oleh

Menakar Kasus Pelajar Binus School di Tangsel Versi Pakar Psikologi Forensik

image_pdfimage_print

Kabar6-Kekerasan siswa terhadap peserta didik lain tidak mutlak berupa perundungan atau bullying. Polisi patut mencermati secara spesifik, mana bullying dan ragging.

“Pertanyaannya, seberapa akrab kita lebih-lebih lembaga-lembaga negara dengan istilah ragging?,” kata pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel kepada kabar6.com, Kamis (29/2/2024).

Kasus menimpa pelajar di Binus School, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), yang telah menyita perhatian publik secara luas. Korban mendapatkan kekerasan fisik dan psikis dari para seniornya di sekolahan kelas internasional tersebut.

Reza jelaskan, bullying diterjemahkan sebagai perundungan. Sementara ragging, setahunya belum ada sinonimnya dalam bahasa Indonesia. Bullying dan ragging sama-sama kekerasan. Keduanya adalah perilaku tidak baik.

**Baca Juga:Jum’at Besok Polres Tangsel Rilis Penetapan Kasus Perundungan Pelajar Binus School

Tapi, lanjutnya, bayangkan jika seorang anak siapa pun dia sengaja mendekati geng yang dikenal urakan agar bisa bergabung ke dalamnya. Anak itu pun tahu bahwa setiap anggota baru akan dikenai perlakuan tak senonoh dan serbaneka kekerasan.

Lantas, bergabunglah anak itu ke dalam geng tersebut dan dia menjalani ritual atau seremoni kekerasan yang memang merupakan identitas atau budaya geng itu.

“Kalau kronologinya sedemikian rupa, maka kekerasan yang menimpa anak tersebut tidak bisa serta-merta dikategori sebagai bullying. Itu ragging,” jelas Reza.

Baginya dalam bullying dikotomi pelaku dan korban sangat jelas. Sedangkan dalam ragging, relasi antar anak tidak lagi hitam putih. Apalagi jika si anggota baru bertahan dalam geng tersebut, maka ia pun sesungguhnya bukan korban.

Reza berpandangan, pola pikirnya adalah ia secara sengaja melalui “masa belajar” untuk kelak menjadi pelaku kekerasan pula. Bahkan betapa pun si anggota baru babak belur, tetap saja ia awalnya bukan korban bullying.

“Kecuali andai saat dipukuli si anggota baru itu merasa sakit, tak sanggup bertahan, ingin berhenti, apalagi jika ia minta agar tak lagi digebuki, namun anggota-anggota lama terus menghujaninya dengan pukulan, maka pada saat itulah ragging berubah menjadi penganiayaan,” paparnya.

Baik bullying maupun ragging, Reza menambahkan, keduanya memang harus disetop. Namun dengan mengidentifikasi secara akurat apakah kejadian yang polisi tangani sesungguhnya merupakan bullying atau ragging, proses penegakan hukum akan berjalan tepat sasaran.

“Pun masyarakat akan bisa menakar sebesar apa simpati perlu diberikan,” tutupnya.

Diketahui, kasusnya kini telah ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Tangsel. Penyidik telah periksa sedikitnya 17 saksi-saksi pelajar yang terlibat langsung maupun menyaksikan tapi tidak mencegah.

Pada Jum’at besok rencananya digelar penetapan kasus. Perkara ini menjerat anak seorang artis terkenal di dunia hiburan Tanah Air. Bahkan santer tersiar kabar diduga juga melibatkan anak-anak para pemilik strata sosial kelas atas.(yud)

 

Print Friendly, PDF & Email