Kabar6-Seorang pria di Tuscany, Italia, berusia 40 tahun yang tidak disebutkan namanya, menuntut seorang dokter dan dua klinik tempatnya melakukan operasi.
Apa yang telah terjadi? Rupanya, melansir Odditycentral, pria tersebut mengalami impoten dan disfungsi ereksi setelah menjalani prosedur operasi pembesaran Mr P. Pria tadi telah membayar sebesai sekira Rp86,2 juta untuk prosedur pembesaran Mr P. Namun satu bulan setelah menjalani operasi, pria tersebut menghubungi sang dokter dan mengeluh soal ketidaknyamanan fisik yang dialaminya.
Akibatnya, pria tersebut harus menjalani hingga 12 prosedur guna memperbaiki operasi pertamanya yang gagal. Menurut dokumen pengadilan, pria tersebut menjalani dua kali operasi lipofilling, di mana lemak dari berbagai bagian tubuhnya dipindahkan ke Mr P untuk menyesuaikan bentuknya.
Sayangnya, tindakan tersebut tidak memberikan efek yang diinginkan, karena Mr P pria tersebut tidak berubah ke bentuk dan volume yang diharapkan. Pria tersebut diduga menjalani beberapa prosedur lain untuk memperbaiki kerusakan pada alat kelaminnya, namun hal itu justru memperburuk keadaan.
Menurut para ahli yang dikutip dalam dokumen pengadilan, beberapa prosedur telah dilarang sejak tahun 1993. Setelah menjalani 12 prosedur yang dilaporkan menyebabkan Mr P-nya berubah bentuk dan tidak dapat digunakan dalam tindakan seksual, pria tersebut diminta untuk menjalani operasi sekali lagi, dan pada saat itulah dia memutuskan untuk menuntut dokter dan fasilitas medis tempatnya melakukan operasi.
Sementara tim dokter membela diri di pengadilan dengan mengklaim bahwa pasien pada awalnya puas dengan hasil operasi, bahkan mengiriminya video sebagai bukti dan bahwa ia telah menandatangani formulir persetujuan sebelumnya.
Namun, pengadilan Pistoia menolak klaimnya dan memutuskan bahwa pasien ‘tidak menyadari risiko fisik yang dihadapinya’. Pengadilan menambahkan, kepuasannya terhadap hasil estetika dari operasi tersebut sama sekali tidak relevan, karena ‘itu adalah tugas dari tenaga medis untuk mengevaluasi keberhasilan prosedur’.
Sementara itu, klinik yang terlibat dalam kasus ini berusaha menghindari tanggung jawab dengan mengklaim hanya ‘meminjamkan’ fasilitas mereka kepada dokter. Meski begitu, hakim tetap memutuskan bahwa mereka mendapat manfaat dari pekerjaan yang dilakukan dokter dan turut memiliki tanggung jawab.
Pihak dokter akhirnya diminta untuk membayar ganti rugi sebesar 60 persen, sedangkan pihak klinik harus membayar masing-masing 20 persen. Nilai kompensasi yang ditetapkan sebesar sekira Rp2,6 miliar, namun pasien hanya mendapat sekira Rp1,8 miliar.(ilj/bbs)