oleh

WAGIMAN

image_pdfimage_print

Pemberian nama pada saudara-saudara kita di komunitas suku Jawa secara umum berkaitan erat dengan weton atau hari kelahiran.Tujuannya agar tidak melupakan sejarah hari kelahiran mereka seumur hidupnya. 

Weton atau hari kelahiran, terdiri dari dino (Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jemuah, Setu, Ngahat) dan pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Oleh karena itu, nama-nama sebagian orang Jawa juga didasarkan pada dino dan pasaran atau gabungan dari keduanya.

Nama Wagiman sendiri diberikan kepada anak yang lahir pada pasaran Wage, itu kalau anaknya lelaki.Tapi kalau perempuan biasanya akan diberi nama Wagini atau Waginah.

Tapi tulisan ini sebetulnya tidak ingin membahas soal nama Wagiman atau Waginah, tetapi soal Wagiman yang disampaikan oleh salah seorang mahasiswa yang berorasi saat Forum Aksi Mahasiswa (FAM) Tangerang dan Solidaritas Pelajar Untuk Rakyat’ menggelar aksi di depan halte Yeppentek Jl. Printis Kemerdekaan, Cikokol Kota Tangerang, Selasa (18/4/2017) lalu. Mahasiswa itu menguraikan kalimat Wagiman menjadi ‘Walikota Gila Taman’.

Kordinator aksi tersebut Sandy Purnama mengatakan, jika pemerintah daerah kota Tangerang belum sepenuhnya menjalankan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.”mereka jangan hanya sibuk bangun taman untuk menarik investor agar masuk dan berdatangan, tapi ingat rakyat butuh pendidikan dan kesehatan yang layak, bukan taman,” katanya.

Terlepas dari suara mahasiswa soal gila taman itu, saya hanya ingin urun rembug sedikit tentang bagaimana sebenarnya sebuah taman yang layak disebut sebagai Taman Kota dan memenuhi standart secara estetika.

Taman bagi sebuah kota memang dibutuhkan untuk membantu fungsi hidrologi dalam hal penyerapan air dan dapat mengurangi potensi banjir sekaligus menjalankan fungsi ekologis, sebagai penjaga kualitas lingkungan kota.

Taman kota sebagai bagian dari ruang terbuka hijau, harus dikembangkan pada bagian–bagian kota sesuai hirarkinya, sehingga terbentuk taman skala kota yang terstruktur, diarahkan untuk estetika perkotaan, maupun sebagai ruang kesehatan lingkungan perkotaan, fasilitas olahraga dan rekreasi.

Lalu berapa standart luas taman yang harus dibangun di sebuah kota. Ada pendapat yang menyatakan antara 7 hingga 11,5 meter persegi per orang . Taman kecil luasnya kurang dari 2 ha, taman menengah luasnya 20 ha dan taman besar luasnya minimal 60 ha.Nah inilah baru layak disebut sebagai taman kota.

Dan material landscape atau vegetasi yang harus dipenuhi pada sebuah taman kota, ada juga ketentuannya, seperti tanaman kayu keras, perdu, rumput, semak, gazebo, stepping stone dan seterusnya.

Untuk mengetahui lebih dalam soal taman kota, mungkin bisa membaca tulisan-tulisan Frances Kuo dari Landscape and Human Health Laboratory University of Illinois atau referensi Landscape Gardening lainnya.

Jadi, taman-taman yang selama ini dianggap sebagai taman itu, sebetulnya belum ada yang layak disebut sebagai taman kota.Jadi apa dong namanya?.Yah ruang terbuka yang ditanami pohon, ada tanah lebih tanami pohon macam-macam, lalu kita sebut saja taman kota. Yang penting bisa digunakan untuk bermain dan berkumpul.

Yang saya juga ikut bingung, selain penyebutan yang belum tepat untuk taman kota itu, juga soal tata lampu di kota ini, menurut pengamatan saya diletakkan secara semau gue, ditempel di pohon-pohon, di kolong-kolong pipa air atau pipa listrik, tanpa memperhitungkan nilai estetika dan teknis.

Sebab penerangan sebuah kota juga ada aturannya, serta ditentukan oleh jenis dan kualitas lampu yang digunakan. 

Misalnya untuk penerangan jalan, perhitungannya harus selalu berdasarkan efektivitas yakni lumen/watt.Apakah sebuah lokasi cocok dipasangi jenis mercuri atau sodium, dan seberapa tingkat iluminasi yang dibutuhkan di prapatan jalan protokol, di jalan kelas tiga, di ruang terbuka serta berapa jarak ideal antar titik lampu.

Kemudian dalam hal pemilihan jenis lampu dan merk, juga ikut menentukan hasil pencahayaan, sekaligus tingkat hemat borosnya penggunaan listrik.Bila lampu-lampu yang digunakan adalah jenis konvensional, jelas pemakaian listriknya akan boros, dan pemerintah kota di seluruh dunia sudah mulai beralih menggunakan Light Emitting Diode (LED), untuk hemat energi dan hemat pembayaran tagihan listrik.

Jadi bila adik-adik mahasiswa mau bilang Wagiman ya soookkk lah, saya cuma ikut nimbrug sedikit, karena kebetulan diingatkan dengan teman sekolah saya SMA dulu yang namanya Wagiman keturunan Puja Kesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).(zoelfauzilubis@yahoo.co.id) 

Print Friendly, PDF & Email