1

Kiat Kejari Tangsel Selesaikan 13 Perkara Lewat Keadilan Restoratif

Kabar6-Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang Selatan (Tangsel) sepanjang 2023 memberikan kebijakan keadilan restoratif terhadap 13 kasus. Jumlah tersebut tercatat paling banyak se-provinsi Banten.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Tangsel, Herdian Malda Ksastria mengatakan, kiat penyelesaian perkara lewat keadilan restoratif. Kuncinya adalah pendekatan jaksa penyidik kepada korban pelapor.

“Kami selaku penuntut umum selalu tekankan hati nurani,” ungkapnya menjawab pertanyaan kabar6.com dikutip Senin (1/1/2024).

Malda jelaskan, sebelum jaksa menentukan sikap ini memang kami selalu sampaikan perkara-perkara yang berpotensi memenuhi persyaratan di dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif.

“Apa salahnya sih, dan mereka pun selalu kami apresiasi,” jelasnya. Malda akui memang tidak mudah dalam penuntutan ini banyak gejolak-gejolak. Kadang memang korban tidak mau berdamai.

**Baca Juga:Sejumlah Siswa di Korsel Tuntut Ganti Rugi Karena Ujian Berakhir 90 Detik Lebih Awal

Memang jaksa fasilitator inilah yang pendekatannya akui Malda bagus. “Ya semua ini kerja tim. Bukan kerja kasie pidum, kajari,” ujarnya.

Malda pastikan dibantu juga oleh penyidik untuk melakukan pendekatan kepada pihak korban pelapor. “Bang kok kenapa perkara seperti ini bisa naik,” paparnya menirukan komunikasi pendekatan kepada korban pelapor.

Malda ceritakan, seperti ketika menangani kasus Junaedi, 39 tahun, supir angkot yang kecanduan sabu. Pihaknya menggalang komunikasi Kasat Narkoba Polres Tangsel kala itu AKP Retno Jordanus untuk mengabulkan keadilan restoratif.

Pertimbangan ketika itu, menurutnya, Junaedi korban peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Ia menjadi tulang punggung keluarga dan masih dapat disembuhkan.(yud)




Tersangka Asal Kejari Lebak Kasus Lalu Lintas Dibebaskan

Kabar6-Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Dr. Fadil Zumhana, memberikan persetujuan terhadap permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Tersangka Muhidin bin Antasa dari Kejaksaan Negeri Lebak, Senin (7/8/2023).

Tersangka disangka melanggar Pasal 310 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam upaya melaksanakan penegakan hukum yang berorientasi pada konsep Keadilan Restoratif, Kepala Kejaksaan Negeri Lebak, Mayasari, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Kejari Lebak dan Kasubsi Pertimbangan Hukum (JPU) Kejari Lebak, telah melakukan expose secara virtual di hadapan JAM-Pidum. Mereka memaparkan perkara yang diajukan untuk penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, dengan acuan Pasal 310 Ayat (2) UU RI No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian, dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Selain itu, Tersangka tidak pernah dihukum sebelumnya, merupakan pelanggaran pertamanya, dan ancaman pidana yang dihadapi tidak lebih dari 5 (lima) tahun penjara atau denda.

**Baca Juga: Pimpin Gerindra Lebak Gantikan Ade Hidayat, Bangbang: Target Gerindra Menang Prabowo Presiden

Proses perdamaian dilakukan dengan sukarela melalui musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Tersangka juga berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Selanjutnya, telah mencapai kesepakatan dengan korban untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena dianggap tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

Keputusan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini didasari juga oleh pertimbangan sosiologis, di mana masyarakat merespon positif terhadap proses perdamaian yang dilakukan.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai upaya nyata dalam memberikan kepastian hukum.

Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian konflik hukum yang memperhatikan proses perdamaian antara pelaku, korban, dan masyarakat secara adil dan menyeluruh.(Red)




Membangun Keadilan Restoratif Melalui Hukum Pidana 4.0 (Digital Transformation)

Oleh: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana

Kabar6-Hukum Pidana 4.0 merupakan wujud nyata dari Teori Hukum Konvergensi sebagai penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional.

Hukum Pidana 4.0 sebagai Hukum Pidana yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Pidana ke dalam kenyataan kehidupan Masyarakat 5.0 dan Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global memiliki relevansi substansial dan fundamental dengan konseptual Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. Di dalam sistem Hukum Indonesia, norma dasar negara atau state fundamental norm adalah Pancasila, oleh karenanya penerapan keadilan restoratif diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.

Keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka Hati Nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan. Hati Nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus.

Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan Hati Nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. Terdapat 3 (tiga) pendekatan bagaimana masing-masing tujuan hukum berada dalam bingkai Hati Nurani, yaitu:

Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini sebagaimana pandangan dari seorang Hakim Agung di Inggris, Lord Denning yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Hati Nurani yang melandasi tujuan keadilan hukum ini adalah sebuah postulat bahwa tidak akan tercapainya keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani karena pada hakikatnya keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral dan sumber dari hukum itu sendiri adalah moral.

Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut utility teori dan meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number). Hati Nurani yang melandasi tujuan kemanfaatan hukum ini adalah manakala rasa keadilan mayoritas masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, seperti pencurian dengan nominal rendah atau penganiayaan ringan yang nilai kerugiannya minim, untuk tidak dilakukan proses hukum hingga di pengadilan.

**Baca Juga: Kejari Tangsel Berikan ‘Restoratif Justice’ Ketiga Tersangka Gadaian Motor

Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini beranjak dari pandangan Hans Kelsen, seorang filsuf positivisme yang mengatakan jika “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Hati Nurani yang melandasi tujuan kepastian hukum ini adalah ketika individu telah secara pasti melanggar peraturan dan negara memiliki kewenangan untuk menghukumnya, namun negara melalui Jaksa menggunakan kewenangannya untuk tidak menghukumnya melalui diskresi penuntutan (prosecutorial discretion). Kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan ini bukan tanpa dasar hukum, melainkan berdasarkan pada kepastian hukum, yang secara legitimasi undang-undang telah memberikan kewenangan untuk itu.

Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global, namun hal yang kiranya perlu kita cermati bersama adalah menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum. Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum. Dalam proses penegakan hukum terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asas Dominus Litis. Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara. Oleh karena itu, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat. Aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena disanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.

Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara, kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan, ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.

Penerapan keadilan restoratif telah dilakukan institusi Kejaksaan Republik Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Semenjak dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan tentang keadilan restoratif sampai tanggal 3 Mei 2023, Kejaksaan RI telah menghentikan sedikitnya 2654 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Konsep keadilan restoratif mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana peruntukannya hanya untuk pelaku Anak; dan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif, yang mana peruntukannya untuk pelaku dewasa. Kedua peraturan tersebut menjadi rujukan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan modern dalam penyelesaian perkara tindak pidana. Melalui Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini, akhirnya penerapan keadilan restoratif dapat menjangkau seluruh lapisan usia dan secara nyata telah menjadikan hukum untuk manusia. Kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum. Kejaksaan akan menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi Hati Nurani.

Pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu terobosan hukum yang bertujuan memberikan penerapan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan dengan memberikan ruang serta kesempatan terhadap pelaku untuk memulihkan hubungan dan memperbaiki kesalahan terhadap korban di luar pengadilan (non-judicial settlement) sehingga permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana dapat terselesaikan dengan baik demi tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak sekaligus memulihkan kondisi sosial di masyarakat.

Sebagai informasi, hingga 11 Juli 2023, sebanyak 3.121 perkara telah dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan sejak diterbitkannya Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.(*/Red)




Tersandung Kasus Penganiayaan, Buruh Harian Ini Dibebaskan

Kabar6-Sutiana Bin O Sulaeman (alm) adalah seorang kepala keluarga berusia 52 tahun yang dalam kesehariannya bekerja sebagai buruh harian lepas. Bersama keluarganya, ia tinggal di Kampung Pesanggrahan RT. 003 RW. 006, Desa Pengalengan, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung.

Namun malang, Sutiana harus menjalani proses hukum sebagai tahanan rutan karena ia disangka melakukan penganiayaan terhadap saksi Aep Hidayat Bin Dayat (alm).

Kejadian bermula pada 14 Desember 2022 sekira pukul 13.30 WIB. Kala itu, ketika Sutiana  tiba di rumahnya, ia melihat saksi Aep Hidayat dan saksi Tito Wiliyanto sedang memanen buah alpukat di dekat kediaman Sutiana. Awalnya, saat melihat kejadian tersebut, Sutiana tidak menghiraukannya dan memilih masuk ke dalam rumahnya.

Namun tak lama kemudian, saat Sutiana keluar dari rumah, ia melihat saksi Aep Hidayat dan saksi Tito Wiliyanto masih memanen buah alpukat, sehingga Sutiana menghampiri serta menegur keduanya.

Berawal dari teguran itu, terjadi keributan di antara keduanya dan Sutiana langsung mengambil kayu bambu yang sedang dipegang saksi Aep Hidayat serta mengayunkannya ke kepala saksi. Akibat pukulan tersebut, saksi Aep Hidayat mengalami luka memar di bagian tubuhnya, sehingga menghambat aktivitas sehari-harinya dalam mencari nafkah.

Akibat perbuatannya, Sutiana dilaporkan kepada pihak berwajib dan ditetapkan sebagai Tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, dan berkas perkaranya dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung.

Setelah menerima berkas perkara dan melihat niat baik Tersangka untuk meminta maaf kepada saksi, menggugah niatan teguh hati Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung Sugeng Sumarno, S.H. memfasilitasi upaya perdamaian melalui mediasi penal.

Proses perdamaian keduanya pun dilaksanakan pada Jumat 26 Mei 2023 di Kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung, yang dihadiri oleh pihak keluarga Tersangka dan saksi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Tak hanya itu, proses perdamaian ini juga mendapat dukungan penuh serta disaksikan langsung oleh Bupati Kabupaten Bandung Dr. H.M. Dadang Supriatna, S.Ip, M.Si.

Pada kesempatan tersebut, Jaksa Fasilitator Ira Irawati, S.H., M.H. melakukan mediasi antara korban dan Tersangka. Saat itu, Aep Hidayat berbesar hati memaafkan perbuatan Tersangka Sutiana dan menerimanya dengan ikhlas.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Ade T. Sutiawarman sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

Kini, Tersangka Sutiana telah bebas tanpa syarat, usai permohonan yang diajukan telah disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana melalui ekspose virtual pada Kamis 08 Juni 2023. Sutiana pun dapat kembali berkumpul dengan keluarganya dan melanjutkan kehidupannya seperti sedia kala.

**Baca Juga: Janji Bangun Hotel dan Mall, Walikota Serang Pertanyakan Pangrango

Adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan, yaitu:

  • Sutiana pertama kali melakukan tindak pidana;
  • Ancaman pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun;
  • Sutiana tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada korban maupun kepada orang lain;
  • Sutiana sanggup dan bersedia menanggung biaya pengobatan korban;
  • Pihak korban tidak akan menggugat atau melanjutkan perkara melalui jalur hukum positif;
  • Kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;
  • Penghindaran stigma negatif;
  • Respon dan keharmonisan masyarakat;
  • Kepatuhan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam ekspose virtualnya, JAM-Pidum mengapresiasi setinggi-tingginya kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung dan jajaran, yang telah berupaya menjadi fasilitator mendamaikan dan menyelesaikan perkara tersebut melalui mediasi penal, sehingga terwujudnya keadilan restoratif.

Tak hanya itu, JAM-Pidum juga mengapresiasi kebaikan hati saksi Aep Hidayat yang tulus memaafkan Sutiana. JAM-Pidum berharap Sutiana menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran agar tidak lagi mengulangi perbuatannya di masa mendatang.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Red)




Pelaku Penganiayaan Dibebaskan Setelah Dimaafkan Korbannya

Kabar6-Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr Fadil Zumhana menyetujui permohonan penghentian penuntutan, berdasarkan keadilan restoratif, terhadap Tersangka Amran alias Ari bin Agus dari Kejaksaan Negeri Pinrang.

Hal ini diungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, melalui rilis Rabu (3/5/2023).

“Tersangka Amran alias Ari bin Agus disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan,” kata Sumedana.

Menurut Summedana, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan kepada Amran karena telah dilaksanakan proses perdamaian. Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

**Baca Juga: Dirpamobvit Polda Banten Berterimakasih atas Kinerja Personel

Selain itu Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.

“Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya,“ kata Sumedana.

Pembebasan tersangka dilakukan juga dengan melihat pertimbangan sosiologis, apalagi masyarakat setempat merespon secara positif.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Pinrang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Red)




Kado Lebaran Pencuri Kabel Tembaga di Cilegon, Dibebaskan !

Kabar6-Bikin haru dan menguras air mata. Melalui Keadilan Restoratif, Sohandi bin Hanafi akhirnya dapat merayakan Lebaran bersama keluarganya. Demikan disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI, Ketut Sumedana, melalui keterangannya, di Jakarta, Rabu (19/4/2023).

Sohandi bin Hanafi adalah seorang karyawan yang dihentikan perkaranya melalui keadilan restoratif akibat melakukan pencurian di salah satu perusahaan tempat dirinya bekerja.

Peristiwa berawal pada Kamis 03 November 2022, Sohandi bin Hanafi merupakan karyawan PT. Mustika Link Pratama (PT. MLP) yang ditugaskan menjadi pengawas pemasangan kabel power jenis MV 1x500M2 di PT. Doosan, berdasarkan surat tugas dari PT. MLP tertanggal 03 November 2022 dengan gaji sejumlah Rp3.930.000,-.

Lalu pada Kamis 09 Februari 2023 sekitar pukul 18:00 WIB, usai Sohandi bin Hanafi selesai melaksanakan pekerjaannya memasang kabel power tersebut, ia tanpa berpikir panjang berniat mengambil barang berupa kabel tembaga power jenis MV1x500M2 sepanjang 16 cm seberat kurang lebih 1 kg tanpa seizin dan sepengetahuan pemiliknya yaitu pihak PT. Doosan untuk dijualnya kepada pihak lain.

Atas niatnya itu, Sohandi bin Hanafi FI mengambil kabel tersebut yang berada di dalam rak kontainer di area proyek PLTU Jawa 9-10 dan menyelipkannya di bagian bawah sepatu safety yang dirinya gunakan. Setelah memastikan kabel tersebut telah diselipkan dengan baik, Sohandi bin Hanafi bergegas untuk segera pergi dari area proyek PLTU Jawa.

Namun saat akan melewati pintu keluar, saksi Tysen bin Nurudin selaku petugas keamanan di pintu area proyek PLTU Jawa melihat gerak-gerik mencurigakan dari Sohandi bin Hanafi. Oleh karenanya, saksi melakukan pengecekan dan ditemukan kabel tembaga jenis MV1x500M2 yang diselipkan di bagian bawah sepatu safety milik Sohandi bin Hanafi. Akibat perbuatannya, PT. Doosan mengalami kerugian sebesar kurang lebih Rp3.132.264,- dan selanjutnya Sohandi bin Hanafi dilaporkan kepada pihak Kepolisian Sektor Pulomerak.

Sohandi bin Hanafi pun ditetapkan sebagai Tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP jo. Pasal 64 KUHP tentang Pencurian, dan berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Cilegon.

Setelah menerima berkas perkara tersebut dan mengetahui alasan Tersangka melakukan pencurian karena khilaf akibat terdesak kebutuhan ekonomi dan menafkahi istri yang tengah hamil anak keduanya, menggugah niatan teguh hati Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon Diana Wahyu Widiyanti untuk dapat mendamaikan, menenangkan dan menyelesaikan perkara ini tanpa melalui proses peradilan.

Selanjutnya, Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon mempertemukan Tersangka dengan pemilik PT. Doosan Mr. Lee (WNA asal Korea Selatan). Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Mendengar penyesalan dan motif perbuaan Tersangka, korban memaafkan Tersangka dan meminta agar Tersangka tidak lagi mengulangi perbuatannya. Korban juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Banten. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Didik Farkhan Alisyahdi sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum).

**Baca Juga: Ribuan Pemudik Gratis dari Kota Tangerang Dilepas di Terminal Poris

Dalam ekspose antara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan Kejaksaan Negeri Cilegon yang dilaksanakan di Rumah Restorative Justice Virtual (inovasi Kejaksaan Negeri Cilegon), kini Tersangka Sohandi bebas tanpa syarat usai permohonan penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif (restorative justice) disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana secara virtual dari Kejaksaan Agung pada Senin 17 April 2023.

JAM-Pidum menyampaikan terima kasih atas kebaikan hati Mr. Lee yang telah memaafkan perbuatan Tersangka dan berharap dapat selalu merasa aman dan nyaman berinvestasi di Indonesia. JAM-Pidum juga mengapresiasi pembentukan Rumah Restorative Justice Virtual Kejaksaan Negeri Cilegon karena dirasa lebih efektif dan akan memberlakukan inovasi tersebut di seluruh Indonesia.

Kini Sohandi dapat berkumpul bersama keluarganya untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Tak hanya itu, Kejaksaan Negeri Cilegon memberikan bingkisan berupa paket sembako kepada keluarga Sohandi dan menyampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Serang agar Sohandi mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum, berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. (Red)




6 Pengguna Narkotika Ini Akhirnya Direhabilitasi

Kabar6-Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 6 permohonan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi. Keputusan ini sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Hal ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Dr Ketut Sumedana, di Jakarta dalam keterangannya, Rabu (05/04/2023).

Nama tersangka yang direhabilitasi  yaitu  Muniah dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah. Kemudian 5 tersangka lainnya dari Kejaksaan Negeri Surabaya, masing-masing bernama: Mariyadi Als Yadi bin Katjan, Arvie Riswandi bin Boeang Kasdiono, Budiyono Alias Otong bin Wagiran (Alm), Faisal Akbar Pratama bin Indra Basuki,  Mochamad Mochtadi Alias Cak Di bin H. Hasan Suja’i (Alm), dan Moch. Nur Fauzy bin Moch Safi’i

Alasan permohonan rehabilitasi terhadap para Tersangka yaitu:

  • Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, Tersangka positif menggunakan narkotika;
  • Berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, Tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user);
  • Tersangka ditangkap atau tertangkap tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti yang tidak melebihi jumlah pemakaian 1 hari;
  • Berdasarkan hasil asesmen terpadu, Tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, atau penyalah guna narkotika;

**Baca Juga: PDIP Tangerang ‘Tegak Lurus’ Dukung Ananta Raih Kursi DPD RI

  • Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali, yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang;
  • Ada surat jaminan Tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya.

Selanjutnya, JAM-Pidum beserta Direktur Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya Marang S.H., M.H. memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif berdasarkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. (Red)




Mario Dandy Cs Tak Layak Dapatkan Keadilan Restoratif

Kabar6-Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI, Dr Ketut Sumedana menegaskan bahwa tidak ada Restorative Justice atau Keadilan Restoratif bagi Mario Dandy Satriyo  (20) dan kawan-kawannya yang telah melakukan penganiayaan secara keji terhadap korban, Cristalino David Ozora Latumahina (17).

Mengenai pemberitaan terkait Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menawarkan perdamaian kepada keluarga korban Cristalino David Ozora Latumahina dalam kasus penganiayaan dengan Tersangka Mario Dandy Satriyo (MDS), Tersangka Shane Lukas Rotua Pangodian Lumbantoruan (SLRPL), serta AG (15), Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyampaikan beberapa hal.

“Dalam kasus penganiayaan terhadap korban Cristalino David Ozora, secara tegas disampaikan bahwa Tersangka MDS dan Tersangka SLRPL tidak layak mendapatkan Restorative Justice. Hal ini dikarenakan ancaman hukuman pidana penjara melebihi batas yang telah diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, serta perbuatan yang dilakukan oleh Tersangka sangat keji dan berdampak luas baik di media maupun masyarakat, sehingga perlu adanya tindakan dan hukuman tegas bagi para pelaku,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI, Dr Ketut Sumedana melalui keterangan persnya, Sabtu (18/03/2023).

**Baca Juga: Kejati DKI Tutup Opsi Keadilan Restoratif Bagi Mario dan Shane

Terkait dengan pelaku anak AG (anak berkonflik dengan hukum), sambung Sumedana, undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan Aparat Penegak Hukum agar setiap jenjang penanganan perkara pelaku anak, untuk melakukan upaya-upaya damai dalam rangka menjaga masa depan anak yang berkonflik dengan hukum yakni diversi bukan Restorative Justice.

Meski demikian, diversi hanya bisa dilaksanakan apabila ada perdamaian dan pemberian maaf dari korban dan keluarga korban. Bila tidak ada kata maaf, maka perkara pelaku anak harus dilanjutkan sampai pengadilan,” pungkas Sumedana. (Red)




Kejati DKI Tutup Opsi Keadilan Restoratif Bagi Mario dan Shane

Kabar6-Terkait Kasus penganiayaan terhadap korban Cristalino David Ozora (17) yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo (20) dan Shane Lukas Rotua Pangodian Lumbantoruan (19), Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menegaskan menutup opsi restorative justice dalam penyelesaian kasus ini.

Tertutupnya peluang opsi  keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) untuk Mario Dandy dan Shane itu karena perbuatan penganiayaan yang dilakukan keduanya telah berakibat luka berat pada korban David.

“Untuk Tersangka Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas Rotua Pangodian Lumbantoruan tertutup peluang untuk diberikan Penghentian penuntutan melalui RJ karena menyebabkan akibat langsung korban sampai saat ini tidak sadar / luka berat, sehingga ancaman hukumannya lebih dari batas maksimal RJ, dan menjadikan Penuntut Umum untuk memberikan hukuman yang berat atas perbuatan yang sangat keji,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Ade Sofyansah melalui keterangan tertulis, Jumat (17/3/2023).

Lanjut Ade, sebagaimana pemberitaan yang beredar di media, terkait dengan penerapan Restoratif Justice dalam kasus penganiayaan dengan Korban Cristalino David Ozora, dengan ini Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta bermaksud menyampaikan klarifikasi.

“Bahwa Restoratif Justice hanya dapat dilaksanakan apabila ada pemberian maaf oleh korban atau keluarga, jika tidak ada otomatis tidak ada upaya Restoratif Justice dalam tahap penuntutan,” tegas Ade.

Adapun perihal statement dari Kajati DKI Jakarta, menurut Ade hal itu semata memberikan peluang untuk menawarkan memberikan diversi kepada Anak AG yang berkonflik dengan hukum semata-mata hanya mempertimbangkan masa depan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, oleh karena perbuatan yang bersangkutan tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban.

Namun apabila korban dan keluarga tidak memberikan upaya damai khusus terhadap pelaku anak AG yang berkonflik dengan hukum maka upaya Restoratif Justice tidak akan dilakukan.

“Kehadiran Kajati DKI Jakarta dan tim penuntut umum di rumah sakit semata-mata ungkapan rasa empati sebagai penegak hukum sekaligus memastikan bahwa perbuatan para terdakwa sangat layak untuk diberikan hukuman yang berat,” pungkas Ade.

**Baca Juga: Kasus Penganiayaan Tersangka Anak Pejabat DJP Kemenkeu

Kasipenkum Kejati DKI Ade Sofyansah berharap agar tidak ada kesimpangsiuran pemberitaan di media terkait hal ini.

Mario dijerat dengan pasal 355 KUHP ayat 1, subsider pasal 354 ayat 1 KUHP, subsider 535 ayat 2 KUHP, subsider 351 ayat 2 KUHP. Penyidik juga mengenakan Mario pasal 76c Jo 80 Undang-Undang Perlindungan Anak.

Sedangkan Shane dijerat pasal 355 ayat 1 Jo pasal 56 KUHP, subsider 354 ayat 1 Jo 56 KUHP, subsider 353 ayat 2 Jo 56 KUHP, subsider 351 ayat 2 Jo 76c Undang-Undang Perlindungan Anak.

Selain itu, polisi juga telah meningkatkan status perempuan berinisial AG dalam kasus ini sebagai anak yang berkonflik dengan hukum atau pelaku.

Atas perbuatannya, AG dikenakan Pasal 76c Jo Pasal 80 UU PPA dan atau Pasal 355 ayat 1 Jo Pasal 56 KUHP Subsider Pasal 354 ayat 1 Jo 56 KUHP Subsider 353 ayat 2 Jo Pasal 56 KUHP. (Red)




Kasus Penganiayaan, Pasangan Kekasih Berdamai dan Dinikahkan

Kabar6-Ada yang istimewa dari sebuah maaf. Meluruhkan kemarahan, membasuh habis kesedihan, dan meruntuhkan keegoisan. Terkadang, memaafkan orang yang membuat kita terluka terasa lebih menyakitkan daripada luka yang diderita. Namun, tidak akan ada kedamaian tanpa saling memaafkan.

Octavianus Pudi dan Megawati Bawanda merupakan sepasang kekasih yang telah tinggal bersama dan memiliki 1 orang anak. Meski belum menikah, Octavianus Pudi bekerja keras menjadi buruh pengangkut pasir demi menghidupi keluarga kecilnya. Namun akibat himpitan ekonomi dan rasa emosi, Octavianus Pudi melakukan penganiayaan terhadap sang kekasih dan membuatnya harus menjadi seorang Tersangka.

Peristiwa berawal pada Senin 21 November 2022 sekitar pukul 09:30 WITA dan bertempat di Desa Lopana Satu, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan. Kala itu, sang kekasih sekaligus korban Megawati Bawanda menanyakan alasan Octavianus Pudi yang hanya membeli susu anak seharga Rp15.000. Mendapat pertanyaan seperti itu, Octavianus Pudi menjawab bahwa uang yang dimilikinya hanya mampu membeli susu seharga Rp15.000.

Tak terima dengan alasan tersebut, Megawati Bawanda menanyakan perihal uang Rp20.000 yang dirinya lihat di dompet sang kekasih. Octavianus Pudi pun menjawab bahwa uang Rp20.000 tersebut sudah digunakan untuk membeli telur. Mendengar jawaban sang kekasih, Megawati Bawanda tidak lagi memberikan respon dan akibat emosi karena dihiraukan, Octavianus Pudi melakukan penganiayaan dengan menendang, memukul, dan melempar tubuh Megawati Bawanda. Akibatnya, Megawati Bawanda mengalami luka bengkak serta kemerahan di bagian dahi kiri, pelipis kiri dan pelipis kanan.

Akibat perbuatannya, Octavianus Pudi dilaporkan kepada pihak berwajib dan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penyidik Kepolisian Sektor (Polsek) Amurang, yang disangkakan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, dan berkas perkaranya pun dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan.

Setelah menerima berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan La Ode Muhammad Nusrim dan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) Wiwin B. Tui sepakat untuk mendamaikan kedua belah pihak melalui keadilan restoratif (restorative justice).

Selanjutnya, pada Senin 27 Februari 2023 dan bertempat di Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan, dilakukan pertemuan antara Tersangka Octavianus Pudi dan korban Megawati Bawanda, yang dihadiri oleh keluarga korban, keluarga Tersangka, Penyidik, Lurah Amurang Timur, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Mendengar pengakuan dan penyesalan Tersangka, korban pun memaafkan Tersangka dan meminta agar Tersangka tidak lagi mengulangi perbuatannya. Korban juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Andi Muhammad Taufik sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum).

**Baca Juga: BNPT Berikan Penghargaan ke Kejaksaan Agung

Kini Tersangka Octavianus Pudi bebas tanpa syarat usai permohonan penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif (restorative justice) disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana melalui Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani pada Rabu 08 Maret 2023.

Dalam ekspose virtual tersebut, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Selain itu, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda juga meminta untuk melangsungkan pernikahan antara Octavianus Pudi dengan Megawati Bawanda.

Menindaklanjuti perintah tersebut, pada Jumat 10 Maret 2023 bertempat di Aula Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan, Octavianus Pudi dan Megawati Bawanda telah resmi melangsungkan acara pernikahan yang dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dan Wakil Bupati Minahasa Selatan Pdt. Petra Yani Rembang, serta Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan dan Wakil Bupati Minahasa Selatan menjadi saksi pencatatan pernikahan.

Kini Octavianus Pudi dapat memulai hidup baru bersama dengan Megawati Bawanda sebagai pasangan suami istri, serta berkumpul dengan sang anak, keluarga, masyarakat, serta melanjutkan aktivitas sehari-hari. (Red)