Kabar6-BPBD Banten kembali dianggap gagap bencana, lantaran belum memiliki Standar Operasional Terpadu (SOP) untuk mengatasi bencana kimia. Sebut saja Kota Cilegon, yang memiliki banyak industri kimia. Namun belum dilengkapi dengan mitigasi bencana kimia.
“Harus ada standar penanganan kimia, nah itu (di Banten) belum ada. Jadi ini harus kita lakukan secara terkoordinasi, dengan perusahaan, dengan pemerintah,” kata Kepala BPBD Banten, Nana Suryana, dikantornya, Rabu (21/10/2020).
Meski belum memiliki mitigasi maupun SOP bencana kimia, Nana memastikan seharusnya standar penanganan itu ada.
Artinya, selama 20 tahun Banten menjadi provinsi dan lepas dari Jawa Barat (Jabar), SOP maupun mitigasi bencana belum menjadi prioritas pemerintah.
“Tentunya terkait dengan penanganan lingkungan, limbah, itu dengan OPD teknis terkait. Untuk antisipasi bencana, tentu kita dalam rencana penanganan bencana itu harus ada,” terangnya.
Nana beralasan mahalnya peralatan membuat mitigasi dan SOP penanganan bencana kimia di Banten belum bisa dilakukan. Padahal, bencana tidak tahun kapan terjadinya. Seperti tsunami senyap Selat Sunda, akibat letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) tahun 2018 silam.
Beruntung kala itu, tsunami Selat Sunda tidak membuat kerusakan berarti dipesisir Kota Cilegon, yang banyak berdiri industri.
“Karena memang itu agak mahal, peralatan standarnya. Jika terjadi bencana kimia seperti apa, bungkernya harus dibawah tanah 30cm. Potensi itu ada dikita,” jelasnya.
Bencana kimia bisa juga disebabkan adanya bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, hingga tsunami. Seperti penelitian yang dilakukan oleh UGM yang mengatakan adanya skenario gempa dan tsunami setinggi 2 meter di selatan Jawa.
**Baca juga: Ada BLT Rp42 Juta, Polisi Serang Tetapkan Bendahara Desa Kadubeureum Tersangka Penyelewengan DD.
Kepala Pusat Litbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) Kementrian Lingkungan Hidup, Herman Hermawan pada Oktober 2019 pernah mengatakan, 80 persen industri kimia nasional ada di Kota Cilegon.(Dhi)