1

Fahri Hamzah: Sistem Proporsional Tertutup akan Jadikan Parpol Ternak Politisi dan Anggota DPR Penyalur Bansos

Kabar6-Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengaku tidak sepakat dengan rencana sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional tertutup. Menurutnya, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan mandat yang berprinsip kepada hak kedaulatan rakyat.

“Dalam demokrasi teorinya penerima mandat itu individu-individu. Sistem terbuka itu ada prinsip kedaulatan rakyat. Tidak boleh rakyat ditorpedo oleh kedaulatan politik tertutup,” kata Fahri Hamzah saat bincang hangat dengan pemimpin media di Tuwa Kawa Cafe Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (18/03/2023), petang.

Dalam bicang hangat yang dihadiri Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta bertajuk ‘Menakar Peluang Indonesia Menjadi Super Power Baru Dunia’ Fahri Hamzah menyebut sistem pemilu proporsional tertutup akan merenggut kedaulatan rakyat dan menjadi kedaulatan partai politik (parpol).

Ia mengatakan sistem pemilu tertutup hanya akan menjadikan parpol sebagai peternak politisi. Fahri Hamzah menyebut, anggota DPR dari partai politik saja yang sekarang dipilih rakyat langsung duduk di parlemen, banyak lupanya kepada rakyat. Apalagi yang dipilih itu parpol nya, tentu rakyatnya hilang.

“Mau jadi peternak politisi. Sekarang saja dipilih rakyat itu lupa rakyatnya. Apalagi yang dipilih itu parpol. Tentu rakyatnya hilang. Tidak ada lagi rakyat karena kita tidak tahu siapa yang kita pilih,” katanya.

Fahri menambahkan Partai Gelora meminta agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Hal itu, kata dia, bertujuan agar rakyat mengetahui sosok yang dipilihnya.

“Kami di Partai Gelora, kalau menang itu ingin semua anggota dewannya orang-orang yang bebas, tidak akan dipecat kalau berbeda pendapat dengan partainya,” tandasnya.

Fahri juga mengungkapkan target yang akan dicapai partai bernomor urut 7 peserta Pemilu 2024, yakni empat kursi pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 nanti. Menurutnya, target kursi itu sesuai dengan komposisi partai yang sudah siap bertarung pada Pemilu 2024.

“Doakan saja Partai Gelora menang di NTB. Ya minimal kami bisa isi empat kursi di DPRD NTB,” ucap Fahri Hamzah

Bagi-bagi Bansos
Dalam kesempatan ini, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah juga melontarkan kritik pedas terhadap Anggota DPR yang suka bagi-bagi bantuan sosial (bansos). Menurut Fahri, tugas bagi-bagi bansos itu bukanlah pekerjaan anggota DPR.

“Rupanya mereka jadi penyalur bansos. Itu bukan tugas anggota dewan. Pekerjaan anggota dewan itu tinggi. Dia diberikan perlindungan, diberikan hak imunitas,” ujar Fahri

Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menuturkan seluruh anggota dewan diberikan gaji dan mendapat protokoler. Menurut Fahri, seorang legislator bertugas mengawasi kinerja pemerintah.

“Lah ini, kita rakyat disuruh ikut ngawasin, enak aja. Lah mereka (DPR) makan gaji buta, itu nggak benar. Semua kan akhirnya tidak dapat diawasi dia,” kata Fahri.

Fahri kemudian menyindir anggota dewan yang gaya hidupnya glamor dan suka pamer. Padahal, ia menilai gaya hidup anggota dewan seharusnya sederhana dan tidak aneh-aneh.

**Baca Juga: Anis Matta : Partai Gelora Lahir untuk Menjawab Krisis Global

Fahri juga menyinggung anggota DPR yang meminta rakyat mengawasi kinerja mereka. “Ini ngapain? Kalau di negara demokrasi maju itu, rakyat habis nyoblos tidur karena ada penjaga. Lah, itu yang kita pilih untuk mengawasi. Ini nggak. Kita rakyat malah disuruh berantem, dianya tidur-tidur,” sentilnya.

Dia pun meminta agar anggota DPR yang suka membagi-bagi bansos di NTB berbenah. Menurutnya, pekerjaan bagi-bagi bansos bukanlah pekerjaan DPR, melainkan pekerjaan pemerintah.

“Ngapain kita pilih dia jadi anggota dewan kalau hanya bagi bansos. Untuk apa punya hak imunitas kalau mau jadi penyalur bansos,” tegasnya.

Fahri mengatakan seorang anggota dewan seharusnya bersikap oposisi terhadap pemerintah. Ia menyebut kader Partai Gelora akan menunjukkan sikap oposisi itu.

“Saya kira tidak ada DPR galak hari ini. Kalau caleg (calon legislatif) di Partai Gelora galak semua, bahkan kami sebut garis keras,” pungkasnya.(Tim K6)




Fahri Hamzah Sarankan Presiden Jokowi Segera Pindahkan Peradilan Pajak dari Eksekutif

Kabar6-Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera bertindak, dan bila perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu untuk mengeluarkan Peradilan Pajak dari Eksekutif kepada Yudikatif, yaitu di bawah Peradilan Tata Usaha Negara/PTUN, sesuai UUD 1945.

“Saya percaya Pak Jokowi, sedang fokus menyoroti berbagai masalah di Kementerian Keuangan. Saya kira masih cukup waktu masa jabatan Bapak untuk mengajukan revisi UU 14/2002. Mari kita benahi problem hulu yang membuat pegawai pajak full power,” kata Fahri Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/03/2023).

Harapan ini disampaikan Fahri Hamzah, terkait merebaknya kasus kejahatan perpajakan di Indonesia, mulai kasus penganiayaan yang melibatkan anak pejabat pajak, gaya hidup hedon Dirjen Pajak dan jajarannya, sampai bocoran tentang data transaksi mencurigakan sebesar Rp300 Triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang diungkap Menko Polhukam Mahfud MD, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Fahri mengatakan, Partai Gelora yang memiliki nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini berpandangan, bahwa pengadilan pajak jelas bagian dari kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu pengadilan khusus di lingkungan PTUN yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA).

Sayangnya, dengan adanya lembaga pengadilan pajak di Kemenkeu telah menimbulkan dualisme sistem pembinaan terhadap Badan Peradilan yang berada di bawah MA.

“Logika hukum apa yang membuat kita bisa menerima selama ini mentolelir penyelenggaraan peradilan pajak berada di kamar eksekutif (Kemenkeu). Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu berada di Mahkamah Yudikatif. Saya membaca dengan teliti apa yang membuat UU No. 14 Tahun 2002 meletakkan peradilan pajak di kementerian Keuangan. Saya juga membaca dengan teliti seluruh risalah sidang pembentukan UU tersebut. Risalah sidang dalam pembentukan UU adalah bagian tak terpisahkan dari UU itu sendiri,” bebernya.

Dualisme ini, menurut Fahri yang juga mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, mengakibatkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi pengadilan pajak berada di Departemen Keuangan (eksekutif).

Hal itu secara langsung berdampak terhadap tidak adanya kewenangan MA melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan terhadap pengadilan pajak.

“Ketentuan tersebut telah men-down grade MA dalam kedudukannya sebagai peradilan tertinggi atas badan-badan peradilan dibawahnya. Logika hukum apa yang membuat kita bisa menerima selama ini mentolelir penyelenggaraan peradilan pajak berada di kamar eksekutif (Kemenkeu). Pasal No. 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu berada di Mahkamah Yudikatif,” tegas Fahri.

Padahal pandangan pemerintah yang dibacakan oleh Boediono sebagai Menkeu kala itu, dengan tegas menyebutkan bahwa dalam jangka waktu 5 tahun setelah UU disahkan, peradilan pajak akan berangsur angsur akan sepenuhnya dialihkan ke Mahkamah Agung.

**Baca Juga: Partai Gelora : Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi, UU Pemilu dan UU Kekuasaan Kehakiman

Bahkan dalam berbagai pandangan fraksi saat pengesahan UU itu menyadari ada yang salah dari sistem peradilan pajak di Kemenkeu.

“Akan tetapi karena perangkat yang dibutuhkan di Mahkamah Agung belum sepenuhnya memadai, maka hal itu ditolelir untuk sementara. Sehingga berbagai fraksi menyampaikan pendapatnya kala itu bahwa proses peralihan peradilan pajak ke Mahkamah Agung harus dilakukan lebih cepat lagi dari 5 tahun. Namun kini sudah 21 tahun setelah UU 14/2002 disahkan, peradilan pajak masih di kamar eksekutif,” katanya.

Menurut Wakil Ketua DPR Periode 2009-2014 ini, pengadilan pajak di tangan eksekutif menyebabkan masuknya kekuasaan pemerintah in casu (dalam hal ini) Menkeu, hingga ke dalam sendi-sendi pengadilan pajak yang secara nyata-nyata telah menabrak prinsip-prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka.

“Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 nyata-nyata bertentangan baik dengan Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 sebelum Amandemen maupun dengan Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 pasca amandemen, karena menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif,” pungkas politisi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu. (Tim K6)




Partai Gelora : Penerapan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Bisa Picu Revolusi

Kabar6

Kabar6- Pro kontra perdebatan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam Pemilu 2024 kembali mencuat dan meruncing. Sehingga hal ini membuat elit di tanah air mengalami kegalauan dalam menentukan jalan demokrasi yang benar.

Wakil Ketua Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah saat menjadi narasumber dalam diskusi Moya Institute bertajuk ‘Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi’ di Jakarta, Jumat (20/1/2023) sore, mengatakan, atas kegalauan tersebut, maka para elit kita ingin menciptakan narasi demokrasi yang khas Indonesia.

“Dugaan saya, ini didrive (dipaksa) dua tren global tentang efektivitas dalam pengelolaan negara. Disatu sisi melihat demokrasi dan kemajuan Tiongkok (China), disisi yang lain melihat demokrasi liberal barat yang berasal dari Prancis dan Amerika Serikat,” kata Wakil Letua Umum Partai nomer urut 7 ini dalam keterangannya, Sabtu (21/1/2023).

Ketika melihat efektivitas penerapan dua sistem demokrasi tersebut plus minusnya, maka ada semacam keinginan dari para elit kita untuk menciptakan sistem demokrasi tersendiri ala Indonesia.

“Menurut saya, kita tidak perlu canggung untuk mengusulkan demokrasi yang utuh agar sebagai bangsa kita ada capaian yang jelas, sehingga kita tuntas. Sebagai bangsa kita tidak boleh seperti bangsa baru yang terus mengalami kegalauan,” katanya.

Wakil Ketua DPR Periode 2004-2019 ini, lantas menjelaskan, pada awal Kemerdekaan RI 1945 hingga 1950, Indonesia pernah menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Parlementer/Liberal pada era Orde Lama (Orla) semasa Bung Karno (Presiden Soekarno RI ke-1).

Namun, pada masa Orde Baru (Orba) selama 32 tahun saat mantan Presiden Soeharto RI ke-2 berkuasa, Demokrasi Terpimpin kemudian diganti Demokrasi Pancasila.

“Pak Harto kemudian jatuh tahun 1998, karena Demokrasi Pancasila dianggap menyumbat kekuatan rakyat. Dan sekarang hal itu diajukan kembali pertanyaan tersebut, setelah adanya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali itu dianggap kebablasan,” katanya.

Karena itu, para elit kita kata Fahri, terus berusaha untuk mengikat atau menambal lubang demokrasi di mana-mana.

“Tapi saya mau mengingatkan, kalau demokrasi itu pakaian kita, maka jangan salah tambal. Yang kita tambal itu auratnya saja, kalau yang bukan aurat ditambal juga, itu nanti menjadi kacau,” katanya.

Menurut Fahri, dalam konteks demokrasi, pemilihan terbuka itu, aurat. Sehingga demokrasi atau pemilihan langsung kepada orang seperti sekarang sudah benar, tidak perlu diubah lagi.

“Itu yang harus ditambal, dalam pengertian tidak boleh diubah. Itu sudah tertambal tidak boleh dibuka, karena itu aurat dari demokrasi kita. Kalau aurat kita tutup dalam pengertian dalam demokrasi tertutup, itu sudah tidak demokratis namanya,” ujar Fahri.

Dalam demokrasi, lanjut Fahri, rakyat lebih penting dari negara atau institusi. Karena itu, partai politik (parpol tidak boleh mengambil alih peran rakyat. Sebab, rakyat adalah unit paling penting dalam demokrasi, bukan institusi atau negara.

“Makanya parpol itu, penyelenggara negara, diluar. Tidak boleh dia masuk ke dalam sistem dan mengambil alih pertanggungjawaban individu atau orang. Ini nilai-nilai dasar dalam konstitusi kita,” katanya.

Fahri berharap para elit sekarang menghargai jasa-jasa para fouding fathers yang memiliki keberanian luar biasa mengubah sistem kerajaan (daulat tuanku) menjadi republik (daulat rakyat).

“Luar biasa keberanian founding fathers kita mengalihkan ke republik dari kerajaan. Padahal sudah ada imperium di dalamnya, sudah ada kerajaan dan kesultanan yang sudah jalan. Tidore itu penguasa pasifik, belum lagi kalau kita bicara Sriwijaya atau Majapahit, dan dikampung saya ada Kerajaan Sumbawa. Itu semua kerajaan hebat, puluhan, bahkan ratusan tahun berkuasa di Indonesia,” katanya.

Namun, para founding fathers saat itu, sadar bahwa feodalisme kerajaan sulit untuk diajak bersatu. Namun, dalam perkembangannya, feodalisme justru digunakan Orba agar terus berkuasa dengan merampas kebebasan rakyat.

“Tetapi ada upaya dari elit kita untuk mengembalikan feodalisme, karena itu hati-hatilah terhadap kemunculan satu generasi yang tiba-tiba tidak paham dengan elitnya. Tiba-tiba bosan sama elitnya, itu mesti kita hati-hati, jangan sampai dijatuhkan seperti Pak Harto tahun 1998,” katanya.

Fahri menegaskan, upaya untuk mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup bisa menyebabkan ketidaksinambungan antar generasi dan memicu revolusi lagi.

“Jangan percaya partai politik yang mengusulkan sistem proporsional tertutup akan aspiratif itu, bohong. Biarkan rakyat mengkombinasi sendiri siapa wakilnya. Jadi demokrasi terbuka tidak boleh diubah,” tegasnya.

Fahri menilai carut marutnya sistem Pemilu di Indonesia, lebih disebabkan pada manajemennya, bukan sistemnya. Seperti terjebak pada pelaksanaan Pemilu Serentak, yang harusnya dipisah antara pemilihan legislatif dengan eksekutif, termasuk pemilihan kepala daerah.

“Kita sendiri yang menciptakan keruwetan Pemilu, menciptakan politik transaksional (politik uang), menciptakan kelelahan menumpuk sehingga petugas Pemilu sampai 800-an meninggal pada Pemilu 2019 lalu. Itu semua menurut saya, bukan sistemnya, tapi karena buruknya manajemen,” tegasnya.

**Baca Juga: Khawatir Ganggu Tahap Pemilu 2024, Pilkades Serentak di Pandeglang Batal Digelar

Fahri beranggapan, bila pada Pemilu 2024 Indonesia kembali menerapkan sistem proporsional tertutup, maka akuntabilitas politik akan rusak.

Sebab menurut Fahri, transaksi politik antara rakyat dan pemimpin harus dilakukan secara langsung, tidak melalui perantara partai politik.

“Mandataris hanya bisa muncul kalau pemberi dan penerimanya bisa saling berhubungan langsung,” ujarnya.

Fahri kembali menegaskan, bahwa sistem proporsional terbuka yang dipakai dalam beberapa pemilu terakhir sudah tepat.

“Sistem demokrasi langsung memilih orang itu sudah benar. Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup,” pungkas Fahri.(Tim K6)




Fahri Hamzah Tuding Hadar Gumay Bawa Agenda Terselubung Jegal Partai Gelora

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah

Kabar6-Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai ada upaya terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang dimotori oleh Hadar Nafis Gumay dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) untuk mematikan Partai Gelora agar tidak bisa mengikuti Pemilu 2024.

Fahri membantah ada permintaan dari Istana yang memerintahkan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan komisioner KPU pusat lainnya yang menginstruksikan KPU provinsi untuk meloloskan Partai Gelora dalam verifikasi faktual seperti yang ditudingkan Hadar Gumay dkk ke Komisi II DPR, Rabu (12/1/2023).

Dia heran dengan manuver Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang melapor persoalan KPU ke Komisi II DPR. Apalagi, dalam laporannya kumpulan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut membawa-bawa nama Istana.

“Ngakunya masyarakat sipil tapi yang dibela pengusaha dan konglomerat bikin parpol. Ada-ada saja, saya khawatir mantan pimpinan KPU ini dipakai dan masuk angin, terus buangnya sembarangan,” kata Fahri dalam keterangannya, Kamis (12/1/2023).

Fahri menegaskan, Hadar Gumay dkk membawa agenda terselubung dari para pengusaha dan konglomerat tertentu, karena mereka takut akan adanya perubahan total yang dibawa Partai Gelora.

“Mereka takut dengan gelombang rakyat yang akan menuntut pembaharuan total dalam cara kita bernegara melalui Partai Gelora. Kerena takut hukum tegak, korupsi dan segala kejahatan hilang. Mereka takut Indonesia bersatu mengubah nasib menjadi kekuatan yang diperhitungkan,” ucap Fahri.

Menurut Fahri, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih itu, seharusnya mendukung ide demokrasi supaya para intelektual mudah bikin partai politik (parpol), dan bukan jadi monopoli pengusaha atau konglomerat saja.

Selain itu, Partai Gelora juga telah mengajak seluruh parpol peserta Pemilu 2024 untuk adu debat gagasan dan pikiran mereka. Sehingga publik dapat mengetahui program parpol mereka, apakah membawa aspirasi rakyat atau tidak.

“Kita ajak debat adu pikiran, malah main belakang, mau main jegal. Kita kritik sistem pemilu lama, eh malah sekongkol dengan pemain lama. Partai Gelora tidak takut hadapi konspirasi mereka. Mereka marah karena gagal hentikan langkah kami, sekarang mau perang terbuka. Ayo!” katanya.

Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2004-2009 ini mengungkapkan, selama proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ada upaya untuk menghilangkan data-data yang sudah diinput agar tidak memenuhi syarat oleh kelompok tertentu saat verifikasi faktual.

“Partai Gelora ini ingin dimatikan, aneh data kami hilang tidak jelas. Sekarang ketika kami resmi jadi peserta Pemilu 2024 dan mendapatkan nomor urut 7, malah kebakaran jenggot nggak karuan,” ujarnya.

Hadar Gumar dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, kata Fahri, dinilainya justru ingin melindungi partai tertentu, yang sebenarnya tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024. Padahal kepengurusan dan kantor Partai Gelora dari pusat hingga di daerah semua ada, tidak ada memanipulasi.

“Jadi sekarang kamu ketahuan, terbongkar lah siapa dalang kecurangan ini. Jadi sasaran mereka bukan penyelenggara Pemilu, sebab mereka juga mantan penyelenggara yang curang dulu. Rahasia mereka juga masih disimpan sama yang sedang mimpin sekarang. Makanya Partai Gelora menjadi sasaran mereka, karena dugaan saya mereka semua takut kami menang. Sangat takut, Naudzubillah …,” tandas Fahri.

Fahri mengingatkan, semakin Partai Gelora ‘dikeroyok’ dan ditekan, maka akan semakin terlihat kemenangan Partai Gelora dalam memimpin Indonesia di 2024 pada mendatang.

**Baca Juga: Kasus Korupsi ASABRI Benny Tjokrosaputro Divonis Nihil, Kejaksaan Agung Banding

“Dalam sejarah, setiap bayi yang lahir yang datang akan membawa perubahan besar, pastilah ingin dimatikan oleh kemapanan oligarki dan kekuasaan. Mohon doa untuk Partai Gelora agar siap menghadapi segala komplotan,” katanya.

Fahri mengaku heran terhadap ulah Hadar Gumay dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang tidak mendukung gagasan Partai Gelora mengajak adu debat gagasan 18 parpol demi kebaikan Pemilu yang akan datang.

“Sekali lagi kami mau tarung gagasan untuk kebaikan pemilu yang akan datang. Partai Gelora dan para tokohnya punya reputasi untuk memperbaiki keadaan termasuk sistem pemilu. Ayo berdebat dan bertanding, jangan main belakang,” katanya.

“Jadi tolong sandingkan 18 partai peserta pemilu untuk berdebat, termasuk Partai Gelora. Tatap baik-baik, tetapi kenapa kalian pilih kami sebagai sasaran konspirasi?. Kenapa kalian sekongkol bersama yang kaya dan berkuasa? Apa agenda kalian? Jika kalian punya maksud baik, untuk siapa?” pungkasnya. (Tim K6)