1

Dibalik Kritik Megawati Terhadap KPK Ada Apa?

Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute

Kabar6-Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarnoputri, kembali mengejutkan dengan kritik tajamnya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apa niat kritikan Ibu Megawati kepada KPK?

Di sisi lain, ironisnya, kritik yang dilontarkan oleh Megawati ini seolah menutup mata terhadap laporan dan fakta yang mengaitkan partainya sendiri, PDIP, dengan berbagai kasus korupsi yang tak kunjung reda.

Pertanyaan pun muncul: apakah kritiknya terhadap KPK semata untuk menutupi ketidakmampuan PDIP dalam memerangi korupsi atau ada niat lain?

Korupsi dan Partai Politik

Megawati dengan semangat menyuarakan perlunya pembubaran KPK, menyatakan bahwa menurutnya KPK tidak efektif dalam memerangi praktik korupsi.

Namun, keberanian ini malah menyoroti ketidakmampuan PDIP dalam membersihkan diri dari berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggota partainya sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa PDIP tidak luput dari berbagai kontroversi terkait korupsi, dengan kasus-kasus seperti dugaan suap pembangunan proyek hingga kredit macet yang melibatkan tokoh-tokoh partai.

Kritik Terhadap KPK: Pentingnya Bersih-bersih Internal

Kritik tajam terhadap KPK seolah menjadi upaya Megawati untuk mengalihkan perhatian dari fakta bahwa partainya sendiri perlu melihat dalam-dalam pada dirinya sendiri.

Sudah saatnya Megawati dan PDIP mengambil langkah-langkah konkret untuk membersihkan partainya dari kanker korupsi yang semakin menggerogoti kepercayaan publik.

Ketika seharusnya menjadi contoh teladan dalam pemberantasan korupsi, PDIP justru semakin terlihat sebagai bagian dari masalah tersebut. Ini salah satu bentuk kegagalan partai dalam membina kader dan memilih kader yang seharusnya punya integritas anti korupsi.

Dalam situasi seperti ini, apakah kritiknya terhadap KPK merupakan bentuk kewajiban etis untuk memperbaiki sistem atau sekadar upaya untuk melindungi kepentingan partainya sendiri?

lembaga anti korupsi tersebut masih sangat dibutuhkan guna menjaga demokrasi hingga membersihkan praktek kejahatan luar biasa dalam pemerintahan dari Indonesia.

Apalagi baru-baru ini indeks korupsi menurun karena sejumlah kasus yang terkuak dan melibatkan banyak pihak bermunculan mulai dari soal minyak goreng hingga Tower BTS.

**Baca Juga: Kekeringan Dampak El Nino, Pemkab Lebak Minta Warga untuk Hemat Air

Kasus Kontroversial: PDIP dan Jejak Korupsi

Salah satu contoh kasus korupsi yang paling mencuat dan melibatkan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah kasus yang menyeret nama mantan Ketua Umum PDIP, Setya Novanto.

Kasus yang dikenal dengan sebutan “Kasus E-KTP” ini melibatkan dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (E-KTP) pada tahun 2011. Kasus E-KTP adalah salah satu contoh yang mencolok, mengingat melibatkan tokoh penting dalam PDIP.

Contoh kasus yang terbaru yaitu Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ismail Thomas (IT) anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tersangka, Selasa (15/8/2023).

Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan politikus PDI Perjuangan itu sebagai tersangka terkait kepemilikan dan izin palsu pertambangan batubara PT Sendawar Jaya di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim).

Memulai dari Diri Sendiri: Perbaikan Internal dalam PDIP

Sebelum berbicara tentang pembubaran KPK, langkah yang lebih konstruktif dan bermakna adalah melihat dalam-dalam dan mengoreksi terlebih dahulu persoalan internal yang berkaitan dengan anggota partai PDIP yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi.

Pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri sebelum menilai lembaga eksternal. Maka dari itu, membenahi integritas dan prinsip di dalam partai harus menjadi prioritas utama.

Menjatuhkan keputusan untuk membubarkannya haruslah berdasarkan evaluasi mendalam, melihat kinerja serta upaya-upaya yang telah dijalankan.

Pentingnya Pendekatan Konstruktif dan Kolaboratif

Selagi terdapat kesempatan untuk meningkatkan dan menguatkan KPK, mari fokus pada langkah-langkah konstruktif yang dapat membantu mewujudkan sistem hukum yang lebih adil dan transparan.

Dalam menghadapi isu pemberantasan korupsi, keterbukaan, transparansi, dan kolaborasi merupakan kunci untuk mencapai hasil yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia.”

Pentingnya peringatan dalam melawan korupsi harus diarahkan untuk semua partai politik, tidak terbatas pada PDIP.

Semua partai politik memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas internal, melakukan reformasi, memastikan transparansi dan pemantauan dana partai, membentuk pemimpin berintegritas, berkolaborasi dengan lembaga eksternal, mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk korupsi, serta menjaga keterbukaan dan akuntabilitas dalam operasional mereka.

Melalui komitmen bersama ini, seluruh partai politik dapat berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi dan lebih baik untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Kesimpulan: Menghadapi Tantangan Korupsi secara Komprehensif

Dalam menghadapi tantangan korupsi yang merajalela di Indonesia, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Pemberantasan korupsi adalah upaya kolektif yang melibatkan perbaikan lembaga penegak hukum, perubahan dalam budaya politik, serta partisipasi aktif masyarakat.

Partai politik, termasuk PDIP, harus berkomitmen untuk melakukan reformasi internal yang mencakup pembersihan diri dari elemen yang terlibat dalam kasus korupsi.

Menggagas pembubaran KPK mungkin terlalu prematur. Langkah lebih bijak adalah memperkuat KPK melalui reformasi yang meningkatkan transparansi, independensi, dan kemampuan investigasi.

Penguatan lembaga lain, seperti kejaksaan dan kepolisian, juga diperlukan dalam kerjasama lintas lembaga. Mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk korupsi dan pentingnya pemberantasan adalah langkah strategis.

Kampanye yang fokus pada integritas, tata kelola yang baik, dan tanggung jawab sosial akan membentuk masyarakat yang lebih kritis dan partisipatif.

Mengaktifkan peran serta masyarakat dalam pengawasan dan pemantauan terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan dan partai politik akan meningkatkan akuntabilitas.

Masyarakat yang lebih berpartisipasi akan membangun tekanan positif untuk perubahan.

Polemik seputar pembubaran KPK atau perbaikan internal dalam partai PDIP mencerminkan kerumitan dan kompleksitas upaya pemberantasan korupsi.(*/Red)




KPK Harus Tuntaskan Korupsi BASARNAS di Pengadilan Tipikor

Kabar6-Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengeluarkan siaran pers yang menyebutkan bahwa pada Selasa, 25 Juli 2023, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dugaan praktik korupsi tender salah satu proyek di Basarnas.

KPK kemudian menetapkan 5 orang sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut dimana dua diantaranya berlatar belakang militer aktif yaitu; Kepala Basarnas RI, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Namun demikian, KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka ke dua prajurit TNI tersebut dan menyerahkan proses hukum terhadap keduanya kepada Puspom TNI dengan alasan yurisdiksi hukum keduanya sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer.

Pihak Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (Korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut. KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya.

Sebagaimana diketahui, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

**Baca Juga: LBH-PRASASTI Kembali Gelar Penyuluhan Hukum di Rutan Jambe

Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap KaBasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini tentunya hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap. Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer.

Skandal korupsi yang terjadi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif ini menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait dengan militer. Kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal yaitu di TNI maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan keruguian keuangan negara.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menilai bahwa Korupsi di tubuh TNI juga diakibatkan oleh kegagalan MENHAN dalam menjalankan Fungsi Pengawasan terhadap TNI yang jelas berada dibawahnya berdasarkan UU TNI yang dikuatkan Putusan MK No.9/PUU-IX/2011, selain MENHAN kegagalan pengawasan TNI juga patutu dialamatkan kepada MENKOPOLHUKAM yang gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap unsur organisasi yang berada dibawah Lingkungan KEMENKOPOLHUKAM.

Atas dasar hal tersebut, di atas maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak:

1. KPK untuk mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya tersebut. Pengungkapan kasus ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yg melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI. KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini. KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas.

2. Pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum. Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya.

3. Pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut. Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.

Seperti diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini beranggotakan: Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP.

Adapun narahubung dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini antara lain Julius Ibrani (PBHI), Gufron Mabruri (Imparsial), M Isnur (YLBHI), Wahyudi Djafar (ELSAM), Andi M Rezaldy (KontraS), dan Al Araf (Centra Initiative).(Red)




Polemik PPDB 2023, KPK Bakal Kumpulkan Kadis Pendidikan se-Banten

Kabar6-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan atensi kepada para kepala dinas pendidikan kabupaten/kota se-provinsi Banten. Lembaga antirasuah soroti masalah selama proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2023.

“Pengumpulan dindik terkait potensi-potensi kerawanan pada saat PPDB,” kata Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar dikutip Rabu (19/7/2023).

Menurutnya, ada banyak kerawanan PPDB yang menuai polemik di tengah masyarakat. Mulai dari kualifikasi masuk sistem zonasi, prestasi dan lainnya dianggap hanya menguntungkan warga tertentu.

Zaki bilang, potensi kerawanan PPDB didominasi akibat seleksi masuk tingkat sekolah menengah atas sederajat.

“Karena di Kabupaten Tangerang saja yang tertampung untuk masuk SMA negeri hanya 12 ribu dari lulusan SMP,” terangnya.

**Baca Juga: Kejari Kabupaten Tangerang Terima Laporan Dugaan Pungli PPDB SMAN

Pantauan kabar6.com sepanjang proses PPDB 2023 di Kabupaten Tangerang ada banyak aksi protes dari kalangan orang tua/wali calon murid. Sistem zonasi jarak terdekat antara rumah dengan sekolah ataupun jalur prestasi dianggap hanya menjadi peraturan yang klise.

“Mana kebijakan pemerintah untuk masyarakat yang kurang mampu malah orang-orang kaya yang masuk karena punya segalanya,” ketus Syamdin Wera, warga Curug, Kabupaten Tangerang.

Ia menyesalkan bahwa anak dan kerabatnya tidak dapat lolos masuk ke SMA Negeri 32 Kabupaten Tangerang. Meski sebenarnya masuk dalam zonasi. Tetapi panitia PPDB terus berkelit dengan beribu macam alasan.

Sementara banyak juga di antara calon murid yang berasal dari luar zonasi faktanya bisa lolos masuk. “Banyak masyarakat yang kurang mampu tidak ada yang diterima. Itupun posisi mereka masih dalam zona,” ungkapnya.(yud)




Penyidik KPK Bawa Koper dari Rumah Adik Rafael Alun di Cirendeu Tangsel

Kabar6-Sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kediaman adik Rafael Alun Trisambodo. Lembaga antirasuah telah menetapkan Rafael sebagai tersangka atas kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang.

Kediaman di komplek Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55, Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) itu merupakan rumah Gangsar Sulaksono, adik Rafael Alun.

“Yang punya rumah belum pulang kerja,” kata Toni, warga sekitar begitu menyebut namanya kepada wartawan, Senin (6/6/2023).

Rombongan penyidik KPK, menurutnya, datang sekitar pukul 16.00 WIB tadi menggunakan dua mobil. Pengurus lingkungan tampak mendampingi selama proses penggeledahan berlangsung.

Pantauan di lapangan juga terlihat penyidik KPK keluar rumah sambil menenteng koper. Diduga kuat berisi dokumen penting dalam rangka penyidikan.

**Baca Juga: Partai Gelora Tawarkan Narasi Arah Baru Indonesia Atasi Perbedaan Fundamental antara Kelompok Islam dan Nasionalis

Sebelumnya penyidik KPK juga melakukan penggeledahan di rumah adik Rafael Alun yang lainnya. Lokasinya di nomor 8 masih dalam satu komplek.

Rumah itu diketahui milik Markus Seloadji, adik Rafael Alun. “Udah dari siang kalo rumah yang itu,” ujar Toni.

Rafael Alun Trisambodo adalah mantan pejabat eselon III yang terakhir menduduki posisi Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jakarta Selatan. Jumlah harta kekayaannya sangat fantastis tak sebanding dengan profil jabatannya.

Kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang yang membelit Rafael Alun mencuat setelah kasus penganiayaan dilakukan oleh putranya Mario Dandy Satrio terhadap Cristalino David Ozora.(yud)




Fahri Hamzah: Putusan MK soal Perpanjangan Masa Jabatan untuk Sinergikan KPK dalam Rumpun Eksekutif

Kabar6-Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah, partai yang mendapat nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini, ikut buka suara terkait polemik soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun.

Putusan MK ini, mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, terkait masa jabatan Pimpinan KPK.

Akibatnya, maka jabatan Pimpinan KPK Firli Bahuri dkk yang harusnya habis tahun 2023 ini akan diperpanjang selama 1 tahun hingga 2024 mendatang.

Menurut Fahri Hamzah, secara umum putusan MK tersebut sangat terkait dengan perubahan Undang-Undang (UU) KPK yang menegaskan bahwa KPK dalam pelaksanaan tugasnya berada di ranah eksekutif.

Hal itu diatur didalam ketentuan Pasal 3 pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”

“Jadi memang diperlukan agar koordinasi kerja kelembagaan dapat disesuaikan dengan tahapan tahapan yang ada pada cabang kekuasaan eksekutif negara yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang juga memiliki masa jabatan lima tahun,” kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Jumat (26/5/2023).

Setelah Presiden dilantik, kata Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini, Presiden akan mendapatkan tugas untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang diatur melalui operasionalnya melalui rancangan anggaran RAPBN.

“Sehingga lembaga dalam cabang kekuasaan eksekutif perlu menyesuailan diri agar sinergi dan orkestrasi penyelenggaraan negara termasuk pemberantasan korupsi di dalamnya berada dalam satu irama yang terencana,” ujar Fahri, yang menjadi calon legislatif Partai Gelora daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) I ini.

**Baca Juga: Aset Tanah Terpidana Perkara Jiwasraya dan ASABRI Dititipkan ke Camat

Seperti diketahui, MK mengabulkan gugatan terkait masa jabatan Pimpinan KPK. Kini, masa jabatan Pimpinan KPK untuk satu periode menjadi 5 tahun. Sidang pengucapan Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (25/5/2023).

“Yang semula berbunyi ‘Pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan’, bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan KPK memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan’,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusannya.

Dalam putusannya, MK menilai terdapat ketidakadilan mengenai masa jabatan 4 tahun Pimpinan KPK. MK merujuk ada sekitar 11 lembaga negara maupun komisi independen yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 tahun.

Yakni KPPU, Ombudsman, Komnas HAM, KY, LPS, LPSK, OJK, KASN, KPAI, KPU, serta Bawaslu.

Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance.

Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Syarif Hiariej mengatakan, Presiden Joko Widodo akan mengeluarkan Keputusan Presiden (keppres) baru terkait masa jabatan Firli Bahuri dkk.

Keppres itu akan mengganti keppres yang telah dikeluarkan saat pengangkatan Firli Bahuri dkk menjadi Pimpinan KPK pada 2019.

Presiden akan mengubah Keppres terkait masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir 20 Desember 2023 diperpanjang satu tahun ke depan menjadi 20 Desember 2024.(Tim K6)




KPK Besok ke Lebak, Bahas Pemberantasan Korupsi dengan Pemkab dan DPRD

Kabar6-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), besok, diagendakan menggelar rapat koordinasi (rakor) dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak

Selain dengan pemerintah daerah, lembaga antirasuah pun dijadwalkan rakor dengan DPRD Lebak. Rakor akan membahas mengenai program pemberantasan korupsi terintegrasi.

“Agendanya tanggal 25-26 Mei. Jadi besok dengan pemerintah daerah, kemudian lusanya dengan DPRD,” kata Asda I Bidang Pemerintahan Setda Lebak, Alkadri kepada Kabar6.com, Rabu (24/5/2023).

Rakor tersebut dilakukan KPK menindaklanjuti rakor pimimpinan kementerian/lembaga program pemberantasan korupsi pemerintah daerah dan peluncuran indikator MCP (Monitoring Center for Prevention) 2023 pada Maret 2023 lalu.

**Baca Juga: Pemkot Tangerang Peringkat Pertama Soal Pengadaan Barang dan Jasa dari LKPP

Rakor Tim Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK, bupati bersama jajaran OPD juga berkaitan dengan pembangunan Bendungan Karian dan rencana aksi dari progres MCP Kabupaten Lebak.

Di hari yang sama, Tim Korsup KPK, pemerintah daerah dan tim dari KLHK, BNPB, PUPR, pemprov, inspektur dan OPD juga membahas terkait pemantauan dan evaluasi progres pemindahan permukiman rumah yang terdampak bencana pada tahun 2020,” tutur Alkadri.

“Dari rapat tersebut, kami bersama KPK dan dari tim kementerian atau instansi terkait meninjau langsung lokasi untuk relokasi pembangunan rumah warga terdampak bencana di Lebakgedong,” ujar Alkadri.(Nda)




Manuver Moeldoko KSP dan Firli KPK Jegal Anies Baswedan Bahayakan Demokrasi

Kabar6

Kabar6-Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat  melihat dinamika demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini tampak semakin mundur dan mengkhawatirkan.

“Publik dapat lihat dari manuver-manuver politik saling menjegal dan saling menjatuhkan dengan segala cara. Publik melihat orkestrasi Gerakan menghalangi satu tokoh menjadi kandidat Calon Presiden sangat kasat mata dilakukan institusi negara seperti manuver Kepala KSP Moeldoko ajukan PK ke Mahkamah Agung dan Manuver Ketua KPK, Firli Bahuri seputar pemaksaaan pidana korupsi pada Formula E,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, Kamis (13/4/2023).

Kedua, sambungnya, manuver tersebut merupakan cara-cara yang jauh dari kata demokratis dan lebih tepat disebut upaya tidak bermoral yang dilakukan pejabat publik menghalangi kandidat tertentu untuk berkontestasi sebagai Calon Presiden.

“Lembaga negara kini sudah digunakan sebagai alat politik untuk menentukan satu individu apakah layak atau tidak layak berkontestasi dalam aktivitas politik nasional. Publik melihat manuver kepala KSP Moeldoko dan Ketua KPK Firli Bahuri bertujuan untuk menghalang-halangi Anies Baswedan menggunakan hak politiknya untuk dipilih sebagai Presiden 2024-2029,” paparnya.

Dikatakan Achmad, Aktivitas kedua lembaga negara yaitu KSP dan KPK dalam menjegal dan menghalangi individu lawan politik sebagai partisipan Pemilu 2024 sebenarnya sudah bertentangan konstitusi UUD 1945 dan ketentuan hukum Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.

Pasal 12 UU 5/2014 menyebutkan “Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Dan menurut Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil larangan ASN yaitu memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Kedua ketentuan tersebut baik UU 5/2014 maupun PP 53/2010 merupakan aturan main bahwa pejabat publik dan aparatur negara tidak seharusnya menggunakan kekuasaan untuk mendukung maupun menghalangi warga negara sah menjadi pemimpin nasional.

“Kepala KSP Moeldoko dan Ketua KPK Firli Bahuri sudah layak dibawa ke meja hijau karena sudah melanggar ketentuan hukum. Apalagi keduanya menggunakan instrumen negara untuk menjegal hak politik seseorang untuk dipilih,” ujar Achmad.

Lanjutnya, keduanya juga dapat dinilai anti demokrasi karena berusaha menghalangi hak politik seseorang. Bila Moeldoko dan Firli Bahuri adalah tokoh pro demokrasi seharusnya keduanya biarkan individu untuk dapat menggunakan hak dipilihnya dalam Pemilu 2024 nanti. Situasi seperti ini mengingatkan pada situasi politik orde baru dimana tidak boleh ada individu yang menyaingi Presiden Soeharto sebagai Calon Presiden.

**Baca Juga: JAM-Intelijen Tegaskan Negara Bebaskan Rakyat Beribadah

Lebih jauh Achmad mengatakan situasi politik kian menghangat setelah isu pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung oleh Moeldoko.

Tercatat, MA sudah menolak kasasi yang diajukan KSP Moeldoko terkait Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang menolak hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang. Sudah berkali-kali gugatan hukum KSP Moeldoko ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding.

Publik menilai bahwa upaya Moeldoko ini sebagai upaya untuk menjegal pencapresan Anies Baswedan karena bila Partai Demokrat di ambil alih Moeldoko dari AHY, maka Demokrat tidak akan memilih Anies Baswedan lagi. Moeldoko pun berdalih bahwa Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung tidak ada hubungannya dengan pencapresan Anies Baswedan.

Langkah Moeldoko, disadari atau tidak, akan mencoreng wajah pemerintah, kecuali bila Moeldoko malah diperintah oleh Presiden Jokowi untuk melakukan manuver tersebut. Bila Presiden Jokowi tidak memerintahkan melakukan manuver tersebut maka Reshuffle Moeldoko dari jabatannya sebagai KSP adalah langkah yang harus dilakukan Presiden.

Bila presiden tidak mau melakukan reshuffle terhadap Moeldoko maka ada kesan bahwa Presiden seperti memihak capres tertentu karena publik melihatnya sebagai benang merah upaya mempertahankan kekuasaan.

Manuver Firli Bahuri dalam Formula E dinilai sangat kental dengan motif politis. Di level teknis masih belum menemukan bukti kuat sementara di level pimpinan KPK memaksakan untuk dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan. Dan hingga saat ini tampaknya KPK sedang berusaha mencari poin kesalahan Anies Baswedan di Formula E.

Mantan Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Endar Priantoro mengakui adanya perbedaan pendapat dengan Ketua KPK Firli Bahuri dalam penanganan kasus dugaan korupsi Formula E. Dan perbedaan pendapat ini disebut-sebut menjadi alasan Firli memberhentikan Endar dari KPK. Ini adalah bentuk kesewenang-wenangan dan ambisi kuat untuk memperkarakan Anies Baswedan.

Menurut Achmad, jika manuver-manuver politik seperti ini terus terjadi maka demokrasi Indonesia menjadi terancam.

“Selama manuver-manuver kotor terjadi maka selama itu pula Indonesia tidak akan pernah lepas dari permasalahan-permasalahan terutama masalah ekonomi. Dan membuat negara ini selalu bertengger menjadi negara kelas ketiga yang miskin. Jika begitu, mau dibawa negeri ini tuan?” pungkas Achmad. (Red)




Setelah Rafael Alun Pejabat Pajak Ditahan KPK Kini Bupati Meranti Terkena OTT KPK

Kabar6-Achmad Nur Hidayat Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute mengomentari Bupati Meranti Muhammad Adil  yang terkena OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Setelah Rafael Alun pejabat pajak ditahan KPK, kini Bupati Meranti Muhammad Adil terkena OTT KPK. Ada apa dengan para pejabat kita?” kata Achmad Nur Hidayat melalui rilisnya, Jumat (7/4/2023).

Adil ditangkap beserta sejumlah pejabat Kabupaten Meranti dan juga pihak swasta yang diduga sebagai pemberi suap kepada sang Bupati dan jajarannya, Kamis (6/4/2023).

Adil sendiri namanya sempat mencuat karena berseteru dengan Kementerian Keuangan dimana dia mengatakan bahwa kekayaan daerahnya yaitu Kabupaten Meranti dihisap oleh pemerintah pusat sementara bagi hasilnya sangat sedikit. Bahkan Adil terang-terangan menyebut isi orang Kementerian Keuangan adalah iblis.

Saat itu tak sedikit pihak yang mendukung pernyataan Adil tersebut. Adil dianggap sebagai seorang kepala daerah yang memperjuangkan nasib masyarakat nya.

Namun, kata Achmad, dengan kejadian tangkap tangan KPK terhadap Bupati Meranti dan para pejabat di daerah Meranti tersebut tentu saja membuat citra Adil sebagai Bupati yang berpihak kepada masyarakat kecil sirna sudah.

Di sisi yang lain Rafael Alun seorang pejabat pajak juga ditahan oleh KPK. Menariknya penahanan Rafael sendiri pada mulanya bukanlah karena pengungkapan dari Inspektorat Pajak ataupun OTT KPK tapi Rafael justru tersangkut karena anaknya memukuli seorang anak remaja sampai koma dan setelah itu terbongkar siapa orang tua anak tersebut yang notabene adalah seorang anak pejabat pajak yang hartanya tak wajar.

**Baca Juga: Demi Kepentingan Nasional, Partai Gelora Usulkan Koalisi Besar Diberi Nama Koalisi Bersatu

Dikatakan oleh Achmad,  dalam kasus Muhammad Adil dan Rafael Alun keduanya adalah sama-sama pejabat negara. Adil sendiri telah secara terang-terangan menuding orang-orang Kemenkeu tempat dimana Rafael menjabat sebagai kumpulan iblis karena tidak jelas pengelolaan keuangannya terutama distribusi ke daerah Adil yang menurut nya memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah namun yang kembali ke daerah nya sangat sedikit.

“Dalam hal ini apa yang dilakukan Adil sudah benar karena mengkritisi Kemenkeu namun ternyata Adil sendiri telah mengkhianati rakyatnya karena tertangkap melakukan korupsi dan memperkaya dirinya sendiri,” ujar Achmad.

Lanjutnya, sementara di sisi lain Rafael Alun adalah bentuk nyata Kebenaran kritik Adil dimana ada masalah di Kementerian Keuabgan. Rafael terbukti telah melakukan korupsi dan memperkaya dirinya sendiri dalam posisinya sebagai pejabat negara. Dan kuat dugaan Rafael tidak bekerja sendiri sehingga KPK harus membongkar hal hal yang janggal di Kementerian Keuangan.

“Dari Penangkapan Muhammad Adil dan Rafael Alun kita bisa melihat fakta bahwa banyak orang orang yang saat ini diberi wewenang dan kekuasaan untuk menjabat justru memanfaatkan posisi itu untuk memperkaya dirinya sendiri tanpa peduli masyarakatnya sedang sulit,” ungkapnya.

PR KPK dan penegak hukum lainnya, kata Achmad, masih cukup berat untuk membersihkan Indonesia dari korupsi ketika para pejabat yang mesti nya memberikan keteladanan justru mengkhianati kepercayaan publik dengan melakukan korupsi kolusi dan nepotisme. (Red)




Posisi Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Telah Dipersiapkan Kejagung

Kabar6-Kejaksaan Agung sudah siapkan anggotanya untuk menduduki Jabatan Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini diduduki oleh unsur Kepolisian RI.

Demikian disampaikan Kapuspenkum Kejagung,  Ketut Sumedana, dalam keterangannya, Senin (03/04/2023).

“Kejaksaan akan mempersiapkan jaksa-jaksa terbaik yang sudah memiliki pengalaman yang bagus baik di Kejaksaan maupun di KPK, sehingga ke depannya ada keseimbangan komposisi jabatan yang dapat mendukung fungsi penindakan di KPK,” kata Sumedana. 

**Baca Juga: Pencalonan Andika Hazrumy di Pilkada Kabupaten Serang 2024 Permintaan Masyarakat dan Ulama

Dikatakannya,  Kejaksaan menginginkan KPK juga dapat menjadi pendorong bagi penegak hukum yang lain dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar sebagaimana harapan dari masyarakat dan Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK. (Red)




Darurat Keuangan Negara: Rafael Alun Terindikasi Kuat Sebagai Sindikat Mafia Pajak

Kabar6-Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru saja merilis laporan bahwa selama 4 tahun mutasi rekening Rafael Alun Trisambodo menembus angka 500 Milyar. Benar- benar suatu angka temuan yang fantastis dari seorang pejabat pajak.

Lucunya segala hal ini terbongkar bukan karena temuan dari inspektorat DJP atau pun Kemenkeu dan KPK, tapi justru berawal dari tindakan penganiayaan anak Rafael Mari Dandy.

“Ini menunjukkan betapa lemah dan bermasalah nya pengawasan di DJP selama ini,” ungkap Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, kepada Kabar6.com, Rabu (08/03/2023).

Rafael sendiri, kata dia, dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) memiliki harta berjumlah Rp55 milyar atau hanya terpaut Rp2 milyar dari Menteri Keuangan Sri Mulyani .

Namun temuan terbaru dari PPATK yang mengatakan selama 4 tahun transaksi keuangan Rafael yang menembus angka Rp500 Milyar ini benar- benar hal yang mesti di bongkar sampai ke akar- akarnya.

“Kuat dugaan Rafael Alun ini merupakan pelaku sindikat perpajakan. Yang dengan jabatan yang di milikinya telah merugikan keuangan negara dan secara tidak langsung telah menyengsarakan rakyat Indonesia,” kata pria yang karib disapa Mad Nur ini.

Mas Nur menegaskan, KPK perlu harus serius menindaklanjuti temuan dari PPATK, karena ini akan membongkar apa yang sebenarnya terjadi di DJP dan Kemenkeu.

Tentunya dalam menjalankan aksinya tersebut Rafael Alun tidak bekerja sendiri tetapi pasti melibatkan berbagai pihak lain baik dari internal DJP maupun pihak eksternal. Info terbaru juga konsultan Rafael telah kabur ke Luar Negeri dan menjadi buron.

“Sindikat perpajakan ini tentu harus dibongkar sampai ke dasar- dasarnya. Temuan ini juga menunjukkan Reformasi pajak dan reformasi keuangan negara yang di gaung gaungkan Sri Mulyani hanyalah isapan jempol belaka,” tandasnya.

**Baca Juga: Hilang Kendali Truk Kontainer Terbalik di Balaraja

Para pejabat pajak se-Indonesia, lanjutnya, harus segera diperiksa harta dan LHKPN mereka. Jika ada yang terindikasi melakukan tindak kejahatan pajak maka mereka harus ditindak tegas.

Harta mereka mesti disita oleh negara dan dimiskinkan karena tindak kejahatan pajak yang mereka lakukan itu telah menyengsarakan masyarakat.

Inspektorat pajak pun mesti juga ikut diperiksa. Kerja dan kinerja mereka patut dipertanyakan mengapa bisa terjadi kasus seperti Rafael bisa terjadi.

“Dan ini adalah keadaan yang darurat bagi keuangan negara jika hal ini tidak segera dituntaskan maka kepercayaan masyakarat untuk membayar pajak akan semakin hilang dan jika itu terjadi maka Indonesia akan berada dalam kondisi Darurat karena keuangan negara akan semakin defisit,” pungkasnya. (Tim K6)