1

Bawaslu Ungkap Dua Dapil di Kota Tangerang Tingkat Kerawanan Pemilu

Kabar6.com

Kabar6-Provinsi Banten masuk 10 besar wilayah tingkat kerawanan pemilu pada 2024 mendatang. Hal itu terungkap berdasarkan hasil analisis tematis isu strategis politik uang dalam Indek Kerawanan Pemilu (IKP) pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024.

Oleh karena itu, Bawaslu Kota Tangerang menyebutkan untuk Kota Tangerang sendiri terdapat 2 daerah pemilihan (Dapil) yang masuk tingkat kerawanan pemilu.

“Kerawanan pemilu di Kota Tangerang sangat tinggi. Terutama di Dapil 3 (Cipondoh dan Pinang) dan Dapil 4 (Ciledug, Karang Tengah dan Larangan),” ujar Ketua Bawaslu Kota Tangerang, Komarullah, saat ditemui kabar6 di Kantornya, Selasa (26/9/2023).

Ia mengatakan, wilayah terjadi kerawanan tersebut merupakan hasil pantauan dari jajaran Panwascam di masing-masing kecamatan. Sementara kerawanan rendah terjadi di Dapil 2 yakni Batuceper, Benda dan Neglasari.

“Kita input, Kita sandingkan ke Kota, kita rekap semuanya ternyata ada dua Dapil itu yang rawan pemilu,” katanya.

Menurutnya, terdapat dua faktor tingginya kerawanan pemilu tersebut. Pertama, kata Komarullah, penyebabnya yaitu money politik atau politik uang. Kemudian kedua yakni unsur SARA.

**Baca Juga: Ratusan BUMDes di Lebak Tak Aktif, Apdesi Minta Pemda Turun Tangan

“Karena IKP itu terjadi pengalaman pada pemilu 2019 kemarin. Hasil pantauan kita pertama money politik dan kedua SARA,” ungkapnya.

“IKP itu dari pengamatan kawan-kawan Panwascam melihat struktur yang ada di kecamatan masing-masing melaporkan ke kota, dari kota ke provinsi,” sambungnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Kota Tangerang, Sutikno Slamet mengajak semua lapisan masyarakat untuk menjaga kondusiftas dalam gelaran pemilu.

Anggota DPRD dari Dapil 4 itu juga mengajak masyarakat agar tidak golput dalam memilih.

“Mari kita menjaga kondusifitas,” ujar politisi dari Partai Demokrat itu. (Oke)




Fahri Hamzah Dorong Desain Ulang Sistem Pemilu Gunakan Sistem Distrik dengan 2 Dapil

Kabar6-Wakil Ketua DPR Periode 2019-2014 Fahri Hamzah mendorong adanya desain ulang sistem pemilu, aturan dan perangkat pendukungnya. Sebab, demokrasi sekarang memfaslitasi adanya pertengkaran, sehingga tidak ideal lagi untuk digunakan.

“Orang Amerika dan Eropa saja sudah kewalahan banget soal demokrasi liberal ini, karena terlalu menfasilitasi pertengkaran, semakin nggak efektif,” kata Fahri dalam keterangannya, Sabtu (26/8/2023).

Hal itu disampaikan Fahri Hamzah saat menjadi nasumber dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk ‘DPR Mengawal Demokrasi Menuju Indonesia Maju’ di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/8/2023).

Pertengkaran-pertengkaran yang tidak ideal itu, kata Fahri, telah menyebabkan terjadinya politik identitas. Ditambah lagi dengan adanya sosial media, yang menyebabkan pertengkaran itu semakin memanas.

“Akhirnya orang berpikir, kalau demokrasi tidak bisa dipakai lagi untuk mengkonsolidasi kesejahteraan. Justru di negara-negara seperti Rusia, Turki dan China, kesejahteraannya bisa terkonsolidasi dengan baik, ada pertumbuhan. Ini mereka sebutnya demokrasi, tapi kita menentangnya karena sirkulasi pemimpin, terutama di eksekutifnya itu yang tidak lancar,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini menilai Indonesia perlu memikirkan desain pemerintahan yang lebih stabil, dan tidak perlu lagi mengeksplor konflik di tingkat bawah seperti yang terjadi sekarang.

“Terlalu banyak alasan kita bertengkar dalam politik ini, padahal sama sekali tidak rasional. Ini yang saya gambarkan sebagai anak kecil yang bertengkar terus, perlu orang tua yang punya wibawa untuk menyatukan kembali, karena pertengkarannya banyak yang tidak substantif” katanya.

Agar tidak ada lagi pertengkaran dan pemilu jauh lebih murah menurut Fahri, masa depan Indonesia sebenarnya ada di Sistem Distrik, dan jika pemilihan presiden dikembalikan di MPR RI pakai Sistem Electoral Colloge seperti di Amerika.

“Di Amerika itu bukan pemilihan presiden langsung, negara demokrasi juga, dia pakai electoral colloge. Harusnya ada dua dapil, kabupaten/kota dan provinsi,” katanya.

Daerah pemilihan (dapil) kabupaten/kota untuk pemilihan anggota DPR RI, termasuk pemilihan presiden, sehingga tidak akan memunculkan konflik di tingkat nasional.

“Ini juga yang mendasari kenapa saya setuju Ibu Kota dipindah ke IKN, karena Ibu Kota sekarang terlalu dekat dengan konflik. Saya gara-gara demo Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) didemo pakai parang di Manado. Sebenarnya nggak ada urusan, tapi karena kita terlalu meng-entertaint konflik, sehingga Ibu Kota itu diganggu konflik seperti ini. Karena itu, IKN sudah betul tidak dipimpin dari hasil Pilkada agar tidak dekat dengan konflik kekuasaan,” paparnya.

**Baca Juga: Jaring Aspirasi Warga, Gelora Kabupaten Tangerang Buka Hotline 24 Jam

Menurut Fahri, sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah Sistem Distrik, dimana untuk DPR di kabupaten/kota, sedangkan provinsi untuk pemilihan DPD RI.

Dalam Sistem Distrik ini, provinsi menjadi dapil DPD, sehingga sekaligus untuk memperkuat kelembagaan DPD di tengah desakan untuk membubarkan.

“Jadi mendesain ulang sistem pemilu, inilah yang menjaga demokrasi ke depan. Sebab, tidak bisa hanya memperbaiki DPR, demokrasi jadi baik,” katanya.

Selain itu, sistem kepartaian saat ini agak keliru dalam demokrasi. Sebab, kekuatan itu ada di pejabat publik, apalagi di dalam presidensial tidak boleh ada institusi yang mengendalikan negara dari belakang layar.

“Diatur-atur dari belakang adalah bentuk terpedo dan kudeta terhadap presiden dalam negara demokrasi. Pejabat publik itu harus transparan, kalau terlalu banyak dapurnya yang tidak kelihatan, itu akan mengganggu pertanggungjawaban. Itu yang tidak boleh kita biarkan ke depan, makanya kita kembalikan sistemnya bahwa yang berdaulat itu, adalah orang yang dipilih oleh rakyat termasuk di DPR,” tegasnya.

Karena dipilih oleh rakyat, maka anggota DPR tidak boleh memiliki loyalitas ganda, selain kepada konstituennya. Ia menegaskan, wakil rakyat adalah wakil rakyat, bukan wakil partai, sehingga partai politik tidak bisa semena-semena melakukan pemberhentian terhadap anggota DPR.

“Jadi menurut saya, ke depan itu, yang bisa menjamin adalah adanya satu sistem yang lebih stabil dan dinamis. Jangan sampai kita terkunci, kita terjebak seperti Orde Baru. Reformasi parlemen juga perlu dimatangkan lagi, dulu sudah pernah kita serahkan ke Tim DPR dan MPR. Sehingga masing-masing demokrasi harus ditata dan dikelola dengan satu sistem,” pungkasnya.(Tim K6)