Merefleksikan Kebijakan WFH ASN DKI: Apakah Polusi Udara Bisa Teratasi?

Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN VETERAN JAKARTA, CEO NARASI INSTITUTE

Kabar6-Polusi udara di DKI Jakarta sudah menjadi sorotan utama yang mempengaruhi kesejahteraan warga. Penerapan kebijakan WFH bagi 50% ASN DKI dengan tujuan mengurangi polusi patut diapresiasi. Namun, dengan data bahwa sektor transportasi hanya berkontribusi 40% pada total polusi, pertanyaannya adalah seberapa efektifkah kebijakan ini?

Analisis Kebijakan WFH

Kebijakan WFH, meskipun memiliki niat baik, belum memberikan dampak signifikan dalam mengurangi polusi udara. Mengandalkan sektor transportasi saja tidak akan cukup. Memang, pengurangan lalu lintas dapat mengurangi polusi, namun tanpa adanya kedisiplinan yang tinggi dan pendekatan yang lebih menyeluruh, hasil yang diharapkan sulit dicapai.

Pelajaran Dari Kota Lain

Beberapa kota di dunia telah sukses mengatasi masalah polusi udara dengan berbagai strategi:

– Seoul, Korea Selatan: Peningkatan kualitas dan frekuensi transportasi publik mengurangi kepadatan lalu lintas.

– Mexico City: Penerapan jam kerja bergelombang mengurangi kemacetan.

– London: Kampanye edukasi dan promosi transportasi publik meningkatkan jumlah pengguna layanan tersebut.

– Copenhagen & Belanda: Pengembangan infrastruktur sepeda dan pejalan kaki yang komprehensif.

**Baca Juga: Anis Matta: Pilpres 2024 Tidak akan Luput dari Intervensi Asing

Rekomendasi untuk DKI Jakarta

Pertama, Peningkatan Kualitas Transportasi Publik:

Tidak hanya frekuensi, tapi juga kenyamanan dan aksesibilitas.

Kedua, Jam Kerja Bergelombang:

Diversifikasi jam masuk kerja untuk menghindari kemacetan di jam sibuk.

Ketiga, Edukasi dan Promosi Transportasi Publik:

Kampanye besar-besaran untuk meningkatkan kesadaran publik.

Keempat, Infrastruktur Ramah Pejalan Kaki dan Sepeda:

Memperluas trotoar dan menyediakan jalur sepeda khusus.

Kelima, Subsidi Transportasi Publik:

Model Singapura bisa menjadi contoh, memberikan subsidi untuk meringankan beban komuter.

Pemerintah DKI Jakarta harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengatasi polusi udara, bukan hanya melalui kebijakan WFH semata. Melalui kombinasi strategi dan adaptasi dari model kota-kota sukses lainnya, kita dapat menciptakan Jakarta yang lebih sehat dan berkelanjutan.(*/Red)




Anggaran KEMENHAN Salah satu Tertinggi: Apakah Prioritas Pemerintah Sesuai dengan Kesejahteraan Masyarakat?

Kabar6

Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo Subianto akan mendapat anggaran jumbo sebesar Rp 135,45 triliun pada tahun depan.

Besarnya anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) semakin menegaskan posisi kementerian tersebut sebagai salah satu kementerian/lembaga (K/L) dengan belanja jumbo.

Meskipun pemerintah memandang peningkatan anggaran ini sebagai langkah penting untuk mengamankan kedaulatan dan keutuhan wilayah, angka tersebut tak luput dari sorotan seiring dengan prioritas pengalokasian anggaran yang dinilai meragukan.

Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan menunjukkan lonjakan anggaran pertahanan sebesar 28% sejak Prabowo Subianto memimpin Kementerian Pertahanan pada 2019.

Pada 2018, anggaran pertahanan hanya sebesar Rp 106,68 triliun, namun melonjak menjadi Rp 136,87 triliun pada 2020.

Angka tersebut terus meningkat dalam periode 2020-2024, yang diperkirakan akan mencapai hampir Rp 700 triliun, menurut proyeksi Kementerian Keuangan.

Angka anggaran yang mencapai angka sebesar itu tidak make sense jika di lihat dalam konteks perekonomian yang sedang mengalami tekanan akibat berbagai faktor global maupun domestik.

Lonjakan Anggaran Kemhan: Mendorong Posisi Prioritas Pemerintah

Terkait prioritas pengalokasian anggaran yang sepertinya lebih memihak kepada sektor pertahanan daripada kebutuhan mendasar rakyat.

Lonjakan anggaran yang signifikan di sektor pertahanan, seperti yang baru-baru ini terjadi, mendorong untuk melihat lebih kritis tentang prioritas pemerintah dalam pengalokasian dana.

Meskipun pertahanan adalah hal yang tidak bisa diabaikan, terlihat bahwa kenaikan anggaran yang drastis ini mengabaikan kebutuhan mendasar rakyat. Sementara infrastruktur sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan terus membutuhkan perhatian mendesak, alokasi anggaran yang besar untuk pertahanan menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana pemerintah benar-benar peduli terhadap kesejahteraan rakyat.

Langkah yang diambil oleh Prabowo Subianto, yaitu mengalokasikan anggaran yang jumbo untuk perbaharuan alat pertahanan, juga menimbulkan keraguan besar. Meskipun pemodernan pertahanan mungkin penting untuk menjaga keamanan negara, keputusan ini terasa seperti pengorbanan yang besar terhadap kebutuhan yang lebih mendesak.

Ketika masih banyak rakyat yang berjuang mendapatkan akses layanan dasar, pengalihan dana semacam ini menyiratkan kurangnya perhatian pada kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Penting untuk mengingat bahwa sebuah negara yang kuat bukan hanya ditandai oleh kekuatan militernya, tetapi juga oleh kesejahteraan dan pendidikan rakyatnya.

Terlalu banyak fokus pada pertahanan bisa mengabaikan pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Kebijakan pengeluaran harus mencerminkan keseimbangan yang bijak antara membangun pertahanan yang kokoh dan memastikan kesejahteraan serta perkembangan rakyat.

Dalam hal ini, transparansi penuh tentang bagaimana anggaran diprioritaskan dan dialokasikan menjadi penting. Pemerintah harus dapat memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang manfaat jangka panjang dari kenaikan anggaran di sektor pertahanan dan bagaimana hal tersebut akan berdampak positif pada kehidupan sehari-hari rakyat.

Namun, jika kebutuhan mendasar rakyat terus diabaikan demi pertumbuhan militer, maka pertanyaan tentang keadilan dan tanggung jawab pemerintah akan semakin tajam.

**Baca Juga: Kejari Lebak Selidiki Pemotongan Dana PIP Kuliah

Pemodernan Alat Pertahanan: Relevansi dan Urgensi

Meskipun pemodernan alat pertahanan tentu memiliki relevansinya, banyak yang mempertanyakan urgensi dari beberapa pembelian senjata canggih yang diumumkan, termasuk pembelian pesawat tempur dari Perancis dan kapal selam.

Dalam sebuah era di mana tantangan seperti perubahan iklim,pengentasan kemiskinan, dan krisis kesehatan masih mendesak, apakah pilihan tersebut benar-benar sejalan dengan kepentingan nasional masih menjadi pertanyaan besar.

Alokasi yang tidak proporsional antara berbagai sektor dapat mengarah pada dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

pentingnya memprioritaskan sektor-sektor krusial seperti pendidikan dan kesehatan, terutama dalam konteks tantangan global dan perubahan ekonomi yang mempengaruhi negara.

Dalam menghadapi pandemi dan ancaman penyakit lainnya, sektor kesehatan menjadi krusial untuk menjaga kesejahteraan masyarakat. Begitu pula, pendidikan berperan penting dalam membentuk generasi yang terampil dan berpengetahuan untuk menghadapi tantangan masa depan.

Implikasi dari Pembelian Alat Militer Canggih, Meskipun pertahanan nasional penting, ada pertanyaan mengenai urgensi dan relevansi dari pembelian ini di tengah kompleksitas tantangan global.

Refleksi Terhadap Prioritas Pemerintah dan Kepentingan Masyarakat

Di lihat dari refleksi Prioritas Pemerintah dan Kepentingan Masyarakat,ini juga mencerminkan perdebatan lebih luas mengenai bagaimana kebijakan pemerintah mencerminkan prioritas dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Apakah alokasi anggaran yang tidak seimbang ini sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang lebih luas.
Fokus pada pertahanan nasional di tengah ketidakseimbangan sektor lain dapat memunculkan keraguan tentang apakah kebijakan tersebut memadai dalam mewakili kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Alokasi anggaran yang tidak seimbang mencerminkan keprihatinan yang sah terhadap cara pemerintah mengalokasikan sumber daya publik.

Dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa alokasi anggaran mencerminkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Prioritas sektor krusial seperti pendidikan dan kesehatan harus mendapatkan perhatian utama, sementara pertimbangan strategis dalam pertahanan nasional juga perlu diimbangi dengan prioritas lain. Rekomendasi yang dapat diambil dari berbagai kasus dan studi alokasi anggaran yang tidak seimbang

Pertama, Pemerintah harus memastikan bahwa alokasi anggaran mencerminkan kebutuhan sektor-sektor yang berbeda. Pendidikan dan kesehatan adalah fondasi penting bagi pertumbuhan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, alokasi anggaran untuk sektor ini harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan masa kini.

Kedua, evaluasi Kebijakan Pertahanan Kebijakan pembelian alat-alat militer canggih harus dievaluasi secara cermat. Pertimbangan strategis jangka panjang dan urgensi dalam menghadapi ancaman harus sejalan dengan prioritas ekonomi dan sosial negara. Pertanyaan mengenai kebutuhan nyata dan manfaat dari investasi ini harus dijawab dengan jelas.

Ketiga, Penekanan pada Hasil dan Dampak Penting untuk mengukur hasil dan dampak dari setiap alokasi anggaran. Pemerintah harus secara berkala mengkaji dan mengevaluasi efektivitas setiap investasi dalam mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan pertahanan nasional.

Keempat, Kolaborasi Antar Sektor Aliansi strategis antara sektor-sektor dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Misalnya, kerjasama antara sektor pendidikan, kesehatan, dan teknologi dapat menghasilkan inovasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan menjaga keseimbangan antara prioritas ekonomi, sosial, dan pertahanan nasional, pemerintah dapat memastikan bahwa alokasi anggaran memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pilihan kebijakan yang bijaksana dan proaktif akan membantu mencapai pertumbuhan berkelanjutan yang inklusif dan menjaga kepentingan nasional dalam jangka panjang.(*/Red)




Menghadapi Tantangan Mobil Listrik: Antara Energi Bersih, Geopolitik, dan Kesejahteraan Nasional

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP | Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Kabar6-Prof. Didin S. Damanhuri, seorang Guru Besar IPB & Univ. Paramadina telah memberikan paparan tentang Hilirisasi, Untungkan Siapa?. Dalam wawancara eksklusif di program Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan oleh Narasi Institute hari Jumat (18/08/2023) dengan tema “Hilirisasi, Untungkan Siapa?” yang di pandu oleh Achmad Nur Hidayat.

Dalam menghadapi tantangan global terkait energi dan lingkungan, Indonesia terlibat dalam perdebatan mengenai proyeksi masa depan energi dan dampaknya terhadap geopolitik.

Dia mengungkapkan kompleksitas isu ini dengan mengaitkan upaya transisi dari energi kotor ke bersih, khususnya melalui mobil listrik, dengan rivalitas antara China dan Amerika dalam perspektif geopolitik.

Pakar tersebut menjelaskan bahwa proyeksi masa depan dunia melibatkan pengurangan emisi karbon dengan menggantikan energi kotor dengan energi bersih. Proses ini diperkuat dengan keberadaan mobil listrik yang diharapkan dapat mengurangi karbon dioksida dan dampak perubahan iklim.

Namun, upaya ini belum sepenuhnya diadopsi secara global, hanya beberapa negara seperti Amerika, Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan China yang menjadi pionir dalam perkembangan mobil listrik.

Persaingan global dalam merebut peran strategis mobil listrik, yang dipandang sebagai komoditas masa depan, juga berdampak pada Indonesia. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia memiliki potensi besar dalam industri baterai mobil listrik.

“Sebagai sebuah komoditas strategis masa depan yang nanti kan kita tahu energinya dari baterai. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia cuman berupa material. nah pada saat yang sama terjadi dunia ini digunakan oleh sebuah konflik geopolitik dan geostrategi kualitas antara Amerika dan China, apalagi Cina sudah hampir menyalip kekuatan ekonomi Amerika.”, ujarnya.

Dalam konteks rivalitas antara China dan Amerika, Indonesia memiliki posisi geopolitik yang menarik bagi keduanya. Posisi Indonesia yang dekat dengan China dan sebagai bagian dari poros geopolitik Cina-Indonesia memengaruhi kemungkinan dominasi China dalam industri mobil listrik.

“Indonesia sudah menjadi tempat yang memang dimenangkan lah oleh China di dalam rivalitas dengan Amerika bahkan Elon Musk juga membutuhkan bahan baku lithium dan nikel harus bernegosiasi ke Beijing, walaupun sebenarnya tambangnya ada di Indonesia.”, imbuhnya.

Peran Kunci China dalam Industri Mobil Listrik

China telah memainkan peran kunci dalam mengubah lanskap industri mobil listrik secara global. Sebagai salah satu produsen mobil listrik terbesar di dunia, China telah melakukan investasi besar-besaran dalam riset, pengembangan, dan produksi mobil listrik serta baterainya. Pemerintah China telah memberikan dukungan substansial dalam bentuk insentif fiskal, kebijakan regulasi yang mendukung, dan infrastruktur pengisian baterai yang luas. Semua ini telah mendorong pertumbuhan pasar mobil listrik yang signifikan di negara tersebut.

Dalam konteks hubungannya dengan Indonesia, dominasi China dalam industri mobil listrik memiliki implikasi penting terkait dengan nikel sebagai bahan baku baterai. China, sebagai produsen baterai terbesar di dunia, memiliki akses lebih besar terhadap pasokan nikel dan logam lain yang digunakan dalam pembuatan baterai. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia sejauh ini lebih cenderung menjadi penyedia bahan mentah daripada mengambil bagian dalam rantai pasok dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Kehadiran China dalam perjanjian kemitraan strategis dengan Indonesia dan kepemilikan sejumlah smelter nikel di Indonesia menunjukkan peran dominan China dalam industri ini.

Didin mengatakan bahwa “Indonesia sudah menjadi tempat yang memang dimenangkan lah oleh China di dalam rivalitas dengan Amerika bahkan Elon Musk juga membutuhkan bahan baku lithium dan nikel harus bernegosiasi ke Beijing, walaupun sebenarnya tambangnya ada di Indonesia. Itu satu bukti bahwa memang pertambangan ini sudah dikuasai China, jadi ini memperkuat apa yang disampaikan oleh pak Faisal Basri.”

Kendati demikian, perlu dipertimbangkan bagaimana Indonesia dapat mengambil manfaat lebih besar dari hubungannya dengan China dalam industri mobil listrik. Hal ini dapat mencakup kolaborasi dalam pengembangan teknologi baterai, peningkatan nilai tambah dalam rantai pasok nikel, dan pengembangan kebijakan yang mendukung transformasi industri nikel menjadi industri dengan nilai tambah lebih tinggi. Dengan demikian, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alamnya dan mengambil peran yang lebih proaktif dalam perkembangan industri mobil listrik global.

Dampak Rivalitas Amerika-China dan Perlunya Kewaspadaan

Rivalitas ekonomi dan geopolitik antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok memiliki implikasi signifikan terhadap dinamika hilirisasi nikel di Indonesia. China, sebagai negara yang semakin mendominasi pasar global, memiliki kepentingan strategis dalam mengamankan pasokan nikel sebagai bahan baku untuk industri mobil listrik yang sedang berkembang pesat. Keberadaan nikel sebagai bahan utama baterai mobil listrik menjadikan Indonesia dengan cadangan nikel terbesar di dunia menjadi potensi target yang menarik bagi China. Kedekatan geografis Indonesia dengan Tiongkok menjadi nilai tambah bagi China dalam mengakses pasokan nikel tersebut.

Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk menjaga kewaspadaan terhadap dampak dari rivalitas Amerika-China. Perjanjian kemitraan dan hubungan yang semakin erat antara Indonesia dan China dalam dekade terakhir perlu dilihat dengan cermat, terutama dalam konteks hilirisasi nikel dan industri mobil listrik. Meskipun kemitraan dapat membawa manfaat ekonomi, Indonesia juga perlu memastikan bahwa kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat tidak terabaikan. Dengan mengambil langkah-langkah yang cermat dan berdasarkan analisis yang mendalam, Indonesia dapat menghindari potensi kerugian dalam dinamika geopolitik global yang dapat mempengaruhi perekonomian dan kedaulatan negara.

Dalam hal ini Didin mengatakan, “Jadi sekarang baik sekarang ini dalam rangka nikel maupun sebelumnya Migas selalu menjadi korban dari rivalitas yang sekarang kuasai oleh China, Tapi sebelumnya pernah dikuasai untuk Migas oleh Amerika. Jadi sebenarnya saya kira sumber masalah yang utama Karena sistem politik kita yang sangat rapuh dan butuh pembiayaan besar yang umumnya mengandalkan perburuan rente di dalam eksplorasi eksploitasi SDA.”

Penguasaan China dalam Pertambangan Nikel dan Hilirisasinya yang Tidak Menguntungkan Indonesia

Pengaruh dominan China dalam pertambangan nikel Indonesia dan pelaksanaan hilirisasi yang terkait dengannya sebenarnya tidak memberikan banyak manfaat bagi Indonesia dan rakyatnya. Meskipun Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, penguasaan China atas sebagian besar rantai pasok nikel telah mengakibatkan manfaat ekonomi yang seharusnya diterima oleh Indonesia lebih banyak mengalir ke China. Keterlibatan China dalam pertambangan nikel dan hilirisasinya telah menyebabkan Indonesia lebih berperan sebagai pemasok bahan baku mentah daripada sebagai pelaku dalam proses industri yang lebih bernilai tambah.

Kelemahan utama terletak pada kurangnya persiapan dalam membangun struktur industri yang lebih komprehensif dan bernilai tambah di dalam negeri. Sebagai akibatnya, ekspor ilegal dan ekspor langsung ke China terjadi, yang menguntungkan China lebih dari Indonesia. Pekerjaan yang dihasilkan oleh industri nikel ini cenderung menguntungkan tenaga kerja asing dari China daripada tenaga kerja lokal Indonesia. Bahkan dalam hal teknologi dan manajemen, keahlian dari luar negeri lebih dihargai daripada yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, kendati Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel terbesar, pengaruh China dalam industri ini sejauh ini belum membawa manfaat signifikan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan perlunya refleksi mendalam dalam menghadapi kerjasama ekonomi internasional, sehingga hasil yang dihasilkan dari sumber daya alam yang berlimpah dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia secara lebih merata dan adil.

Positioning Indonesia dalam Hilirisasi

Didin menyatakan bahwa Indonesia harus mengambil posisi yang lebih serius dalam hilirisasi yang menguntungkan rakyat.

“Padahal Indonesia butuh sekali sebuah positioning yang lebih serius di dalam hilirisasi yang sudah benar tetapi hilirisasi yang menguntungkan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya. Plus reindustrialisasi yang belum disentuh. karena reindustrialisasi dimana saham industri manufaktur menurun sekitar 18% yang tadinya hampir 30% itu belum bisa dijawab, jadi jauh panggang daripada api.” ujarnya.

Dampak Negatif dan Tantangan dalam Hilirisasi Nikel

Proses hilirisasi nikel di Indonesia tidak terlepas dari dampak negatif dan tantangan yang perlu diatasi. Salah satu dampaknya adalah ketidakmampuan Indonesia dalam mengoptimalkan nilai tambah dari bahan baku nikel menjadi produk-produk jadi yang lebih bernilai tinggi. Sebagian besar nikel diekspor dalam bentuk bahan mentah, yang mengakibatkan Indonesia kehilangan peluang untuk menghasilkan produk bernilai tinggi dan meningkatkan pendapatan dari ekspor. Hal ini tercermin dalam keterbatasan infrastruktur, kurangnya fasilitas pengolahan, dan rendahnya tingkat keahlian dalam industri hilirisasi.

Tantangan lainnya adalah dominasi China dalam rantai pasok nikel. Meskipun Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, sebagian besar manfaat dari proses hilirisasi justru dinikmati oleh China. Penguasaan China atas smelter dan keahlian dalam pengolahan nikel berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak berasal dari China daripada lokal, mengabaikan potensi pembangunan ekonomi lokal dan peningkatan keterampilan tenaga kerja Indonesia.

Dampak negatif ini juga mengindikasikan perlunya perhatian serius terhadap upaya hilirisasi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Upaya ini harus mencakup investasi dalam pembangunan infrastruktur, peningkatan kapasitas teknologi, pengembangan tenaga kerja lokal, dan regulasi yang mendukung transformasi nilai tambah dalam industri nikel. Dengan mengatasi tantangan ini, Indonesia dapat memaksimalkan potensi sumber daya alamnya dan mewujudkan manfaat ekonomi yang lebih merata bagi rakyat Indonesia.

Alternatif Hilirisasi yang Tidak Dieksplorasi dengan Optimal

Meskipun pemerintah Indonesia memilih untuk fokus pada hilirisasi nikel, terdapat beragam potensi sektor lain yang belum dieksplorasi dengan optimal. Salah satu contoh yang menonjol adalah sektor agro dan maritim. Sebenarnya, sektor-sektor ini memiliki potensi yang cukup besar untuk memberikan manfaat ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, namun belum mendapatkan perhatian serius dalam rencana hilirisasi. Misalnya, sektor pertanian dan perikanan memiliki daya tarik tersendiri karena teknologinya yang sederhana dan potensi dampak multiplier pada ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat.

Garam, sebagai contoh, memiliki teknologi yang relatif sederhana dan dapat dihasilkan secara lokal. Namun, saat ini Indonesia masih mengandalkan impor garam industri dan konsumsi. Jika garam dapat diolah dan dihasilkan secara mandiri, hal ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga memberikan dampak positif pada ketenagakerjaan dan sektor petani lokal. Selain itu, sektor maritim seperti perikanan, rumput laut, dan hasil laut lainnya juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Keputusan untuk fokus pada hilirisasi nikel seharusnya tidak mengesampingkan potensi sektor lain yang dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih merata dan berkelanjutan.

Didin mengatakan “Sebut saja Misalnya garam. itu teknologinya sederhana bisa banyak dilakukan di Madura dan sebagainya sekarang ini, baik garam industri maupun garam konsumsi sudah dikuasai oleh impor, tapi kalau memang mau Hilirisasi mengapa teknologi yang udah dikuasai berpuluh-puluh tahun sebelum tahun 90-an tidak di seriuskan untuk hilirisasi garam misalnya, belum rumput laut, belum Udah Rajungan, ikan kemudian karet, kelapa. Ini teknologi yang relatif sudah dikuasai oleh Indonesia, multiplayer effect baik ketenagakerjaan maupun finansial sampai kesejahteraan jauh lebih punya dampak besar terhadap Indonesia dan rakyat Indonesia.”

Penting bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mengkaji lebih lanjut sektor-sektor alternatif yang belum dieksplorasi secara optimal. Dengan memperhatikan potensi dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari sektor-sektor ini, Indonesia dapat mengambil langkah yang lebih seimbang dalam rencana hilirisasinya. Hal ini akan mendukung upaya untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, di mana manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pilihan Hilirisasi Nikel untuk kepentingan politis

Menurut Didin, “lebih kuat lagi kita tahu bahwa posisi China di Indonesia ini makin dimudahkan karena banyak proxy dalam perspektif bisnis maupun proxy pada akhirnya juga banyak pejabat-pejabat kita yang lebih heavy (welcoming) terhadap keberadaan China ini.” Ujarnya.

Keputusan pemerintah Indonesia untuk fokus pada hilirisasi nikel sebagai bagian dari strategi ekonomi memiliki kaitan erat dengan faktor politik yang melibatkan partai politik dan pemilihan umum. Hilirisasi nikel bukan hanya pertimbangan ekonomi semata, tetapi juga memiliki dimensi politik yang signifikan. Para pemimpin partai politik, terutama menjelang Pemilu 2024 dan pilpres, memiliki kebutuhan akan dana yang besar untuk membiayai kampanye dan kegiatan politik mereka. Oleh karena itu, hilirisasi nikel, yang diharapkan mampu menghasilkan pendapatan yang besar, menjadi alternatif menarik untuk memenuhi kebutuhan dana ini.

Didin mengatakan “Pertanyaannya mengapa nikel sangat menonjol untuk hilirisasi pemerintahan Jokowi ini? Itu karena proyek nikel dengan saingan pabrik-pabrik mobil listrik di dunia dimana China bisa membantu untuk kepentingan politik Jokowi, karena kita tahu partai-partai dalam rangka Pemilu 2024, pilpres maupun Pilkada serentak itu butuh dana yang sangat besar.”

Faktor politik ini juga tercermin dalam rivalitas antar-menko yang melaporkan kasus ekspor ilegal nikel kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tindakan ini dapat dipahami sebagai usaha para pemimpin politik untuk mencari dukungan publik dan mendapatkan manfaat politik dari isu tersebut. Selain itu, keputusan fokus pada hilirisasi nikel juga terkait dengan kepentingan ekonomi para elit politik yang memiliki keterlibatan dalam bisnis dan ingin memperoleh keuntungan dari sektor tersebut.

Mengapa Nikel menjadi pilihan sedangkan komoditas lain seperti garam, ikan, dan lain-lain tidak? Secara tegas Didin mengatakan “Mengapa tidak dipilih? Karena uangnya kecil untuk kepentingan para elit politik pemburu rente.”.

Namun, perlu dicatat bahwa pilihan fokus pada hilirisasi nikel ini memiliki risiko yang perlu diakui. Hilirisasi yang terpusat pada nikel, sementara menghasilkan pendapatan yang signifikan, belum tentu memberikan manfaat jangka panjang bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dalam menghadapi pilihan strategi ekonomi, perlu adanya keseimbangan antara kepentingan politik jangka pendek dan manfaat jangka panjang bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Kasus ekspor nikel ilegal karena kegagalan Indonesia dalam mengelola industri dalam negeri

Kasus ekspor nikel ilegal menyoroti kegagalan Indonesia dalam mengelola industri dalam negeri dan menyerap nikel untuk kepentingan industri nasional. Meskipun Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, sebagian besar nikel hasil tambang diekspor secara mentah tanpa mengalami proses pengolahan di dalam negeri. Hal ini terjadi karena kurangnya infrastruktur, investasi, dan pengembangan industri hilirisasi yang memadai.

Didin berpendapat bahwa “Sebenarnya kalau mau telusuri lebih dalam Mengapa terjadi ekspor ilegal itu konsekuensi karena nikel ini sebagai satu pilihan realistis yang sangat menonjol dibanding pemerintah, karena bagi para pebisnis yang merangkap jadi pejabat tinggi maupun pemimpin Indonesia untuk hilirisasi produk nikel menjadi produk antara.
Tapi kemudian ketika terjadi smelter itu sudah berjalan itu tidak laku untuk dijual Oleh industri dalam Negeri akhirnya dia ekspor ke China, itu kelemahan Indonesia ini. sehingga ekspor ilegal ini menjadi konsekuensi karena tidak siapnya Indonesia di dalam membangun satu struktur pohon industri berbasis nikel, satu konsekuensi logis dari ketidaksiapan Indonesia, belum lagi hal yang lebih detail berdasarkan laporan-laporan dari lapangan pertambangan nikel.”

Kegagalan ini memiliki dampak serius terhadap perekonomian dan penciptaan nilai tambah di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki sumber daya nikel yang melimpah, kurangnya kemampuan untuk mengolah nikel menjadi produk bernilai tambah menyebabkan sebagian besar manfaat ekonomi dari nikel justru dinikmati oleh negara lain, terutama China.

Kesimpulan

Dalam menghadapi kompleksitas ini, Indonesia dapat mengambil langkah yang bijaksana untuk masa depannya. Pertama, pemerintah perlu lebih memperkuat kerja sama dengan berbagai negara dalam pengembangan energi bersih, termasuk mobil listrik, dengan memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga tanpa menjadi boneka dalam persaingan geopolitik. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk berinvestasi dalam riset dan pengembangan teknologi terkait mobil listrik serta membangun infrastruktur yang mendukungnya.

Bagi Indonesia untuk merangkul transisi menuju energi bersih dan mobil listrik dengan pandangan lebih holistik, mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, perekonomian, dan geopolitik.

Pemerintah perlu bersikap tegas dalam merumuskan kebijakan yang menjunjung tinggi kedaulatan dan kepentingan nasional, sambil tetap memanfaatkan potensi industri nikel dengan bijak untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.(*/Red)




Menghadapi Kenaikan Gaji PNS 2024: Mencari Solusi dalam Realita Fiskal

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Pemerintahan saat ini telah mengambil langkah berani dengan merencanakan peningkatan gaji untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), Aparatur Sipil Negara (ASN), serta personel TNI-Polri dan pensiunan.

Meskipun langkah ini diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, perlu disorot bahwa kenaikan drastis tersebut bisa berdampak lebih dari yang terlihat. Peningkatan gaji sebesar 8% untuk PNS dan 12% bagi pensiunan di tahun 2024 tampaknya cukup menggiurkan, namun mari telaah lebih dalam dalam konteks realita ekonomi dan fiskal negara.

Sebelum diputuskan menaikkan gaji ASN, sebaiknya para pengambil kebijakan (policy makers) mempertimbangkan lima poin berikut yaitu kondisi fiskal terbatas 2024, beban fiskal yang berat, pembangunan daerah yang terbebani belanja ASN, stabilitas politik dan objektiftivitas dalam kenaikan gaji ASN.

Kondisi Fiskal Terbatas Tahun 2024: RAPBN 2024 telah menjadikan transformasi ekonomi, pengendalian defisit, dan program-program prioritas sebagai tujuan utama. Namun, kenaikan gaji yang 8% dan pensiunan 12% tentu berpotensi mengganggu alokasi dana untuk program-program penting tersebut. Apakah kebijakan kenaikan gaji ASN dapat memberikan manfaat yang seimbang dengan dampak fiskalnya? Pemerintah belum memaparkan resiko fiskal dari kenaikan gaji ASN tersebut terutama bagaimana pengaruhnya terhadap alokasi dana yang seharusnya diperuntukkan bagi program-program lain seperti bansos, pembayaran utang LN, anggaran kesehatan. Jangan sampai Gaji ASN dinaikan tapi anggaran pertanian, anggaran kesehatan dikurangi.

Beban Fiskal yang Semakin Berat: Kenaikan gaji yang signifikan berpotensi memberikan tekanan pada APBN. Dalam kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan kebutuhan akan buffer fiskal, langkah menaikan gaji ASN seperti ini perlu dievaluasi dengan matang. Apalagi mengingat utang semakin besar membebani APBN. Apakah publik siap untuk memberikan beban yang lebih berat pada anggaran negara?

Keseimbangan Antara Kenaikan Gaji dan Inflasi: Meskipun tujuan kenaikan gaji adalah mengatasi inflasi, perlu diawasi agar tindakan ini tidak memicu inflasi lebih lanjut. Peningkatan gaji sebesar 8% yang melebihi tingkat inflasi 3.09% (yoy per Juli 2023) bisa mengganggu stabilitas ekonomi. Kenaikan yang terlalu besar selain menciptakan gelombang inflasi yang merusak ekonomi nasional juga menciptakan kecemburuan sosial. Jumlah ASN ada 4.25 juta orang sangat kecil bandingkan jumlah penduduk 220 juta yang mengalami kesulitan ekonomi akibat kenaikan inflasi. Tentu kenaikan gaji ASN yang terlalu besar menjadi tidak bijak di saat publik kesulitan.

Tantangan Anggaran di Daerah: Situasi anggaran di daerah, seperti kabupaten dan kota, mungkin belum optimal. Beberapa daerah mengalokasikan lebih dari 70% anggaran untuk belanja pegawai daripada pembangunan. Kenaikan gaji tanpa mempertimbangkan kondisi ini dapat menghambat pembangunan daerah.

Stabilitas Politik dan Pemilihan 2024: Saat ini, kita mendekati pemilihan 2024 yang memiliki risiko. Meskipun kenaikan gaji dapat dianggap sebagai prestasi pemerintah saat ini, hal ini mungkin menjadi tanggungan bagi pemerintahan berikutnya. Kebijakan ini seharusnya diberikan kesempatan kepada pemimpin yang akan datang untuk mempertimbangkannya.

**Baca Juga: Upacara Kemerdekaan 17 Agustus di Bawah Laut Selat Sunda

Tujuan dan Efisiensi Kenaikan Gaji: Kenaikan gaji harus memiliki tujuan yang jelas, termasuk peningkatan kinerja dan efisiensi. Jika kenaikan gaji tidak diimbangi dengan kemajuan yang nyata dalam pembangunan, risiko anggaran belanja pegawai yang melampaui pembangunan semakin besar. Presiden perlu menjelaskan peningkatan kinerja ASN seperti apa yang dijanjikan.

Oleh karena itu, alternatif keberlanjutan fiskal perlu dilakukan diantaranya adalah

Evaluasi dan Pendekatan yang Menyeluruh: Pemerintah dan DPR perlu mengadopsi pendekatan yang lebih luas dalam mengevaluasi dampak jangka panjang kenaikan gaji terhadap APBN. Ini bukanlah hanya soal tahun 2024, tetapi juga bagaimana dampak ini berkelanjutan dalam jangka panjang.

Pilihan Alternatif yang Kreatif: Menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kesejahteraan PNS bisa diwujudkan melalui skema insentif kinerja atau solusi kreatif lainnya.

Kontrol Inflasi yang Bijak: Kolaborasi dengan Bank Indonesia dalam mengawasi inflasi adalah kunci agar langkah ini tidak merugikan.

Kesimpulan
Meskipun kenaikan gaji PNS dapat membawa manfaat, dampaknya terhadap fiskal negara harus diperhitungkan secara cermat. Menemukan keseimbangan antara kesejahteraan PNS dan keberlanjutan fiskal adalah esensi dalam kebijakan ini.(*/Red)




Investasi Properti untuk WNA: Peluang atau Ancaman?

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP | Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Kabar6-Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 memungkinkan Warga Negara Asing (WNA) untuk memiliki properti di Indonesia. Kementerian ATR/BPN juga mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1241/SK-HK.02/IX/2022 tentang Perolehan dan Harga Rumah Tempat Tinggal/Hunian Untuk Orang Asing. Kebijakan ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial.

Apakah langkah ini benar-benar akan menggerakkan perekonomian Indonesia atau justru membuka potensi risiko bagi kedaulatan negara?

Kebijakan ini yang mengizinkan WNA untuk memiliki properti dengan syarat paspor dan visa, tampaknya mendapat dukungan dari kalangan bisnis dan pengembang properti.

Rusmin Lawin, Wakil Ketua Umum DPP REI Bidang Hubungan Luar Negeri, berpendapat bahwa tindakan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan devisa yang masuk.

Namun, di balik potensi tersebut, beberapa hal penting perlu diperhatikan. Adanya akses mudah bagi WNA untuk memiliki properti bisa memicu spekulasi harga, mengakibatkan kenaikan harga properti yang berlebihan.

Hal ini juga akan mempengaruhi keseimbangan pasar properti dan penyediaan hunian yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Terlepas dari klaim bahwa pembelian properti oleh WNA tidak akan “menjual negara”, dampak jangka panjangnya masih perlu dinilai lebih hati-hati.

Perlu dikhawatirkan bahwa dengan kepemilikan yang semakin banyak oleh WNA, akan ada kemungkinan pengendalian ekonomi yang semakin besar di tangan asing.

Kebijakan ini dapat menyebabkan pembelian besar-besaran oleh WNA yang berakibat pada distorsi pasar properti dan peluang investasi yang terbatas bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Selain itu, ada risiko bahwa sebagian besar manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh investasi properti ini akan mengalir keluar negeri, dengan sedikit dampak nyata bagi perkembangan ekonomi dalam negeri.

**Baca Juga: 6 Orang Jadi Tersangka, Ratusan Senjata Rakitan Diamankan di TNUK

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan ini,

Pertama, untuk menghindari potensi spekulasi dan distorsi pasar, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan batasan kuantitas dan nilai properti yang dapat dimiliki oleh WNA.

Kedua, pemerintah perlu mendorong investasi dalam negeri dengan memberikan insentif dan dukungan kepada pelaku bisnis lokal. Ini akan membantu menggerakkan perekonomian secara merata dan mendukung pengembangan industri dalam negeri.

Ketiga, adanya mekanisme pengawasan yang kuat untuk memastikan bahwa investasi properti WNA tidak menimbulkan ketidakseimbangan ekonomi dan tidak merugikan masyarakat lokal. Transparansi dalam kepemilikan dan transaksi properti juga perlu ditingkatkan.

Keempat, pemerintah perlu mempertimbangkan solusi lain untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, seperti pengembangan sektor industri, peningkatan pendidikan, dan peningkatan infrastruktur yang akan berdampak positif secara lebih luas.

Izin kepemilikan properti oleh WNA di Indonesia memerlukan keseimbangan yang hati-hati antara potensi ekonomi dan dampak sosial.

Penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini, serta mengevaluasi keseimbangan antara investasi asing dan perlindungan ekonomi domestik.

Dalam menghadapi tantangan ini, transparansi, pengawasan yang ketat, dan perencanaan yang matang harus menjadi kunci dalam menjaga kepentingan nasional.

Pemerintah harus bisa memastikan bahwa pengembangan properti tetap berpihak pada kepentingan semua lapisan masyarakat, sehingga hasil dari kebijakan ini benar-benar memberikan kontribusi positif bagi Indonesia.(*/Red)




Beleid Subsidi Tiket KCJB Tidak Tepat, Ini Alasannya

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)

Kabar6-Komitmen politik sering kali diharapkan akan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, janji-janji tersebut sering kali menghadapi tantangan nyata. Rencana subsidi tiket Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kebijakan yang membebani APBN lebih dalam.

Dalam kasus ini, Janji Jokowi untuk menghindari keterlibatan APBN seakan melenceng dari semangat transparansi dan akuntabilitas yang ia sampaikan sebelumnya. Proyek KCJB yang semula dijanjikan dengan biaya investasi sekitar 5,5 miliar dollar AS, kini membengkak menjadi 7,27 miliar dollar AS. Terlepas dari alasan-alasan teknis yang mungkin mendasari pembengkakan biaya ini, penggunaan dana APBN dalam proyek ini seolah menjadi alternatif mudah daripada mencari solusi yang lebih terukur.

Dari proses pembiayaan yang bermasalah bisa yang menyebabkan pembengkakkan yang membebani APBN menunjukkan perencanaan dan proses pembuatan kerjasama yang tidak matang dan teliti.

Dari beberapa pertimbangan ini, Beleid subsidi tiket KCJB menjadi tidak tepat.

Pertama, Presiden Jokowi telah menggarisbawahi pentingnya subsidi dalam sektor transportasi untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, rencana subsidi tiket KCJB, yang semestinya mengikuti komitmen ini, terasa bertentangan. Proyek KCJB awalnya diharapkan tidak melibatkan APBN, tetapi kini melibatkan APBN bahkan dengan kehadiran subsidi tiket KCJB TAMBAH membebani neraca keuangan negara, ini menunjukkan ketidaksesuaian dalam komitmen dan tindakan. Janji politik adalah fondasi hubungan antara pemimpin dan rakyat.

Keputusan untuk melibatkan APBN dalam subsidi KCJB merusak integritas janji-janji politik. Konsistensi dalam komitmen dan tindakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam kepemimpinan.

Kedua, keterlibatan APBN dalam subsidi ini menambah beban negara lebih dalam sehingga akan mengganggu program-program pemerintah yang lainnya.

**Baca Juga: Bupati Zaki: Perayaan HUT RI ke 78 Ajang Pesta Rakyat

Ketiga, jika dilihat dari harga yang ditetapkan tanpa subsidi diproyeksikan kemampuan pengembalian modal bisa mencapai 80 tahun. Ini pun rentan dengan tingkat kemampuan manajemen KCJB dalam membiayai pemeliharaan yang tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Jika aspek ini terganggu tentunya selain mendatangkan ancaman bagi keselamatan tapi juga menjadi ancaman bagi sustainability operasional KCJB. Karena perjalanan 80 tahun ini tentunya harus ada biaya pengadaan selama beberapa kali yang menuntut anggaran depresiasi yang cukup.

Keempat, pemberian subsidi ini terkesan menutupi kekurangan atas ketidakkonsistenan antara janji politik Jokowi dan persoalan pembengkakkan anggaran yang terjadi sehingga proyek KCJB ini terkesan bermuatan politis.

Apalagi ada rencana perpanjangan rute kereta api cepat dari Jakarta hingga Surabaya yang banyak dikritisi karena bercermin dari masalah pembiayaan yang terjadi pada pembangunan KCJB. Tentunya subsidi ini akan menjadi polesan untuk mendapatkan legitimasi agar rencana-rencana yang beresiko menimbulkan jebakan utang seperti pembangunan kereta cepat Jakarta – Surabaya, dan lain-lain benar-benar diimplementasikan sebagai program keberlanjutan.

Kelima, Subsidi tanpa melibatkan APBN dapat menyebabkan risiko akumulasi utang di masa depan, yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Mengelola kebijakan subsidi dengan bijaksana adalah suatu keharusan untuk menjaga keseimbangan fiskal dan keuangan negara.

Pemberian subsidi tiket KCJB ini sangat kental nuansa politisnya terkait program keberlanjutan. Publik harus mengawasi kemana arah kebijakan pemerintah dalam hal ini. Jangan sampai kebijakan ini dijadikan alat politik untuk melegitimasi keberlanjutan yang terkait Pemilu 2024.(*/Red)




Insentif HGU di Ibu Kota Nusantara: Manfaat Untuk Siapa

Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Presiden Joko Widodo telah mengumumkan insentif lebih besar untuk investor di Ibu Kota Nusantara. Hak Guna Usaha (HGU) kini berlaku hingga 95 tahun, meningkat dari 80 tahun sebelumnya.

Namun, pertanyaannya: siapakah yang sejatinya diuntungkan?

Meski bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini mendapat kritik tajam.

Insentif yang besar berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan antara keuntungan investor dan keberlanjutan lingkungan serta pemerataan ekonomi.

Perpanjangan HGU ini memungkinkan investor menguasai tanah di Ibu Kota Nusantara tanpa pertimbangan dampak sosial dan lingkungan yang cermat.

Peningkatan durasi HGU bisa merugikan masyarakat lokal dan lingkungan, dengan fokus investor beralih dari keuntungan jangka pendek menjadi jangka panjang.

Selain itu, kekhawatiran terkait lahan yang disewakan kepada pihak asing muncul, memicu perdebatan tentang potensi ancaman terhadap keamanan nasional dan masyarakat lokal yang termarginalisasi.

Status tanah di Ibu Kota Nusantara, antara Barang Milik Negara (BMN) dan Aset Dalam Penguasaan (ADP), menjadi salah satu sorotan.

Meski pemberian HGU dikatakan dengan kriteria ketat, masih ada kecemasan tentang lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan tanah.

**Baca Juga: Minta 1 Milyar, 10 Pelaku Pemerasan Tamu Hotel di Kota Tangerang Ditangkap

Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial, pemerintah sebaiknya melakukan tiga hal berikut:

Pertama, Melakukan evaluasi mendalam atas setiap perpanjangan HGU, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Ide perpanjangan HGU sebaiknya ditunda sampai pemilu selesai.

Proses ini sebaiknya dilakukan ketika Leadership baru 2024-2029 terbentuk sehingga mendapatkan legitimasi kuat apalagi bila melibatkan ahli lingkungan, masyarakat adat, dan organisasi non-pemerintah yang komprehensif. Terkesan perpanjangan HGU tersebut dilakukan terburu-buru

Kedua, Meningkatkan transparansi dalam pengawasan tanah di Ibu Kota Nusantara, dengan teknologi pemantauan real-time untuk mencegah penyalahgunaan.

Ketiga, Memastikan keseimbangan antara keuntungan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang.

Kebijakan yang benar-benar mengedepankan kesejahteraan rakyat luas, bukan hanya segelintir orang, harus menjadi prioritas. Saatnya pemerintah bertindak bijaksana dalam setiap keputusan. Jangan kejar tayang pak!(*/Red)




Indonesia Tak Terhindari Dimasuki Varian Baru COVID-19 ‘Eris’

Oleh: Achmad Nur Hidayat, CEO NARASI INSTITUTE

Kabar6-Ketegangan sedang melanda Inggris akibat merebaknya varian baru COVID-19 yang disebut ‘Eris’ atau subvarian Omicron EG.5.1. Selain meningkatkan jumlah kasus harian secara signifikan, varian ini juga telah menyebabkan peningkatan pasien yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.

Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) telah mengkonfirmasi adanya lonjakan drastis kasus COVID-19. Dalam minggu ini, dari 4.396 sampel pernapasan yang dianalisis melalui Sistem Data Mart Pernapasan, 5,4 persen di antaranya teridentifikasi sebagai kasus COVID-19. Perbandingan ini menunjukkan peningkatan signifikan dari laporan sebelumnya yang mencatat 3,7 persen dari 4.403 sampel.

Varian ‘Eris’ telah ditetapkan oleh WHO sebagai varian under monitoring (VUM) sejak Juli, setelah penyebarannya meningkat di Inggris dan dampaknya mulai terasa di beberapa negara di Asia.

Indonesia bersama dengan negara-negara Asia lainnya sedang meningkatkan kewaspadaan dan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghadapi potensi gelombang baru pandemi yang bisa disebabkan oleh varian ini.

Para ahli berpendapat bahwa munculnya varian ‘Eris’ mungkin terkait dengan apa yang mereka sebut sebagai fenomena ‘Barbenheimer’. Popularitas film Barbie dan Oppenheimer diduga telah mendorong interaksi sosial yang lebih intens dan mobilitas masyarakat. Faktor cuaca buruk juga dianggap mempengaruhi daya tahan tubuh manusia, membuatnya lebih rentan terhadap infeksi.

Namun, meskipun masih banyak yang belum diketahui tentang varian ‘Eris’, para ahli sepakat bahwa virus COVID-19 akan terus berubah dan beradaptasi. Kepala Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) menyatakan bahwa varian ini memiliki tingkat pertumbuhan 20,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan varian lainnya.

Sementara Inggris bekerja keras untuk mengendalikan situasi ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memantau perkembangan varian ini di Asia, termasuk Indonesia.

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menekankan pentingnya tindakan pencegahan, terutama di negara-negara dengan risiko tinggi seperti Indonesia. Ia mengingatkan individu berisiko tinggi untuk terus menggunakan masker di tempat umum, mengambil dosis vaksin tambahan jika dianjurkan, dan memastikan sirkulasi udara yang baik di ruangan tertutup.

**Baca Juga: Ujian Praktik SIM C di Lebak Sudah Sesuai Ketentuan Korlantas Polri, Begini Harapan Satlantas

Rekomendasi

Untuk menjaga situasi kesehatan tetap terkendali dan mencegah potensi gelombang baru pandemi, berikut adalah langkah-langkah yang direkomendasikan bagi negara-negara Asia, termasuk Indonesia:

1. Meningkatkan pengawasan di pintu masuk internasional seperti bandara dan pelabuhan untuk mengidentifikasi serta mengisolasi kasus yang terdeteksi. Perkuat kerja sama internasional dalam pertukaran data mengenai varian dan pola penyebaran.

2. Memperluas cakupan tes COVID-19 untuk mendeteksi kasus positif, termasuk varian ‘Eris’. Lakukan pelacakan kontak dengan ketat untuk membatasi penyebaran lebih lanjut.

3. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya langkah-langkah pencegahan seperti penggunaan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Sediakan informasi akurat dan terpercaya mengenai varian ‘Eris’ untuk menghindari spekulasi yang merugikan.

4. Memperkuat fasilitas kesehatan dan rumah sakit untuk menghadapi lonjakan kasus. Pastikan ketersediaan peralatan medis dan ventilator yang cukup untuk pasien yang membutuhkan perawatan intensif.

5. Terus mendorong program vaksinasi massal, termasuk memberikan dosis vaksin tambahan bagi individu yang memenuhi kriteria. Lacak efektivitas vaksin terhadap varian ‘Eris’ dan berkoordinasi dengan produsen vaksin untuk pengembangan formulasi yang sesuai.

6. Memastikan penerapan dan pemeliharaan langkah-langkah pencegahan seperti penggunaan masker, menjaga jarak sosial, dan menjaga kebersihan tangan. Hindari langkah-langkah yang dapat merusak fondasi sistem pencegahan yang telah dibangun.

7. Mengikuti panduan dari WHO dan lembaga kesehatan internasional lainnya dalam merespons dan mengatasi varian ‘Eris’. Fokus pada dialog dan kerja sama global dalam pertukaran data dan penanganan varian ini.

Dengan tetap waspada terhadap varian ‘Eris’ yang muncul sebagai ancaman global, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, diingatkan untuk mengambil tindakan proaktif dalam menjaga situasi COVID-19 tetap terkendali. Kolaborasi dengan WHO dan negara-negara lain akan menjadi kunci dalam menghadapi potensi gelombang baru dari pandemi ini.(*/Red)




Revisi RUU ASN Jangan Kejar Tayang, Waspadai Resiko Laten Keuangan Negara

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Pada tahun politik menjelang Pemilu 2024, beberapa anggota DPR dan kelompok masyarakat mendesak agar Revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN) disetujui. Seiring dengan itu, keinginan untuk merevisi UU ASN ini sejalan dengan niat Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Abdullah Azwar Anas, yang menginginkan persetujuan segera terhadap RUU ASN. Namun, dalam mengambil langkah tersebut, perlu diperhatikan risiko-risiko laten terhadap keuangan negara.

Dalam konteks politik saat ini, revisi UU ASN menjadi isu hangat karena diharapkan dapat melindungi sekitar 2,3 juta tenaga honorer dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Meskipun niat tersebut baik, perlu pertimbangan yang matang terkait dampak jangka panjang dan keberlanjutan fiskal.

Tentu saja, perlindungan terhadap 2,3 juta tenaga honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah suatu tujuan yang mulia. Namun, perlindungan ini seharusnya disertai dengan langkah-langkah yang mendukung keberlanjutan fiskal jangka panjang. Dalam situasi keterbatasan keuangan negara, pemerintah perlu bijaksana dalam mengambil keputusan terkait revisi UU ASN Nomor 5 Tahun 2014.

Penting untuk tidak terburu-buru melakukan revisi UU ASN sebagai jalan tunggal untuk melindungi tenaga honorer. Terdapat berbagai cara lain yang dapat diambil untuk melindungi mereka tanpa harus merombak struktur ASN yang sudah mapan dan teruji sejak bertahun-tahun.

Di tengah desakan perlindungan terhadap tenaga kerja honorer, kita harus tetap menghindari melakukan revisi UU ASN tanpa pertimbangan matang. Hal ini dapat mengganggu tatanan ASN yang telah berjalan dengan baik selama ini.

Revolusi industri 4.0 yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa merekrut jumlah pegawai ASN yang berlebihan dapat menjadi pemborosan sumber daya dan anggaran negara. Keuangan negara perlu digunakan secara efektif, terutama untuk mengurangi beban biaya hidup masyarakat, bukan hanya untuk membayar gaji ASN yang berlebihan dan tidak selalu efektif dalam kinerjanya.

**Baca Juga: Kosan Murah Jadi Sarang Peredaran Narkoba di Kota Serang

Kita juga belum mendengar dengan jelas tentang rencana secara keseluruhan terkait SDM ASN. Oleh karena itu, perlu adanya roadmap yang jelas mengenai kebutuhan SDM ASN dalam jangka pendek dan jangka panjang. Bahkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pernah mengungkapkan keprihatinannya terkait porsi belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dianggap terlalu besar. Hal ini tidak efektif untuk memulihkan kondisi perekonomian daerah.

Sebagai alternatif untuk revisi UU ASN, pemerintah pusat dapat melakukan evaluasi mendalam mengenai kebutuhan tenaga kerja yang benar-benar diperlukan. Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) perlu memprioritaskan evaluasi terhadap kebutuhan tenaga kerja yang penting untuk memenuhi pelayanan publik yang kritis. Fokus pada posisi yang esensial akan membantu mengoptimalkan sumber daya yang terbatas.

Menerapkan langkah-langkah reformasi aparatur negara seharusnya menjadi fokus utama. Menpan-RB perlu merumuskan konsep penghargaan dan pengakuan yang dapat mendorong peningkatan kualitas dan produktivitas pegawai negeri tanpa perlu revisi UU ASN.

Menpan-RB juga perlu menghadirkan langkah-langkah yang mampu meningkatkan efisiensi operasional pemerintah. Langkah ini akan membantu menjaga keberlanjutan keuangan negara tanpa harus mengganggu stabilitasnya.

Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait alokasi anggaran dan penambahan tenaga kerja ASN juga sangat penting. Hal ini akan meningkatkan akuntabilitas dan menciptakan solusi keuangan negara yang lebih berkelanjutan.

Dengan memadukan prinsip-prinsip keberlanjutan keuangan negara, pemerintahan Presiden Jokowi memiliki peluang untuk mengambil tindakan yang seimbang antara perlindungan tenaga kerja honorer dan PPPK serta menjaga stabilitas keuangan negara dalam jangka panjang. Semua langkah yang diambil haruslah mendukung keberlanjutan, efisiensi, dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.(*/Red)




Gugatan MK Terkait Batas Usia Calon Wakil Presiden

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)

Kabar6-Mahkamah Konstitusi (MK) tengah mengadakan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang berkaitan dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Sidang ini berfokus pada sejumlah gugatan yang diajukan oleh berbagai pihak terkait batas usia minimal untuk menjadi capres-cawapres. Gugatan ini memicu perdebatan serius mengenai pentingnya mengkompromikan antara usia dan kemampuan dalam memimpin.

Pada sisi satu, ada argumen bahwa batas usia yang lebih rendah, khususnya 35 tahun, akan memberi peluang lebih besar kepada generasi muda untuk berkiprah dalam pemerintahan. Wakil Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dalam persidangan, menyatakan bahwa banyak negara di dunia menerapkan batas usia minimal yang lebih rendah untuk calon pemimpin, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan India.

Menurutnya, mengingat Indonesia sedang memasuki bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar, penting untuk memberi peluang pada generasi muda untuk berkontribusi dalam pembangunan negara.

Di sisi lain, argumen lainnya adalah bahwa penting untuk mempertimbangkan kemampuan dan pengalaman dalam memimpin. Meskipun usia tidak selalu menjadi indikator tunggal, batas usia tertentu diharapkan mencerminkan kedewasaan dan kesiapan seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan.

Staf Ahli Kemendagri Togap Simangunsong menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menetapkan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria umum untuk jabatan pemerintahan, dan keputusan mengenai hal ini semestinya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Dia menyatakan bahwa apapun keputusan MK, apakah menghapus atau mempertahankan batas usia minimal, harus dihormati karena merupakan keputusan politik. Namun, dia juga mengingatkan bahwa keputusan ini seharusnya tetap menjadi kewenangan DPR.

Secara umum, diskusi mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang bagaimana mencari keseimbangan antara memberi peluang pada generasi muda dan memastikan bahwa pemimpin memiliki kemampuan dan pengalaman yang diperlukan dalam menghadapi tantangan kompleks dalam pemerintahan.

Bagaimana MK akan mengambil keputusan dalam kasus ini akan mempengaruhi arah demokrasi dan kepemimpinan di Indonesia.

Perlu Partai yang Sehat

Batas usia menjadi perdebatan hangat dalam gugatan MK ini. Para pendukung penghapusan batasan usia berpendapat bahwa kemampuan seseorang bukanlah semata-mata ditentukan oleh usia. Mereka menunjukkan contoh pemimpin muda dari berbagai negara yang telah sukses memimpin dengan baik.

Namun, penentangan terhadap penghapusan batasan usia berpendapat bahwa usia masih memiliki relevansi dalam mengukur kedewasaan dan pengalaman seseorang, terutama dalam menghadapi tantangan kompleks di dunia politik dan kepemimpinan.

Gugatan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Sejumlah pihak mendukung penghapusan batasan usia.

Sementara yang lain berpendapat bahwa pembatasan tersebut masih penting untuk menjaga kualitas kepemimpinan. Perdebatan ini memperlihatkan kompleksitas dalam menentukan kriteria yang tepat untuk pemimpin negara.

**Baca Juga: Partai Gelora & Gerindra Matangkan Deklarasi Prabowo sebagai Capres

Pentingnya Partai yang Sehat: Kaderisasi Kepemimpinan

Pembahasan mengenai batas usia capres dan cawapres juga mengungkap pentingnya peran partai politik dalam menghasilkan calon-calon potensial yang berkualitas. Partai politik yang sehat dan memiliki mekanisme kaderisasi kepemimpinan yang baik dapat menghasilkan calon-calon yang memenuhi syarat baik dari segi usia maupun kemampuan.

Di sisi lain, partai yang lemah dalam kaderisasi mungkin masih memerlukan pembatasan usia sebagai filter untuk menjaga kualitas calon-calon yang diusung.

Batas Usia Bisa Jadi Dihapus, Bila Partai Kuat Kaderisasi Kepemimpinan

Pertama, Batas usia capres dan cawapres dapat dihapus jika partai politik memiliki mekanisme kaderisasi kepemimpinan yang kuat dan mampu menghasilkan calon-calon yang berkualitas, terlepas dari usia.

Kedua, Pentingnya fokus pada kemampuan dan rekam jejak calon-calon, yang dapat diukur melalui pengalaman dan kualitas kepemimpinan yang telah ditunjukkan dalam skala yang lebih kecil, seperti kepemimpinan di daerah atau dalam partai.

Ketiga, Partai politik perlu lebih berinvestasi dalam pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan bagi kader-kader muda, sehingga mereka dapat bersaing secara sehat dalam ajang pemilihan.

Keempat, Masyarakat juga perlu mendorong partai politik untuk melibatkan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan dan kepemimpinan partai, sehingga generasi muda memiliki peran yang lebih signifikan dalam membentuk masa depan politik.

Pembatasan Usia Penting Saat Demokrasi Rawan Dikuasai Partai Politik Rusak dan Oligarki

Kesimpulannya, perdebatan tentang batas usia capres dan cawapres menggambarkan dilema antara usia dan kemampuan sebagai parameter dalam memilih pemimpin negara. Penghapusan batasan usia mungkin dapat dipertimbangkan jika partai politik mampu secara efektif menerapkan kaderisasi kepemimpinan yang sehat.

Namun, pembatasan usia tetap menjadi penting saat demokrasi rawan dikuasai oleh partai politik yang rusak atau oligarki yang memanipulasi proses pemilihan demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam konteks ini, pembatasan usia dapat berfungsi sebagai alat untuk menjaga integritas dan kualitas pemimpin negara. Oleh karena itu, kemampuan partai politik dalam menjalankan kaderisasi kepemimpinan yang transparan dan efektif menjadi faktor kunci dalam memutuskan apakah batas usia capres dan cawapres perlu dihapus atau tetap dipertahankan.

Demokrasi berpotensi menjadi korban ketika batas usia untuk calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi penting. Sejumlah kepala daerah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Garuda, bersama dengan sejumlah warga negara, menggugat batasan usia 40 tahun yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sidang uji materi yang diadakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memberi panggung bagi perdebatan ini, menimbulkan pertanyaan tentang kriteria dan batasan usia yang relevan untuk pemimpin negara.

Dalam sidang tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan pentingnya batasan usia minimal untuk capres-cawapres guna memastikan pemimpin yang bijak dan berkualitas. Habiburokhman mengungkapkan bahwa batasan usia juga berfungsi sebagai parameter untuk menentukan seseorang yang memiliki kapasitas dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk tugas tersebut.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia saat ini memasuki masa bonus demografi, di mana penduduk usia produktif memiliki potensi untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional. Ini memberikan peluang kepada generasi muda untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, termasuk capres dan cawapres.

Namun, gugatan dari berbagai pihak menyoroti perdebatan tentang batasan usia. PSI, Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah berpendapat bahwa batasan usia 40 tahun terlalu tinggi dan membatasi peluang bagi pemimpin muda yang memiliki kualifikasi dan pengalaman.

Mereka mengacu pada contoh internasional di mana beberapa negara telah mengizinkan pemimpin yang berusia di bawah 40 tahun untuk menjabat.

Terkait dengan perbandingan internasional, Togap Simangunsong, Staf Ahli Kemendagri, menunjukkan bahwa banyak negara menerapkan batasan usia minimal capres-cawapres sekitar 35 tahun.

Menurutnya, UUD 1945 tidak menetapkan batasan usia tertentu untuk jabatan pemerintahan, dan hal ini diberikan kepada pembentuk undang-undang. Togap berpendapat bahwa batasan usia adalah kebijakan yang dapat berubah sesuai kebutuhan perkembangan negara.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengomentari gugatan tersebut. Dia menekankan bahwa keputusan MK akan memberi harapan pada kaum muda untuk berpartisipasi dalam politik. Namun, Cak Imin juga mengingatkan bahwa ini adalah keputusan politik yang sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang berwenang, yaitu DPR.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah batasan usia capres-cawapres harus tetap pada 40 tahun atau dapat dikurangi menjadi 35 tahun. Diskusi ini memunculkan isu demokrasi yang rawan dikuasai oleh partai politik rusak dan oligarki.

Sementara beberapa menganggap batasan usia yang lebih rendah akan membuka peluang bagi generasi muda yang berkualitas, yang lain mungkin khawatir bahwa mengurangi batasan usia dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak berpengalaman dan tidak matang.

Mahkamah Konstitusi akan memiliki tugas berat untuk memutuskan kesesuaian dan implikasi dari batasan usia capres-cawapres ini terhadap demokrasi dan masa depan bangsa.

Rekomendasi

Pertama, Batas Usia Bisa Jadi Dihapus, Bila Partai Kuat Kaderisasi Kepemimpinan: Diperlukan perbaikan dan penguatan mekanisme kaderisasi dalam partai politik sebagai langkah awal.Partai harus berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan bagi anggota muda.

Penekanan pada rekam jejak, pengalaman, dan kemampuan calon-calon untuk mengukur kelayakan mereka secara lebih holistik.
Perlu memastikan proses kaderisasi transparan dan adil untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas, terlepas dari usia.

Kedua, Bila Partai Masih Lemah Seperti Sekarang, Pembatasan Masih Diperlukan: Perlu fokus pada perbaikan dan penguatan partai politik dalam hal kaderisasi kepemimpinan.Jika partai masih lemah dalam menghasilkan calon-calon yang berkualitas.

pembatasan usia bisa tetap menjadi alat untuk menjaga kualitas pemimpin negara.Proses seleksi dan persiapan calon-calon perlu diarahkan pada meningkatkan kualitas kepemimpinan di partai.

Ketiga, Pembatasan Usia Menjadi Penting Saat Demokrasi Rawan Dikuasai Partai Politik Rusak dan Oligarki: Kewaspadaan terhadap ancaman oligarki dalam proses pemilihan perlu ditingkatkan.Demokrasi yang rusak dan dikuasai oleh partai politik yang tidak transparan dapat mengakibatkan manipulasi proses pemilihan.

Pembatasan usia dapat menjadi salah satu alat untuk menghindari kemungkinan pemimpin yang tidak berpengalaman dan tidak matang mengambil alih kekuasaan dalam situasi yang rawan.

Rekomendasi-rekomendasi di atas dapat membantu mengarahkan perdebatan dan kebijakan terkait batas usia calon wakil presiden secara lebih bijaksana dan seimbang, dengan mempertimbangkan kondisi aktual partai politik dan ancaman terhadap integritas demokrasi.(*/Red)