oleh

Jurnalis Lebak Tolak Revisi UU Penyiaran, Dinilai Mengancam Kebebasan Pers

image_pdfimage_print

Kabar6-Sejumlah jurnalis dari media cetak, online dan televisi di Kabupaten Lebak, Banten, menolak revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dibahas DPR RI.

Penolakan terhadap revisi UU tersebut disuarakan para awak media dengan menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Lebak, di Rangkasbitung, Senin (27/5/2024).

Ketua Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Lebak Mastur Huda menyebut, revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 harus ditolak lantaran berpotensi mengancam kebebasan pers.

**Baca juga:254 Kendaraan Dinas Pemprov Senilai Rp 1,2 Miliar Nunggak Pajak

“Poin pentingnya adalah pasal-pasal bermasalah yang bisa berpotensi membungkam kebebasan pers harus dibatalkan. Dan kami rasa penolakan terhadap pasal tersebut tanpa kompromi,” kata Mastur Huda.

Salah satu pasal yang dinilai bertentangan dengan kemerdekaan pers soal pasal yang mengatur mengenai larangan pemberitaan investigasi. Menurut Mastur, pasal tersebut sangat bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Laporan investigasi jurnalis merupakan bagian dari kontrol sosial yang diperlukan dalam demokrasi. Indonesia jangan sampai mundur ke belakang, ke zaman di mana rezim berkuasa mengebiri kemerdekaan pers,” tegas Mastur.

Pemerintah dan DPR didesak untuk meninjau ulang urgensi revisi UU tersebut. Wahyu salah satu wartawan media cetak mengatakan, kendati UU tersebut dibahas maka hapuskan pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.

“Larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara,” tambah Wahyu.

“DPRD Lebak harus bersama-sama menolak revisi UU yang dapat mengebiri kemerdekaan pers. Wakil rakyat wajib merawat demokrasi sebagai amanah reformasi,” tegasnya.

Untuk diketahui, salah satu pasal yang krusial dalam revisi UU tersebut adalah soal Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Adapun pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi terdapat pada: Pasal 50B ayat (2) – larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Kemudian, pasal lain yang menjadi permasalahan yakni Pasal 50B ayat (2) huruf k. Pasal itu dinilai punya banyak tafsir, terlebih dengan adanha pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal ini dipandang berpotensi jadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis.

Poin yang lain menjadi keberatan dari organisasi jurnalis televisi adalah Pasal 42 ayat 2 dan pasal 25 huruf q yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran diurusi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers.(Nda)

 

Print Friendly, PDF & Email