1

Waspada RUU Omnibuslaw Kesehatan Menempatkan Pemilik Modal Menguasai Sektor Kesehatan Publik

Kabar6

Kabar6- Perkembangan layanan kesehatan di Indonesia dirasa masih belum membanggakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat keberadaan rumah sakit di Indonesia pada 2021 terdapat 3.112, sementara jumlah penduduk mencapai 275,7 juta jiwa pada November 2022 lalu.

Artinya, rasionya sangat tidak berimbang dimana 1 rumah sakit melayani 88.367 penduduk.

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute mengatakan, jika mengacu kepada UUD 1945, Pasal 28 H Ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”.

Dalam Pasal lainnya yaitu Pasal 34 Ayat 3 dinyatakan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

“Jika melihat kondisi saat ini ternyata masih jauh dari apa yang diamanahkan oleh Pasal-pasal tersebut,” Mad Nur, sapaan karibnya, kepada Kabar6-.com, Jumat (10/03/2023).

Menurutnya, banyak sekali masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak dan baik.

Bagi orang kecil kondisi tersebut diterima dengan pasrah, karena mereka tidak punya kemampuan pergi ke luar negeri (LN)

“Namun bagi orang berduit, mereka akan mencari layanan kesehatan terbaik di level at all cost, bela-belain keluarkan uang besar untuk pergi ke LN,” katanya.

 

Pidato Presiden dan Berobat ke LN

Pada peresmian Rumah Sakit Mayapada Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa masih banyak masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri.

Data Presiden menyebut hampir 2 juta warga negara Indonesia setiap tahun berobat ke rumah sakit di negara lain seperti Malaysia yang paling banyak dikunjungi, selanjutnya Singapura dan sisanya ke berbagai negara seperti Jepang, Jerman dan lainnya.

Presiden pun mengeluhkan bahwa dalam hitung-hitungan Kementerian Kesehatan, ada pontential income/devisa loss sebesar Rp165 Triliun akibat WNI yang berobat ke LN.

“Presiden ingin Rp165 Triliun tersebut tetap ada di Indonesia, bukan ke Malaysia, Singapore, Jepang dan Jerman. Namun pidato Presiden tersebut sangat dimungkinkan memiliki arti lain bahwa dana sebesar itu harus jatuh ke pengusaha rumah sakit dan alat kesehatan nasional daripada memang niat memperbaiki sektor kesehatan Indonesia,” ujar Mad Nur.

BPJS Dinikmati Pemilik Modal Baik Pemilik RS maupun Pengusaha Obat dan Alkes

Dalam Evaluasi BPJS Kesehatan Indonesia, menyebutkan 40% dana BPJS tersebut jatuh ke pemilik RS, 40% jatuh ke pemilik industri alkes dan obat-obatan dan 20% jatuh ke layanan jasa tenaga medis.

Jika mau dibongkar, pemilik modal baik RS maupun Industri obat sudah mendapaatkan manfaat 80% dari biaya BPJS yang dibayar melalui iuran rakyat dan APBN.

Kini pemilik modal berusaha ingin mendapatkan fasilitas lebih lagi melalui RUU Omnibuslaw Kesehatan. Mereka berupaya membajak RUU Omnibuslaw kesehatan untuk kepentingan memperkaya diri dibalik keinginan mempercanggih layanan kesehatan publik.

“Pembuat kebijakan kesehatan seharusnya mewaspadai hal ini, perbaikan kesehatan publik tidak boleh memiskinkan keuangan negara dan memiskinkan masyarakat untuk memperkaya pemilik RS dan pengusaha alat kesehatan dan obat-obatan,” tandasnya.

Mas Nur menuturkan, publik sadar bahwa kehadiran pemilik dan pengusaha sektor kesehatan diperlukan dan sangat penting mendukung reformasi kesehatan Indonesia namun bukan berarti pemilik modal tersebut dapat membeli penguasa demi keuntungan yang tidak seimbang antara publik dan pihak pemilik modal.

Sekarang bukan sekedar kalangan menengah bawah dapat mendapatkan layanan kesehatan yang layak, namun sekarang diperlukan pembagian share keuntungan yang baik antara publik dan pemilik modal.

“Saat ini terlihat dana BPJS jatuh lebih banyak kepada pemilik-pemilik modal baik pemilik rumah sakit ataupun pengusaha alkes dan obat-obatan dibandingkan kepada publik,” katanya.

Saat ini DPR bersama Menteri Kesehatan sedang membahas RUU Omnibuslaw kesehatan, sayangnya perdebatan RUU tersebut masih minim dan publik belum banyak mengetahui sehingga minim dari memberikan tanggapan terhadap RUU Omnibuslaw kesehatan tersebut.

Draft RUU Omnibuslaw Kesehatan Perpotensi Memiskinan Publik dan Memperkaya Pemilik Modal Kesehatan dan Memunculkan Kediktatoran.

Di Pasal 4 Ayat (2) RUU tersebut warga negara tidak diberikan hak untuk menentukan layanan kesehatannya sendiri, tapi dipaksa untuk mengikuti mengikuti tindakan yang dilakukan pemerintah yang belum tentu cocok dengan treatment yang semestinya diberikan kepada individu-individu yang mempunyai imunitas dan kondisi yang berbeda-beda.

**Baca Juga: Tabrakan Adu Kebo Truk Motor di Jalan Serang Cilegon, Satu Tewas

Sementara di pasal 5 RUU tersebut negara bisa melakukan tindakan paksa dan sewenang-wenang tanpa akuntabilitas yang dapat disalahgunakan. Seperti memaksakan penggunaan vaksin yang faktanya vaksin itu eksistensinya untuk mencegah orang agar tidak sakit, bukan mencegah orang agar tidak tertular.

Apalagi pada pasal 383 akan menjadi pintu masuk adanya kongkalikong dengan pengusaha farmasi dalam rangka pemberian kekebalan sebagai dalih pembenaran padahal secara ilmiah imunitas itu diberikan oleh tubuh manusia itu sendiri melalui sistem imun.

“Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memastikan masyarakat bisa melakukan pola hidup sehat dan mendapatkan cukup nutrisi sehingga mempunyai sistem imun yang baik,” tutupnya. (Tim K6)




Arogansi Pihak UIN Jakarta Memuncak, Dulu Menyewa, Sekarang Ingin Menguasai

kabar6.com

Kabar6-Lahan yang tersebar di wilayah sekitar SMK Triguna dipermasalahkan, wilayah yang di kenal dengan sebutan Kampung Utan ini jelas tidak mendadak bagus seperti sekarang, yaitu ada prosesnya.

Hal tersebut diungkapkan Mahyuni Harahap didampingi Suhaimin Imran selaku tim Kuasa Hukum dari tujuh orang ahli waris masing-masing adalah, Hafsah Batu Bara, Tarmizi, Zulkifli, Siti Nasution, Nanni, Dennis Touw, Nunni, yang saat ini bermasalah dengan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pengguna barang dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat sebagai kuasa pengguna barang saat Konferensi Pers di Jalan Ir H Juanda Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.

“Jadi sejarahnya, kami membangun tempat tinggal diatas lahan itu sejak tahun 1970-an, semua mengetahui karena memang lahan itu milik yayasan (YPMII). Lalu di tahun 1981, kami disuruh mengosongkan oleh YPMII lantaran akan dibangun sekolah, karena kebijakan tertentu akhirnya pihak YPMII menghibahkan tanah tersebut kepada kami, dengan konsekuensi kami harus memberi bantuan kepada sekolah yang dibangun,” jelas Mahyuni.**Baca juga: Tanah Dieksekusi, Ribuan Masyarakat Ciputat Akan Turun Aksi di UIN Jakarta.

Hal tersebut juga di kuatkan oleh pernyataan para warga yang memiliki kejelasan surat, kepada kabar6.com. Beberapa kejanggalan di antaranya ketika pada tahun 1994, diketahui jika pihak UIN Jakarta yang saat itu masih berstatus IAIN justru mengajukan sewa kontrak selama empat tahun atas suatu lahan yang akan dibangun Koperasi kepada ahli waris.

“Sekarang logikanya, kalau memang lahan itu diakui milik UIN Jakarta, kenapa tahun 1994 justru pihak UIN menyewa ke kami selama empat tahun di lahan ini, waktu itu mau dibuat Koperasi, kwitansinya ada, lengkap. Itu kan juga bukti, bahwa mereka awalnya memang mengakui ini adalah lahan hibah yayasan kepada kami selaku ahli waris,” imbuh Hafsah Batubara.(jicris)