oleh

Fahri Hamzah Dimata Mendiang Dulatip

image_pdfimage_print

Kabar-6  Saya mengenal Dulatip pada awal 2018. Saat saya sedang mengurus acara Ngopi Bareng Fahri di depan gedung Golkar DKI Jakarta di bilangan Menteng.

Dia datang bersama kawan-kawannya, Enggal, Lukman, Ajeng, dan yang lainnya. Mereka anak-anak muda, yang menurut pengakuan mereka, kagum dengan bang Fahri dan gelombang histeria di tengah suasana politik saat itu.

Seusai acara, kami sempat foto bersama dan setelahnya kami saling bertukar nomor.

Hari-hari setelah itu, satu persatu berdatangan jejaring kawan-kawan yang lain yang ingin terlibat, terhubung dan ikut dalam kegembiraan dalam acara-acara bersama bang Fahri. Ada Iyut, Ajeng, Dimas Akbar, dan seterusnya.

Mereka terlibat sebagai semacan volunteer yang sedikit banyak setuju dengan gagasan-gagasan bang Fahri. Mereka terhubung oleh satu larikan panjang cita-cita yang mereka rasa harus mereka perjuangkan.

**Baca Juga: Partai Gelora Temukan 3 Model Potensi Kecurangan yang Bakal Terjadi di Pemilu 2024

Lalu, setelah Pilpres usai, dan mendapati cita-cita politik tak lagi berjalan sesuai dengan rencana, kebanyakan mereka mulai mencari jalan. Menyusun rencana baru, mencari kesibukan baru, membangun masa depan sendiri-sendiri.

Satu hal yang sebagian tak lupa; saling berkontrak dan berbagi cerita.

Hari ini, semua telah menemukan jalannya masing-masing. Enggal Pamukty jadi Jubir Muda PAN lalu keluar dan belajar jadi pedagang emas. Dimas Akbar jadi Jubir Muda PAN dan sekarang menjadi caleg di Tangerang Selatan.

Lukman ikut dengan salah satu jenderal dan mulai bisnis pengadaan. Ajeng meneruskan kerja di Kemenpora dan sekarang tak lagi lajang. Ajeng Cute jadi pejabat teras Demokrat dan terkenal di Twitter. Iyut masih konsisten menjadi aktivis buruh dan sering mendaki gunung.

Kang Dul, salah satu yang paling senior diantara mereka, berkelana dari satu kawan ke kawan lain, dari kantor ke kantor lain. Semuanya masih berkomunikasi dan saya senang dengan pencapaian tiap-tiap orang.

Kembali ke cerita kang Dul. Saya tak terlalu dalam mengenalnya. Sependek pengetahuan saya, dia asli dari Majalengka, kuliah di Bandung dan sejak 2018 memutuskan bolak balik ke Jakarta mencari perundingan.

Saat masa-masa sebelum Pileg 2019, dia serius sekali membantu Adam Wahab yang biasa disapa Don Adam. Sempat membuka kantor di sebelah Plasa Senayan lalu tutup begitu saja, saya tak paham penyebabnya.

Lama tak mendengar kabar, sekira dua atau tiga bulan, saya berjumpa lagi dengan Dulatip, Lukman dan Bayu. Mereka ikut dengan seorang pengusaha mantan direktur di salah satu perusahaan survey kenamaan. Mereka membuka kantor di sekitaran Tebet.

Senang sekali saya mendengarnya. Kami beberapa kali berjumpa dan berbincang di sana. Atau saya ajak makan di sekitar Tebet. Sambil bercerita tentang apa saja. Kadang kami kumpul berempat, kadang bertiga, kadang bersama kawan mereka. Yang tak saya kenal sebelumnya. Tapi menyenangkan.

Masa-masa itu, saya sering ajak mereka untuk pengajian di tempat Ustadz Khalid Basalamah. Atau di Blok M. Tapi mereka cuma ketawa. Belum ketemu titiknya

Pandemi Corona melanda, saya tak banyak berjumpa. Kecuali perbincangan dan telepon berjam-jam perihal usaha pengadaan gloves mereka yang katanya kacau. Iyut, Dulatip, Lukman, Ridwan. Semuanya saling bercerita. Saya cuma mendengarkan. Karena tak paham bisnisnya.

Beberapa bulan kemudian, saya mendengar Lukman pulang ke Bandung, Enggal sudah sibuk dengan aktivitasnya, dan Dulatip bersama Adam, mereka berdua pindah kantor ke Jalan Praja. Tak jauh dari Pondok Indah Mall. Saya, lagi-lagi senang mendengar kabar gembira kawan-kawan saya.

Di tempat Adam di Jalan Praja itulah, saya biasa berjumpa dengan Dul, Don Adam, Enggal, atau yang lainnya. Sejak 2020 atau 2021, mereka berkantor di sana, dengan hubungan kerja yang putus nyambung putus nyambung.

Saya dengar kemudian, Dul coba melamar menjadi pemegang akun media sosialnya Ketua Alumni salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Lalu ikut dengan salah satu pengusaha yang pengusaha tersebut menjadi konsultan media salah satu menteri dari partai berwarna biru.

Dul masih yang sama. Dengan curhat-curhat nya. Dengan rencana-rencananya. Dengan obsesinya. Dengan cerita tentang sesuatu yang kadang saya rasa terlalu tinggi.

Sebelum lupa, Dul juga pernah bercerita kalau dia sedang dalam proses mengirimkan proposal untuk menjadi pemegang akun media sosial beberapa orang; anggota DPR RI dapil Jabar dari partai berlambang burung garuda, anggota DPR RI Dapil Jatim dengan partai berwarna kuning.

Juga anggota partai dari partai merah Dapil Jakarta dan mantan aktivis buruh, juga anggota partai kuning mantan ketua organisasi pengusaha muda, yang bapaknya salah satu pengusaha kenamaan asal Indonesia Timur. Banyak sekali yang dia hubungi.

Dulatip menurut saya memang lumayan jago di media sosial. Dia bisa membuat sebuah tuit jadi menarik, mampu menarik engagement dengan audiensi, dan, satu lagi, dia bisa membuat video-video pendek yang nyaman dinikmati, tapi mengena pesannya.

Ada eksposure ada impact nya. Sesuatu yang bisa dijual mahal dalam dunia media dan politik.

Minimal dua pekan sekali saya pasti berjumpa dengan Dulatip. Sebagai seorang kawan, sahabat, teman ngobrol dan sebagainya. Sering kami berjumpa di sekitar Kemang atau Blok M, atau Senayan, untuk sekadar makan soto atau makan nasi lalapan. Sambil bercerita perkembangan ini itu terkait dunia politik, situasinya, atau peluang lainnya.

Atau malah cerita soal keluarga dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Mulai anak kuliah, kiriman untuk istri, kabar kawan-kawan, hingga suasana kehidupan di Jakarta.

Namanya juga kawan, nasihat dan perhatian pasti selalu muncul di tengah-tengah obrolan. Waktu dia berkonflik dengan beberapa kawan karibnya, saya tak bosan untuk menasihati agar tak menaruh dendam, agar ikhlas, agar tak membalas keburukan yang ditimpakan orang.

Terus terang, bagi yang mengetahui bagaimana konfliknya Dulatip dengan beberapa kawannya, akan begidig juga, karena melibatkan institusi penegak hukum yang kantornya di sekitar Blok M.

Karena konflik dengan kawan-kawannya itu jadi menyerempet dan dihubung-hubungkan dengan kasus besar yang baru-baru ini melanda Republik ini. Pokoknya terlalu resiko dan menyeramkan bagi saya.

Saat dia mulai batuk-batuk dan pernah dia mengirimkan foto dalam kondisi setengah sadar, saya langsung marah dan bilang, berhenti merokok dan begadang. Begadang itu bahaya sekali buat tubuh. Dia sudah beberapa kali dirawat di Rumah Sakit sejak setahunan yang lalu.

Beberapa kali, dalam situasi sulit dan sedang saya ajak jalan, mau saja dia kalau saya ajak dan bawa ke masjid. Saya tak bisa memberi banyak kalau dia dalam kesulitan. Tapi setidaknya, dengan ke masjid, dia akan menemukan solusi ketika berbincang dengan diri sendiri.

Suatu waktu, tahun 2022, bulan berapa saya tak ingat, waktu saya ajak makan malam di Kemang, dia bilang ke saya dengan mimik serius;

“Bep, gw ini seperti elo, sangat mengagumi bang Fahri. Dan gw akan bantu dia dan Gelora secara gratis”

“Gw bukan mengagumi kang. Gw adiknyeee. Tapi, ente serius kang?. ”

“Iyalah. Gw akan buktikan nanti ada gebrakan gw untuk bang Fahri”

“Mantap dong. Gw dukung kang”, jawab saya. Senang sekali saya.

Juni atau Juli 2022, beberapa bulan kemudia karya-karya dia mulai muncul. Dia buat akun TikTok, dengan nama akun @klipfahri. Kalau di Twitter namanya @golora7. Mungkin karena sudah tidak bisa membuat akun dengan nama “gelora”, dia buat akun dengan nama “golora”.

Beberapa videonya meledak, viral. Tapi orang tak tahu siapa pembuat akun tiktok tersebut.

Belakangan, mungkin sekitar 8 atau 7 bulan lalu, Dulatip cerita bahwa bang Fahri mulai membantu keuangan untuk menghidupkan semua kanal media yang sudah dibuat agar makin mapan dan establish. Sekarang, Instagram, Youtube, Twitter, TikTok ada akun Klip Fahri semua.

Di sela-sela itu, Dulatip masih sering menghubungi saya sepekan mungkin dua kali, bertanya kabar, meminta saran dan ide, minta bantuan untuk ini itu, macam-macam lah. Tiap pekan selalu ada kabar.

Kira-kira empat bulan lalu, Dulatip menghubungi saya dia ingin berjumpa di Plasa Senayan. Rupanya dia bersama Cak Lukman dan baru saja berjumpa dengan salah satu petinggi partai kuning yang kebetulan bapaknya, taipan pribumi asal Indonesia Timur.

Kami berbincang cukup lama di Victoria. Dan setelah itu lama sekali tak jumpa. Whatsapp dan saling telepon masih sering kami lakukan. Terakhir waktu saya ke Yogya berjumpa Cak Lukman, kami bertiga Farlin lagi-lagi berbincang tentang Dulatip

7 November 2023, Kang Dul kirim pesan dan gambar sedang tepok jidat dan tangan diinfus. Saya ketawa dan mengerti maksudnya. Ada yang harus digeser.

19 November 2023, dia tiba-tiba mengabari saya. Urusan seperti biasa. Dan setelahnya, dia mengirimkan pesan suara;

“Bantu gw Bep. Gw lagi di RS nih sudah berapa hari”

“Ente sakit apa? Kok lama banget”

“Jantung, paru”

Bersama jawaban itu, dia kirimkan gambar cairan berwarna kuning. Dia kirim pesan;

“nih, cairan di paru kiri 700 ml, ini dari paru kanan 1200 ml”

Ah, tentu saja saya langsung lemas.

“Itu kayak kakak ipar gw kang 😭. Itu paru-paru kerendem. Bisa karena ginjal bisa karena jantung atau kanker”.

21 November 2023, saya yang inisiatif bertanya

“Gimana kabar kesehatan kang?”

“Baru mau keluar RS nih”

“Alhamdulillah ya Allah. Biaya gimana kang?”

“Pokoknya rawat kesehatan gw mah bang FH ga ada lawan”

Semua biaya memang ditanggung bang Fahri. Saya tahu sejak awal.

Sejak beberapa bulan, sebelum sakit, dia cerita ke saya kalau dia tinggal di rumah bang Fahri di bagian belakang yang khusus untuk sopir dan aspri. Dul ikut di situ. Saya pesan; jaga diri, jangan bikin masalah. Dia iyakan.

Waktu anaknya butuh uang sekolah, bang Fahri juga yang bantu, katanya juga dibelikan laptop untuk selesaikan urusan media. Syukur alhamdulillah, kata saya.

23 November 2023 saya godaan dia karena dua hari tak dengar kabar;

“gimana politik dalam negeri kang?”

“sakit parah boro mikirin gituan”, katanya

“Hahaha”

“Sabar atuh kang. Sakit itu penggugur dosa. Kalau ikhlas”

Jumat, Sabtu kemarin saya masih berkirim Whatsapp. Dia bertubi-tubi mengirimkan voice note.

Inti-inti pesannya; minta saya segera ke Bandung. Kapan lagi katanya. Dia akan ke Jakarta tanggal 9 Desember. Dia mau pemulihan karena masih sakit.

Hari minggu pukul 15.50, saya kirimi dia tulisan panjang. Sekadar mendengarkan jawaban dan respon Kang Dul. Tapi dia tak menjawab.

Selasa pagi ini, pukul 11, saya mendapatkan pesan dari kawan kalau Kang Dul sudah meninggal. Saya awalnya tak percaya. Karena hari-hati terakhir kami masih berbincang. Tak ada tanda-tanda. Kecuali kalimat pendek;

“main sini lah ke Bandung, lah”

Ya Allah. Rupanya itu “pesan”.

Saya masih tak percaya. Saya kirim pesan

“Dul, kok ente ga jawaaaaaab 😢”

Tapi nomernya sudah tak aktif. Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. Sedih sekali. Sedih bener.

Iyut saya hubungi karena dia yang pertama kali menyebarkan cerita tersebut. Berkali-kali saya minta kepastian soal bahwa yang meninggal itu Kang Dul. Terakhir saya juga crosscek ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Kronologis singkatnya;

Kebetulan Kang Dul mengontrak di Bandung di sekitar Geger Kalong kalau tak salah. Dan Kang Dul dua hari ini tak muncul keluar kamar. Pukul 11 malam tanggal 27 November, tetangga merasa ada yang aneh dengan Kang Dul.

Karena janggal, tetangga kontrakan membuka paksa pintu dan Kang Dul ditemukan sudah meninggal dunia. Tetangga kontrakan tersebut langsung lapor polisi dan selanjutnya dibawa ke RS. Hasan Sadikin.

Sejak siang, saya berkomunikasi terus dengan Iyut untuk meminta kabar terbaru perkembangan Kang Dul. Sekaligus meminta kepastian soal bahwa yang meninggal itu benar Kang Dul. Tapi petugas melarang kawan kami di sana untuk mengambil gambar KTP.

Kabar ini juga saya update ke bang Fahri. Saya tahu bang Fahri juga sedih luar biasa.

Alhamdulillah setelah semalaman di Rumah Sakit, tadi sore saat maghrib lebih keluarganya bisa membawa jenazah Kang Dul ke Majalengka. Rencananya almarhum akan dibawa kesana.

Duh, si Dul…

Saya dan Iyut berbincang. Kami rencanakan untuk ziarah hari Kamis lusa. Kami akan datangi tempat istirahat mu, Dul.

Saya mendengar banyak cerita tentang Dulatip. Dari banyak orang. Ada cerita baik. Ada cerita buruk. Ada cerita-cerita sumir. Tapi, entahlah. Saya berkawan apa adanya dengan Dulatip. Lima tahun dia sudah menjadi salah satu kawan terbaik saya. Dia dan saya tak pernah saling pergi meninggalkan. Tak juga memusuhi kalau ada cerita keburukan.

Sering kali saya ulang-ulang pesan saat kami sedang berdua makan di pinggir jalan. Seperti nasihat untuk diri sendiri. Jangan benci, jangan dendam dengan siapapun, jangan menyimpan api amarah. Bersabar.

Kalau ada yang menceritakan keburukan kita, mungkin itu cara Allah menegur. Jangan dibalas. Justru bersyukur. Pelan-pelan, berubahlah. Kalau keburukan itu sebenarnya tak ada, bergembiralah, Allah sedang menggugurkan dosa.

Saya percaya, setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah. Menjadi lebih baik. Menjadi versi terbaik dirinya. Saya yakin dan percaya kamu orang yang baik, Dul. Dan sebelum pergi, kamu sudah menjadi versi terbaik dari dirimu, Dul. Selamat jalan.

28 November 2023
Tulisan Bambang Prayitno, Alumni KAMMI (***)

Print Friendly, PDF & Email