1

Pada 2025 Mendatang, Hotel Luar Angkasa Pertama di Dunia Bakal Dibuka

Kabar6-Above Space, perusahaan luar angkasa yang berbasis di Amerika Serikat (AS), bakal meluncurkan hotel luar angkasa pertama di dunia dengan pemandangan planet Bumi yang menakjubkan pada 2025 mendatang.

Perusahaan tersebut akan meluncurkan dua stasiun akomodasi wisata di luar angkasa, yaitu Voyager dan Pioneer. Pioneer, melansir People, digambarkan sebagai hotel atau akomodasi luar angkasa pertama di mana kegiatan komersial, penelitian, dan rekreasi dapat beroperasi pada awal tahun depan. Stasiun tersebut disebut-sebut merupakan versi lebih kecil dari Voyager yang diperkirakan akan dibuka pada 2027.

Pioneer hanya mampu menampung 28 orang dibandingkan Voyager yang berkapasitas 400 orang. Keduanya dikabarkan menyerupai roda berputar yang mengorbit Bumi, sedangkan dekorasi interiornya mirip dengan hotel mewah.

Dalam situsnya, Above Space mengatakan bahwa para tamu kini dapat memesan liburan resor mewah di luar angkasa di stasiun Pioneer. Perjalanan empat hingga 18 jam ke stasiun akan menelan biaya setidaknya US$55 juta.

Sejumlah perusahaan sedang mengembangkan hotel luar angkasa, yang diharapkan dapat mulai menampung tamu pada 2020-an.

Hotel-hotel ini akan menawarkan pengalaman unik yang tidak dapat ditemukan di Bumi, termasuk pemandangan luar angkasa yang menakjubkan, kesempatan untuk mengalami bobot mikro, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti luar angkasa.

Hotel luar angkasa lain yang sedang dikembangkan adalah Von Braun Station, dinamai menurut nama ilmuwan roket Wernher von Braun. Stasiun Von Braun akan menjadi struktur besar berbentuk donat yang akan menampung hingga 200 tamu.

Stasiun ini akan memiliki sejumlah fasilitas, termasuk restoran, bar, gym, dan bioskop. Stasiun Von Braun dijadwalkan akan dibuka pada 2025.(ilj/bbs)




Penelitian Terkait Alien, NASA Rekrut 24 Ahli Agama

Kabar6-NASA telah merekrut sebanyak 24 ahli agama untuk meneliti bagaimana dunia akan bereaksi jika kehidupan di luar Bumi ditemukan di planet lain. Para ahli agama itu berpartisipasi dalam program penelitian di Pusat Penyelidikan Teologi (CTI) Princeton University di New Jersey, Amerika Serikat (AS).

Pada 2014, melansir Apnews, CTI menerima hibah dari NASA senilai sekira Rp15,6 miliar untuk membangun ‘jembatan pemahaman’ antara akademisi dari berbagai disiplin ilmu, ilmuwan, dan pembuat kebijakan mengenai kehidupan alien. Program tersebut bertujuan untuk menilai bagaimana agama-agama besar dunia akan bereaksi terhadap keberadaan kehidupan di luar bumi. Mereka juga akan menilai bagaimana penemuan semacam itu berpotensi memiliki dampak terhadap konsep ketuhanan dan ciptaan.

Menurut laporan, beberapa pemuka agama yang terlibat dalam penelitian itu adalah Uskup Buckingham Alan Wilson, Rabi Jonathan Romain dari Sinagoge Maidenhead di Inggris dan Imam Qari Asim dari Masjid Makkah di Leeds Inggris.

Carl Pilcher, mantan Kepala Institut Astrobiologi NASA, mengakui bahwa lembaga tersebut memang mempekerjakan sejumlah teolog yang diminta untuk mempertimbangkan implikasi penerapan alat-alat sains akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam tradisi keagamaan selama ratusan atau ribuan tahun.

Pilcher menolak gagasan bahwa Bumi adalah satu-satunya planet di alam semesta ini yang memiliki kehidupan. Direktur CTI, Will Storrar, mengatakan bahwa tujuan NASA untuk program ini adalah sangat serius dan akan diterbitkan melalui buku dan jurnal.

“Kita mungkin tidak menemukan kehidupan selama 100 tahun. Atau kita mungkin menemukannya pekan depan,” kata seorang ahli NASA.

Rupanya, NASA bukanlah satu-satunya institusi yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai teologi dan kehidupan lain di luar Bumi.

Seorang astronom sekaligus profesor fisika di Catholic University, Duilia de Mello, mengatakan bahwa di kelasnya ada beberapa seminaris yang kerap mengajukan pertanyaan teoretis tentang kehidupan cerdas di alam semesta dan memperdebatkan apa artinya bagi Gereja Katolik.

“Jika kita adalah ciptaan, mengapa kita tidak bisa memiliki kehidupan yang berevolusi di planet lain juga? Tidak ada yang mengatakan sebaliknya,” kata de Mello.

Pada 2008, mantan Kepala Observatorium Vatikan, Jose Gabriel Funes, mengungkapkan tidak ada konflik antara percaya pada Tuhan dan kemungkinan adanya makhluk yang mungkin lebih cerdas daripada manusia.

Di sisi lain, Paus Fransiskus sempat telah mengatakan bahwa jika ada alien muncul di Vatikan dan meminta untuk dibaptis, dia bersedia melakukannya.(ilj/bbs)




Astronaut Keluhkan Planet Uranus Keluarkan Bau Busuk Seperti Kentut

Kabar6-Para astronaut mengeluhkan baju antariksa yang mereka gunakan berbau tidak sedap seperti daging terbakar atau serbuk mesiu, setelah kembali dari planet Uranus.

Untuk mengungkap hal ini, melansir thesun, tim ilmuwan lantas mencari tahu fenomena aneh tadi, dengan menggunakan instrumen yang disebut Near-Infrared Integral Field Spectrometer (NIFS) di teleskop Gemini North di Hawaii. Hasilnya, bau busuk yang melekat pada baju astronaut lantaran awan yang ditemukan di Uranus terdiri dari gas hidrogen sulfida. Gas ini memberikan bau khas dan tidak enak pada telur busuk.

Namun Uranus bukan satu-satunya tempat yang berbau busuk di luar angkasa, karena Komet pun memiliki konsentrasi hidrogen sulfida dalam halo gasnya, bersama dengan amonia dan molekul lain yang mengeluarkan bau tidak sedap. Untungnya, ada juga konsentrasi tinggi uap air di dalamnya, sehingga bau-bau tersebut lemah.

Sejumlah peneliti juga percaya, Uranus mungkin berbau seperti urine, karena baik Uranus maupun Neptunus bisa memiliki es amonia di awannya, yang akan memberikan aroma busuk lainnya bersama dengan bau telur busuk.(ilj/bbs)




Penelitian Terbaru Ungkap Mars Tidak Aman Dihuni Manusia

Kabar6-Para peneliti besar dari seluruh dunia baru-baru ini menyatakan bahwa planet Mars tidak aman untuk manusia. Menurut para peneliti, Mars tidak layak ditinggali manusia dalam jangka waktu lama.

Dalam penelitiannya, melansir Nature, ahli luar angkasa mengungkapkan ancaman radiasi partikel berbahaya di Mars. Temuan mereka menunjukkan, manusia yang tinggal lebih dari empat tahun di planet merah tersebut akan mengalami paparan radiasi tingkat tinggi. Ancaman radiasi ini termasuk partikel dari Matahari, bintang-bintang jarak jauh, dan galaksi.

Ketika di Bumi, manusia dilindungi oleh magnetosfer dari partikel-partikel tersebut. Menurut para peneliti, misi Mars yang berlangsung lebih dari empat tahun dapat membahayakan para astronaut dari paparan radiasi berbahaya tersebut, utamanya yang bersumber dari luar tata surya kita.

Temuan ini merupakan hasil penelitian gabungan dari beberapa lembaga, termasuk UCLA, MIT, Institut Sains dan Teknologi Moskow, dan GFZ Potsdam. ** Baca juga: Super! Pria AS Ini Bisa Mengingat Hampir Semua Kejadian dalam Hidupnya

Penelitian yang diterbitkan jurnal Space Weather ini memaparkan indikator bagaimana misi masa depan ke Mars harus diatur waktunya. Menariknya, matahari bisa melindungi para astronaut yang mendarat di Mars dari radiasi berbahaya ini.

Tapi misi idealnya harus dilaksanakan saat matahari puncak (solar maximum), waktu aktivitas matahari puncak ketika partikel berbahaya dari galaksi jauh dibelokkan oleh peningkatan aktivitas matahari.(ilj/bbs)




Tim Astronom Rekam Bintang Lahap Planet dengan Sekali Telan

Kabar6-Untuk pertama kalinya, tim ilmuwan merekam bintang yang sedang menelan sebuah planet, di mana bintang tersebut melakukannya dalam sekaligus.

Para astronom, melansir ndtv, melaporkan pengamatan mereka tentang apa yang tampak sebagai gas raksasa seukuran planet Jupiter, atau lebih besar dari ukuran planet tersebut, yang dilahap oleh bintangnya. Bintang mirip matahari itu telah membengkak karena berusia tua selama ribuan tahun dan akhirnya menjadi sangat besar hingga menelan planet yang mengorbit di dekatnya.

Tampilan peristiwa itu mencerminkan apa yang akan terjadi pada Bumi saat matahari kita berubah menjadi raksasa merah. Kabar baiknya, hal itu tidak akan terjadi selama lima miliar tahun ke depan.

Santapan galaksi ini terjadi antara 10 ribu hingga 15 ribu tahun yang lalu di dekat konstelasi Aquila ketika bintang tersebut berusia sekira 10 miliar tahun. ** Baca juga: Ingin Selalu Bersama, Wanita Mesir Bunuh Sang Anak untuk Dimasak dan Memakan Sebagian Kepalanya

Dijelaskan tim astronom, saat planet itu memasuki palka bintang, terjadi semburan cahaya panas yang cepat, diikuti oleh aliran debu tahan lama yang bersinar terang dalam energi inframerah dingin.

Menurut penelitian, meskipun sebelumnya sudah ada tanda-tanda bintang lain yang menelan planet serta dampaknya, hal ini adalah pertama kalinya proses semacam itu berhasil diamati.(ilj/bbs)




Benarkah Jauh di Bawah Permukaan Bumi Ada Kehidupan Lain?

Kabar6-Tim ilmuwan internasional mengungkapkan bagaimana miliaran demi miliaran mikroorganisme hidup ribuan kilometer jauhnya di bawah permukaan Bumi.

Saat mempresentasikan temuan mereka dalam pertemuan tahunan American Geophysical Union pada 2018, para peneliti menghitung ukuran harta karun kehidupan yang misterius ini untuk pertama kalinya, dan itu jauh lebih besar dari yang mereka perkirakan sebelumnya.

Menurut laporan tim ilmuwan, melansir Phys, sekira 70 persen dari jumlah total mikroba di planet ini hidup di bawah tanah. Secara total, mikroba ini mewakili sekira 15-23 miliar ton karbon, yang artinya ratusan kali lebih besar dari massa karbon semua manusia di permukaan. Angka itu diperkirakan baru sedikit yang diketahui.

Studi ini menunjukkan keragaman genetik kehidupan di bawah permukaan Bumi mungkin sebanding, atau bahkan melebihi, kehidupan di atas permukaan. Inilah mengapa ekosistem ini dijuluki ‘Galapagos bawah tanah’. ** Baca juga: Nasa Temukan Planet ‘Neraka’ yang Atmosfernya Disebut Panas Seperti Api

Kehidupan di bawah permukaan Bumi didominasi oleh bakteri dan ‘sepupu’ evolusi mereka, archaea. Namun para peneliti juga mencatat cukup banyak eukarya di bawah sana. Misalnya, para peneliti menggambarkan ada nematoda tak dikenal sedalam 1,4 kilometer di tambang emas Afrika Selatan (Afsel)

Untuk mencapai temuan tersebut, tim menyatukan puluhan penelitian yang mengamati sampel yang diambil dari pengeboran antara 2,5 dan 5 kilometer ke dalam kerak Bumi, baik di dasar laut maupun benua pedalaman.

Hal yang juga mengejutkan, mereka menemukan bahwa biosfer dalam di bawah permukaan hampir dua kali volume semua samudra.(ilj/bbs)




Dalam 12 Tahun ke Depan, Ilmuwan Inggris Siap Hasilkan Bayi Luar Angkasa Pertama

Kabar6-Ilmuwan Inggris bekerja sama dengan perusahaan Belanda, Spaceborn United, dalam inseminasi buatan di satelit yang mengorbit di luar angkasa. Mereka dilaporkan berencana untuk menghasilkan bayi luar angkasa dengan menggunakan fertilisasi in vitro (IVF).

Langkah tersebut dikatakan dapat membuka jalan bagi manusia untuk mendirikan koloni di luar planet Bumi. Melansir Dailystar, tes penerbangan untuk tujuan itu diharapkan akan diluncurkan dari Kanada dalam waktu tiga bulan. “Tujuannya adalah agar manusia pada akhirnya dapat tumbuh dari planet ini dengan cara alami,” ungkap Dr Egbert Edelbroek, CEO Spaceborn.

Ditambahkan, “Namun, untuk mencapai ini dengan cara yang paling etis dan optimal secara medis, kita perlu mempelajarinya dengan teknologi reproduksi.” ** Baca juga: Masih Diselimuti Misteri, Temuan Hutan Tak Terjamah di Puncak Gunung Wilayah Mozambik

Awalnya, mereka akan menggunakan sperma tikus dan sel telur dan upaya tersebut didukung oleh Asgardia, komunitas antariksa internasional yang didirikan pada 2016 untuk menciptakan koloni manusia luar angkasa pertama. Dikatakan Dr Edelbroek, pada 2019 bayi pertama bisa lahir di luar angkasa dalam 12 tahun ke depan.

Namun, saat berbicara di Kongres Antariksa dan Sains pertama Asgardia, The Space Nation di Darmstadt, Jerman, Dr Edelbroek mengatakan bahwa bayi antariksa pertama akan terjadi pada 2031.(ilj/bbs)




Bikin Penasaran, Ini Alasan Mengapa Alien Belum Juga Berkontak dengan Manusia

Kabar6-Banyak kalangan yang masih bertanya-tanya, mengapa manusia belum juga bertemu dengan alien. Nah, jawaban dari pertanyaan itu bervariasi, dari mulai yang paling ekstrem hingga paling mengerikan.

Sebuah teori baru, melansir iflscience, mencoba menjelaskan mengapa alien di planet lain tidak bisa menjelajah alam semesta atau di tata surya mereka sendiri, mereka mungkin terjebak di planet mereka sendiri, tidak bisa keluar dari atmosfernya. Untuk pergi dari planet kita sendiri, Bumi, kita harus mampu bergerak dengan kecepatan 11 kilometer per detik atau 40,2 kilometer per jam.

Itulah kecepatan yang kita butuhkan. Dengan begitu, maka kita butuh banyak sekali bahan bakar untuk meninggalkan planet kita, belum lagi jika kita membawa barang bawaan. Seperti halnya peluncuran roket, ada begitu banyak bahan bakar yang dibutuhkan untuk meluncurkan roket ke luar angkasa.

Teori baru ini menyatakan, kemungkinan alien harus menghadapi gravitasi yang sangat kuat dibanding kita, sehingga mereka tidak bisa meninggalkan planetnya sama sekali. Mereka harus punya kekuatan yang maha besar untuk bisa meluncur keluar dari planet mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Michael Hippke, peneliti dari Sonneberg Observatory, mengatakan bahwa peluncuran roket menjadi makin mahal dalam hal bahan bakar seiring gaya gravitasi yang meningkat. ** Baca juga: Tim Ilmuwan Tel Aviv Ciptakan Robot dengan Kemampuan Mengendus 10 Ribu Kali

Jika kita melihat planet Bumi super yang 10 kali lebih besar massanya dari Bumi, maka roket berbahan bakar kimiawi tidak bisa lagi membawa alien terbang ke luar angkasa karena dibutuhkan bahan bakar setara massa piramida terbesar di Mesir.

“Makin besar planet yang berbatu,” terang Hippke. “Dibutuhkan cara lain untuk meninggalkan planet, misalnya tenaga nuklir. Makin besar massa suatu planet, maka penerbangan luar angkasa akan makin mahal. Peradaban semacam itu tidak akan punya TV satelit, misi ke Bulan atau teleskop Hubble.”

Tanpa kemampuan itu dan tanpa komunikasi satelit atau teleskop luar angkasa untuk mendeteksi planet lain, kemungkinannya kecil bagi alien untuk mereka mampu mencapai kemampuan berkontak dengan dunia lain.

Bisa jadi, mereka terjebak di luar sana, di planet mereka sendiri tanpa seorang pun bisa tahu.(ilj/bbs)




Studi Sebut Bumi Bisa Lebih Layak Huni dengan Geser Orbit Jupiter

Kabar6-Sebuah studi terbaru mengungkapkan, Bumi yang semakin tidak layak huni akibat ekspolitasi dilakukan oleh manusia sebenarnya bisa ‘disembuhkan’.

Menurut ilmuwan planet dari University of California, Riverside, bernama Pam Vervoort, caranya dengan menggeser sedikit saja orbit Jupiter.

“Jika posisi Jupiter tetap sama, tetapi bentuk orbitnya berubah, itu sebenarnya bisa meningkatkan kelayakhunian planet ini,” kata Vevoort. Banyak yang yakin bahwa Bumi adalah lambang planet yang layak huni dan bahwa setiap perubahan di orbit Jupiter, sebagai planet masif, hanya bisa berdampak buruk bagi Bumi. Kami menunjukkan bahwa kedua asumsi itu salah.”

Saat ini, melansir Sciencealert, Jupiter memiliki orbit yang hampir melingkar, namun jika orbit itu meregang, maka akan menimbulkan efek luar biasa bagi Tata Surya lainnya karena Jupiter sangat besar yaitu 2,5 kali massa semua planet di Tata Surya yang digabungkan.

Bagi Bumi, pergeseran orbit itu berarti peningkatan eksentrisitas. Artinya, para peneliti menemukan beberapa bagian dari planet ini akan lebih dekat ke Matahari, memanas menjadi kisaran yang beriklim sedang dan layak huni.

Namun jika memindahkan Jupiter lebih dekat ke Matahari, kelayakhunian Bumi akan berkurang. Itu karena akan menyebabkan Bumi miring lebih tajam pada sumbu rotasinya daripada saat ini, memberi kita lebih banyak variasi musim.

Kemiringan yang lebih tajam akan menyebabkan sebagian besar planet kita membeku, dengan musim yang lebih ekstrem. Es laut musim dingin akan meluas ke area lainnya, empat kali lebih besar daripada saat ini.

Para peneliti menyebut, hasil ini dapat diterapkan pada sistem multi-planet apa pun yang telah ditemukan, untuk menilai potensi kelayakhuniannya. ** Baca juga: Untuk Lawan Diskriminasi, Catalonia Izinkan Wanita Berenang Telanjang Dada

Studi terbaru ini mematahkan studi sebelumnya, yang dilakukan pada 2019 lalu, di mana tim peneliti internasional mengatakan mengubah orbit Jupiter dapat dengan sangat cepat membuat seluruh Tata Surya tidak stabil.

“Sangat penting untuk memahami dampak yang dimiliki Jupiter terhadap iklim Bumi dari waktu ke waktu, bagaimana pengaruhnya terhadap orbit kita telah mengubah kita di masa lalu, dan bagaimana hal itu dapat mengubah kita sekali lagi di masa depan,” terang astrofisikawan Stephen Kane dari University of California, Riverside.(ilj/bbs)




Punya Suhu 17 Derajat Celcius, Ilmuwan AS Temukan Bagian Bulan yang Bisa Dihuni Manusia

Kabar6-Para peneliti di University of California, Los Angeles (UCLA), menemukan bahwa bulan memiliki kawah dengan area teduh yang suhunya sekira 17 derajat Celcius, kisaran suhu yang stabil bagi manusia.

Studi ini diterbitkan dalam Jurnal Geophysical Research Letters bulan lalu. Melansir Mercurynews, kawah Bulan yang bisa menjadi gua tempat manusia berlindung ini bisa menjadi tempat tinggal manusia dalam jangka panjang, lebih aman, dan dengan itu para ilmuwan akan dapat mendirikan pangkalan yang stabil secara termal.

“Manusia berevolusi hidup di gua-gua, dan hidup di gua-gua mungkin bisa kembali kita rasakan ketika di Bulan,” terang David Paige, profesor ilmu planet di UCLA, yang juga rekan penulis studi. ** Baca juga: Di Thailand, Viral Iklan Tukar Ginjal dengan iPhone 14

Setelah ada pemahaman yang lebih baik tentang kawah dan gua potensial, para ilmuwan mungkin dapat mengambil langkah untuk membuat konsep stasiun permanen yang bisa diterapkan, terlindung dari kondisi ekstrem permukaan Bulan.

“Kami dapat membangun eksistensi jangka panjang di Bulan lebih cepat daripada yang mungkin terjadi,” kata Tyler Horvath, penulis utama studi dan seorang mahasiswa doktoral dalam ilmu planet di UCLA.

Berbeda dengan permukaan Bulan, yang memanas hingga 127 derajat Celcius pada siang hari dan turun menjadi -73 (minus) derajat Celcius pada malam hari, lubang-lubang Bulan di wilayah Mare Tranquillitatis ini memiliki lingkungan yang ramah manusia, suhu stabil.

Mare Tranquillitatis dikenal sebagai ‘Laut Ketenangan’, tempat Apollo 11, misi pertama yang menempatkan manusia di bulan, mendarat karena medannya yang mulus dan relatif datar.

Gua akan menjadi lingkungan yang stabil untuk habitat Bulan karena menawarkan perlindungan dari radiasi Matahari dan dampak mikrometeorit. Formasi ini juga bisa memberikan perlindungan terhadap sinar kosmik.

Saat ini, NASA memiliki rencana untuk eksplorasi robot di Bulan melalui program Commercial Lunar Payload Services. Mulai Desember 2022 mendatang, penerbangan kargo akan mengirimkan perangkat yang menavigasi dan memetakan permukaan Bulan, melakukan penyelidikan, mengukur tingkat radiasi, dan menilai bagaimana aktivitas manusia berdampak pada bulan. (ilj/bbs)