Berat Badan Melonjak Drastis Selama Pandemi COVID-19, Ini Alasannya

Kabar6-Banyak orang yang mengeluh berat badan naik drastis selama pandemi COVID-19, yaitu saat kantor ‘pindah’ ke rumah atau work from home. Menurut direktur klinis Program Kesehatan Metabolik & Penurunan Berat Badan Yale bernama Artur Viana, MD, stres bisa menjadi penyebab utamanya.

Bukan hanya pekerjaan di saat pandemi yang bisa membuat Anda stres, melansir Womantalk, tapi juga penutupan gym dan taman yang mengubah rutinitas olahraga dan para orangtua yang tiba-tiba harus bekerja di rumah sambil mengajar anak-anaknya. Semua hal baru tersebut bisa membuat Anda stres, baik disadari atau tidak.

“Kami tahu bahwa penyebab obesitas disebabkan berbagai faktor dan stres terlibat. Anda biasanya beralih ke makanan sebagai cara untuk mengatasi stres. Selain itu, saat Anda merasa stres, tubuh juga akan merasakannya sehingga membuatnya tidak akan melepaskan kalori apa pun karena mengira Anda perlu energi untuk melarikan diri atau berperang,” jelas Dr. Viana.

Selain menghindari angka timbangan melonjak secara drastis karena bisa berdampak buruk bagi kesehatan, Anda juga otomatis harus lebih ekstra lagi menjaga berat badan. Hal ini karena obesitas ternyata juga dikaitkan dengan komplikasi serius pada orang dengan COVID-19.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, obesitas parah meningkatkan risiko masalah pernapasan berbahaya yang disebut sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), yang merupakan komplikasi serius dari COVID-19.

Hal lain, orang dengan obesitas berat lebih cenderung menderita penyakit kronis dan kondisi kesehatan lain yang dapat meningkatkan keparahan COVID-19, jika mereka terinfeksi. ** Baca juga: Yuk, Lakukan Cara Sehat Minum Kopi

Karena itulah, meski saat ini Anda lebih sering berada di rumah karena pandemi, usahakan untuk tetap memiliki berat badan sehat karena saat ini menjaga kesehatan sangat penting agar terhindar dari berbagai virus.(ilj/bbs)




Penjelasan Ahli Perihal Rapid Test COVID-19 yang Dianggap Tidak Akurat

Kabar6-Tes rapid atau rapid test menjadi salah satu cara untuk mendeteksi apakah seseorang reaktif COVID-19 atau tidak. Namun belakangan ini, rapid test dianggap sudah tidak efektif bahkan tidak akurat. Bagaimana penjelasan ahli?

Diketahui, hasil rapid test biasanya dapat diketahui lebih cepat, hanya dalam waktu 30 menit. Rapid test dapat mengetahui antigen IgM dan IgG yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan virus COVID-19, yang menjadi indikator apakah seseorang reaktif atau tidak.

Namun kini muncul pro dan kontra mengenai efektif atau tidak rapid test yang mudah digunakan dan hasil yang cepat. Sebuah penelitian dilakukan oleh Marion Koopmans dari Eramus University Medical Center, Belanda.

Penelitian, melansir Sindonews, dilakukan kepada 1.754 orang positif Corona, dengan menggunakan lima uji antigen cepat yang tersedia secara komersial. Hasilnya, sebanyak dua tes paling sensitif mendeteksi virus lebih dari 97 persen, dan tes paling sensitif dilakukan pada sekira 75 persen kasus. Semua sempel yang diambil berasal dari orang dengan gejala COVID-19, pada tingkat virus Corona yang tinggi.

Didapat hasil, tes antigen cepat mungkin kurang efektif untuk mendeteksi keberadaan virus pada orang dengan tingkat virus yang rendah. ** Baca juga: Masih Merasa Lapar Usai Sarapan, Apa Penyebabnya?

Untuk itu, terkadang ditemukan kasus rapid test negatif tetapi ketika di swab hasilnya positif, khususnya pada mereka yang termasuk dalam OTG (Orang Tanpa Gejala).

Penelitian ini bukanlah akhir, mengingat vaksin untuk melawan virus COVID-19 yang masih belum ditemukan.(ilj/bbs)




Sejak Pandemi COVID-19 Banyak Orang Alami Fobia Anthrophobia

Kabar6-Banyak masyarakat mengalami fobia Anthrophobia semenjak pandemi COVID-19, yaitu kondisi ketika seseorang memiliki rasa takut berhadapan dengan manusia.

Sebuah hasil studi, melansir Dreamers, menyebutkan bahwa fobia yang paling banyak dicari di Google tahun ini adalah Anthrophobia, yang telah memuncak pada pencariannya sejak 19-25 April 2020. Psych News Daily memperlihatkan, Anthrophobia sudah ada sejak tahun lalu, namun pada momen pandemi COVID-19 ini jumlah Anthrophobia meningkat lima kali lipat lebih cepat.

Kasus ini memperlihatkan bahwa 22 persen masyarakat mengalami ketakutan pada manusia. Tak hanya Anthrophobia, di setiap negara memiliki jenis fobia yang berbeda-beda. Menurut laporan New York Post, khusus di New York, ketakutan yang paling banyak ditelusuri adalah Filopobia atau ketakutan akan jatuh cinta atau menjalin hubungan yang lebih serius.

Sementara di Florida, masyarakat di sana mengalami Germophobia atau takut berkomitmen dalam ikatan pernikahan. Lain halnya, di California banyak orang takut tidak memiliki ponsel atau yang biasa disebut dengan istilah Nomophobia.

Studi pun menemukan bahwa orang-orang di New Jersey takut kegelapan selama pandemi COVID-19. Lalu, di Massachusetts orang-orangnya takut dengan kegagalan, dan di Indiana takut sendirian. ** Baca juga: Siapa Sangka, Sayuran Ini Ternyata Miliki Kandungan Nikotin

Hasil studi ini berdasar pengamatan peneliti dari Google Trends selama 10 bulan terakhir.(ilj/bbs)




Ini 5 Negara Penyumbang Kasus COVID-19 Terbanyak di Dunia

Kabar6-Hingga saat ini, COVID-19 masih mewabah di seluruh dunia. Bahkan, total kasusnya sudah tembus di angka 40 juta kasus, tersebar di berbagai negara.

Berdasarkan data Worldometers pada Senin (19/10/2020), melansir Detikhealth, total kasus COVID-19 di dunia sudah mencapai 40.278.207 kasus. Sementara total pasien sembuh sudah sebanyak 30.112.204 orang dan 1.118.321 lainnya meninggal dunia. Negara mana saja yang menjadi penyumbang kasus COVID-19 terbanyak di dunia hingga saat ini?

1. Amerika Serikat (AS)
AS menjadi yang paling banyak mengonfirmasi kasus positif Corona, yakni 8.387.799 kasus. Sementara total pasien sembuh di negara itu sudah mencapai 5.457.684 orang dan 224.730 lainnya meninggal dunia.

2. India
India yang berada di posisi kedua dengan kasus positif Corona tertinggi di dunia, yaitu 7.548.238 kasus. Adapun 6.659.895 pasien telah dinyatakan sembuh dan 114.642 orang meninggal dunia.

3. Brasil
Sebanyak 5.235.344 orang telah terkonfirmasi positif Corona di Brasil, yang membuatnya berada di posisi ketiga kasus COVID-19 terbanyak di dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 4.650.030 pasien telah dinyatakan sembuh dan 153.905 orang meninggal dunia.

4. Rusia
Hingga kini Rusia sudah mengonfirmasi 1.399.334 orang yang positif Corona di dalam negaranya. Total jumlah tersebut membuat Rusia berada di posisi keempat negara dengan kasus positif Corona terbanyak di dunia. Selain itu, sebanyak 1.070.576 pasien di Rusia telah dinyatakan sembuh dan 24.187 orang meninggal dunia.

5. Argentina
Total 989.680 kasus telah terkonfirmasi positif Corona di Argentina, sehingga membuat negara itu berada di peringkat kelima kasus positif Corona terbanyak di dunia.

Dari data tersebut juga diketahui sebanyak 803.965 pasien telah dinyatakan sembuh dan 26.267 orang meninggal dunia. ** Baca juga: Biaya Pemakaman Belum Lunas, Jenazah Diletakkan di Lantai

Sementara Indonesia menjadi negara ke-19 tertinggi di dunia yang melaporkan kasus positif Corona, yakni 361.867 kasus.(ilj/bbs)




Cenayang Terkenal Asal Bulgaria Sudah Pernah Ramalkan Donald Trump akan Terinfeksi Corona pada 2020

Kabar6-Seorang peramal wanita buta dari Bulgaria bernama Baba Vanga sering disebut sebagai ‘Nostradamus dari Balkan’. Sebelum meninggal dunia pada 1996, ia telah membuat sejumlah prediksi atau ramalan.

Jauh sebelum pandemi COVID-19 mendunia, melansir Sooperboy, Baba Vanga ternyata pernah meramalkan bahwa seorang Presiden AS akan menderita ‘penyakit misterius’ pada 2020 yang akan membuatnya tuli dan menderita tumor otak.

Terlahir dengan nama Vangeliya Pandeva Dimitrova, Baba Vanga ternyata tidak menuliskan ramalannya sendiri. Pengikut Baba Vanga mengklaim telah mencatat apa yang dia katakan. Termasuk prediksi tentang tenggelamnya kapal selam Rusia Kursk, dan bencana nuklir di Chernobyl.

Hal yang paling mengerikan adalah prediksinya pada 1989, di mana dia berkata, “Horor, horor! Saudara-saudara Amerika akan jatuh setelah diserang oleh burung baja. Serigala akan melolong di semak-semak, dan darah orang yang tidak bersalah akan mengalir.”

Hal itu dilihat sebagai ramalan tentang bayangan Menara Kembar World Trade Center yang diserang oleh dua pesawat pada 11 September 2001. ** Baca juga: Jantung Manusia Tertinggal di Pesawat, Maskapai Southwest Terpaksa Putar Balik ke Bandara

Disebutkan, banyak prediksi yang dianggap berasal dari Baba Vanga, namun tampaknya telah ditambahkan bertahun-tahun setelah kematian sang cenayang oleh para pengagumnya.

Pemerintah Bulgaria memasukkan Baba Vanga dalam daftar mereka yang digaji negara. Seorang staf tetap sekretaris ditugaskan untuk menuliskan prediksinya dan menuliskan wawancaranya dengan orang-orang yang datang kepada Baba Vanga untuk meminta nasihat.

Diketahui, Baba Vanga buta akibat badai debu di dekat pertanian keluarganya di tempat yang sekarang disebut Makedonia. The Institutes of Suggestology and Parapsychology di Sofia dan Petrich juga telah mempelajari kemampuan psikis Baba Vanga.(ilj/bbs)




Dalam Kondisi Apa Masker Harus Lebih Sering Diganti?

Kabar6-Saat ini memakai masker menjadi sebuah keharusan untuk mencegah penyebaran virus Corona. Namun yang perlu diperhatikan adalah mengganti masker secara berkala, terlebih ketika masker mulai terasa lembap.

Menurut ilmuwan dari berbagai negara, melansir Femina, masker dapat lebih cepat rusak ketika cuaca berubah lembap atau basah seperti hujan. Hal ini karena masker dalam kondisi basah akan mengurangi keefektivitasannya dalam menghalau virus atau droplet.

“Di beberapa daerah curah hujan makin sering terjadi. Perlu diketahui bahwa masker perlu diganti secara teratur dan lebih sering, terutama ketika hujan, karena masker tidak akan efektif dalam cuaca lembap dan basah,” jelas Tim Spector, profesor epidemologi genetik di King’s College London.

Terlebih lagi untuk jenis masker bedah sekali pakai yang sangat rentan rusak saat cuaca memburuk. Dikatakan pakar penyakit menular dan profesor Kedokteran di University of East Anglia bernama Paul Hunter, masker bedah sekali pakai pada dasarnya terbuat dari kertas sehingga sangat mudah rusak.

Penting untuk diingat bahwa ketika kita bernapas saat mengenakan masker, secara perlahan dapat membuat masker menjadi lebih lembap. Maka dalam kondisi cuaca hujan kerentanan itu semakin meningkat.

“Aturan umumnya masker harus diganti setelah tiga jam,” terang Hunter. ** Baca juga: Apa itu Karbohidrat Sederhana dan Kompleks?

World Health Organization (WHO) menganjurkan, penting untuk mengganti masker secara berkala, terutama menggantinya dengan masker baru yang bersih dan masih kering. Jangan membawa masker cadangan yang sebelumnya sudah pernah digunakan.

Adapun langkah yang terbaik adalah segera cuci masker kain setelah digunakan. Sedangkan untuk masker bedah sekali pakai, segera rusak masker setelah pakai dan buang, agar tidak disalahgunakan.(ilj/bbs)




Peneliti Jepang: Virus Corona Dapat Bertahan di Kulit Hingga 9 Jam

Kabar6-Peneliti dari Kyoto Prefectural University of Medicine di Jepang mengungkapkan, virus Corona baru dapat bertahan di kulit manusia selama kurang lebih sembilan jam. Waktu ini jauh lebih lama dibandingkan virus flu yang hanya dilaporkan bertahan selama 1,8 jam.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Oxford Academic in Clinical Infectious Diseases pada 3 Oktober lalu ini merupakan upaya bersama antara Departemen Penyakit Menular universitas, Departemen Gastroenterologi Molekuler dan Hepatologi, dan Departemen Kedokteran Forensik.

Penelitian tersebut, melansir Sindonews, bertujuan untuk menyoroti pentingnya cuci tangan dalam mengatasi pandemi COVID-19. Untuk melakukan penelitian, mayat manusia satu hari setelah kematian digunakan, karena menerapkan patogen yang sangat menular ke kulit manusia yang masih hidup disebut berbahaya.

“Kelangsungan hidup SARS-CoV-2 selama sembilan jam pada kulit manusia dapat meningkatkan risiko penularan kontak dibandingkan dengan IAV, sehingga mempercepat pandemi. Kebersihan tangan yang benar penting untuk mencegah penyebaran infeksi SARS-CoV-2,” demikian keterangan penelitian.

Hhal yang sangat melegakan, virus Corona baru atau bahkan virus flu benar-benar hilang dari permukaan dalam waktu 15 detik setelah penggunaan etanol (80 persen), bahan umum dalam cairan pembersih tangan.

Sebuah laporan oleh Harvard Medical School menyebutkan, COVID-19 dapat bertahan di berbagai permukaan selama berjam-jam dan berhari-hari. Sejauh ini, jumlah waktu pada permukaan yang berbeda telah dilaporkan yakni empat jam pada tembaga, dua jam pada karton, dan hingga 2-3 hari pada plastik dan baja tahan karat.

“Jika permukaan kotor, pertama-tama bersihkan dengan deterjen dan air, lalu desinfektan,” saran Harvard Health. ** Baca juga: Penelitian di Jepang: Masker Tisu Toilet Lebih Ampuh Saring Virus Ketimbang Masker Bedah

Selain itu, cuci tangan Anda selama 20 detik dengan sabun dan air setelah membawa paket, atau setelah bepergian ke toko bahan makanan atau tempat lain di mana Anda mungkin bersentuhan dengan permukaan yang terinfeksi.(ilj/bbs)




Gara-gara Pandemi COVID-19, Maskapai Thailand Jualan Gorengan

Kabar6-Terpuruk akibat pandemi COVID-19 membuat maskapai Thailand, Thai Airways, membuka usaha berjualan gorengan di tepi jalan. Hal ini dilakukan karena kondisi keuangan Thai Airways memang sedang kacau.

Pada Mei 2020, maskapai tersebut dinyatakan bangkrut. Namun status tersebut bisa ditanggalkan setelah pengadilan menyetujui rencana rehabilitasi utang bulan ini.

Sejak April lalu, Thai Airways telah menghentikan operasional secara menyeluruh, setelah menutup gerbang secara total untuk memutus rantai penularan virus Corona mulai 22 Maret.

Demi bertahan, melansir bangkokpost, Thai Airways lantas membuka restoran di kabin pesawat. Mereka mengajak pelanggan untuk tetap mencicipi makanan pesawat dalam pesawat walaupun tidak mengudara. Selain itu, Thai Airways turun ke jalan dengan berjualan Pa Tong Go, dengan custard ungu kukus seharga sekira Rp23 ribu. Pa Tong Go ini mirip cakwe.

Rupanya, lapak Thai Airways diminati warga. Terbukti, ratusan pembeli mengantre mulai dari pukul 04.00 untuk menikmati camilan sarapan itu. Staf Thai Airways mengatakan, makanan tersebut terjual habis dalam waktu dua jam.

Thai Airways mengklaim memperoleh sekira Rp189,5 juta per hari atau sekira Rp4,7 miliar dari kios-kios cakwe dalam sebulan. Dengan pendapatan yang menjanjikan itu, Thai Airways pun berencana membuka waralaba.

Pelaksana tugas Presiden Thai Airways bernama Chansin Treenuchagorn mengatakan, perusahaan berusaha meningkatkan bisnis katering untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan menyelamatkan diri dari pandemi COVID-19.

“Adonan goreng sangat populer, kami dapat mengembangkan bisnis melalui waralaba dan menjangkau lebih banyak pelanggan di seluruh negeri,” demikian keterangan maskapai Thai Airways. ** Baca juga: Bear 747 Dinobatkan Sebagai Beruang Cokelat Tergemuk Tahun Ini

Hingga kini, Thai Airways memiliki lima gerai Pa Tong Go yang tersebar di seluruh Bangkok. (ilj/bbs)




Menurut Ilmuwan Inggris, COVID-19 akan Bertahan Selamanya

Kabar6-Seorang profesor dari Edinburgh University mengatakan, virus Corona akan seterusnya bertahan di dunia, jika banyak pasien COVID-19 yang sudah sembuh mengalami reinfeksi atau terinfeksi virus untuk kedua kalinya.

Ya, hingga saat ini pandemi virus Corona masih menyebar di seluruh penjuru dunia, dan angka kasusnya pun masih terus bertambah setiap hari..

Menurut penelitian Profesor Graeme Ackland dan timnya yang dilakukan di Inggris, melansir Detikhealth, seseorang mungkin bisa terinfeksi virus Corona ini lebih dari satu kali. “Jika benar bahwa orang-orang terus mengalami reinfeksi atau terinfeksi kembali, situasinya akan semakin mengerikan, karena virus ini akan bersama kita selamanya,” jelas Profesor Ackland.

Untuk melakukan kebijakan lockdown, dikatakan Profesor Ackland, sangat sulit terutama dalam membatasi kegiatan para kaum muda, yang jelas tidak mungkin bisa mengurangi kematian dalam jangka panjang.

Bahkan para kaum muda yang ada di Inggris dan di dunia, lanjut Profesor Ackland, bisa membuat pandemi ini berlangsung lebih, sehingga angka kematian terus bertambah selama dua tahun ke depan.

Sementara Kepala Petugas Medis bernama Profesor Chris Whitty menegaskan, penyakit ini tidak akan bisa diberantas dan akan terus menghadapinya di masa mendatang.

“Penyakit ini tidak akan hilang. Jadi kami harus menerima bahwa kamu sedang menangani penyakit yang akan kami hadapi secara global di masa mendatang,” ungkapnya. ** Baca juga: Ikuti 5 Langkah Bersihkan Rumah untuk Cegah Penularan Virus Corona Lewat Udara

Para ilmuwan hingga saat ini masih belum mengetahui seberapa besar kekebalan yang dimiliki para pasien COVID-19 yang sembuh agar bisa terhindari dari wabah ini. Mereka hanya tahu bisa bertahan kurang dari 12 bulan.(ilj/bbs)




Singapura Bayar Warganya untuk Punya Anak Karena Angka Kelahiran Rendah Akibat Pandemi COVID-19

Kabar6-Untuk mengatasi angka kelahiran yang rendah, pemerintah Singapura menawarkan untuk membayar warganya yang akan menjadi calon orangtua pada masa pandemi COVID-19 ini.

Wakil Perdana Menteri Singapura bernama Heng Swee Keat, melansir CNN, mengatakan bahwa insentif itu diberikan untuk membantu meyakinkan orang-orang menghadapi tekanan keuangan dan khawatir akan pekerjaan mereka.

“Kami telah menerima masukan bahwa COVID-19 menyebabkan beberapa calon orang tua menunda rencana menjadi orang tua,” kata Heng. “Ini sangat bisa dimaklumi, apalagi mereka menghadapi ketidakpastian pendapatan.”

Dijelaskan Heng, pembayaran itu akan membantu biaya mengurus anak yang dibutuhkan orangtua. Namun belum diketahui besaran nominal yang akan didapatkan warga Singapura.

Meskipun Singapura sukses mengatasi virus Corona, negara itu tak dapat menghindari resesi yang dalam. PDB (Produk Domestik Bruto) kemungkinan menyusut 12,6 persen pada kuartal II dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Ekonom menyebut, ini merupakan penurunan paling tajam dalam catatan sejarah Singapura.

Di samping tekanan ekonomi, Singapura juga memiliki masalah kependudukan. Negara ini memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Pemerintah telah berkali-kali memperbaiki kondisi itu sejak 1980-an dengan kampanye publik yang mendorong persalinan dan memberikan insentif keuangan serta pajak yang dapat menghentikan kemerosotan angka kelahiran.

Tingkat kelahiran di sana hanya 1,14, artinya seorang wanita rata-rata hanya melahirkan seorang anak. Posisi Singapura ini sejajar dengan Hong Kong, namun lebih baik daripada Korea Selatan dan Puerto Rico.

Agar Singapura tak kekurangan warga negara, wanita di sana harus memiliki rata-rata 2,1 bayi. Namun hal itu bukanlah perkara mudah, mengingat di negara maju terjadi penurunan proporsi pasangan dan berkurangnya peran gender tradisional yang menyebabkan tingkat kesuburan turun secara global.

“Seperti banyak negara maju, tantangan utama populasi Singapura adalah kesuburan yang rendah dan populasi yang menua,” demikian tulis pemerintah dalam laporan 2011. ** Baca juga: Seperti Ada yang Menggelinding dalam Perut, Ternyata Ginjal Wanita Ini Jatuh ke Panggul

“Tujuan kami adalah untuk mencapai populasi berkelanjutan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial, sehingga Singapura tetap bersemangat dan layak huni,” terang pemerintah Singapura.(ilj/bbs)