1

Wanita Transgender Asal India Minta Disuntik Mati Karena Susah Cari Kerja

Kabar6-Aneera Kabeer (34), wanita transgender asal India mengajukan surat permohonan untuk euthanasia (suntik mati) lantaran susah mendapatkan pekerjaan.

Kabeer sempat mendapat pekerjaan paruh waktu di sebuah sekolah negeri di negara bagian Kerala, India selatan. Namun, kurang dari dua bulan kemudian, dia diberhentikan secara tidak adil. Melansir Deccanherald, Kepala Sekolah menolak berkomentar, namun seorang pejabat distrik bernama P Krishnan mengatakan, Kepala Sekolah telah memberi tahu dia bahwa Kabeer tidak diberhentikan. Hal yang terjadi justru sebaliknya yaitu ‘salah paham’.

Kabeer yang merasa tidak memiliki pilihan lain, lantas mendatangi layanan bantuan hukum negara. Dia ingin seorang pengacara mengajukan surat permohonan untuk euthanasia (suntik mati) atau ‘pembunuhan atas belas kasihan’ atas permintaannya sendiri.

“Hal yang saya inginkan hanyalah bekerja dan mencari nafkah. Tetapi mendapatkan itu saja sepertinya tidak mungkin,” kata Kabeer.

Disebutkan, Kabeer sudah membaca tentang negara-negara yang mengizinkan euthanasia, dan India hanya mengizinkan euthanasia pasif. “Saya tahu saya tidak akan mendapatkan izin resmi di sini. Tapi saya ingin mengirim pesan,” ujar Kabeer.

Sebaliknya, Kabeer ingin mendapatkan perhatian dari negara dan berhasil. Pemerintah dengan cepat merespons dan Kabeer sekarang memiliki pekerjaan lain.

Dengan jelas Kabeer mengatakan, dia tidak berniat mengambil nyawanya sendiri, juga tidak bermaksud memberikan contoh bagi orang lain. Kabeer menerangkan, komunitasnya membutuhkan perwakilan politik dan kuota pekerjaan.

“Saya tidak pernah ingin mengambil langkah ekstrem seperti itu. Tapi pilihan apa yang saya miliki?” tanya Kabeer. ** Baca juga: Sebanyak 68 Pelanggan Jatuh Sakit, Gerai Mi di Singapura Kena Denda Rp36 Juta

Diketahui, Kabeer yang tumbuh di distrik Palakkad, Kerala tengah, telah berjuang selama bertahun-tahun, berperilaku menyesuaikan jenis kelamin yang ada padanya sejak lahir.

Dia tidak ingin berbicara tentang keluarga, yang katanya masih berduka atas kematian saudara laki-laki mereka belum lama ini. Kabeer masih remaja ketika dia mencoba mencari transgender lain di Palakkad. Namun, dia berhenti setelah ditangkap.

Kabeer sendiri memiliki tiga gelar master, salah satunya di bidang pendidikan. Dia juga berhasil lulus ujian negara untuk mengajar siswa sekolah menengah.(ilj/bbs)




Campo, Jadi Orang Pertama Tanpa Penyakit Mematikan yang Jalani Suntik Mati di Kolombia

Kabar6-Permintaannya Martha Sepúlveda Campo (51) untuk melakukan euthanasia akhirnya dikabulkan oleh otoritas berwenang di Kolombia. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghilangkan penderitaannya.

Permintaan wanita ini, melansir goodwordnews, dikabulkan untuk mengakhiri sakit amyotrophic lateral sclerosis atau ALS yang diderita Campo. “Dari tingkat spiritual, saya benar-benar tenang,” kata Campo, yang mendefinisikan dirinya sebagai ‘seorang Katolik yang sangat beriman’.

Campo diketahui akan menjadi pasien pertama dengan penyakit non-terminal yang menerima euthanasia di Kolombia, negara yang dianggap sebagai pelopor dalam hak atas kematian yang bermartabat, baik di Amerika Latin maupun secara global.

“Tuhan tidak ingin melihat saya menderita, dan saya percaya bahwa tidak seorang pun, tidak ada orangtua yang ingin melihat anak-anaknya menderita,” ujar Campo yang menderita penyakit degeneratif sejak 2019 lalu.

Seiring waktu, gejalanya semakin parah hingga wanita tersebut tidak bisa lagi berjalan tanpa bantuan. Diagnosisnya adalah amyotrophic lateral sclerosis atau ALS, penyakit sistem saraf yang memengaruhi mobilitas tubuh. “Dalam keadaan yang saya miliki, hal terbaik yang bisa terjadi pada saya adalah beristirahat,” terang Campo.

Kolombia adalah negara pertama di Amerika Latin yang mendekriminalisasi euthanasia, tepatnya mulai 1997, juga merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang prosedurnya legal. Tapi hingga tahun ini, itu hanya diperbolehkan dalam kasus penyakit terminal.

Pada 22 Juli, Mahkamah Konstitusi Kolombia memperluas hak, mengizinkan prosedur euthanasia asalkan pasien menderita penderitaan fisik atau mental yang intens akibat cedera tubuh atau penyakit serius dan tidak dapat disembuhkan.

Empat hari kemudian, Campo meminta izin, yang akhirnya diberikan pada 6 Agustus 2021. “Saya lebih tenang karena prosedur itu disahkan. Saya lebih banyak tertawa, saya tidur lebih tenang,” ujar Campo.

Sebanyak 11 saudara kandungnya setuju dengan prosedur tersebut, dan putranya telah berada di sisinya di hari-hari terakhirnya. ** Baca juga: Di Arizona, Bermunculan Ratusan Hewan Aneh Bermata Tiga Setelah Hujan Lebat

“Saya membutuhkan ibu saya, saya ingin dia bersama saya, hampir dalam kondisi apa pun, tetapi saya tahu bahwa dalam kata-katanya dia tidak lagi hidup, dia bertahan,” kata Federico Redondo Sepúlveda, putra Campo.

Diketahui, Campo mencatatkan sejarah sebagai orang pertama tanpa penyakit mematikan yang menjalani euthanasia.(ilj/bbs)




Broom, Terpidana Mati di AS Ini 18 Kali Gagal dari Hukuman Eksekusi Mati

Kabar6-Maut sepertinya memang belum mau menjemput Romell Broom. Buktinya, tim eksekusi yang berulang kali menusuk Broom dengan jarum, saat pria itu berbaring di atas meja, selalu gagal memberikan suntikan yang mematikan.

Ya, Broom yang berstatus terpidana mati tetap hidup dari 18 kali percobaan eksekusi mati. Broom, melansir theguardian, diketahui menghabiskan 24 tahun dalam penjara Ohio setelah dihukum mati karena penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan Tryna Middleton, seorang gadis berusia 14 tahun, saat dia berjalan pulang pada 1984 silam.

Jadwal eksekusi Broom melalui suntikan mematikan jatuh pada 15 September 2009. Dia lalu diikat ke meja dan tim eksekusi mulai mencari pembuluh darah yang cocok untuk menyuntikkan campuran mematikan pancuronium bromida, kalium klorida dan midazolam yang akan mengakhiri hidup narapidana.

Sayangnya, tim algojo tidak dapat menemukan pembuluh darah yang tepat untuk memasukkan infus maut. Setelah beberapa upaya percobaan pertama yang gagal, Broom mencoba membantu dengan membalikkan badan, menggeser pipa karet ke lengan kirinya, dan menggerakkan lengannya ke atas dan ke bawah sambil meregangkan dan membuka jari-jarinya.

Tim eksekutor terus menusuk Broom dengan jarum, hingga akhirnya mereka berhasil mengakses pembuluh darah vena. Tetapi ketika mereka mencoba menyuntikkan larutan garam, pembuluh darah vena tersebut mampet.

Kemudian mereka mencoba strategi berbeda, menyuruh Broom duduk tegak di atas meja, sementara tim eksekusi mencoba memasukkan shunt ke kakinya, menyebabkan dia lebih kesakitan.

Pada satu titik, mereka berhasil menyerang tulang, bukan pembuluh darah vena. Dua jam setelah tim eksekutor memulai prosedur hukuman mati, eksekusi dihentikan karena tim eksekutor menyerah lantaran frustrasi. Pada titik ini mereka telah menusuk kulit Broom dengan jarum sebanyak 18 kali.

Akhirnya, Gubernur Ohio mengeluarkan penangguhan hukuman satu minggu kemudian setelah pengacara Broom berpendapat bahwa percobaan eksekusi mati pertama itu merupakan hukuman yang kejam dan tidak biasa.

Para pejabat diberi waktu hingga 22 September untuk mencari cara membunuh Broom, dengan cara yang tidak sama dengan penyiksaan yang melanggar Konstitusi AS. Mereka tidak dapat melakukannya dan eksekusi ditunda tanpa batas waktu.

Selama beberapa tahun berikutnya, Amnesty International berkampanye untuk menyelamatkan nyawa Broom, sebuah film dokumenter dibuat tentang eksekusi yang gagal dan Broom bahkan menulis sebuah buku berjudul ‘Survivor on Death Row’.

Broom lantas ‘menantang’ otoritas negara untuk mencoba mengeksekusi kedua kalinya, dengan alasan itu akan melanggar larangan konstitusional yang melarang dua kali menempatkan seseorang dalam bahaya kehidupan.

Namun pada 16 Maret 2016, Mahkamah Agung Ohio memutuskan melawan Broom, dan memberi wewenang kepada negara untuk mencoba mengeksekusi pria itu lagi.

Hakim Judith Lanzinger mengatakan, upaya yang gagal itu bukan merupakan eksekusi gagal karena pengaturan jalur IV hanyalah ‘langkah awal’ untuk eksekusi, dan eksekusi itu sendiri ‘dimulai ketika obat mematikan memasuki jalur IV’.

“Karena upaya penyuntikan obat mematikan tidak dilanjutkan ke jalur infus, bahaya tidak pernah melekat,” ungkap Hakim Lanzinger. ** Baca juga: ‘Matahari Buatan’ Milik Tiongkok Cetak Rekor Dunia, dalam 101 Detik Capai 120 Juta Derajat Celsius

Eksekusi kedua Broom awalnya dijadwalkan pada 17 Juni 2020, tetapi Gubernur Mike DeWine mengeluarkan penangguhan pada April lalu dengan alasan kurangnya ketersediaan obat eksekusi.

Prosedur tersebut kemudian dijadwal ulang pada 16 Maret 2022. Tetapi pada titik ini, Amerika Serikat sepenuhnya berada dalam cengkeraman pandemi virus Corona. COVID-19 juga melanda penjara negara karena kondisi yang sempit dan seringkali kebersihan yang buruk.

Para terpidana mati di penjara juga tidak terlindung dari virus Corona. Dan, Broom meninggal akibat COVID-19 pada 28 Desember 2020, di usia 64 tahun. Otoritas lembaga pemasyarakatan menempatkannya dalam ‘daftar kemungkinan COVID-19’ dari tahanan yang diduga meninggal dunia karena penyakit tersebut.(ilj/bbs)




Ketimbang Suntik Mati, Terpidana di AS Ini Pilih Dieksekusi Regu Tembak

Kabar6-Seorang terpidana kasus pembunuhan bernama Zane Michael Floyd (45), meminta eksekusi dengan regu tembak ketimbang dengan suntikan mati. Itu artinya, jika eksekusi berlangsung maka Floyd akan menjadi orang pertama yang dihukum mati di Nevada dalam 15 tahun.

Menurut pengacara Floyd, melansir Dailymail, permintaan klien mereka ‘bukan taktik penundaan’. Dalam dokumen pengadilan yang dilihat Associated Press, pengacara mengatakan bahwa metode itu ‘tidak terlalu menyakitkan’. Penggunaan regu tembak untuk melaksanakan hukuman mati diketahui jarang terjadi di AS.

Pengacara publik federal, Brad Levenson, mengatakan bahwa Floyd ingin menghindari usulan suntikan mematikan dengan tiga obat yang diajukan oleh negara bagian itu.

Tetapi setiap tantangan terhadap proses yang diusulkan membutuhkan metode alternatif yang diajukan, dan Levenson mengatakan tembakan akan menjadi ‘cara yang paling manusiawi’.

Eksekusi oleh regu tembak saat ini hanya diizinkan di tiga negara bagian yakni Mississippi, Oklahoma, dan Utah. Prosedur tersebut belum digunakan sejak 2010.

Jaksa penuntut mengatakan, mereka akan meminta surat perintah eksekusi terhadap Floyd bulan depan, dengan kemungkinan tanggal kematiannya pada awal Juni. Ini akan menjadi eksekusi pertama di Nevada sejak 2006.

Floyd dihukum karena menembak mati empat orang, dan melukai serius satu orang lainnya pada satu supermarket di Las Vegas pada 1999 lalu. Dia dijatuhi hukuman mati setelah mengaku bersalah pada tahun berikutnya. ** Baca juga: Bernilai Fantastis, 5 Kapal Selam Termahal di Dunia

Pria itu telah mengajukan banding atas hukumannya berkali-kali, dan pengacaranya mengatakan dia akan meminta grasi dari Dewan Pengampunan Negara Bagian Nevada pada 22 Juni. Permintaannya tahun lalu agar Mahkamah Agung AS menyidangkan kasusnya ditolak.

Pengadilan banding terbaru ini berlangsung beberapa pekan setelah anggota Majelis Nevada, majelis rendah legislatif negara bagian Nevada, memberikan suara untuk mendukung RUU untuk menghapus hukuman mati di negara bagian tersebut.

Jika disahkan dengan suara mayoritas di Senat Nevada, RUU tersebut akan membatalkan hukuman mati negara bagian menjadi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.

Menurut Pusat Informasi Hukuman Mati AS, saat ini ada 70 orang terpidana mati di Nevada, satu dari 27 negara bagian yang mempertahankan hukuman mati. Negara bagian Nevada sendiri hanya sekali memberikan grasi sejak 1976.(ilj/bbs)