Â
Alasannya, regulasi hanya berlaku bagi 11 jenis bidang usaha hiburan dan industri kuliner.
Â
Ayatullah Habibie (37), warga Ciputat, mengatakan penerapan sanksi-sanksi yang tertulis dalam poin F dianggapnya jelas tidak memenuhi rasa keadilan.
Â
Mirisnya lagi regulasi ini dibuat oleh dua lembaga daerah, yakni Pemerintah Kota Tangsel dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Â
“Lantas kalau ada tindak pelanggaran yang dilakukan oleh oknum aparat berwenang, gimana dong? Coba deh perhatikan dengan teliti,†kata Ayatullah kepada kabar6.com lewat sambungan BlackBerry, Sabtu (13/6/2015).
Â
Pada cetakan surat edaran bersama tertulis, sanksi hanya berlaku kepada pelaku usaha industri hiburan dan kuliner serta individu atau kelompok organisasi kemasyarakatan.
Â
Bagi mereka yang terbukti melanggar ketentuan waktu dan sistem operasional, maka usahanya dapat dikenai sanksi. ** Baca juga: Di Tangerang, Telur Retak Diserbu Pembeli
Â
Hukumannya seperti sanksi admintratif berupa teguran langsung secara lisan atau panggilan, teguran tertulis, penutupan usaha dalam bentuk pencabutan Surat Tanda Izin Kepariwisataan atau TDUP.
Â
Hukuman beratnya bisa dikenai kurungan penjara sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Â
“Bocah juga tahu. Dan, bukan mustahil antara oknum petugas atau pemuka agama dengan pengusaha yang bersalah bisa “main belakang,†sindir Aay.
Â
Modusnya beraksi dengan dalih sedang menggelar kegiatan monitoring rutin. Pas melihat ada industri melanggar aturan, tawaran “damai†kerap dijadikan jurus pamungkas oleh oknum petugas berwenang.
Â
Aay bilang, sandi yang lazim disebut oleh para oknum petugas di lapangan adalah THR alias Tunjangan Hari Raya. Upeti uang “koordinasi†menjadi kompensasi pengganti dari ancaman sanksi.
Â
Ia pun menilai, selama ini slogan semua warga negara sama di mata hukum hanya kamuflase belaka. “Buat oknum petugas yang terbukti salah juga rincian sanksinya harus tegas,†sarannya.(yud)