1

Polemik Pengesahan RUU Kesehatan: DPR Tidak Aspiratif dan Rawan Merusak Perlindungan Kesehatan Nasional

Kabar6

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom Pakar Kebijakan Publik UPN VJ dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Dewan Perwakilan Rakyat telah resmi mensahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan menjadi undang-undang kemarin Selasa, 11 Juli 2023

Sidang DPR tersebut dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani beserta Wakil Ketua Rahmat Gobel, dan Lodewijk Freidrich Paulus.

TIDAK ASPIRATIF

Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang oleh DPR kemarin menjadi moment of truth betapa tidak aspiratifnya lembaga perwakilan rakyat tersebut.

DPR tidak lagi melayani kepentingan publik luas namun DPR menjadi pelayan kepentingan ketua umum parpol yang menghamba kepada kepentingan pemilik modal.

Padahal RUU Kesehatan menentukan kualitas kesehatan publik dan masa depan tenaga kesehatan. Draf terakhir menunjukan betapa RUU Kesehatan tidak pro kepada publik luas dan organisasi profesi kedokteran.

Faktanya, Draf RUU Kesehatan mendapat penolakan dari 5 organisasi profesi kesehatan utama di Indonesia dan 200 guru besar.

UU Kesehatan yang baru disetujui tersebut diyakini akan mendapatkan Judicial Review ke MK karena UU tersebut tidak aspiratif.

RUU Kesehatan Sarat Dengan Sentralisasi dan Liberalisasi Kesehatan

RUU Kesehatan yang baru merupakan bentuk sentralisasi kesehatan karena peran lembaga profesi terlemahkan dan peran pemerintah menjadi dominan.

Profesionalisme kesehatan melalui penguatan lembaga profesi dicabut dalam RUU tersebut. Wajar, bila seluruh lembaga profesi kesehatan menolak draf tersebut.

Peran pemerintah dalam hal ini Menteri kesehatan menjadi terlalu kuat. Karena terlalu kuat Menkes, maka dimasa depan Jabatan Menteri kesehatan akan rawan diperebutkan oleh oligarki investor kesehatan.

RUU Kesehatan memudahkan Oligarki Kesehatan Menentukan Sistem Kesehatan Nasional

Bagi oligarki investor kesehatan lebih mudah menempatkan seorang Menteri kesehatan daripada harus menyakinkan kolegium organisasi kesehatan karena mereka sangat plural, profesional dan transparan.

RUU kesehatan yang disahkan tersebut menempatkan peran pemerintah sangat dominan daripada organisasi profesional.

Selain itu, Bukti lain bahwa RUU Kesehatan hanya memudahkan oligarki adalah RUU tersebut menghilangkan mandatory kesehatan yang sangat melindungi layanan publik bagi masyarakat bawah. Mandatory hilang artinya anggaran minimal kesehatan sudah tidak ada lagi sebagai mandatory politik anggaran bagi rakyat kecil.

**Baca Juga: Desak Pemerintah Hapus Sistem Zonasi, Kader Gelora Tangerang : Kami Siap Advokasi Korban PPDB

RUU Kesehatan Bukan Untuk Publik Namun Untuk Liberalisasi Modal Besar Industri Kesehatan

Menelaah draf RUU, publik akan menyadari bahwa RUU Kesehatan omnibus law tersebut bukan untuk mengingkatkan kualitas kesehatan publik luas tetapi memberi jalan agar industri kesehatan, pemilik modal berekspansi secara akseleratif.

Publik luas hanya dijadikan objek baik sebagai tenaga kesehatan maupun pasien. Nakes dan publik luas menjadi
buruh industri kesehatan milik oligarki.

Di Eropa Liberalisasi Kesehatan Tidak Berjalan Baik

Kehadiran Dokter Asing Menjadi Masalah di Masyarakat Inggris dan Uni Eropa.

Seorang pasien di Inggris dirawat oleh dokter asing asal Jerman pada tahun 2008. Karena Inggris masih tergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa, semua dokter Eropa dapat praktik di Inggris dan tanpa syarat apapun.

Namun pasien Inggris yang bernama David Gray meninggal setelah diberikan obat dengan dosis yang salah oleh dokter warga negara Jerman, dr. Daniel Ubani yang buka praktik di Inggris.

Meskipun keduanya bisa komunikasi dengan baik, namun dosis antar suku saxon berbeda dengan suku germanic. Apalagi bila dosen yang praktik tidak bisa berbahasa baik maka kemungkinan terjadi miskomunikasi akan besar, dan nyawa orang Indonesia terancam akibat salah komunikasi.

Kesimpulan
RUU Kesehatan yang sudah disahkan jelas tidak memberikan manfaat besar bagi sistem kesehatan nasional. Sistem kesehatan nasional rawan dibajak oleh pemilik modal kesehatan besar karena mereka tidak perlu berkomunikasi dengan organisasi profesi namun cukup terkoneksi dengan pengambil keputusan yaitu Menteri Kesehatan.

RUU Kesehatan tersebut juga mengandung unsur liberalisasi yang memiliki resiko tinggi bagi kesehatan publik Indonesia. Liberalisasi melalui hadirnya dokter asing tanpa memenuhi standar lembaga profesi nasional dapat menyebabkan maraknya malpraktek dan kematian seperti yang terjadi di Inggris yang akhirnya menjadi motivasi terjadi keluarnya Inggris dari komunitas Uni Eropa (Brexit).(*/Red)

 




RUU Kesehatan Kembalikan Peran Negara Mengurus Kesehatan Rakyatnya

Kabar6-Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia berharap RUU Omnibus Law Kesehatan yang akan disahkan DPR pada pekan depan dapat menjamin kemandirian tenaga medis dan tenaga kesehatan yang ada Indonesia.

“Kita berharap RUU Kesehatan yang baru ini, seharusnya dapat menjamin kemandirian tenaga medis dan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Sebab, tropisme penyakit di Indonesia belum tentu bisa diobati oleh diaspora di luar,” kata dr. Rina Adeline SpMK., MKes., ABAARM., FAARM , Ketua Bidang Kesehatan, DPN Partai Gelora Indonesia.

Hal itu disampaikan Rina Adeline saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talks bertajuk ‘Pro-Kontra RUU Kesehatan, Bagaimana Memahaminya?, Rabu (5/7/2023) sore.

Diskusi ini dihadiri Menteri Kesehatan RI 2004-2009 Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Tim RUU Kesehatan Kemenkes RI dr. Roy Sihotang, MARS, serta Ketua Biro Hukum Pembinaan Pembelaan Anggota, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Beni Satria, S.Ked, M.Kes.

Menurut Rina, kesehatan pasien tetap harus menjadi prioritas utama bagi insan tenaga kesehatan dan tenaga medis, meskipun organisasi profesi memprotes RUU ini, karena dianggap dibuat terlalu terburu-buru tanpa sosialisasi yang cukup.

“Menurut pendapat saya, yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan munculnya absurd power, yang mengarah kepada pembiayaan pembelanjaan negara yang lebih besar lagi , karena kapalnya terlalu besar. Lalu, meniadakan kemitraan antara organisasi profesi yang seharusnya bisa berjalan harmonis dengan pemerintah,” katanya.

Karena itu, Partai Gelora berharap RUU Kesehatan ini mampu menjamin akses kesehatan bagi masyarakat, seperti pelayanan kesehatan yang baik, obat murah dan berkualitas dan vaksin yang mudah dijangkau.

“Kemudian centre of excellence juga perlu diperbanyak agar tidak terpusat di Pulau Jawa. Harus ada di Papua, Sulawesi, Sumatera, NTT , NTB dan lain-lain. Saya lagi di NTB sekarang, ternyata itu kosong,” katanya.

Sehingga RUU Kesehatan yang baru mampu mendorong iklim pendidikan kesehatan yang baik, serta dapat menghasilkan dokter-dokter baru, disamping memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis.

“Hal-hal ini harus ada di RUU Kesehatan dan harus bisa dijalankan. Partai Gelora berharap pada RUU ini agar menjamin kelangsungan kita sebagai bangsa, tentu saja mewujudkan mimpi untuk menjadikan Indonesia superpower baru,” katanya.

Bukan Liberalisasi Kesehatan

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) RI 2004-2009 Dr. dr. Siti Fadilah Supari mengatakan, RUU Kesehatan yang baru dinilai bukan sebagai bentuk liberalisasi kesehatan, malahan bertujuan sebaliknya.

“Sama sekali tidak berbau liberal atau pasar bebas, justru akan mengembalikan peran pemerintah sesuai dengan Undang-undang Dasar. Masak kewenangan Menteri Kesehatan yang ditunjuk negara dikalahkan UU Praktek Kedokteran. IDI itu yang liberal, neolib,” kata Siti Fadilah Supari.

Siti Fadilah Supari mengaku paling lantang menolak upaya liberalisasi kesehatan saat menjadi Menkes di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diantaranya menolak keberadaan BPJS Kesehatan, karena tidak Pancasilias menyengsarakan rakyat dan mengusulkan program Jamkesmas.

“Tapi IDI malah waktu itu minta ke Pak SBY agar saya diganti. IDI protes kepada Pak SBY agar memecat saya. Sekarang kebalik-balik toh, justru UU Praktek Kedokteran sangat berperan di dalam Sistem Kesehatan Nasional itu yang justru liberal. Ini yang menjauhkan tangan pemerintah untuk mengatur rakyatnya sendiri,” katanya.

Menkes 2004-2009 ini mengaku mendukung RUU Kesehatan yang baru, karena akan mengembalikan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

“Makanya saya terus kasih masukkan, saya terus WhatsApp Ketua Panja-nya, Pak Melkiades Laka Lena, karena akan banyak membonceng, ada kekuatan yang tidak akan pernah bisa diredah,” katanya.

Siti Fadilah Supari mengungkapkan, perubahan pelayanan sistem kesehatan nasional terjadi akibat amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh mantan Ketua MPR Amien Rais, mengalami perubahan hingga empat kali, dan terakhir pada 2002.

“Akibatnya, negara tidak boleh mengurus rakyatnya sendiri, harus ada lembaga khusus yang minta bayaran, padahal rakyat bayar pajak. Ini kenapa BPJS terus dibelain, harusnya semua yang masuk rumah sakit tidak boleh ditolak, mau bayar atau tidak,” katanya.

Tim RUU Kesehatan Kemenkes RI dr. Roy Sihotang, MARS mengatakan, RUU Omnibus Law Kesehatan ini pemerintah ingin mengurangi liberalisasi dalam aspek kesehatan. “Dalam RUU ini negara ingin hadir dan mengambil perannya lagi,” kata Roy Sihotang.

Misalnya, dalam pelayanan kesehatan, unsur penetapan harga pelayanan harus ada kehadiran pemerintah, tidak bisa diserahkan ke dalam pasar bebas industri kesehatan, seperti ditentukan BPJS Kesehatan.

“Pemerintah ingin menjauhkan namanya liberalisme dan neoliberalisme. Semua kewenangan pemerintah harus full, sehingga bisa mengatur semua regulasi kesehatan,” Pemerintah itu harus pikirin kepentingan rakyat banyak bukan kepentingan umum saja,” katanya.

Ketua Biro Hukum Pembinaan Pembelaan Anggota, ID dr. Beni Satria, S.Ked, M.Kes mengatakan, RUU Kesehatan yang akan disegerakan disahkan DPR masih kurang sosialisasi dan dilakukan terburu-buru, serta kurang transparansi.

“Sekarang ini ada tiga draf yang beredar, tidak pernah di upload di situs DPR. Sehingga kita tidak tahu mana yang digunakan. Transparansi sebagaimana proses pembentukan UU, sampai detik ini tidak ada,” katanya.

Beni Satria menyayangkan banyaknya pro kontra pendapat mengenai organisasi profesi yang dianggap hanya menetapkan etika standar sangat tinggi bagi anggotanya. Padahal organisasi profesi juga melakukan pengawasan terhadap anggotanya.

“Sebenarnya kita hanya ingin membantu pemerintah di dalam, bagaimana melakukan pembinaan, pengawasan terkait organisasi profesi,” katanya.(Tim K6)




Lima Organisasi Profesi Kesehatan di Banten Tolak Penghapusan UU Profesi di RUU Kesehatan 

Kabar6.com

Kabar6-Organisasi Profesi kesehatan di Provinsi Banten yang tergabung di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Banten, PGDI Banten, IBI Banten, PPNI Banten dan IAI Banten, menyoroti penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas oleh DPR RI. Dimana salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi agenda pembahasan adalah RUU Kesehatan (Omnibus Law). Mereka pun menolak penghapusan UU profesi dalam RUU kesehatan atau Omnibus Law.

“Kami organisasi kesehatan yang telah diakui dan menjalankan fungsi serta peran berdasarkan amanah di beberapa Undang-Undang lex spesialis bidang kesehatan (a.l UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, UU No.4 tahun 2019 tentang
Kebidanan) serta organisasi yang mewakili lembaga konsumen kesehatan menyatakan sikap,” ujar Ketua IDI Wilayah Banten, Darrmawan M Sofian, dalam keterangan, Jumat (18/11/2022).

Sikap tersebut dinyatakan serentak bersama Ketua IBI Banten Yani Purwasih, Ketua PPNI Provinsi Banten Ahmad Darajat, Ketua PDGI Provinsi Banten melalui Wakilnya Sonny Herawati, Ketua IAI Provinsi Banten Ahmad Sofyan.

Mereka menyatakan sikap pertama, Kebijakan kesehatan harus mengedepankan jaminan hak kesehatan terhadap masyarakat.
Dalam menjamin praktik dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, harus dipastikan kompetensi dan kewenangannya agar keselamatan pasien dapat tetap dijaga.

“Keberadaan organisasi profesi beserta seluruh perangkatnya yang memiliki kewenangan dalam menetapkan kompetensi profesi kesehatan, seharusnya tetap dilibatkan oleh pemerintah dalam merekomendasikan praktik keprofesian di suatu wilayah,” katanya.

Kemudian kedua, Hal paling urgent yang saat ini harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki system kesehatan yang secara komprehensif berawal dari pendidikan hingga ke pelayanan. Sekian banyak tantangan seperti persoalan penyakit – penyakit yang belum tuntas diatasi (mis. TBC, gizi buruk, kematian ibu-anak/KIA, penyakit – penyakit triple burden yang memerlukan pembiayaan besar), pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN, dan pengelolaan data kesehatan di era kemajuan teknologi serta rentannya kejahatan siber.

“Haruslah dihadapi dengan melibatkan stakeholder dan masyarakat,” katanya.

Ketiga, mereka mengungkapkan pada 2016 WHO menerbitkan dokumen Global Strategy on Human Resources for Health Workforce 2030 sebagai acuan bagi pembuat kebijakan Negara-negara anggota dalam merumuskan kebijakan tenaga kesehatan. Pemangku kepentingan yang dimaksud dalam dokumen ini bukan hanya pemerintah, tetapi juga pemberi kerja, asosiasi profesi, institusi pendidikan, hingga masyarakat sipil.

Lanjutnya, hal tersebut sejalan dengan prinsip governance, dimana pemerintah melibatkan secara aktif pemangku kebijakan lain. Isu pemerataan dan kesejahteraan tenaga kesehatan haruslah menjadi prioritas saat ini.

Keempat, dari data yang diperoleh di situs resmi DPR RI dan sesuai dengan lampiran Surat Keputusan DPR RI No.8/DPR RI/II/2021-2022 bahwa RUU Kesehatan (Omnibus Law) tidak ada dalam daftar tersebut. RUU ini baru termuat dalam berita “Baleg DPR Bahas Daftar Usulan Prioritas Prolegnas Prioritas 2023” pada tanggal 29 Agustus 2022.

“Tertulis bahwa RUU ini dalam Prolegnas Perubahan Ketiga Tahun 2020 – 2024 tertulis RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional. Dalam penelusuran kami RUU Sistem Kesehatan Nasional diusulkan pada 17 Desember 2019, namun terkait draft Naskah Akademik maupun RUU nya belum pernah kami dapati,” tegas mereka.

**Baca juga: Penampilan Atlet PDBI Kota Tangerang Begitu Memukau

“Kelima, demi mengedepankan kepentingan masyarakat dan keselamatan pasien yang lebih luas, kami bersepakat dalam pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) tidak menghapuskan UU yang mengatur tentang Profesi kesehatan yang sudah ada dan mendorong penguatan UU Profesi Kesehatan lainnya dan mendesak agar Pemerintah maupun DPR lebih aktif melibatkan organisasi profesi kesehatan dan unsur masyarakat lainnya dalam memperbaiki sistem kesehatan untuk masa depan Indonesia yang lebih sehat atas dasar pertimbangan,” ujar mereka.

“Pengaturan Omnibus Law harus mengacu pada kepentingan masyarakat. Penataan di bidang kesehatan agar tidak mengubah yang sudah berjalan dengan baik. Mengaharapkan adanya partisipasi yang bermakna dalam penyusunan Omnibus Law di bidang Kesehatan,” tandasnya. (Oke)