oleh

Penundaan UU Antideforestasi Uni Eropa: Indonesia Jangan Lengah

image_pdfimage_print

Kabar6-Keputusan Uni Eropa (UE) untuk menunda penerapan UU Antideforestasi selama 12 bulan merupakan kabar baik bagi negara-negara penghasil komoditas seperti Indonesia.

Dengan adanya penundaan ini, para produsen sawit, kopi, kakao, kedelai, dan daging sapi mendapatkan waktu tambahan untuk mempersiapkan diri menghadapi aturan ketat yang dirancang untuk mengatasi deforestasi global.

Namun, meski penundaan ini bisa dianggap sebagai kemenangan sementara bagi Indonesia, hal tersebut bukan alasan untuk lengah. Justru, momen ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan reformasi yang berkelanjutan dalam industri agrikultur dan perkebunan, terutama terkait rantai pasok yang ramah lingkungan.

**Baca Juga: Ketimpangan Menjadi Ancaman Bagi Ekonomi Indonesia, Akar Masalah dan Bagaimana Mengatasinya?

Dampak Penundaan UU Antideforestasi

Penundaan ini merupakan hasil dari tekanan yang besar dari negara-negara penghasil komoditas seperti Brasil dan Indonesia, yang menganggap aturan ini akan memberatkan industri mereka, terutama bagi para petani kecil. Aturan yang tertuang dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) tersebut mengharuskan negara pengirim produk ke Uni Eropa untuk memastikan bahwa rantai pasok mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara produsen karena persyaratan sertifikasi yang dianggap memberatkan.

Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran terbesar adalah potensi dampak negatif terhadap ekspor kelapa sawit. Industri sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia, dan banyak pihak khawatir bahwa aturan ketat tersebut akan menurunkan daya saing produk sawit di pasar global. Selain sawit, produk lain seperti kopi, kakao, dan kayu juga diperkirakan akan terdampak.

Namun, penundaan ini tidak hanya memberi waktu tambahan bagi pelaku industri, tetapi juga menjadi kesempatan bagi pemerintah dan pengusaha di Indonesia untuk meninjau kembali pendekatan yang telah diambil dalam beberapa tahun terakhir.

Penundaan bukan berarti pembatalan, dan pada akhirnya, EUDR tetap akan diberlakukan. Jika Indonesia tidak memanfaatkan waktu ini dengan baik, kita berpotensi menghadapi tantangan yang sama atau bahkan lebih besar ketika aturan ini benar-benar diterapkan.

Jangan Lengah: Reformasi Industri Dibutuhkan

Meskipun ada penundaan, Indonesia tidak boleh lengah. Justru, ini adalah saat yang tepat untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang selama ini belum terselesaikan. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia harus memanfaatkan waktu penundaan ini untuk melakukan reformasi.

Pertama, tuntutan akan keberlanjutan di pasar global terus meningkat. Konsumen, terutama di negara-negara maju, semakin peduli terhadap isu-isu lingkungan dan sosial.

Mereka menginginkan produk yang dihasilkan dengan cara yang ramah lingkungan dan bebas dari praktik-praktik eksploitatif, termasuk deforestasi. Jika Indonesia gagal memenuhi ekspektasi ini, daya saing produk kita akan tergerus, tidak hanya di pasar Eropa, tetapi juga di pasar lain yang mengikuti tren yang sama.

Kedua, Indonesia sebenarnya sudah memiliki komitmen untuk mengurangi deforestasi melalui berbagai kebijakan, termasuk program Sustainable Palm Oil dan moratorium izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut.

Namun, implementasi di lapangan sering kali masih jauh dari harapan. Masalah seperti lemahnya pengawasan, korupsi, dan ketidakpatuhan terhadap regulasi lingkungan menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, penundaan EUDR ini seharusnya dimanfaatkan untuk memperbaiki kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang ada, sehingga ketika aturan tersebut akhirnya diberlakukan, Indonesia sudah siap dengan rantai pasok yang lebih berkelanjutan.

Momen untuk Mempersiapkan Diri

Selama masa penundaan ini, pemerintah dan pelaku industri di Indonesia harus bekerja sama untuk mempersiapkan diri. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain adalah:

Pertama, Peningkatan Transparansi dan Sertifikasi: Rantai pasok produk Indonesia harus semakin transparan, dengan sertifikasi yang diakui secara internasional. Program sertifikasi seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) harus ditingkatkan agar dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh EUDR. Produk-produk lain seperti kopi dan kakao juga harus memperhatikan keberlanjutan dalam rantai pasok mereka.

Kedua, Pendampingan Petani Kecil: Salah satu kekhawatiran utama terkait EUDR adalah dampaknya terhadap petani kecil. Pemerintah harus memberikan pendampingan dan insentif kepada petani kecil agar mereka dapat memenuhi standar keberlanjutan. Pelatihan, teknologi, dan akses terhadap pendanaan hijau perlu ditingkatkan.

Ketiga, Pengawasan yang Lebih Ketat: Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap praktik-praktik deforestasi ilegal dan pelanggaran lingkungan lainnya. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar akan memberikan sinyal kuat bahwa Indonesia serius dalam menjaga kelestarian hutan.

Keempat, Dialog dan Diplomasi: Pemerintah juga harus melanjutkan dialog dengan Uni Eropa untuk memastikan bahwa aturan yang diberlakukan bersifat adil dan tidak terlalu membebani negara-negara berkembang. Diplomasi yang baik dapat membantu menciptakan aturan yang lebih fleksibel, tanpa mengorbankan tujuan utama dalam mengatasi deforestasi global.

Penundaan UU Antideforestasi oleh Uni Eropa memberikan ruang bagi Indonesia untuk berbenah. Namun, ini bukan berarti kita bisa berleha-leha. Justru, ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki kelemahan dalam rantai pasok, memperkuat komitmen terhadap keberlanjutan, dan mempersiapkan diri menghadapi tuntutan pasar global yang semakin ketat. Jika kita memanfaatkan waktu ini dengan baik, Indonesia tidak hanya bisa mempertahankan daya saing di pasar global, tetapi juga berkontribusi lebih signifikan terhadap upaya global dalam mengatasi krisis lingkungan.Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)