oleh

Lemahnya Pemahaman Aparat Hukum Soal Lingkungan

image_pdfimage_print

Kabar6 – Pemahaman para penegak hukum pada kasus lingkungan masih lemah. Hal ini bisa dibuktikan banyaknya kasus penegakan hukum lingkungan yang terkesan lambat dan tidak maksimal atau bahakn dibiarkan terlantar.

Demikian hal ini dikatakan Ahli Lingkungan Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo kepada Kabar6, Jakarta, Senin (24/4/2017).

Bukti yang menunjukkan pernyataan tersebut salah satunya yang terjadi di Kepulauan Riau. Bambang mengatakan Polda Riau telah memberhentikan penyidikan kasus 15 perusahaan pembakar hutan beberapa bulan lalu.

“Kasus kebakaran hutan dan lahan (Kahutla) disana bukan pertama kali diselidiki Polda dan Polres di Riau. Kalau tidak menemukan barang bukti atau kesalahan tentu sangat tidak mungkin,” katanya.

Berdasarkan temuan, ia menegaskan ada 15 korporasi yang diduga menjadi penyebab Kahutla itu, dua diantaranya telah dijadikan tersangka.

“Sayangnya polisi bahkan memberhentikan kasus penyidikan dengan alasan kurangnya bukti dan lahan yang terbakar masih dalam status sengketa,” katanya.

Penanganan hukum lingkungan diakuinya tidak hanya terjadi dalam Kahutla saja. Penanganan limbah juga merupakan urusan lingkungan hidup. Menurut dia apabila ada masalah terkait dengan perusahaan yang melanggar urusan lingkungan, sebaiknya penyidik dari kepolisian melakukan kajian dan analisa.

“Hal ini meliputi penjelasan luas lahan yang digunakan apakah bermasalah atau tidak, ada sengketa dengan warga, bagaimana proses penanganan limbah beracun terjadi dari hulu hingga hilir, unsur kesengajaan, hingga kerugian yang ditimbulkan atas pencemaran limbah tersebut,” katanya.

Sebelumnya diberitakan adanya dugaan pelanggaran aturan lingkungan hidup yang dilakukan PT Ching Luh Indonesia yang memproduksi sepatu Adidas hingga kini belum menemukan jalan keluar.

Menurut Manager Kampanye Perkotaan, Advokasi dan Energi dari organisasi independen, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Sawung, hal ini bisa diduga adanya pemberian upeti kepada instansi pemerintah. 

“Biasanya para investor industri limbah itu banyak yang berasal dari luar negeri seperti Korea dan Taiwan. Mereka lebih nyaman berkoordinasi dengan instansi dinas lingkungan dan kepolisian ketimbang membenahi masalah pelanggaran limbahnya. Alasannya mereka tidak perlu repot untuk mendapatkan ijin atau rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perhubungan,” kata Dwi Sawung kepada Kabar6, Selasa (11/4/2017).

Dwi Sawung mengungkapkan beberapa pola yang dilakukan pemain limbah di beberapa kota Industri termasuk diantaranya di Kabupaten Tangerang.

“Pola dari permainan limbah termasuk limbah yang beracun, selain memberikan upeti kepada instansi, mereka juga mencampur hasil limbah yang beracun dengan limbah yang tidak beracun. Jika keduanya dicampur hasilnya sudah tentu dimasukkan ke pengelolaan limbah yang tidak beracun,” imbuhnya.

Ia menjelaskan ada dua cara untuk merekatkan sepatu, pertama dengan sistem Water Base dan kedua Solvent Base. Menurut dia, Solvent Base salah satu limbah cair yang beracun yang memiliki daya rekat kuat.

Water Base itu pelarut yang menggunakan air, sementara Solvent Base pelarut yang seperti thinner karena berminyak. Solvent Base itu lebih memiliki waktu rekat yang lebih lama dari Water Base,” katanya.

Proses pengecekan ada tidaknya limbah cair B3 itu disebutkannya sangat gampang. Ia mengatakan tidak perlu ke laboratorium cukup ditanyakan berapa banyak limbah yang dihasilkan dan sesuaikan dengan ijin penyimpanan sementara yang dikeluarkan dinas lingkungan hidup setempat.

“Staf lingkungan hidup yang detil dan paham dengan limbah cair B3, akan menanyakan berapa banyak limbah yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik sepatu itu. Jika kurang dan tidak sesuai dengan ijin penyimpanan sementara yang dikeluarkan, maka bisa dipastikan ada pelanggaran. Selanjutnya ditanyakan saja apakah produsen itu memiliki surat manifest dengan pihak ketiga yang khusus menangani semua jenis limbah B3, ” katanya.

Ia menegaskan laporan limbah apalagi yang beracun itu wajib diberikan setiap tiga dan enam bulan kepada dinas lingkungan. Selanjutnya dinas lingkungan harus melakukan pengecekan dari laporan tersebut.

“Laporan limbah itu wajib diberikan setiap tiga dan enam bulan kepada dinas lingkungan setempat. Laporan itu berisi limbah-limbah apa saja yang dihasilkan, termasuk laporan limbah beracun. Dinas lingkungan harus melakukan pengecekan dari laporan tersebut. Jika tidak tepat, maka dinas itu harus segera melaporkan temuannya kepada aparat hukum (polisi-red) agar bisa segera ditindaklanjuti. Nah di situ biasanya baru ditentukan besar kecilnya nilai upeti yang diberikan,” kata Dwi Sawung.(K6)

Print Friendly, PDF & Email