1

Komisi I DPR RI Pesan Revisi UU ITE Jangan Multitafsir

Kabar6.com

Kabar6-Pengamat Hukum Pidana Abdul Fickar Hajar mengatakan, Undang-undang hak demokrasi dari masyarakat merupakan keniscayaan di dalam pemanfaatan ruang digital.

Fickar pun sependapat dengan usulan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tentang revisi UU ITE, yaitu memberi kelonggaran.

Demikian disampaikan Abdul Fickar dalam Forum Legislasi dengan tema Membaca Arah Revisi UU ITE, Akankah Ruang Multitafsir Dipersempit? yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Media Center Gedung DPR RI Senayan Jakarta Selatan, Selasa siang (22/11/2022).

Diakui Fickar ternyata ada satu pasal yang sangat longgar agar UU ITE tidak mudah menjerat seseorang karena misalnya dianggap melakukan pencemaran nama baik. Ia juga berpesan agar anggota DPR RI tidak alergi dikritik sepanjang kritik itu bukan penghinaan. Karena anggota dewan yang alergi kritik bisa menjauh dari calon pemilih.

“Ibu-ibu yang banyak terjadi korbannya karena gampang menggunakan pasal itu karena soal pencemaran nama baik dan sebagainya. Bahkan komunikasi melalui WA dan sebagainya. Komunikasi baru itu juga banyak menimbulkan kemudian terjadinya tindak pidana,” ujar Fickar.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Gerindra Yan Permenas Mandenas menilai revisi UU ITE (Informasi dan transaksi elektronik) yang akan segera disahkan DPR RI jangan sampai memgandung arti yang multitafsir. Sebab, asas penegakan hukum itu harus dengan kepastian, bukan ketidakpastian.

Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai belum konsisten secara sungguh-sungguh menerapkan asas kepastian hukum.

“Saya berharap revisi kedua ini bukan saja soal efektivitas dari proses tindakan hukum, yang akan diberikan bagi setiap pelanggar undang-undang ITE tapi yang paling penting adalah konsistensi. Yaitu konsistensi kita dan azas kepastian. Bicara hukum ini kan harus soal asas kepastian,” ucap Yan.

Asas kepastian hukum merupakan landasan hukum yang mutlak diperlukan dalam penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

“Jadi azas kepastian hukum dalam memberikan jaminan kepada setiap warga negara, yang merasa dirugikan dari sisi penggunaan ITE, sehingga nanti rujukan undang-undang ini benar-benar relevan dan memiliki komitmen,” imbuhnya.

Menurut Anggota DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Papua ini, asas kepastian hukum sangat penting ketika RUU ITE yang menjadi RUU revisi kedua UU ITE ini diterapkan setelah diundangkan. Ia mengaku dari beberapa proses hukum kasus pelanggaran ITE dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.

Karena konsistensi dari proses hukum itu tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga pihak-pihak yang merasa dirugikan berpikir ulang menuntut pelanggaran kasus ITE. “Lebih baik mungkin saya menggunakan cara lain, entah kompromi atau lain-lain,” ujarnya.

Karena proses hukumnya tidak menerapkan asas kepastian hukum terhadap pelanggar ITE akhirnya kasus-kasus pelanggaran ITE selalu terjadi berulang.

“Jadi nanti ada tindakan-tindakan pidana yang benar-benar bisa memberikan efek jera bukan kompromi. Kalau selama ini memang ada tindakan hukum, tapi banyak yang kompromi,” tegasnya.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan, tujuan dari revisi UU ITE adalah memperbaiki peraturan yang sudah ada. UU dibuat agar memiliki rambu-rambu.

“Makanya kita lihat ini ingin menyeimbangkan antara hak dan kewajibannya. Jadi memang di era digital itu diberikan kebebasan besar sekali, hampir enggak ada batasnya. Tapi kalau tidak ada batasnya itu nanti bisa nyemplung, karena nggak ada pembatasnya,” ujar Samuel.

Di ruang digital, menurut Samuel, rambu-rambu juga diperlukan selain memberikan rambu-rambu kebebasan. Hal lain yang juga penting adalah UU ini harus memberikan mengedukasi kepada masyarakat agar jangan terlalu terbawa egonya atau terbawa perasaan (baper).

**Baca juga: Biadab, Bapak dan Anak di Serang Theesome dengan Gadis di Bawah Umur

Makanya di sini dibatasi, ada kerugian materil, ditambahkan pasal 36 itu baca itu harus ada kerugian materil. Jadi kebebasan ini harus dibawa sebagai ruang untuk saling menghargai. Dalam banyak kasus, terjadi kebablasan dalam pengguna siber sehingga ekspresi yang diberikan dituduh sebagai tindak pidana seperti pencemaran nama baik yang implikasinya pada pidana hukum.

“Menuduh yang bisa berimplikasi hukum. Nah ini bahaya. Nanti akan ada serangan balik karena dia bisa diajukan di depan hukum, karena akan merugikan. Jadi perubahannya (revisi UU ITE) itu agar lebih tegas dan jelas. Sehingga lebih mudah membaca rambu-rambunya,” terang Samuel. (Her)




Komisi I DPR RI Bilang Kemenkominfo Paling Bertanggungjawab Atas Keluhan Masyarakat Terkait Migrasi TV Analog ke TV Digital

Kabar6-Komsisi I DPR RI akan memanggil Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk rapat kerja membahas migrasi siaran televisi (TV) analog ke TV Digital yang dinilai menyusahkan rakyat. Utamanya dalam pembagian alat Set Top Boks (STB) gratis bagi rakyat tidak mampu.

Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan mengatakan, kebijakan migrasi siaran televisi analog ke digital di wilayah Jabodetabek masih ruwet. Pasalnya, pemerintah dan pihak siaran televisi swasta belum memenuhi komitmen yang telah disepakati.

“Kebijakan pemerintah itu tidak didukung siaran televisi swasta sehingga pemerintah melakukan pelanggaran hak publik untuk mendapatkan informasi,” kata Nico saat jadi narasumber diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema Hak Masyarakat dan Kebijakan Digitalisasi TV yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Media Center kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022).

Jadi, lanjut Nico, yang paling bertanggungjawab atas keluhan masyarakat itu adalah pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo. Hal inilah yang menyebabkan ada hak masyarakat yang dilanggar dalam kebijakan tersebut, yaitu hak untuk mendapatkan informasi sehingga banyak masyarakat yang mengeluh dan menjadi ramai di berbagai sosial media.

“Kita akan menggelar rapat kerja dengan Menkominfo untuk membicarakan komitmen pemerintah. Enggak mungkin bisa dilaksanakan secara nasional jika masyarakat tidak disediakan set top box, alat yang digunakan untuk pesawat televisi analog untuk mendapatkan siaran digital,” ungkap

Nico, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP.
Kemenkominfo terkesan memaksakan kebijakan tersebut. Sementara pihak televisi swasta masih bertahan. Bahkan, kedua pihak terlihat buntu dalam komunikasi dan koordinasi dalam kebijakan ini. “Menurut saya, segera revisi UU Penyiaran. Karena kebijakan ASO tidak ada sanksinya. Kita ingin atur dan selesaikan hal ini secepat mungkin,” tandas Nico.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, pemerintah tidak komitmen membagikan STB yang dijanjikan akan dibagi dalam 6 juta STB. “Langkah konkrit kami menagih komitmen lembaga penyiaran swasta akan membagi STB secara gratis,” ujar Nurul Arifin yang juga jadi pembicara diskusi.

Realisasinya tidak sesuai komitmen, sambung Nurul, karena swasta butuh tenaga dan biaya untuk memenuhi komitmennya. “Pemerintah anda jangan jualan dulu, bereskan dulu gratisnya. Harusnya komitmennya dibagi gratis dulu baru sisanya di jual. Yang ada sekarang STB beredar di pasar bahkan lewat online dan harganya sudah naik,” sindirnya.

Menurut Nurul, semua fraksi di DPR mendukung migrasi tersebut. Namun dalam UU-nya tidak ada sanksi, seperti ada pelanggaran hak publik. “Yang penting bagi saya komitmen STB 6 Juta yang dijanjikan sampai dulu ke rakyat. Saya menagih komitmen itu. Jangan dijual dulu.

**Baca juga: Putin- Zelensky Dipastikan Absen, Hikmahanto : Indonesia Sukses Gelar KTT G20

Masak nggak bisa sampai akhir tahun ini dibagi ke rakyat. Ini masa sulit. Jangan sampai mempersulit rakyat,” ulangnya.

Pengamat Kebijakan Publik Syaifuddin menilai keluhan masyarakat di Jabodetabek akibat kurangnya sosialisasi. Menurut dia, dalam presfektif komunikasi kebijakan ASO meninggalkan banyak masalah. Kebijalan yang dimunculkan merupakan kebijakan publik.

“Roh kebijakan publik itu merupakan aktivitas komunikasi politik. Ini persoalan komunikasi yang tidak efektif. Niatnya bagus tapi caranya tidak benar. saya melihat ini bagian dari benang kusut. Harusnya bagaimana suatu kebijakan itu disosialisasikan. Siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal ini, ya Menkominfo,” kata Syaifudin. (ers)