1

Pemenuhan Air Bersih dan Sanitasi yang Layak Bagi Perempuan di Wilayah Pesisir Indonesia di WWF-10

Kabar6-Indonesia sedang menjadi tuan rumah penyelenggaraan the World Water Forum (WWF) ke-10 yang berlokasi di Nusa Dua Bali pada tanggal 18-25 Mei 2024. WWF tahun ini mengusung tema “Water for Shared Prosperity” (Air untuk Kemakmuran Bersama).

Dalam sambutannya, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menekankan tentang pentingnya kerja sama antar negara untuk mempromosikan pengelolaan sumber daya air yang efisien dan terintegrasi, dan digunakan untuk kemakmuran bersama.

Presiden menekankan beberapa agenda penting yang harus diprioritaskan, diantaranya: upaya konservasi air, ketersediaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam seperti banjir dan kekeringan.

**Baca Juga:Indonesia Serukan Penyelamatan Danau di World Water Forum ke-10

Yuna Farhan, Country Manager IBP Indonesia, menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang selayaknya diperhatikan oleh seluruh pemerintah di dunia karena besarnya populasi dan tingginya kerentanan atas resiko bencana dan perubahan iklim.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sekitar 40 persen populasi dunia – termasuk 60 persen penduduk Indonesia – tinggal di wilayah pesisir, atau disebut juga wilayah zona dekat pantai dengan ketinggian kurang dari 100 m dan jaraknya kurang 100 km dari pantai.

Di Indonesia, sektor kelautan dan pesisir memiliki potensi kerugian ekonomi dampak perubahan iklim mencapai lebih dari Rp 80 triliun per tahun, tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya.

Sejak 2019 lalu, Koalisi Masyarakat untuk Air & Sanitasi Berkeadilan, Inklusif dan Berkelanjutan (Just-In WASH Coalition Indonesia) yang terdiri dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Perkumpulan Inisiatif, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan International Budget Partnership (IBP) mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan permasalahan yang dialami oleh masyarakat pesisir, khususnya terkait dengan kehidupan dan penghidupan nelayan kecil dan tradisional, termasuk akses atas air bersih dan sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan pesisir di Indonesia.

Perempuan yang berdomisili di wilayah pesisir kekurangan akses terhadap air bersih dan sanitasi disebabkan sumber daya publik belum dikelola secara adil dan efektif.

Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI, menilai pembangunan air bersih dan sanitasi di Indonesia saat ini lebih berorientasi pemukiman perkotaan daripada wilayah pesisir. Di sisi lain, sekurangnya ada 1.800 km garis pantai di Indonesia berisiko tinggi terhadap ancaman kenaikan muka air laut dan abrasi yang berpotensi memberikan dampak negatif terhadap sektor pemukiman, ekonomi, dan asset penghidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia (Bappenas, 2018).

Dani menjelaskan bahwa lebih dari 8 juta perempuan dari 17,74 juta penduduk miskin (BPS, 2022) yang berdomisili di kawasan pesisir Indonesia rentan menderita gangguan kesehatan disebabkan buruknya layanan air minum dan infrastruktur sanitasi di permukiman mereka.

Resiko diperparah oleh dampak perubahan iklim yang mereka alami. Gangguan kesehatan yang dimaksudnya diantaranya berupa penyakit kulit, diare, demam berdarah, malaria, dan TB paru. Gangguan kesehatan yang diderita perempuan pesisir berdampak pada kondisi kesehatan dan keluarga nelayan mengingat peran mereka yang sangat dominan dalam menyediakan akses atas air minum dan fasilitas sanitasi keluarga.

Survey pendataan keluarga nelayan tradisional di 26 kabupaten/kota serta pemetaan partisipatif yang dilaksanakan di 5 wilayah pesisir (Kampung 05 Bagan Deli dan Kampung Nelayan Sebrang-Kota Medan, Kampung Dadap-Kabupaten Tangerang, Semarang Utara-Kota Semarang, Kwanyar-Kabupaten Bangkalan, dan Jerowaru-Kabupaten Lombok Timur) oleh KPPI dan Perkumpulan INISIATIF pada tahun 2023 lalu menunjukkan bahwa akses atas air minum dan air bersih, fasilitas sanitasi, dan pengelolaan sampah di wilayah pesisir sangatlah memprihatinkan. Selain itu, wilayah-wilayah tersebut mengalami kenaikan ketinggian muka air laut akibat dari dampak perubahan iklim.

“Wilayah desa pesisir tidak memiliki infrastruktur saluran air limbah domestik yang memadai, termasuk septictank. Hasil pemetaan partisipatif menunjukan bahwa lebih dari 90 persen rumah tangga nelayan di Medan, Tangerang, dan Bangkalan tidak memiliki saluran pembuangan limbah rumah tangga dan saluran pembuangan air kotor serta membuang air limbah domestiknya langsung ke daratan terbuka, saluran drainase, sungai, maupun pantai atau laut,” ujar Dadan Ramdan, Sekretaris Jenderal Perkumpulan INISIATIF, dalam rilis resminya kepada kabar6.com, Kamis (23/5/2024).

Dadan juga mengatakan bahwa akses atas air minum merupakan masalah besar dan mahal yang dihadapi oleh keluarga nelayan. Hanya 11.9 persen rumah tangga di Medan yang mengaku mendapatkan air bersih dari PDAM. Sementara itu keluarga nelayan di daerah lainnya mengusahakannya secara mandiri, diantaranya dengan membeli air bersih yang menghabiskan rata-rata Rp 250-400 ribu setiap bulannya.

Di Lombok Timur, masyarakat pesisir harus bergantung pada pasokan air baku yang bersumber dari kabupaten lain dan sebagian besar diangkut dengan menggunakan truk tangki air.

Rosinah, Ketua Umum KPPI menegaskan bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting sekaligus sebagai penanggung jawab utama dalam keluarga dalam menyediakan air bersih, memelihara fasilitas sanitasi, serta mengelola sampah di lingkungan keluarga.

“Sekitar kurang lebih 220 ribu perempuan dan anak di lima wilayah pesisir yang disurvey dan dipetakan rentan mengalami gangguan kesehatan yang disebabkan oleh buruknya fasilitas sanitasi serta rendahnya akses atas air bersih yang berkualitas,” katanya.

Rosinah menyoroti bahwa perempuan dengan identitas berlapis adalah kelompok yang paling rentan mengalami masalah tersebut. Perempuan dengan identitas berlapis yang dimaksud adalah perempuan yang berasal dari keluarga nelayan miskin, lansia, perempuan buruh nelayan, perempuan penyandang disabilitas, perempuan nelayan kepala keluarga, korban kekerasan seksual, maupun anak perempuan korban pernikahan dibawah umur.

Kerentanan yang mereka alami diantaranya disebabkan oleh kemiskinan yang dialaminya, kurang tanggapnya pemerintah dalam merespon masalah dan kebutuhan mereka, perlakuan diskriminatif, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, serta ketiadaan akses atas pengambilan keputusan maupun akses atas program-program pemerintah yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.

Studi yang dilakukan oleh Seknas FITRA terkait kebijakan dan anggaran air minum dan sanitasi di wilayah pesisir di 5 kabupaten/kota menunjukkan bahwa rendahnya kualitas layanan air minum dan fasilitas sanitasi memiliki relevansi dengan tata kelola anggaran yang tidak mempertimbangkan kebutuhan perempuan miskin dan karakteristik wilayah pesisir. Hal ini dapat dilihat dari: (1) perencanaan anggaran yang belum sensitif gender; (2) alokasi anggaran tidak mencukupi; serta (3) belanja anggaran tidak tepat sasaran.

Ervyn Kaffah, Wakil Sekretaris Jenderal FITRA, menjelaskan bahwa kredibilitas anggaran untuk sektor air minum dan sanitasi terutama di daerah sangatlah rendah. Menurutnya, selama kurun waktu 1999-2022, rata-rata realisasi anggaran pemerintah daerah di 5 kabupaten kota wilayah studi untuk sektor air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah berkisar antara 10-34 persen dari total anggaran yang direncanakan.

Rendahnya serapan anggaran tersebut diantaranya karena keterlambatan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Selain itu, studi ini menemukan pula bahwa alokasi anggaran untuk sektor tersebut sebagian besar digunakan untuk belanja gaji dan operasional aparatur pemerintah.

Yuna (IBP) menyatakan bahwa persoalan di atas dapat diatasi dengan adanya sistem tata kelola sumber daya publik yang inklusif, adil, dan menjamin akses atas air minum dan fasilitas sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan miskin pesisir serta memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

Tata kelola anggaran dan layanan air minum dan sanitasi harus mempertimbangkan karakteristik wilayah pesisir dan memprioritaskan kebutuhan perempuan miskin melalui pendekatan yang terintegrasi dan pengelolaan anggaran yang kredibel. Hal ini termasuk penyelesaian secara tepat atas berbagai persoalan mendasar yang dialami masyarakat pesisir, seperti masalah status pertanahan dan administrasi kependudukan sebagai bentuk pengakuan negara atas keberadaan mereka.

Berdasarkan uraian di atas, Just-In WASH Coalition Indonesia meminta Pemerintah untuk:
1. Mengembangkan kebijakan air bersih dan sanitasi yang berorientasi wilayah pesisir dan memprioritaskan pemenuhan air bersih dan sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan anak-anak di wilayah pesisir Indonesia

2. Melakukan mainstreaming gender dalam perencanaan dan penganggaran air bersih dan sanitasi serta memperbaiki pengendalian belanja pemerintah untuk meningkatkan kredibilitas anggaran

3. Memastikan keterlibatan kelompok rentan di wilayah pesisir seperti perempuan dan nelayan skala kecil dalam perencanaan penganggaran sektor sanitasi dan air bersih di wilayah pesisir. (Oke)

 




Subak, Cermin Pembagian Air Berkeadilan di Pulau Dewata

Kabar6-Pemandangan alam yang memukau menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Dewata, selain kekayaan tradisi dan budayanya. Bahkan, tak jarang pemandangan alam yang indah terbentuk berkat tradisi dan budaya yang dijaga sekian lama.

Salah satu yang menjadi perhatian dunia adalah pemandangan hamparan sawah bertingkat di dataran tinggi Bali. Seperti lahan berundak-undak seluas sekitar 300 hektare di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Hamparan sawah yang ditanami padi, menghiasi sepanjang jalan.

Sawah di sana dipertahankan sudah sejak ratusan tahun dan tumbuh subur berkat bantuan sistem pengairan yang adil bagi seluruh petani. Sistem pengairan dikelola bersama melalui organisasi mereka yang dikenal dengan ‘subak’.

**Baca Juga:Kebijakan ‘Zero Delta Q’ Jadi Gagasan Indonesia di World Water Forum ke-10

Subak Jatiluwih menjadi salah satu contoh sistem pengairan sawah yang khas di Pulau Dewata. Sejak ratusan tahun mereka memanfaatkan parit sebagai tempat penampungan air yang akan terus mengalir ke sawah-sawah mereka.

Pengelola daya tarik wisata Subak Jatiluwih, John K Purna, yang juga menekuni pertanian, menjelaskan bahwa para petani di wilayah tersebut sudah bergabung dalam kelompok secara turun-temurun.

Tidak diketahui sejak kapan masyarakat di Jatiluwih menggunakan sistem irigasi subak, lantaran secara berkelanjutan keturunan mereka sudah bergabung dan mendapat aliran air dari parit.

Saat ini, kelompok petani dibagi dalam tujuh tempekan yang dipimpin oleh ketua adat yang disebut Pekaseh. Satu kelompok rata-rata terdiri 35 petani, sehingga seluruh petani berjumlah 254 orang.

Budaya pertanian ini terus dipertahankan lantaran bekerja dengan landasan keadilan. Hal ini tercermin dari pembagian air yang merata bagi seluruh anggota.

Masyarakat juga bertahan dengan sistem gotong royong. Mereka memelihara parit dan merawat subak agar selalu bersih dan mampu mengairi air ke sawah-sawah mereka.

“Leluhur kami dahulu tahu dimana sumber air. Jadi dari atas dibuat parit dibawa ke sawah. Jadi tergantung berapa besaran lahan yang mereka punya, sebanyak itu air yang diberikan Ini tradisi yang selalu kami pertahankan,” kata John seperti dikutip dalam rilis tim komunikasi dan media World Ater Forum ke 10, Minggu (5/5/2024).

Di sejumlah titik kawasan Subak Jatiluwih terdapat tembuku atau tempat pembagian air. Dari tempat itu air akan masuk ke parit yang disemen, lalu mengalir satu per satu dari sawah paling atas ke hilir tanpa bantuan mesin apapun.

“Kalau sawah di luar Bali umumnya mengambil air sebisanya, ada air di bawah diangkat secara manual, sementara disini tidak boleh. Semua sumber air mengalir, tidak bisa tiba-tiba ambil air orang,” ucapnya.

Penduduk meyakini, warisan budaya yang diakui UNESCO ini terus eksis berkat implementasi Tri Hita Karana yang terus diamalkan. Mereka tidak hanya menjaga keseimbangan dengan manusia, namun juga dengan alam, dan dengan Tuhan.

Akhirnya, seluruh elemen bekerja merawat sawah di dataran dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Mdpl) itu.

Sumber Air Hutan Batukaru

Setiap hari air yang mengairi Subak Jatiluwih berasal dari Hutan Batukaru.Tumbuhan yang lebat di hutan itu menyimpan air saat musim hujan dan mengeluarkan air saat kemarau.

Kekayaan hutan tersebut kemudian dimanfaatkan. Air dari sana mengalir ke tebing-tebing dan diarahkan ke tanggul dan dari sana air mengalir ke sawah.

Sampai saat ini masyarakat tidak pernah terkendala akan pemenuhan kebutuhan air. Selain karena ditampung di tanggul, Tabanan memiliki sejumlah lokasi mata air. Apalagi, pembagian air dilakukan berlandaskan keadilan dan gotong royong, sehingga tak sampai mengalami kekurangan.

Budaya pertanian Subak Jatiluwih tidak hanya soal sistem pengairannya yang khas, namun kekompakan mereka dalam bertani.

Jika di daerah lain setiap pemilik sawah berhak bekerja dengan waktu sesukanya, di sini berbeda. Mereka selalu menanam dan memanen secara serentak, bahkan tanaman padi yang ditanam juga wajib jenis beras merah saat masa tanam musim hujan.

Saat musim tanam bulan Desember seluruh petani memiliki waktu seminggu untuk masa penanaman. Mereka akan merawat sawahnya hingga Mei ketika padi mulai menguning dan Juni mulai panen.

Jatiluwih yang khas dengan beras merah ini menghasilkan produk dua kali lipat dari beras biasa. Dalam sekali panen petani bisa mendapat 5-6 ton beras merah per hektare. Tinggi tanaman padi yang menghasilkan beras merah sekitar 2 meter, sedangkan padi biasa hanya 1 meter.

Wilayah yang saat ini menjadi salah satu daya tarik wisata Pulau Dewata itu kini terus dikembangkan agar tetap bertahan dengan contohnya mendorong penerapan pertanian organik.

Saat ini baru 5 persen dari ratusan petani yang menerapkan pertanian organik. Persentase yang masih rendah ini karena modal awal membuat pertanian organik tidak sedikit.

Namun, pasar bagi beras organik terbuka lebar, bahkan selisih harga jualnya mencapai Rp10.000 per kilogram dibanding beras biasa.

Apabila Jatiluwih kembali dapat mendobrak kekurangan ini, maka mereka dapat semakin terkenal dan memiliki kekhasan selain karena pengairannya.

Kekayaan Subak Jatiluwih ini telah mengantarkan mereka sebagai salah satu lokasi yang dipilih untuk karyawisata delegasi World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan berlangsung 18-25 Mei 2024.

Mengenalkan Subak Jatiluwih

Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Subak Jatiluwih kini mulai merancang kegiatan untuk delegasi yang nanti akan melihat sawah berundak-undak di sana.

Para delegasi, utamanya kepala negara dijadwalkan akan hadir pada Jumat, 24 Mei 2024. Panitia akan menyajikan teh beras merah khas Jatiluwih Tabanan lengkap dengan pentas Tari Metangi dan pertunjukan aktivitas pertanian sehari-hari.

Sejumlah pemandu disiapkan untuk memaparkan budaya pertanian di sana, terutama bagaimana air diatur subak untuk kesejahteraan bersama.

Di sepanjang hamparan sawah terasering, terdapat lintasan joging yang selalu digunakan wisatawan untuk melihat subak lebih dekat. Namun, dalam kunjungan delegasi kali ini pengelola memperkirakan hanya sampai di pinggir jalan sebelum memasuki jalur trek.

Rata-rata dalam sehari 1.000 wisatawan datang ke DTW tersebut untuk menyusuri sawah selama 1-2 jam. Sekitar 85 persen di antara mereka adalah wisatawan mancanegara, terutama Eropa.

Penjajakan pasar wisatawan Subak Jatiluwih belakangan kian melebar dengan mulai masuknya wisatawan dari India, Vietnam, dan Thailand.

Dengan mengenalkan Subak Jatiluwih ke perwakilan negara-negara di dunia, selain dapat menunjukkan budaya bertani juga bisa berbagi pengetahuan soal pemerataan dalam pemanfaatan air. Diharapkan momen tersebut juga akan menjadi pemantik datangnya wisatawan ke Pulau Dewata lebih banyak lagi.(red)




Indonesia Gandeng 43 Duta Besar di World Water Forum ke-10

Kabar6-Indonesia kembali mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah acara internasional. Pada 18–25 Mei 2024, World Water Forum ke-10 akan digelar di Bali dengan mengusung tema utama “Water for Shared Prosperity” (Air untuk Kesejahteraan Bersama).

Dalam rangka mempersiapkan World Water Forum ke-10, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, mengadakan agenda rapat Briefing World Water Forum ke-10 dengan mengundang 43 Duta Besar dan 4 Organisasi Internasional pada 4 Maret 2024.

Menteri Luhut menjelaskan bahwa air tidak hanya esensial bagi kehidupan manusia, melainkan juga untuk seluruh kehidupan di alam. Degradasi lingkungan yang semakin masifmenurutnya telah mengancam ketersediaan air di seluruh muka bumi.

Karena itu, Pemerintah Indonesia mengajak seluruh pihak untuk berpartisipasi aktif dalam World Water Forum ke-10. Menteri Luhut berpesan bahwa inovasi dan kontribusi nyata sangat diperlukan untuk mewujudkan masa depan air yang berkelanjutan.

“World Water Forum ke-10 akan menjadi forum air yang sangat besar. Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan forum ini sejak hampir satu tahun lalu. Berbagai keperluan seperti akomodasi peserta juga dipastikan tersedia guna menunjang gelaran forum,” kata Menteri Luhut dikutip Jumat (8/3/2024).

Deklarasi Menteri WWF ke-10

World Water Forum ke-10 akan menjadi kesempatan yang baik untuk mendiskusikan berbagai hal terkait kebijakan pengelolaan air di tingkat global. Deklarasi Para Menteri terkait pembahasan air, iklim, pangan, energi, dan kesehatan juga akan disampaikan dalam forum ini.

**Baca Juga: HIPMI Kabupaten Tangerang Sukses Gelar Muscab, Agus Mulyana Terpilih Jadi Ketua

World Water Forum ke-10 di Indonesia tentu tidak sebatas melahirkan dokumen atau deklarasi. Indonesia berharap agar forum internasional ini mampu menjawab tantangan air global dan menciptakan akses air bersih secara berkeadilan di setiap negara.

Penyelenggaraan World Water Forum ke-10 terdiri atas tiga komponen, yaitu proses tematik (thematic process), proses regional (regional process), serta proses politik (political process). Pentingnya proses politik ditekankan dalam agenda rapat bersama Menko Marves.

Proses politik diperlukan untuk mengintegrasikan hasil pembahasan sains dalam forum agar suatu kebijakan bisa diimplementasikan ke masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia mengundang para pemimpin negara dan pejabat terkait untuk bersama-sama membicarakan dan mencari solusi atas persoalan air.

4 Fokus Pembahasan

World Water Forum ke-10 akan fokus membahas empat hal, yakni konservasi air (water conservation), air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation), ketahanan pangan dan energi (food and energy security), serta mitigasi bencana alam (mitigation of natural disasters).

Sebanyak 244 sesi dalam forum tersebut diharapkan dapat memberikan hasil konkret: pengarusutamaan pengelolaan air terpadu untuk pulau-pulau kecil; pembentukan center of excellence untuk ketahanan air dan iklim; proyek terkait air; dan penetapan Hari Danau Sedunia.

Pemerintah Indonesia menargetkan World Water Forum ke-10 akan dihadiri sekitar 30.000–50.000 peserta dari berbagai negara. Disampaikan dalam agenda rapat, peran penting para Duta Besar dalam menyosialisasikan acara World Water Forum ke-10 agar lebih banyak peserta yang berkontribusi dalam forum ini.(Red)