Oleh: Suryadi, M.Si, Pemerhati Kebudayaan
Kabar6-Masih banyak “Hila Hila lain”, tetapi agaknya, Hilarius Japi (66) tergolong penderita stroke berat paling berbahagia di antara mereka. Rekan-rekan seprofesinya di rantau mau ikhlas “menggantikan” peran saudara-saudara kandungnya yang tinggal nun jauh di pedalaman Manggarai Timur (Mangtim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Saudara-saudara barunya” di rantau tak hanya urunan duit, melainkan turun tangan langsung merawatnya. Mereka membawanya pulang agar dapat selalu dekat dengan saudara-saudara kandungnya di kampung halaman. Ini baru Indonesia yang beragam. Gotong-royong masih ada, rupanya!
“Abang, kami sudah tiba. Mekas Hila sehat, sudah kami serahkan kepada kakak kandung tertuanya secara adat. Sederhana saja. Kami berharap Mekas (panggilan untuk laki-laki tua) Hila lekas sembuh sehingga bisa kumpul lagi di Jakarta,” Pieter Sambut berteriak di telepon genggamnya dari Mesi, Mangtim, NTT, Kamis siang (18/9/2023).
Perlu lebih banyak lagi orang seperti teman-teman Hila, khususnya Pieter, di Jakarta atau di mana saja di tanah air. Tentu, yang mau Ikhlas turun tangan langsung merawat.
Jumlah mereka di tanah air yang terserang sakit berat, baik yang selamat maupun dapat dikategorikan berjalan sembuh tapi tetap perlu bantuan intens keluarga dekat, baik materi maupun rawatan yang tulus, tentu bukan cuma stroke. Untuk menyebut beberapa saja di antaranya, selain stroke misalnya, cancer, serangan jantung, diabetes, dan ginjal.
Tentang penderita stroke, dari sekitar 276,4 juta jiwa penduduk di 38 provinsi di Indonesia, 2,9 juta jiwa mengalami serangan yang kerap datang tiba-tiba ini. Salah satu penyebabnya, gaya hidup. “Angka kejadian stroke mencapai 10,9 per 1.000 penduduk atau sekitar 2,91 juta penduduk per tahun. Cedera otak dan saraf mencapai 7,5%,” ungkap spesialis bedah saraf RS Mitra Keluarga Surabaya, Jatim, dr. Nur Setiawan Suroto SpBS (K) (detik.com, Selasa, 30 Mei 2023, 7:26WIB).
Definisi stroke menurut WHO, yaitu ditemukannya tanda-tanda klinis yang berkembang cepat berupa defisit neurologik fokal dan global, yang dapat memberat dan berlangsung lama selama 24 jam atau lebih dan atau dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular (https://p2ptm.kemkes.go.id, 4 Juli 2018)
Hila cuma salah seorang penderita stroke level berat di tanah air. Ia berlatar belakang profesi jurnalis. Secara ekonomi kehidupannya tidak bagus. Ia jurnalis, pernah bekerja untuk media cetak dari sebuah grup koran besar di Jakarta, berkedudukan di Kupang (NTT), sebelum pindah ke Surabaya.
Dari satu kota ia pindah ke kota lain, akhirnya lama ia berlabuh di Jakarta ketika Berita Yudha, koran harian yang di tahun 1995 merintis (berubah) menjadi koran metropolitian, menerimanya sebagai jurnalis.
Kini di Jakarta, Hila jurnalis dari sebuah media online yang tak mampu menggaji alias cuma bergantung dari iklan yang tak seberapa. Toh ia tetap betah dan sungguh-sungguh melakoni hidup sebagai jurnalis. Betul-betul jurnalis, bukan lantaran nirlapangan kerja.
Sendiri di Bilik Kos
AWALNYA, Hila tinggal di bilik kos di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan (Jaksel). Ketika covid-19 belum melanda tanah air, sekali-sekali saat petang hingga malam hari, ia bersama teman-teman masih menyempatkan diri untuk nyanyi-nyanyi di sebuah kafe di sana.
Enam tahun lalu (2017), di bilik kos di Kalibata itu pertama kali ia terserang stroke. Masih tertolong, selamat. Juniornya, Ny. Farida Denura (dengan partisipasi para relasi) mengurus sendiri Hila. Pulih, kemudian ia “diambilkan” bilik kos di Gang Lasykar, dekat stasiun kereta rel listrik (KRL) Citayam, Depok, Jawa Barat. Dekat dari pinggiran Jaksel.
Di bilik kos yang ia huni sendirian di Kampung Peterongan itu pula, Senin malam 7 Agustus 2023, kembali ia terserang stroke berat. Terkapar tak berdaya. Bicara pelo, tak jelas.
Cuma otaknya yang masih berfungsi. Sehingga, keesokan hari, Pieter dihubungi via telepon genggam oleh Mbak Nur (tetangga Hila ) yang mengabari tentang kondisi Hila. Bergegas menumpang kereta rel listrik (KRL), Pieter tiba di bilik kos Hila. Di situ ia dapati Hila dalam keadaan tak berdaya.
Masih terbilang paman Hila, Pascal dari Bekasi tiba dengan “gerobag roda empatnya”, setelah Pieter bersicepat menghubunginya. “Mekas Hila segera kami bawa ke rumah sakit swasta tak jauh dari rumah saya, di dekat terminal Kampung Melayu,” urai Pieter, warga Kayumanis, Jakarta Pusat (Jakpus).
Ia dirawat sebagai pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pemrintah) yang kepesertaannya diperoleh Pieter seketika lewat “perjuangan cepat dan keras”. “Sehari jadi, setelah terpaksa saya banting kartu pers di depan petugas BPJS,” kata Pieter, jurnalis senior yang kini juga jurnalis media online.
Sebelumnya, Hila tidak terdaftar sebagai peserta BPJS. Artinya ia bukan pasien yang dijamin oleh Pemerintah alias biaya sepenuhnya harus tanggung sendiri.
Medsos
TAK seperti mereka yang “gampang berbagi sebelum berpikir panjang”, kali ini manfaat positif media sosial (medsos) dan grup Whatsapp (WA), terasa benar-benar efektif. Dalam hitungan hari, tersebar kabar tentang Hila yang terserang stroke berat. Ia jauh pula dari sanak saudara kandung.
Pieter yang rajin berbagi foto-foto dan informasi perkembangan Hila di face book atau grup wa. Kunjungan serta bantuan berupa uang terus mengalir masuk langsung ke rekening Hila yang disebar Pieter.
Dengan kepedulian teman-teman beda etnis dan agama di Kupang (NTT), Surabaya (Jatim), dan seputar Jakarta, sepekan setelah dirawat, Hila dapat keluar dari rumah sakit. Kemudian, ia ditempatkan oleh Pieter dan keluarga di sebuah bilik kos di sebuah gang di Tegalan, Matraman, Jakarta Pusat (Jakpus). Selanjutnya, dengan BPJS ia rutin kontrol di sebuah rumah sakit sewasta tak jauh dari rumah kosnya.
Makan bergizi dan “berkhasiat” setiap hari disuapkan kepada Hila oleh Pieter, putra bungsu, dan istrinya, Ny. Yuliana. Mereka bertiga setiap hari bergantian sengaja datang ke kamar kos Hila, untuk merawatnya. Saat itu mau duduk saja harus disandarkan. Kepadanya dikenakan pampers, agar kotorannya tak “kucar-kacir” ke mana-mana. Pipisnya lewat selang kateter dialirkan ke “urine bag”.
Kuasa Allah Sang Maha Penentu bekerja. Delapan belas hari kemudian, Hila sudah mampu bangkit. Dia berjalan kaki dengan walker. Sesekali, bahkan, ia mampu berjalan mengunakan “tongkat kaki tiga” di depan rumah kosnya. Kantong plastik pipis tetap menempel menggelantung di paha kaki kanannya.
Persoalan baru, muncul. Penghuni kamar kos yang lain protes karena merasa terganggu dengan kehadiran Hila sejak ia jadi penghuni di salah satu kamar kos di situ. Toh kegembiraan atas kemajuan kesehatannya, tak dapat ditutupi.
Sejalan dengan anjuran banyak dokter bahwa pasien sakit berat, termasuk penderita stroke berat, sebaiknya intens didampingi suami, istri, anak atau saudara kandungnya, seorang dermawan terpanggil membiayai pemulangan Hila ke NTT.
Dermawan itu, pensiunan pemimpin redaksi (Pemred) sebuah koran harian nasional terkemuka di Jakarta. “Pak Rikard Bagun menanggung biaya pemulangannya,” ungkap Hila Bame, Pemred inakoran.com.
Pieter Sambut, yang di NTT bertetangga kampung dengan Hila, berkenan bersama putra bungsunya (Venanto) mengantarkannya. Dibekali surat pengantar dari dr. Norma di rumah sakit tempat semula Hila dirawat di Jaktim, mereka pun memulai perjalanan panjang membawa Hila.
Tak terbayangkan, tetap dengan selang kateter terpasang urine bag menggelantung, mereka menumpang kereta dari Gambir ke Surabaya, Kamis (14/9/2023). Dokter memang tak merekomendasi Hila dibawa dengan pesawat terbang.
Tiba di Ibu Kota Jatim itu esok paginya (15/9/2023). Mereka bermalam di sebuah hotel dekat Pelabuhan Tanjung Perak. Ini untuk memermudah menjangkau pelabuhan. Jadwal keberangkatan kapal fery tujuan Wae Kelambu, Labuanbajo, baru Jumat jelang Tengah hari (16/9/2023).
Dimulailah pelayaran sekitar 32 jam menuju Wae Kelambu, setelah singgah di Pelabuhan Lembar, NTB. Selama dalam perjalanan panjang itu, Pieter bergantian dengan Venanto terus melayani “saudara laki-laki tuanya”.
Ketika sinyal bagus Pieter tak putus menebar informasi melalui fb dan grup wa. Tentu saja informasi-informasi itu, terbaca oleh teman-teman seprofesi di berbagai belahan tanah air, termasuk di Labuanbajo, Manggara Barat (Mangbar), NTT.
Puluhan jam kemudian, Senin pagi (18/9/23), setengah berteriak di telepon genggam Pieter berkabar, “Kami sudah tiba, ini di dermaga Wae Kelambu, Bang. Mekas Hila tampak sehat dan gembira. Seorang marinir turut meperlancar kami turun kapal.”
**Baca Juga: Pemkot Tangsel Minta Sehari Buang Sampah 500 Ton ke TPA Degung di Lebak
Plus untuk Medsos
TIBA di Wae Rabo, mereka singgah dulu di rumah Drs. P.P. Salamin, M.Soc, seorang famili Pieter. Pak Salamin (73) pulang kampung sejak ia pensiun sebagai dosen di FE Unika Atmaja, Jakarta. Rumahnya di Jalan Alo Tani, Labuanbajo.
Rupanya informasi tentang kondisi dan perjalanan Hila, telah lebih dahulu menyebar. Termasuk dibaca oleh rekan-rekan jurnalis di Mangbar. Di rumah Pak Salamin, tak lama kemudian datang Kepala Dinas Kesehatan Mangbar, dr. P. Mami beserta perawat. Menyusul kemudian, tiba pula rekan-rekan jurnalis setempat. “Ini berkat hubungan baik adik-adik jurnalis dengan Dinas Kesehatan di sini,” kata Pieter.
Di sini Hila mendapat pelayanan rumah (home service) cuma-cuma dari rumah sakit yang kebetulan letaknya tak jauh dari rumah Pak Salamin. Dua hari bertutur-turut perawat datang memeriksa Kesehatan Hila. Setelah pelayaran jauh selama 32 jam, Hila diminta istirahat dulu dua hari di situ.
Sebetulnya, dari Borong, ibu kota Mangbar, kampung halaman Hila tidak jauh. Tetapi, untuk menjangkaunya butuh waktu 3 – 5 jam. Kampung halamannya, Mesi, di pelosok Desa Rana Kolong, Kecamatan Kota Komba.
Selain mendaki ke ketinggian sekitar 1.800 di atas permukaan laut (dpl), menuju ke Mesi juga harus menempuh jalan rusak berat. Di atas mobil bak terbuka yang melaju terseok-seok sangat lambat, penumpang terbanting ke kanan ke kiri. Hila, tentu saja, ditempatkan di kabin.
Perjalanan cuma bisa ditempuh dengan mobil bak terbuka yang harus diisi pemberat, agar bisa terus bergerak menanjak. Juga, kendaraan sejenis itu baru bisa didapat di kampung Pieter, di Watugong di jalan utama Transflores. Jauh sebelum Mesi.
Hilarius Japi, penderita stroke berat itu, kini sudah di kampung halamannya. Ia sehari-hari dirawat langsung oleh kakak laki-laki tertua, adik-adik kandungnya, serta keponakan-keponakannya.
Jaminan
TAK semua penderita stroke berat seberuntung Hila. Dalam kesendiriannya di Jakarta, teman-teman mendadak jadi saudara. Sudah tiba waktunya, tampaknya, Pemerintah melibatkan rumah-rumah ibadah semua agama yang terserak bejibun di tanah air. Tujuannya, menghidupkan silaturahim agar kedermawanan nan ikhlas melihat sesama secara “lintas Indonesia”, menjadi kebiasaan dan secara produktif terlembagakan.
Dengan demikian, kedermawanan tak cuma muncul “kagetan” di kala sesama sakit berat atau meninggal dunia. Sebab, kesusahan itu bermacam-macam dan terjadi tak kenal waktu. Termasuk, misalnya, untuk makan sehari-hari saja susah atau ketika tiba tahun ajaran baru, kesulitan uang untuk membiayai kelanjutan pendidikan anak.
Terkait Hila, seberapa banyak jurnalis yang senasib dengannya di tanah air? Tentu, memerlukan perhatian lembaga tempatnya bekerja, organisasi profesinya, dan Dewan Pers (DP). Hal ini berkait erat dengan media yang bukan saja sebagai industri, tapi media yang punya fungsi sosial besar. Untuk itu perlu memasukkan, antara lain jaminan kesehatan dalam kewajiban mensejahterakan awak media. Setidaknya, dalam batas-batas yang terjangkau.
Sebab, selain persoalan gaya hidup seseorang (baca: jurnalis), jaminan dari pemerintah sebatas (paket) rawat jalan atau rawat inap. Selebihnya, biaya-biaya lain menjadi tanggung jawab si sakit atau keluarga. Di sinilah peran keluarga dekat, fungsinya tidak kecil, baik dalam pendekatan materi maupun moril.
Profesi bukan cuma jurnalis. Sakit berat bisa menyerang siapa saja. Perlu rawatan yang berhati secara intens dan berlanjut. Masih banyak “Hila Hila yang lain”! (*/Red)