oleh

Pembangunan dan Investasi Rempang Eco City Dalam Sudut Pandang Kebijakan Publik

image_pdfimage_print

Seri Analisis Kebijakan Publik Dalam Kasus Pulau Rempang Bagian 1

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Proyek Rempang Eco City memiliki nilai investasi yang sangat besar, namun dianggap mengabaikan kepentingan dan keberadaan masyarakat lokal.

Bagaimana tarik menarik antara kepentingan pemodal dan kepentingan masyarakat di perkampungan tua di Pulau rempang tersebut?

Mengenal Proyek Rempang Eco City

Proyek Rempang Eco City merupakan sebuah inisiatif mega-investasi yang sedang dikembangkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bekerja sama dengan perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG).

Proyek ini direncanakan untuk mendirikan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi di lahan seluas 7.572 hektar di Pulau Rempang, yang mencakup hampir setengah (45,89 persen) dari total luas pulau tersebut.

Proyek Eco City ini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Namun, di balik potensi ekonomi yang besar, proyek ini membawa sejumlah kontroversi dan dampak sosial yang signifikan.

Salah satu dampak paling mencolok adalah rencana relokasi warga yang mendiami Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Diperkirakan antara 7.000 hingga 18.000 jiwa warga akan terkena dampak relokasi akibat proyek ini.

Penolakan terhadap proyek ini bukan hanya berasal dari kekhawatiran akan relokasi, tetapi juga karena proyek ini dianggap menggusur warga dari 16 kampung tua di Rempang-Galang.

Sejarah proyek ini juga menunjukkan adanya potensi hambatan. Sebelumnya, pada tahun 2009, BP Batam, PT Makmur Elok Graha (MEG), dan Pemerintah Kota Batam telah menandatangani perjanjian untuk pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000Ha, Pulau Setokok seluas 300 Ha, dan Pulau Galang seluas 300 Ha.

Proyek tersebut dikenal dengan nama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Namun, proyek ini sempat terhambat karena dugaan korupsi.

Selain itu, ada kritik tajam terhadap pemerintah yang dianggap hanya mementingkan aspek ekonomi dan investasi, sementara mengabaikan hak-hak masyarakat yang terdampak.

Isu-isu seperti penolakan masyarakat lokal, kriminalisasi warga, dan ancaman penggusuran menjadi sorotan utama dalam konteks proyek ini.

Proyek Rempang Eco City, meskipun memiliki potensi ekonomi yang besar, membawa sejumlah tantangan dan isu sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, pengembang, dan masyarakat luas.

**Baca Juga: Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Dilema Antara Kepentingan ekonomi-investasi dan Dampak Sosial-hak-hak masyarakat

Dilema antara kepentingan ekonomi dan investasi dengan dampak sosial dan hak-hak masyarakat, khususnya di kampung adat Pulau Rempang, menjadi sorotan utama dalam pembangunan Rempang Eco City.

Di satu sisi, proyek ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah dengan mendatangkan investasi besar dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi diharapkan mampu menarik minat investor dan turis, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah.

Namun, di sisi lain, proyek ini membawa dampak sosial yang signifikan.

Rencana relokasi warga, terutama mereka yang tinggal di 16 kampung tua di Rempang-Galang, menjadi titik kontroversi. Banyak dari warga ini memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhur mereka dan memiliki tradisi serta budaya yang telah berlangsung turun-temurun.

Penggusuran dan relokasi bukan hanya berarti perpindahan fisik, tetapi juga pemutusan akar budaya dan sejarah.

Dalam konteks ini, dilema muncul ketika kepentingan ekonomi dan investasi dianggap lebih utama daripada hak-hak masyarakat adat dan dampak sosial yang ditimbulkan.

Pertimbangan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian hak dan budaya masyarakat menjadi esensial dalam setiap kebijakan pembangunan.

Perlu Pendekatan Inklusif dan Holistik

Menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian hak serta budaya masyarakat memerlukan pendekatan yang inklusif dan holistik.

Faktanya, penetapan Proyek Rempang Eco City melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dilakukan tergesa dan tidak melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan. Dampaknya aspirasi dan kekhawatiran warga tidak terwakili dengan baik.

Selain itu penetapan Rempang Eco City menjadi PSN tersebut dilakukan tanpa studi mendalam tentang dampak sosial dan budaya dari proyek yang direncanakan.

Ketiadaan kajian yang mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko menyebabkan terjadi penolakan luar biasa dari masyarakat 16 kampung tua yang akan direlokasi.

Kompensasi yang adil dan memadai juga tidak diberikan dengan terencana.

Berdasarkan temuan awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM 7 September 2023 di Pulau Rempang oleh 9 lembaga termasuk YLBHI, WALHI, Kontras dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang diketahui BP Batam hanya melakukan sosialisasi kepada warga yang terdampak sebanyak 2 kali.

Dalam sosialisasi tersebut, warga diminta untuk membawa kelengkapan dokumen yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan besaran ganti rugi yang akan diterima.

Sosialisasi ini dianggap searah dan tidak partisipatif karena hanya memaparkan program relokasi tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.

Warga diminta untuk mendaftarkan diri untuk direlokasi dengan membawa bukti-bukti kepemilikan tanahnya dari tanggal 11-20 September di dua tempat yang telah ditentukan, yaitu Kantor Kecamatan Galang di Sembulang dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) yang kini berganti menjadi Kantor Koramil.

Komunikasi satu arah menyebabkan muncul ketidakpuasan terutama bagaimana mata pencaharian mereka selanjutnya dan adat budaya yang hilang karenanya.

Proses sosialisasi dan penawaran kompensasi dilakukan tanpa dialog yang cukup dan memadai dan terkesan pihak pengembang dan pemerintah abai mendengar aspirasi warga.

Transparansi dalam menyediakan informasi tentang proyek dan kerjasama erat dengan organisasi masyarakat sipil dan kelompok adat juga tidak dilakukan secara layak dan baik.

Faktanya protes keras warga yang disertai kekerasan HAM terjadi pada saat BP Batam melakukan pematokan wilayah mereka pada 7 September 2023 dan 11 September 2023

Proses penetapan proyek Rempang Eco City jelas tidak dilakukan dalam kontek proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang baik.

Dampaknya, proyek tersebut pasti abai terhadap pelestarian nilai-nilai masyarakat, ketiadaan keberlanjutan dan penolakan yang lebih luas dari penetapan Rempang Eco City menjadi proyek strategis nasional.

Bersambung Bagian 2

Print Friendly, PDF & Email