1

Analisis Penangkapan Sewenang-wenang dalam Konteks Proyek Rempang Eco City

Seri Analisis Kebijakan Publik Dalam Kasus Pulau Rempang Bagian 3

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute

Kabar6-Pulau Rempang, yang terletak di Kepulauan Riau, selama ini dikenal dengan kekhasan budaya, tradisi, serta potensinya dalam sektor pariwisata, perikanan, dan pertanian.

Namun, beriringan dengan kemajuan zaman dan kebutuhan akan pembangunan, muncul ide ambisius untuk mengembangkan kawasan tersebut menjadi Rempang Eco City, sebuah proyek modern dan berkelanjutan.

Proyek ini dijalankan oleh PT Makmur Elok Graha, sebuah anak perusahaan dari Grup Artha Graha, yang mendapat dukungan investasi besar dari Xinyi Group, sebuah perusahaan besar asal China.

Sebagai dampak dari proyek besar ini, berbagai konflik dan ketegangan mulai muncul. Banyak masyarakat setempat merasa terpinggirkan dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan tanah dan ruang hidup mereka. Penentangan dari masyarakat ini mencapai puncaknya ketika terjadi demonstrasi besar-besaran menolak relokasi dan penggusuran, yang kemudian berujung pada penangkapan sewenang-wenang terhadap beberapa massa aksi.

Tindakan penangkapan tersebut mendapat sorotan dan kritik tajam, dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang hanya ingin mempertahankan hak dan ruang hidupnya. Penangkapan ini menjadi simbol ketidakadilan dan refleksi dari bagaimana pembangunan bisa menimbulkan luka sosial jika tidak dikelola dengan bijak dan berkeadilan.

Penangkapan Massa Aksi Secara Represif

Penangkapan massa aksi di Pulau Rempang telah menarik perhatian luas karena cara-cara represif yang digunakan dalam operasinya. Proses penangkapan, yang seharusnya dilakukan dengan standar hukum yang jelas dan menghormati hak-hak asasi manusia, tampaknya jauh dari apa yang diharapkan masyarakat sebagai penerapan keadilan. Sebagai tanggapan terhadap rencana pembangunan Rempang Eco City oleh PT Makmur Elok Graha, warga lokal yang merasa terancam kehilangan tanah dan sumber mata pencaharian mereka, memilih untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka melalui demonstrasi damai.

Namun, ketika demonstrasi tersebut mulai menggema dan mendapat dukungan dari berbagai pihak, terjadi eskalasi ketegangan antara pihak berwenang dan para demonstran. Sebagai respons, pihak berwenang memobilisasi kekuatan untuk membatasi dan mengendalikan massa, sering kali dengan menggunakan kekuatan berlebihan. Beberapa demonstran melaporkan bahwa mereka dianiaya, diintimidasi, atau bahkan ditangkap tanpa alasan yang jelas. Aksi penangkapan sewenang-wenang ini tidak hanya melanggar hak-hak warga yang sedang berdemonstrasi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kebebasan berpendapat dan berkumpul di negeri yang seharusnya demokratis.

Dalam konteks ini, penangkapan represif terhadap massa aksi bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga refleksi dari ketegangan sosial yang lebih mendalam. Ini menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi besar sering kali mendominasi narasi pembangunan, sementara suara-suara masyarakat yang terpinggirkan dan kurang berdaya kerap diabaikan atau bahkan diredam dengan kekerasan. Penangkapan ini menjadi lambang bagaimana masyarakat yang mempertahankan hak dan ruang hidupnya sering kali diperlakukan sebagai musuh, bukan sebagai mitra dalam pembangunan.

**Baca Juga: Suara untuk Pulau Rempang: “Hak Tinggal Mereka Terancam, Mari Beraksi!”

Kriminalisasi Masyarakat Yang Mempertahankan Ruang Hidupnya

Kriminalisasi masyarakat, khususnya dalam konteks penangkapan represif massa aksi di Pulau Rempang, menggambarkan bagaimana otoritas sering kali memanfaatkan instrumen hukum untuk mengintimidasi dan meredam suara-suara yang kritis terhadap kebijakan atau tindakan tertentu. Lebih daripada sekadar penangkapan, kriminalisasi ini melibatkan narasi yang menciptakan citra negatif terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, menggambarkan mereka sebagai pengacau atau ancaman terhadap stabilitas.

Dalam konteks Rempang, masyarakat yang menentang proyek pembangunan Rempang Eco City dihadapkan pada serangkaian tantangan yang membingungkan. Selain menghadapi potensi kehilangan tanah dan mata pencaharian, mereka juga harus berurusan dengan tuduhan-tuduhan yang dapat merusak reputasi dan integritas mereka di mata publik. Dengan mengkriminalisasi demonstran, pihak berwenang mencoba melemahkan legitimasi tuntutan mereka dan mengurangi simpati publik terhadap gerakan mereka.

Langkah-langkah seperti itu dapat memiliki dampak jangka panjang. Ketika masyarakat merasa bahwa mereka tidak dapat menyuarakan pendapat atau melawan ketidakadilan tanpa takut dicap sebagai kriminal, hal ini mengancam fondasi demokrasi itu sendiri. Kriminalisasi masyarakat menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidakpercayaan, di mana masyarakat lebih memilih untuk diam daripada berbicara, dan di mana perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman alih-alih sebagai bagian dari diskusi yang sehat. Ini bukan hanya masalah bagi individu yang terkena dampak langsung, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang kehilangan akses ke beragam perspektif dan suara.

Dalam kerangka demokrasi, peran pemerintah atau negara adalah untuk melayani dan melindungi rakyatnya. Salah satu prinsip utama tata kelola negara adalah bahwa kepentingan dan kesejahteraan rakyat harus selalu menjadi prioritas. Dalam kasus Pulau Rempang, kebijakan yang diambil mungkin lebih memihak kepada investor daripada masyarakat setempat.

Ketika negara memilih untuk mendukung investor dengan mengorbankan hak-hak masyarakat, ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang dapat mengarah pada ketidakadilan. Dalam banyak kasus, investasi memang dapat membawa perkembangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Namun, tanpa pendekatan yang berpusat pada manusia, investasi tersebut dapat menyebabkan penggusuran, kerugian mata pencaharian, dan berbagai dampak sosial lainnya.

Adalah tugas negara untuk memastikan bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi bagi masyarakatnya. Ketika pemerintah memberikan prioritas kepada kepentingan investor di atas hak-hak warga negaranya, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kepada siapa negara sebenarnya melayani.

Penangkapan warga yang memprotes pembangunan Rempang Eco City mencerminkan ketegangan yang ada antara kepentingan bisnis besar dan hak-hak warga. Penangkapan sewenang-wenang ini tidak hanya mencerminkan kurangnya keadilan, tetapi juga mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Solusi konflik seperti ini memerlukan pendekatan holistik yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan hak-hak warga serta memperhitungkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil.

Bersambung Bagian 4