oleh

Di Balik Impor Gula yang Masif: Celah Konflik Kepentingan dan Risiko Kriminalisasi Pejabat

image_pdfimage_print

Kabar6 – Kasus impor gula di Indonesia menjadi sorotan tajam karena berpotensi untuk membuka jalan bagi kriminalisasi pejabat publik yang terlibat dalam pengaturan kuota, perizinan, dan distribusi gula impor.

Dalam setiap kebijakan impor, terdapat celah yang memungkinkan oknum untuk melakukan konflik kepentingan melalui praktik rente atau pengambilan keuntungan pribadi.

Skema impor yang longgar dan kurang diawasi ini menciptakan peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memperkaya diri dengan cara manipulasi izin, pengaturan distribusi, dan bahkan monopoli terhadap komoditas gula.

Ketika regulasi tidak dilaksanakan dengan transparan, potensi kriminalisasi pejabat publik yang terlibat dalam manipulasi perizinan dapat meningkat, terutama jika ada bukti yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut merugikan ekonomi nasional dan hanya menguntungkan segelintir orang.

Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula telah berlangsung selama beberapa dekade, dan penyebabnya sangat kompleks.

Salah satunya adalah lemahnya kapasitas produksi domestik yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Banyak pabrik gula Indonesia masih menggunakan teknologi lama dengan produktivitas yang rendah, sedangkan biaya produksi yang tinggi membuat gula lokal tidak mampu bersaing dengan gula impor.

Di sisi lain, permintaan gula untuk sektor industri dan konsumsi rumah tangga sangat tinggi, yang memaksa pemerintah membuka keran impor setiap tahun untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan. Hal ini juga diperparah oleh kebijakan yang cenderung mengutamakan impor ketimbang memperkuat kapasitas produksi dalam negeri.

Untuk keluar dari ketergantungan terhadap gula impor, Indonesia memerlukan strategi yang menyeluruh, mulai dari peningkatan investasi dalam teknologi produksi gula, modernisasi pabrik, hingga penguatan kebijakan yang mendorong peningkatan produktivitas sektor pertanian tebu.

Dukungan pemerintah terhadap riset dan pengembangan dalam sektor pertanian tebu, pemberian insentif untuk pabrik gula lokal, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap impor gula bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan.

Peningkatan kualitas gula lokal, didukung oleh regulasi yang tegas untuk membatasi impor, akan memperkuat kemandirian sektor gula dalam negeri.

Dengan pendekatan ini, Indonesia diharapkan bisa keluar dari “jeratan” ketergantungan pada gula impor dan membangun industri gula yang mandiri dan berkelanjutan.

Penyebab Ketergantungan Indonesia pada Impor Gula

Indonesia masih bergantung pada impor gula karena beberapa alasan yang kompleks. Salah satunya adalah keterbatasan kapasitas produksi domestik yang tidak mampu memenuhi permintaan gula dalam negeri yang terus meningkat. Setiap tahun, jumlah gula yang dihasilkan dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga pemerintah harus melakukan impor untuk menjaga kestabilan harga dan pasokan di pasaran.

Keterbatasan ini disebabkan oleh produktivitas pabrik gula dalam negeri yang masih rendah. Banyak pabrik gula Indonesia menggunakan teknologi lama, yang membuat proses produksi tidak efisien dan biaya produksi cenderung lebih tinggi. Kondisi ini semakin sulit ditingkatkan karena infrastruktur di sektor gula belum sepenuhnya didukung oleh investasi dan kebijakan yang pro-produksi dalam negeri.

Di sisi lain, kebutuhan gula di industri makanan dan minuman sangat besar, bahkan kualitas yang dibutuhkan pun tidak sepenuhnya bisa dipenuhi oleh produksi lokal. Industri ini membutuhkan gula dalam jumlah besar dan kualitas tinggi untuk memenuhi standar yang ditetapkan, sehingga banyak yang memilih gula impor sebagai alternatif lebih cepat dan mudah.

Permintaan ini sering menjadi dorongan kuat bagi pemerintah untuk memberikan izin impor yang lebih besar setiap tahunnya, mengingat kebutuhan industri berkontribusi signifikan terhadap perekonomian negara.

** Baca Juga: Waspada Cuaca Ekstrem, Belasan Rumah di Lebak Rusak Diterjang Angin Kencang

Namun, ketergantungan pada impor tidak semata-mata terjadi karena kurangnya kapasitas produksi dalam negeri atau kebutuhan industri, tetapi juga dipengaruhi oleh praktik rente. Dalam skema impor, ada kesempatan bagi oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan cepat dan besar melalui perizinan impor yang bisa diatur dan dialokasikan kepada pihak-pihak tertentu.

Kebijakan impor sering menjadi ladang bagi oknum tertentu yang berkonflik kepentingan, mengingat keuntungan dari praktik rente ini bisa sangat besar. Dengan menjadi pemain utama dalam perizinan atau distribusi gula impor, pihak-pihak tertentu bisa mengakumulasi keuntungan pribadi dengan cara yang merugikan produsen lokal dan menekan potensi pengembangan sektor gula dalam negeri.

Penting bagi pemerintah untuk tidak hanya meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi gula lokal tetapi juga memperbaiki regulasi agar ketergantungan impor tidak menjadi sumber keuntungan bagi segelintir orang.

Peningkatan transparansi dan pengawasan ketat dalam proses impor bisa menjadi langkah yang perlu ditempuh untuk meminimalisasi praktik rente yang justru memperburuk ketergantungan impor gula di Indonesia.

Dampak Permendag Nomor 8 Tahun 2024 terhadap Industri Gula Nasional

Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pemasukan Barang Impor ke Indonesia sebenarnya bertujuan untuk menyederhanakan perizinan impor dan mempercepat aliran barang masuk ke dalam negeri.

Namun, regulasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan industri dalam negeri karena pelonggaran yang diberikan justru berpotensi meningkatkan volume impor, termasuk pada sektor gula.

Salah satu pasal dalam regulasi ini yang menjadi perhatian adalah Pasal 6 yang menyebutkan pelonggaran syarat-syarat administrasi dan teknis untuk beberapa komoditas strategis yang dinilai penting untuk menjaga ketahanan pasokan. Dalam lampiran Permendag Nomor 8 Tahun 2024, gula termasuk dalam daftar komoditas yang mendapat kemudahan izin impor.

Bunyi ketentuan ini secara eksplisit menekankan bahwa barang-barang tertentu dapat dimasukkan tanpa syarat teknis yang ketat, sehingga berpotensi mengundang masuknya gula impor dalam jumlah besar.

Sebagai bagian dari kategori barang esensial, gula mendapat prioritas karena permintaan domestik yang tinggi dan kebutuhan industri yang beragam. Namun, keringanan ini dianggap menekan daya saing produk lokal, yang memerlukan waktu dan investasi besar untuk mengimbangi gula impor yang kualitasnya cenderung lebih baik dengan harga lebih murah.

Permendag ini juga menimbulkan isu terkait dengan transparansi perizinan impor gula. Dalam proses pelaksanaan regulasi ini, sering muncul konflik kepentingan, terutama karena kebijakan impor dapat menjadi celah bagi oknum tertentu untuk mendapat keuntungan instan.

Sebagai contoh, pengaturan kuota impor atau penentuan perusahaan yang berhak mengimpor gula kerap menjadi sasaran praktik rente. Para oknum yang memiliki kuasa dalam proses perizinan bisa saja mengalokasikan izin kepada pihak tertentu, yang berujung pada keuntungan finansial bagi kelompok tersebut.

Ketentuan ini secara tidak langsung menciptakan ketergantungan yang semakin besar pada impor gula dan menekan industri dalam negeri. Regulasi yang kurang ketat ini memberi ruang bagi para pemegang kuasa untuk mengambil keuntungan pribadi dari perizinan impor, yang pada akhirnya merugikan perekonomian nasional.

Perbaikan dalam aspek transparansi dan penerapan syarat ketat pada perizinan impor menjadi penting agar impor gula dapat dikendalikan dan tidak merugikan industri gula dalam negeri.
(Achmad Nur Hidayat, MPP Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)