oleh

Sertifikasi Halal dan Kebijakan Publik: Antara Law Enforcement dan Kearifan

image_pdfimage_print

Kabar6 – Kebijakan sertifikasi halal di Indonesia belakangan ini menuai kontroversi setelah Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Haikal Hassan, menyatakan bahwa seluruh produk yang diperjualbelikan di Indonesia wajib bersertifikat halal.

Pernyataan ini disampaikan tak lama setelah ia dilantik dan ditekankan dengan nada yang terkesan represif, mengancam sanksi bagi pelaku usaha yang belum memiliki sertifikasi halal.

Haikal menyebutkan bahwa kategori produk yang diwajibkan mencakup makanan, minuman, obat, kosmetik, fashion, hingga produk sembelihan, yang berlaku mulai 18 Oktober 2024 sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan PP No 42 Tahun 2024.

Menanggapi pernyataan Haikal, Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, memberikan kritik tajam melalui akun Twitter-nya. Mahfud menyatakan bahwa kebijakan yang menuntut semua barang harus bersertifikat halal, termasuk barang non-konsumsi seperti laptop dan buku, terkesan mempersulit masyarakat dalam menjalankan agama. Menurutnya, tidak semua barang yang tidak bersertifikat halal lantas haram atau dilarang, dan kebijakan ini bisa mengesankan praktik beragama yang terkesan kaku dan terlalu dipaksakan.

**Baca Juga: Usai Divonis Bebas, Bupati Serang Kukuhkan Kembali Sarudin Jabat Kepala BPKAD

Saya mendukung apa yang disampaikan oleh Prof Mahfud MD, beliau menyoroti pentingnya kebijakan publik yang seimbang antara regulasi dan kebijaksanaan.

Prof Mahfud MD menilai bahwa regulasi sertifikasi halal harusnya diterapkan dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan masyarakat dan kapasitas pelaku usaha. Kritik ini membuka diskusi lebih luas tentang pendekatan BPJPH dalam menjalankan kebijakan yang sensitif ini dan memunculkan pertanyaan apakah ancaman sanksi lebih mendukung atau justru merusak penerimaan masyarakat terhadap sertifikasi halal di Indonesia.

Haikal Hassan menegaskan bahwa pelaku usaha wajib mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 42 Tahun 2024. BPJPH akan mengawasi penerapan kewajiban ini dan dapat memberikan sanksi administratif atau menarik produk dari peredaran jika tidak bersertifikasi halal.

Kewajiban sertifikasi halal dalam dunia usaha memang membawa banyak manfaat bagi kemajuan usaha, terutama dalam meningkatkan kepercayaan konsumen, membuka akses pasar domestik dan global, serta memastikan kepatuhan terhadap standar keamanan dan kehalalan produk di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Sertifikasi halal, jika dikelola dengan pendekatan edukatif dan persuasif, dapat menjadi nilai tambah bagi usaha dan memberi dampak positif pada perekonomian secara keseluruhan.

Dalam hal ini, pemerintah dan pengusaha memegang peran krusial: pemerintah seharusnya memberikan dukungan berupa sosialisasi dan fasilitas yang memudahkan proses sertifikasi, sementara pengusaha diharapkan aktif mengadopsi sertifikasi halal untuk mendukung standar produk mereka.

Namun, pernyataan Kepala BPJPH yang baru dilantik itu, Haikal Hassan, menunjukkan pendekatan yang berbeda. Haikal menekankan sanksi bagi pelaku usaha yang belum bersertifikat halal, yang terkesan lebih berfokus pada penggunaan “kekuasaan” (power muscle) daripada strategi yang mengedepankan edukasi dan pendekatan persuasif.

Narasi seperti ini memunculkan kekhawatiran bahwa Haikal, sebagai pejabat publik di lembaga yang sensitif, mungkin tidak memahami sepenuhnya prinsip-prinsip kebijakan publik, yang lebih mengutamakan kebijaksanaan (wisdom) dan fleksibilitas dalam penerapannya daripada sekadar kekakuan aturan.

Pendekatan berbasis sanksi yang keras bisa menciptakan ketidaknyamanan bagi pelaku usaha, terutama usaha mikro dan kecil, yang mungkin belum sepenuhnya siap untuk mematuhi kewajiban sertifikasi halal.

Kewajiban ini, tanpa disertai pendekatan edukatif yang cukup, dapat dilihat sebagai beban tambahan yang berpotensi mempersempit ruang usaha mereka, terutama jika mereka belum mendapat sosialisasi atau bantuan teknis yang memadai dari pemerintah. Padahal, dalam kebijakan publik, keberhasilan suatu program seringkali lebih baik dicapai melalui kolaborasi yang inklusif antara pemerintah dan masyarakat, daripada dengan penerapan aturan secara sepihak.

Lebih lanjut, dalam hal isu keumatan seperti sertifikasi halal, pendekatan yang terlalu memfokuskan pada sanksi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap tujuan mulia dari sertifikasi halal itu sendiri.

Sertifikasi ini pada dasarnya bertujuan untuk menjamin produk yang dikonsumsi masyarakat Muslim sesuai dengan nilai-nilai agama, bukan untuk menciptakan perasaan tertekan atau terpaksa. Seharusnya, BPJPH dapat memanfaatkan posisi strategisnya untuk membangun narasi positif tentang pentingnya sertifikasi halal dalam menjaga kualitas produk dan memenuhi kebutuhan konsumen secara sukarela.

Pendekatan Haikal Hassan ini, yang lebih mengutamakan aturan ketimbang kebijaksanaan, menimbulkan keraguan apakah ia benar-benar memiliki pemahaman yang cukup dalam mengelola isu yang menyangkut keseharian masyarakat.

**Baca Juga: Kebakaran Besar di Karawaci, Api Tiga Jam Lebih Belum Padam

Sebagai kepala BPJPH, seharusnya ia memprioritaskan pendekatan yang bijak, di mana peran edukasi, persuasif, dan kolaboratif lebih diutamakan daripada sekadar menerapkan aturan dengan ancaman sanksi. Kebijakan publik yang baik adalah yang bisa diterima oleh masyarakat luas dan memberi manfaat jangka panjang, bukan sekadar yang bersifat memaksa atau represif. (Achmad Nur Hidayat, MPP Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)