megawati dengan semangat menyuarakan perlunya pembubaran KPK, menyatakan bahwa menurutnya KPK tidak efektif dalam memerangi praktik korupsi.

Namun, keberanian ini malah menyoroti ketidakmampuan PDIP dalam membersihkan diri dari berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggota partainya sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa PDIP tidak luput dari berbagai kontroversi terkait korupsi, dengan kasus-kasus seperti dugaan suap pembangunan proyek hingga kredit macet yang melibatkan tokoh-tokoh partai.

Kritik Terhadap KPK: Pentingnya Bersih-bersih Internal

Kritik tajam terhadap KPK seolah menjadi upaya Megawati untuk mengalihkan perhatian dari fakta bahwa partainya sendiri perlu melihat dalam-dalam pada dirinya sendiri.

Sudah saatnya Megawati dan PDIP mengambil langkah-langkah konkret untuk membersihkan partainya dari kanker korupsi yang semakin menggerogoti kepercayaan publik.

Ketika seharusnya menjadi contoh teladan dalam pemberantasan korupsi, PDIP justru semakin terlihat sebagai bagian dari masalah tersebut. Ini salah satu bentuk kegagalan partai dalam membina kader dan memilih kader yang seharusnya punya integritas anti korupsi.

Dalam situasi seperti ini, apakah kritiknya terhadap KPK merupakan bentuk kewajiban etis untuk memperbaiki sistem atau sekadar upaya untuk melindungi kepentingan partainya sendiri?

lembaga anti korupsi tersebut masih sangat dibutuhkan guna menjaga demokrasi hingga membersihkan praktek kejahatan luar biasa dalam pemerintahan dari Indonesia.

Apalagi baru-baru ini indeks korupsi menurun karena sejumlah kasus yang terkuak dan melibatkan banyak pihak bermunculan mulai dari soal minyak goreng hingga Tower BTS.

**Baca Juga: Kekeringan Dampak El Nino, Pemkab Lebak Minta Warga untuk Hemat Air

Kasus Kontroversial: PDIP dan Jejak Korupsi

Salah satu contoh kasus korupsi yang paling mencuat dan melibatkan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah kasus yang menyeret nama mantan Ketua Umum PDIP, Setya Novanto.

Kasus yang dikenal dengan sebutan “Kasus E-KTP” ini melibatkan dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (E-KTP) pada tahun 2011. Kasus E-KTP adalah salah satu contoh yang mencolok, mengingat melibatkan tokoh penting dalam PDIP.

Contoh kasus yang terbaru yaitu Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ismail Thomas (IT) anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tersangka, Selasa (15/8/2023).

Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan politikus PDI Perjuangan itu sebagai tersangka terkait kepemilikan dan izin palsu pertambangan batubara PT Sendawar Jaya di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim).

Memulai dari Diri Sendiri: Perbaikan Internal dalam PDIP

Sebelum berbicara tentang pembubaran KPK, langkah yang lebih konstruktif dan bermakna adalah melihat dalam-dalam dan mengoreksi terlebih dahulu persoalan internal yang berkaitan dengan anggota partai PDIP yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi.

Pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri sebelum menilai lembaga eksternal. Maka dari itu, membenahi integritas dan prinsip di dalam partai harus menjadi prioritas utama.

Menjatuhkan keputusan untuk membubarkannya haruslah berdasarkan evaluasi mendalam, melihat kinerja serta upaya-upaya yang telah dijalankan.

Pentingnya Pendekatan Konstruktif dan Kolaboratif

Selagi terdapat kesempatan untuk meningkatkan dan menguatkan KPK, mari fokus pada langkah-langkah konstruktif yang dapat membantu mewujudkan sistem hukum yang lebih adil dan transparan.

Dalam menghadapi isu pemberantasan korupsi, keterbukaan, transparansi, dan kolaborasi merupakan kunci untuk mencapai hasil yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia.”

Pentingnya peringatan dalam melawan korupsi harus diarahkan untuk semua partai politik, tidak terbatas pada PDIP.

Semua partai politik memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas internal, melakukan reformasi, memastikan transparansi dan pemantauan dana partai, membentuk pemimpin berintegritas, berkolaborasi dengan lembaga eksternal, mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk korupsi, serta menjaga keterbukaan dan akuntabilitas dalam operasional mereka.

Melalui komitmen bersama ini, seluruh partai politik dapat berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi dan lebih baik untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Kesimpulan: Menghadapi Tantangan Korupsi secara Komprehensif

Dalam menghadapi tantangan korupsi yang merajalela di Indonesia, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Pemberantasan korupsi adalah upaya kolektif yang melibatkan perbaikan lembaga penegak hukum, perubahan dalam budaya politik, serta partisipasi aktif masyarakat.

Partai politik, termasuk PDIP, harus berkomitmen untuk melakukan reformasi internal yang mencakup pembersihan diri dari elemen yang terlibat dalam kasus korupsi.

Menggagas pembubaran KPK mungkin terlalu prematur. Langkah lebih bijak adalah memperkuat KPK melalui reformasi yang meningkatkan transparansi, independensi, dan kemampuan investigasi.

Penguatan lembaga lain, seperti kejaksaan dan kepolisian, juga diperlukan dalam kerjasama lintas lembaga. Mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk korupsi dan pentingnya pemberantasan adalah langkah strategis.

Kampanye yang fokus pada integritas, tata kelola yang baik, dan tanggung jawab sosial akan membentuk masyarakat yang lebih kritis dan partisipatif.

Mengaktifkan peran serta masyarakat dalam pengawasan dan pemantauan terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan dan partai politik akan meningkatkan akuntabilitas.

Masyarakat yang lebih berpartisipasi akan membangun tekanan positif untuk perubahan.

Polemik seputar pembubaran KPK atau perbaikan internal dalam partai PDIP mencerminkan kerumitan dan kompleksitas upaya pemberantasan korupsi.(*/Red)




Menghadapi Kenaikan Gaji PNS 2024: Mencari Solusi dalam Realita Fiskal

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Pemerintahan saat ini telah mengambil langkah berani dengan merencanakan peningkatan gaji untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), Aparatur Sipil Negara (ASN), serta personel TNI-Polri dan pensiunan.

Meskipun langkah ini diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, perlu disorot bahwa kenaikan drastis tersebut bisa berdampak lebih dari yang terlihat. Peningkatan gaji sebesar 8% untuk PNS dan 12% bagi pensiunan di tahun 2024 tampaknya cukup menggiurkan, namun mari telaah lebih dalam dalam konteks realita ekonomi dan fiskal negara.

Sebelum diputuskan menaikkan gaji ASN, sebaiknya para pengambil kebijakan (policy makers) mempertimbangkan lima poin berikut yaitu kondisi fiskal terbatas 2024, beban fiskal yang berat, pembangunan daerah yang terbebani belanja ASN, stabilitas politik dan objektiftivitas dalam kenaikan gaji ASN.

Kondisi Fiskal Terbatas Tahun 2024: RAPBN 2024 telah menjadikan transformasi ekonomi, pengendalian defisit, dan program-program prioritas sebagai tujuan utama. Namun, kenaikan gaji yang 8% dan pensiunan 12% tentu berpotensi mengganggu alokasi dana untuk program-program penting tersebut. Apakah kebijakan kenaikan gaji ASN dapat memberikan manfaat yang seimbang dengan dampak fiskalnya? Pemerintah belum memaparkan resiko fiskal dari kenaikan gaji ASN tersebut terutama bagaimana pengaruhnya terhadap alokasi dana yang seharusnya diperuntukkan bagi program-program lain seperti bansos, pembayaran utang LN, anggaran kesehatan. Jangan sampai Gaji ASN dinaikan tapi anggaran pertanian, anggaran kesehatan dikurangi.

Beban Fiskal yang Semakin Berat: Kenaikan gaji yang signifikan berpotensi memberikan tekanan pada APBN. Dalam kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan kebutuhan akan buffer fiskal, langkah menaikan gaji ASN seperti ini perlu dievaluasi dengan matang. Apalagi mengingat utang semakin besar membebani APBN. Apakah publik siap untuk memberikan beban yang lebih berat pada anggaran negara?

Keseimbangan Antara Kenaikan Gaji dan Inflasi: Meskipun tujuan kenaikan gaji adalah mengatasi inflasi, perlu diawasi agar tindakan ini tidak memicu inflasi lebih lanjut. Peningkatan gaji sebesar 8% yang melebihi tingkat inflasi 3.09% (yoy per Juli 2023) bisa mengganggu stabilitas ekonomi. Kenaikan yang terlalu besar selain menciptakan gelombang inflasi yang merusak ekonomi nasional juga menciptakan kecemburuan sosial. Jumlah ASN ada 4.25 juta orang sangat kecil bandingkan jumlah penduduk 220 juta yang mengalami kesulitan ekonomi akibat kenaikan inflasi. Tentu kenaikan gaji ASN yang terlalu besar menjadi tidak bijak di saat publik kesulitan.

Tantangan Anggaran di Daerah: Situasi anggaran di daerah, seperti kabupaten dan kota, mungkin belum optimal. Beberapa daerah mengalokasikan lebih dari 70% anggaran untuk belanja pegawai daripada pembangunan. Kenaikan gaji tanpa mempertimbangkan kondisi ini dapat menghambat pembangunan daerah.

Stabilitas Politik dan Pemilihan 2024: Saat ini, kita mendekati pemilihan 2024 yang memiliki risiko. Meskipun kenaikan gaji dapat dianggap sebagai prestasi pemerintah saat ini, hal ini mungkin menjadi tanggungan bagi pemerintahan berikutnya. Kebijakan ini seharusnya diberikan kesempatan kepada pemimpin yang akan datang untuk mempertimbangkannya.

**Baca Juga: Upacara Kemerdekaan 17 Agustus di Bawah Laut Selat Sunda

Tujuan dan Efisiensi Kenaikan Gaji: Kenaikan gaji harus memiliki tujuan yang jelas, termasuk peningkatan kinerja dan efisiensi. Jika kenaikan gaji tidak diimbangi dengan kemajuan yang nyata dalam pembangunan, risiko anggaran belanja pegawai yang melampaui pembangunan semakin besar. Presiden perlu menjelaskan peningkatan kinerja ASN seperti apa yang dijanjikan.

Oleh karena itu, alternatif keberlanjutan fiskal perlu dilakukan diantaranya adalah

Evaluasi dan Pendekatan yang Menyeluruh: Pemerintah dan DPR perlu mengadopsi pendekatan yang lebih luas dalam mengevaluasi dampak jangka panjang kenaikan gaji terhadap APBN. Ini bukanlah hanya soal tahun 2024, tetapi juga bagaimana dampak ini berkelanjutan dalam jangka panjang.

Pilihan Alternatif yang Kreatif: Menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kesejahteraan PNS bisa diwujudkan melalui skema insentif kinerja atau solusi kreatif lainnya.

Kontrol Inflasi yang Bijak: Kolaborasi dengan Bank Indonesia dalam mengawasi inflasi adalah kunci agar langkah ini tidak merugikan.

Kesimpulan
Meskipun kenaikan gaji PNS dapat membawa manfaat, dampaknya terhadap fiskal negara harus diperhitungkan secara cermat. Menemukan keseimbangan antara kesejahteraan PNS dan keberlanjutan fiskal adalah esensi dalam kebijakan ini.(*/Red)




Beleid Subsidi Tiket KCJB Tidak Tepat, Ini Alasannya

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)

Kabar6-Komitmen politik sering kali diharapkan akan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, janji-janji tersebut sering kali menghadapi tantangan nyata. Rencana subsidi tiket Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kebijakan yang membebani APBN lebih dalam.

Dalam kasus ini, Janji Jokowi untuk menghindari keterlibatan APBN seakan melenceng dari semangat transparansi dan akuntabilitas yang ia sampaikan sebelumnya. Proyek KCJB yang semula dijanjikan dengan biaya investasi sekitar 5,5 miliar dollar AS, kini membengkak menjadi 7,27 miliar dollar AS. Terlepas dari alasan-alasan teknis yang mungkin mendasari pembengkakan biaya ini, penggunaan dana APBN dalam proyek ini seolah menjadi alternatif mudah daripada mencari solusi yang lebih terukur.

Dari proses pembiayaan yang bermasalah bisa yang menyebabkan pembengkakkan yang membebani APBN menunjukkan perencanaan dan proses pembuatan kerjasama yang tidak matang dan teliti.

Dari beberapa pertimbangan ini, Beleid subsidi tiket KCJB menjadi tidak tepat.

Pertama, Presiden Jokowi telah menggarisbawahi pentingnya subsidi dalam sektor transportasi untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, rencana subsidi tiket KCJB, yang semestinya mengikuti komitmen ini, terasa bertentangan. Proyek KCJB awalnya diharapkan tidak melibatkan APBN, tetapi kini melibatkan APBN bahkan dengan kehadiran subsidi tiket KCJB TAMBAH membebani neraca keuangan negara, ini menunjukkan ketidaksesuaian dalam komitmen dan tindakan. Janji politik adalah fondasi hubungan antara pemimpin dan rakyat.

Keputusan untuk melibatkan APBN dalam subsidi KCJB merusak integritas janji-janji politik. Konsistensi dalam komitmen dan tindakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam kepemimpinan.

Kedua, keterlibatan APBN dalam subsidi ini menambah beban negara lebih dalam sehingga akan mengganggu program-program pemerintah yang lainnya.

**Baca Juga: Bupati Zaki: Perayaan HUT RI ke 78 Ajang Pesta Rakyat

Ketiga, jika dilihat dari harga yang ditetapkan tanpa subsidi diproyeksikan kemampuan pengembalian modal bisa mencapai 80 tahun. Ini pun rentan dengan tingkat kemampuan manajemen KCJB dalam membiayai pemeliharaan yang tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Jika aspek ini terganggu tentunya selain mendatangkan ancaman bagi keselamatan tapi juga menjadi ancaman bagi sustainability operasional KCJB. Karena perjalanan 80 tahun ini tentunya harus ada biaya pengadaan selama beberapa kali yang menuntut anggaran depresiasi yang cukup.

Keempat, pemberian subsidi ini terkesan menutupi kekurangan atas ketidakkonsistenan antara janji politik Jokowi dan persoalan pembengkakkan anggaran yang terjadi sehingga proyek KCJB ini terkesan bermuatan politis.

Apalagi ada rencana perpanjangan rute kereta api cepat dari Jakarta hingga Surabaya yang banyak dikritisi karena bercermin dari masalah pembiayaan yang terjadi pada pembangunan KCJB. Tentunya subsidi ini akan menjadi polesan untuk mendapatkan legitimasi agar rencana-rencana yang beresiko menimbulkan jebakan utang seperti pembangunan kereta cepat Jakarta – Surabaya, dan lain-lain benar-benar diimplementasikan sebagai program keberlanjutan.

Kelima, Subsidi tanpa melibatkan APBN dapat menyebabkan risiko akumulasi utang di masa depan, yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Mengelola kebijakan subsidi dengan bijaksana adalah suatu keharusan untuk menjaga keseimbangan fiskal dan keuangan negara.

Pemberian subsidi tiket KCJB ini sangat kental nuansa politisnya terkait program keberlanjutan. Publik harus mengawasi kemana arah kebijakan pemerintah dalam hal ini. Jangan sampai kebijakan ini dijadikan alat politik untuk melegitimasi keberlanjutan yang terkait Pemilu 2024.(*/Red)




Gugatan MK Terkait Batas Usia Calon Wakil Presiden

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)

Kabar6-Mahkamah Konstitusi (MK) tengah mengadakan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang berkaitan dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Sidang ini berfokus pada sejumlah gugatan yang diajukan oleh berbagai pihak terkait batas usia minimal untuk menjadi capres-cawapres. Gugatan ini memicu perdebatan serius mengenai pentingnya mengkompromikan antara usia dan kemampuan dalam memimpin.

Pada sisi satu, ada argumen bahwa batas usia yang lebih rendah, khususnya 35 tahun, akan memberi peluang lebih besar kepada generasi muda untuk berkiprah dalam pemerintahan. Wakil Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dalam persidangan, menyatakan bahwa banyak negara di dunia menerapkan batas usia minimal yang lebih rendah untuk calon pemimpin, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan India.

Menurutnya, mengingat Indonesia sedang memasuki bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar, penting untuk memberi peluang pada generasi muda untuk berkontribusi dalam pembangunan negara.

Di sisi lain, argumen lainnya adalah bahwa penting untuk mempertimbangkan kemampuan dan pengalaman dalam memimpin. Meskipun usia tidak selalu menjadi indikator tunggal, batas usia tertentu diharapkan mencerminkan kedewasaan dan kesiapan seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan.

Staf Ahli Kemendagri Togap Simangunsong menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menetapkan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria umum untuk jabatan pemerintahan, dan keputusan mengenai hal ini semestinya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Dia menyatakan bahwa apapun keputusan MK, apakah menghapus atau mempertahankan batas usia minimal, harus dihormati karena merupakan keputusan politik. Namun, dia juga mengingatkan bahwa keputusan ini seharusnya tetap menjadi kewenangan DPR.

Secara umum, diskusi mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang bagaimana mencari keseimbangan antara memberi peluang pada generasi muda dan memastikan bahwa pemimpin memiliki kemampuan dan pengalaman yang diperlukan dalam menghadapi tantangan kompleks dalam pemerintahan.

Bagaimana MK akan mengambil keputusan dalam kasus ini akan mempengaruhi arah demokrasi dan kepemimpinan di Indonesia.

Perlu Partai yang Sehat

Batas usia menjadi perdebatan hangat dalam gugatan MK ini. Para pendukung penghapusan batasan usia berpendapat bahwa kemampuan seseorang bukanlah semata-mata ditentukan oleh usia. Mereka menunjukkan contoh pemimpin muda dari berbagai negara yang telah sukses memimpin dengan baik.

Namun, penentangan terhadap penghapusan batasan usia berpendapat bahwa usia masih memiliki relevansi dalam mengukur kedewasaan dan pengalaman seseorang, terutama dalam menghadapi tantangan kompleks di dunia politik dan kepemimpinan.

Gugatan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Sejumlah pihak mendukung penghapusan batasan usia.

Sementara yang lain berpendapat bahwa pembatasan tersebut masih penting untuk menjaga kualitas kepemimpinan. Perdebatan ini memperlihatkan kompleksitas dalam menentukan kriteria yang tepat untuk pemimpin negara.

**Baca Juga: Partai Gelora & Gerindra Matangkan Deklarasi Prabowo sebagai Capres

Pentingnya Partai yang Sehat: Kaderisasi Kepemimpinan

Pembahasan mengenai batas usia capres dan cawapres juga mengungkap pentingnya peran partai politik dalam menghasilkan calon-calon potensial yang berkualitas. Partai politik yang sehat dan memiliki mekanisme kaderisasi kepemimpinan yang baik dapat menghasilkan calon-calon yang memenuhi syarat baik dari segi usia maupun kemampuan.

Di sisi lain, partai yang lemah dalam kaderisasi mungkin masih memerlukan pembatasan usia sebagai filter untuk menjaga kualitas calon-calon yang diusung.

Batas Usia Bisa Jadi Dihapus, Bila Partai Kuat Kaderisasi Kepemimpinan

Pertama, Batas usia capres dan cawapres dapat dihapus jika partai politik memiliki mekanisme kaderisasi kepemimpinan yang kuat dan mampu menghasilkan calon-calon yang berkualitas, terlepas dari usia.

Kedua, Pentingnya fokus pada kemampuan dan rekam jejak calon-calon, yang dapat diukur melalui pengalaman dan kualitas kepemimpinan yang telah ditunjukkan dalam skala yang lebih kecil, seperti kepemimpinan di daerah atau dalam partai.

Ketiga, Partai politik perlu lebih berinvestasi dalam pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan bagi kader-kader muda, sehingga mereka dapat bersaing secara sehat dalam ajang pemilihan.

Keempat, Masyarakat juga perlu mendorong partai politik untuk melibatkan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan dan kepemimpinan partai, sehingga generasi muda memiliki peran yang lebih signifikan dalam membentuk masa depan politik.

Pembatasan Usia Penting Saat Demokrasi Rawan Dikuasai Partai Politik Rusak dan Oligarki

Kesimpulannya, perdebatan tentang batas usia capres dan cawapres menggambarkan dilema antara usia dan kemampuan sebagai parameter dalam memilih pemimpin negara. Penghapusan batasan usia mungkin dapat dipertimbangkan jika partai politik mampu secara efektif menerapkan kaderisasi kepemimpinan yang sehat.

Namun, pembatasan usia tetap menjadi penting saat demokrasi rawan dikuasai oleh partai politik yang rusak atau oligarki yang memanipulasi proses pemilihan demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam konteks ini, pembatasan usia dapat berfungsi sebagai alat untuk menjaga integritas dan kualitas pemimpin negara. Oleh karena itu, kemampuan partai politik dalam menjalankan kaderisasi kepemimpinan yang transparan dan efektif menjadi faktor kunci dalam memutuskan apakah batas usia capres dan cawapres perlu dihapus atau tetap dipertahankan.

Demokrasi berpotensi menjadi korban ketika batas usia untuk calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi penting. Sejumlah kepala daerah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Garuda, bersama dengan sejumlah warga negara, menggugat batasan usia 40 tahun yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sidang uji materi yang diadakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memberi panggung bagi perdebatan ini, menimbulkan pertanyaan tentang kriteria dan batasan usia yang relevan untuk pemimpin negara.

Dalam sidang tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan pentingnya batasan usia minimal untuk capres-cawapres guna memastikan pemimpin yang bijak dan berkualitas. Habiburokhman mengungkapkan bahwa batasan usia juga berfungsi sebagai parameter untuk menentukan seseorang yang memiliki kapasitas dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk tugas tersebut.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia saat ini memasuki masa bonus demografi, di mana penduduk usia produktif memiliki potensi untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional. Ini memberikan peluang kepada generasi muda untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, termasuk capres dan cawapres.

Namun, gugatan dari berbagai pihak menyoroti perdebatan tentang batasan usia. PSI, Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah berpendapat bahwa batasan usia 40 tahun terlalu tinggi dan membatasi peluang bagi pemimpin muda yang memiliki kualifikasi dan pengalaman.

Mereka mengacu pada contoh internasional di mana beberapa negara telah mengizinkan pemimpin yang berusia di bawah 40 tahun untuk menjabat.

Terkait dengan perbandingan internasional, Togap Simangunsong, Staf Ahli Kemendagri, menunjukkan bahwa banyak negara menerapkan batasan usia minimal capres-cawapres sekitar 35 tahun.

Menurutnya, UUD 1945 tidak menetapkan batasan usia tertentu untuk jabatan pemerintahan, dan hal ini diberikan kepada pembentuk undang-undang. Togap berpendapat bahwa batasan usia adalah kebijakan yang dapat berubah sesuai kebutuhan perkembangan negara.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengomentari gugatan tersebut. Dia menekankan bahwa keputusan MK akan memberi harapan pada kaum muda untuk berpartisipasi dalam politik. Namun, Cak Imin juga mengingatkan bahwa ini adalah keputusan politik yang sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang berwenang, yaitu DPR.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah batasan usia capres-cawapres harus tetap pada 40 tahun atau dapat dikurangi menjadi 35 tahun. Diskusi ini memunculkan isu demokrasi yang rawan dikuasai oleh partai politik rusak dan oligarki.

Sementara beberapa menganggap batasan usia yang lebih rendah akan membuka peluang bagi generasi muda yang berkualitas, yang lain mungkin khawatir bahwa mengurangi batasan usia dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak berpengalaman dan tidak matang.

Mahkamah Konstitusi akan memiliki tugas berat untuk memutuskan kesesuaian dan implikasi dari batasan usia capres-cawapres ini terhadap demokrasi dan masa depan bangsa.

Rekomendasi

Pertama, Batas Usia Bisa Jadi Dihapus, Bila Partai Kuat Kaderisasi Kepemimpinan: Diperlukan perbaikan dan penguatan mekanisme kaderisasi dalam partai politik sebagai langkah awal.Partai harus berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan bagi anggota muda.

Penekanan pada rekam jejak, pengalaman, dan kemampuan calon-calon untuk mengukur kelayakan mereka secara lebih holistik.
Perlu memastikan proses kaderisasi transparan dan adil untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas, terlepas dari usia.

Kedua, Bila Partai Masih Lemah Seperti Sekarang, Pembatasan Masih Diperlukan: Perlu fokus pada perbaikan dan penguatan partai politik dalam hal kaderisasi kepemimpinan.Jika partai masih lemah dalam menghasilkan calon-calon yang berkualitas.

pembatasan usia bisa tetap menjadi alat untuk menjaga kualitas pemimpin negara.Proses seleksi dan persiapan calon-calon perlu diarahkan pada meningkatkan kualitas kepemimpinan di partai.

Ketiga, Pembatasan Usia Menjadi Penting Saat Demokrasi Rawan Dikuasai Partai Politik Rusak dan Oligarki: Kewaspadaan terhadap ancaman oligarki dalam proses pemilihan perlu ditingkatkan.Demokrasi yang rusak dan dikuasai oleh partai politik yang tidak transparan dapat mengakibatkan manipulasi proses pemilihan.

Pembatasan usia dapat menjadi salah satu alat untuk menghindari kemungkinan pemimpin yang tidak berpengalaman dan tidak matang mengambil alih kekuasaan dalam situasi yang rawan.

Rekomendasi-rekomendasi di atas dapat membantu mengarahkan perdebatan dan kebijakan terkait batas usia calon wakil presiden secara lebih bijaksana dan seimbang, dengan mempertimbangkan kondisi aktual partai politik dan ancaman terhadap integritas demokrasi.(*/Red)




Upaya Pidanakan Rocky Gerung adalah Upaya Kaum Feodal

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)

Kabar6-Pernyataan tajam dan kontroversial dari Rocky Gerung (RG) tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan masyarakat.

Segelintir orang meminta agar RG ditahan, dipenjara dan dibungkam mulutnya.

Hal ini disebabkan RG dinilai sudah menistakan kelembagaan Presiden. Mereka mengatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hak ini harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain.

Kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menyebarkan narasi kebencian dan provokasi. Narasi RG dinilai menyebarkan kebencian dan provokasi. Mereka berpandangan narasi RG dapat membahayakan masyarakat dan keutuhan negara. Oleh karena itu, RG dilaporkan kepihak aparat kepolisian oleh berbagai kelompok masyakarat.

Padahal, sebenarnya kritik tajam oleh Rocky Gerung terhadap pemerintahan perlu dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan koreksi. Harus dilihat konteksnya dimana apa yang dilakuan RG adalah bagian dari kecintaan kepada kebenaran dan NKRI juga upaya mengkoreksi kesalahan dari pengambil kebijakan oleh seorang Rocky Gerung.

Rocky Gerung memperjuangkan Demokrasi dan Sikap Egaliter, Musuhnya orang-orang seperti RG tersebut adalah Kaum Feodalis

Sosok RG seringkali dimusuhi oleh kaum feodal karena peran dan ucapan RG yang sering menantang otoritas dan status quo yang telah mapan dalam masyarakat Indonesia saat ini.

Berikut adalah penjelasan kenapa sosok RG menjadi sasaran kebencian kaum feodal di Indonesia.

Pertama, Membongkar ketidakadilan sosial: RG seringkali mengungkapkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem feodal. RG menyoroti ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, hak-hak asasi manusia, dan kesenjangan antara kelas sosial. RG sosok yang gigih dalam membongkar hal ini, sehingga dapat menjadi ancaman bagi kaum feodal yang memegang kendali atas sumber daya dan kekayaan.

Kedua, Menentang dominasi kekuasaan: Kaum feodal memiliki struktur kekuasaan yang kuat dan dominan dalam masyarakat. RG, dengan keberaniannya dalam menyuarakan kritik terhadap penguasa dan elit feodal, menjadi ancaman bagi kelangsungan dominasi mereka.

Ketiga, Memperjuangkan hak-hak rakyat: RG sering berbicara atas nama rakyat biasa dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini dapat membuat kaum feodal merasa terancam karena mereka tidak ingin kekuatan dan hak istimewa mereka tergerus oleh tuntutan masyarakat luas.

Keempat, Mengancam keuntungan penguasa: Kaum feodal sering mendapatkan keuntungan dari sistem yang ada, mereka mendapatkan tunjangan tinggi dengan menjadi komisaris pada BUMN dan jabatan pemerintahan lainnya. Melalui jabatan itu mereka memperoleh keuntungan dari monopoli ekonomi. RG yang mengkritik dan menuntut perubahan terhadap praktik-praktik eksploitasi ini dapat mengancam keuntungan finansial mereka.

**Baca Juga: Muncul Spanduk Penolakan Penutupan Jalan Menuju Pasar dan Stasiun Rangkasbitung

Kelima, Membuka pandangan alternatif: RG cenderung memberikan pandangan alternatif dan inovatif terhadap tatanan sosial dan politik. Ide-ide baru ini bisa mengganggu kestabilan sistem feodal dan membuat kaum feodal merasa terancam atas eksistensi dan ajaran mereka yang sudah mapan.

Keenam, Mengancam citra dan legitimasi: Kritikus yang tajam seperti RG dalam mengungkapkan kekurangan dan kesalahan kaum feodal dapat merusak citra dan legitimasi penguasa di mata masyarakat. Ini bisa mengakibatkan tuntutan untuk perubahan dalam sistem yang ada.

Ketika sosok RG berani menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan, korupsi, atau ketimpangan dalam sistem feodal, mereka sering menjadi sasaran persekusi dan penindasan.

Namun, peran sosok berani seperti RG dan tokoh lainnya yang kritis dan berani juga memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat banyak.

Sebagai masyarakat yang beradab, mari kita nilai kritik RG sebagai upaya dalam mendorong perubahan lebih baik dan kritik Rocky Gerung ini tidak layak untuk dipersekusi. Jika persekusi terhadap RG dan tokoh lainnya ada artinya negara sudah diliputi oleh kaum feodal yang anti demokrasi.(*/Red)